Senin, Agustus 27, 2007

Punya sahabat panjang umur


Memiliki jaringan sahabat kemungkinan memperpanjang jangka hidup seseorang, lapor Journal of Epidemiology and Community Health. Penelitian terhadap hampir 1.500 orang Australia yang berumur 70 tahun atau lebih mengkaji bagaimana hubungan baik mempengaruhi umur panjang selama kurun waktu 10 tahun lebih.

Orang-orang dengan jaringan sahabat yang kuat memiliki angka kematian 22 % lebih rendah darei pada orang-orang dengan sedikit sahabat. Persahabatan yang aktip juga memiliki pengaruh Positip di kalangan usia lanjut yang berkaitan dengan “depresi, rasa percaya diri, harga diri, kesanggupan mengatasi masalah dan semangat juang atau perasaan mandiri,” kata laporan tersebut.
---
Jadi mempunyai sahabat ada baiknya , bukan?

Rabu, Agustus 15, 2007

Shok terapi


Suatu siang kami berpapasan dengan Agus, temanku di selasar Rumah sakit.
“Gus, kamu masuk di bagian apa sekarang?” aku bertanya kepada Agus teman seangkatan, ketika kami sekolah Dokter di salah satu Universitas di Bandung. Ketika kami mengikuti tingkat akhir, pendidikan Koasistensi, kami belajar lebih banyak di lingkungan Rumah Sakit pendidikan kami dari pada di dalam Ruangan Kuliah di Kampus.
“Aku di bagian Pediatri ( I. Kesehatan Anak ). Malam ini kau kena jaga malam, Bud” Agus menjawab pertanyaanku.
“Sama, aku jaga malam juga di bagian Bedah” sahutku kepada Agus.

“Budi, siang ini ada Cito operasi di O.K. ( Operasi Kamar ) “ kata Lina rekanku di bagian Bedah.
“Emang giliran siapa yang mendampingi Dokter Singgih?”
“Menurut jadwal, kamu, Budi. Kamu bersiap-siaplah dan masuk O.K. sebelum Dokter Singgih cuci tangan. Kalau kamu terlambat, pasti kena marah” sahut Lina.
“Baiklah aku cuci tangan dulu, Lin” aku menjawab.
Setelah mengikuti asistensi di O.K. aku menulis laporan kegiatan Bedah siang itu. Yono seorang lekaki, 35 tahun, mengalami Perforasi Appendicitis ( Radang Usus Buntu yang pecah ). Dibanding operasi Appendectomi biasa ( operasi pengangkatan Usus Buntu ), operasi tadi lebih lama karena Dokter Bedah harus membersihkan rongga perut dari segala kotoran yang keluar dari Usus Buntu yang pecah tadi.
Malam itu aku jaga malam bersama Dokter Maksum. Enak kalau jaga bersamanya. Para Dokter muda dibimbing dengan baik dalam Ilmu Bedah dan juga tindakan praktis di ruang Poliklinik Bedah Rumah Sakit pendidikan kami.

-----

“Beri jalan, ada pasien.” begitu teriak petugas penerima pasien.
Seorang pemuda Amir, berusia sekitar 30 tahun mengalami kecelakaan lalu-lintas. Aku melihat Betisnya yang mengalami ekskoriasi ( luka lecet ). Bagian tubuh lainnya bersih, tak ada cedera, patah tulang dll. Semula di ruang depan Polikinik, ia dapat berbicara ketika ditanya identitas dirinya dan bahkan ingin menuntut seorang Bapak Toto, pengendara sepeda motor yang menabraknya. Toto mengatakan bahwa si Amir yang tidak hati-hati mengendari sepeda motornya sehingga terjadi tabrakan kedua sepeda motor. Pak Toto tidak mengalami luka dan pasien Amir hanya mengalami sedikit Eksoriasi di Betisnya.

“Siapa namanya?” aku bertanya kepada pasien Amir.
Dia diam saja dan kedua matanya tertutup rapat.
Aku memeriksa tekanan darah, denyut nadi, bunyi jantung dan pernafasan semuanya normal. Tidak ada luka lain atau tanda-tanda patah tulang.
Aku berpikir ia berpura-pura sakit berat dan kalau ia dirawat di R.S. maka ia dapat menuntut uang yang banyak dari Pak Toto yang dianggap penyebab dari lukanya.
Aku melaporkan hasil pemeriksaan pasien kepada Dokter Maksum dan mengatakan keadaan pasien yang ogah-ogahan menjawab semua pertanyaan.
Dokter Maksum berkata “Baik, kita lakukan Shok terapi ke satu saja.”
Aku bingung EST ( Electro Shock Therapy ) hanya dilakukan di bagian Psikiatry ( I. Kesehatan Jiwa ) untuk menenangkan pasien yang mengalami Schizophrenia ( gila ). Apakah di bagian Bedah ini biasa dilakukan EST juga?
Dokter Maksum meminta sebuah Pinset berkapas, dan ia mencelupkannya ke dalam larutan Yodium beralkohol, yang perih bila ditempelkan pada luka. Tanpa bilang apa-apa, Dokter Maksum mengoleskan kapas itu diatas luka lecet sang pasien.
“Aw…..perih…perih sekali” teriak sang pasien yang pura-pura pingsan itu. Ia duduk di atas bed pemeriksaan.
“Budi, pasienmu sudah bangun tuh” kata Dokter Maksum.
O… itu kah yang dinamakan Shok terapi ala Bagian Bedah?
Akhir minggu kami jaga bersama lagi dengan Dokter Maksum. Sore ini datang seorang pasien lelaki, Abang Becak, umur sekitar 40 tahun. Menurut laporan dari Perawat yang bertugas, pasien terjatuh dari Becak yang dikemudikannya. Menurut pengendara sepeda motor, seorang pemuda 30 tahunan, ketika akan mendahului Becak itu, tiba-tiba dari arah yang berlawanan meluncur sebuah Minibus yang mengambil jalan agak ketengah. Untuk menghindari tubrukan, ia mengarahkan setir sepeda motornya ke kiri dan mengenai kaki si Abang Becak. Abang Becak turun dari Becaknya dan masih dapat berdiri, setelah ia melihat ada seorang sepeda motor yang menyenggol kakinya , ia tiba-tiba terduduk dan minta diantarkan ke Rumah Sakit terdekat yaitu tempat kami bertugas. Ia minta ganti rugi atas kejadian itu. Tidak ada luka atau patah tulang.
Aku bertanya kepada sang pasien yang sudah berada diatas bed pemeriksaan “Pak, dimana yang sakit?”
Abang Becak diam saja.
“Pak, namanya siapa dan dimana rumahnya?” aku bertanya lagi.
Masih diam, matanya tertutup. Wah ini kasus simulasi ( pura-pura ) lagi. Aku melapor kepada Dokter Maksum tentang status kesehatan pasien yang baru masuk ini.
Dokter Maksum berkata “Baik, kita lakukan Shok therapi ke 2.”
Aku bingung, emang ada berapa macam Shok terapi di bagian Bedah ini? Di textbook aku tidak pernah membaca istilah ini.
Dokter Maksum berkata kepada salah seorang Perawat yang bertugas “ Suster, siapkan kamar operasi saat ini juga. Kita harus membedah pasien ini!” dengan mengedipkan mata kanannya.

Mendengar kata Operasi, Abang Becak tadi tiba-tiba bangun dan hendak lari dari ruang Poliklinik Bedah. Para Perawat lainnya menenangkan sang pasien agar tenang dan duduk di kursi.
“Itulah Bud, shok therapi ke 2 bagi pasien yang main simulasi” Dokter Maksum sambil tersenyum dan keluar dari Ruangan Poli.
Aku dan para perawat tertawa setelah Dokter keluar dari ruangan. Minggu itu aku mencatat ada 2 tipe Shok terapi yang manjur, bila menghadapi pasien yang main simulasi.

Selasa, Agustus 14, 2007

Enak bagi pasien dan enak bagi dokter.

Sebagai dokter rasanya senang atau enak bila mempunyai pasien-pasien yang mempunyai HAM ( hubungan antar manusia ) yang baik. Pasien menganggap dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan juga menganggap dokter sebagai manusia biasa dan bukan malaikat.

Judul diatas ada benarnya bila:

Selalu menyapa dokter bila bertemu di tempat-tempat umum ( kalau menyapa juga di tempat yang tidak yang terhormat, maka hal ini merepotkan, dapat membuat malu dokter di depan orang banyak dengan tidak sadar mereka menyapa, ”Oh Dokter ..” Wah orang lain tahu kalau kami ini dokter. Dokter kok ada di tempat begituan. Makanya sebaiknya jangan mengunjungi tempat yang tidak terhormat ).

Pasien membawa oleh-oleh ( pisang, gula merah, kepiting dsb ) bila berobat, meskipun mereka tetap juga memberilkan jasa pelayanan kesehatan. Hal ini kadang-kadang dapat terjadi. Wah… rejeki nomplok nih.
Mengirimkan Kartu Ucapan hari Natal atau Hari Ulang Tahun ( bila mereka tahu HUT Dokter nya ).

Mengundang Dokter bila mereka mempunyai hajatan ( pernikahan, khitanan dll ).

Memberikan discount bila kami belanja di toko mereka / pasien atau ketika kami melakukan service mobil di bengkel mobil pasien. ( ada juga yang “nakal” dengan memungut biaya yang lebih besar dari pelanggang lain, mungkin dengan asumsi: biarinlah, kan ia seorang dokter yang banyak duitnya. A m i n . ). Pasien seharusnya mempunyai sikap bahwa bila mereka sakit, mereka butuh dokter dan bila mereka sedang senang maka dokter juga tidak terlupakan. Tapi yah… jaman sekarang hanya berapa persen sih pasien yang demikian. Mereka kalau sakit, dokter dicari-cari, tidak perduli jam berapapun. Kalau mereka sehat atau senang, ya buat apa mikirin dokter. Emang gue pikirin…..

Masih banyak lagi yang belum sempat saya rangkumkan, tetapi dari contoh-contoh kasus saya dapat menilai masyarakat dengan sebutan pasien.


Jumat, Agustus 03, 2007

Manfaat curhat


Apakah curhat ada manfaatnya? Mungkin ada yang menjawab tidak ada dan ada pula yang menjawab ada manfaatnya. Bagi saya selaku dokter praktek umum ada manfaatnya seperti apa yang telah saya alami di dalam kisah ini.

Sejak bertahun-tahun bila ada gangguan listrik dirumah keluarga kami, Pak Budiman ( bukan nama sebenarnya ) selalu kami minta untuk mengatasinya ( ganti kabel, pasang generator set dll ). Pak B. ini akhirnya menjadi pasien saya. Semula keluhannya flu, pegel linu sampai susah tidur dan darah tinggi.

Tekanan darah Pak B 140/80 mmHg. Dengan resep obat tablet Antihipertensi generik yang saya berikan, tekanan darahnya dapat terkontrol. Setengah tahun kemudian Pak B datang berobat, dengan alasan ingin tahu berapa tekanan darahnhya. Saat itu saya mendapatkan tekanan darahnya makin tinggi 180/90 mmHg. Wah gawat nih pikir saya. Ternyata Pak B tidak minum obat anti hipertensi yang saya berikan itu secara teratur dan berkelanjutan. Bila keluhan sakit kepala atau susah tidurnya hilang, obat itu tidak diminum lagi. Padahal Hipertensi adalah penyakit yang bisu, yang tidak memberikan keluhan apa-apa. Tidak semua keluhan pusing atau susah tidur atau sering marah-marah merupakan gejala dari Hipertensi. Pusing juga dapat disebabkan oleh penyebab lain misalnya saat tanggung bulan bagi kebanyakan orang pada saat ini. Jadi mesti dicari apa penyebab pusing itu. Tanpa mengobati penyebabnya maka Hipertensi sulit diatasi, meskipun diberikan macam-macam obat .

Dari anamnesa ( tanya jawab riwayat penyakit ) penyebab Hipertensi Pak B ini adalah Stres menahun. Ya menahun, karena selama berbulan-bulan Pak B dirongrong oleh putra ( anak sulung dari 6 bersaudara ). Setiap bulan putranya itu yang minta uang untuk biaya rumah tangganya. Bila tidak diberi uang maka putranya akan melakukan perbuatan yang merusak termasuk memecahkan kaca-kaca di rumah ortunya. Demi kasih kepada putranya, Pak B tidak melakukan perbuatan untuk menghajar putranya. Dunia saat ini sudah terbalik. Mestinya bila anak sudah bekerja, dinikahkan dan sudah membentuk keluarga baru di rumah yang baru, maka anak ini dapat memberikan materi /uang bagi ortunya. Dengan demikian beban rumah tangga ortu menjadi lebih ringan. Bukan sebaliknya pihak ortu masih menanggung beban keluarga anaknya dan beban semakin berat.

Pak B bingung, marah, jengkel dan penyesalan yang timbul selalu dipendam dalam batinnya. Mau curhat, kepada siapa? Isterinya? Percuma karena tidak dapat membantu katanya. Kepada tetangganya? Malu, sebab rahasia keluarga akan bocor keluar dan akan heboh sekampung. Akhirnya pilihan jatuh kepada dokternya alias saya sendiri. Saya dianggap oleh Pak B adalah orang yang cocok untuk diajak bicara masalah keadaan keluarganya yang menjadi penyebab Darah tingginya.

Suatu sore tahun 2002 saat jam praktek Pak B datang ke tempat saya. Kebetulan saat itu tidak ada pasien yang berobat.
Saya bertanya "Ada keluhan apa Pak B?"
Pak B menjawab " Dok, saya merasakan tubuh saya tidak karuan. Pusing sudah 2 hari, susah tidur, mimpi buruk dll "
Ini tanda orang mengalami Stres berat. Saya sudah hafal keadaan fisik Pak B, tidak ada kelainan organis, selain Darah Tinggi dan Stres berat.
Saya menjawab "Baiklah, saya periksa dulu tekanan darahnya, ya" Hasilnya mengejutkan, 200/90 mmHg, suatu tensi darah yang harus diturunkan kalau tidak ingin pembuluh darah otaknya pecah.

Ketika saya memberitahulan berapa tekanan darahnya, Pak B berkata lemah “ Saya sudah menduganya.”

Saya persilahkan pak B duduk berhadapan di Ruang praktek saya.
Pak B mengeluarkan semua uneg-unegnya. Saya menjadi pendengar yang baik dan pada timing yang tepat saya mengajukan pertanyaan atau membenarkan pendapatnya. Saya lebih banyak mengdengar dari pada berbicara. Waktu berlalu dengan cepat dan 30 menit tidak terasa sudah. Saat itu Pak B merasakan beban mentalnya sudah menjadi ringan. Ringan karena sudah dikosongkan dari batinnya dan sudah ada orang yang mau menjadi pendengar yang baik. Wajahnya lebih berseri.

Pada saatnya Pak B mohon pamit dari hadapan saya.
Saya berkata Pak B “Saya belum memberikan resep obat untuk Bapak.”
“Terima kasih, Dok. Rasanya saya sudah tidak membutuhkan resep obat lagi. Hati saya sudah jauh membaik, ada rasa plong di hati saya. Saya sudah sembuh.”
Saya melanjutkan “Ya sudah, saya berikan Vitamin saja ya.”
Pak B tersenyum dan berkata “ Saya kesini bukan ingin minta resep obat, Dok, tetapi ingin ada orang yang mau mendengarkan uneg-uneg saya, agar saya menjadi lebih tabah menghadapi hidup ini.”

Gleg... saya terhenyak mendengarkan curhat Pak B. Saya merasa menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Pasienku datang ingin mengeluarkan semua beban mentalnya dan bukan minta diberi obat yang baginya saat itu, semua obat tidak ada gunanya. Obat apapun tidak dapat meringankan beban mentalnya, hanya membuat bodoh tubuhnya seolah-olah sembuh, padahal tidak. Masalahnya masih segunung, kalau tidak segera di keluarkan. Ia hanya butuh ada orang yang mau menjadi pendengar yang baik dan orang yang dapat dipercaya untuk posisi tsb.

Di dalam hidup selanjutnya Pak B, sempat 2 kali tidak sadar ( syncope ) selama 30 menit pada waktu yang berbeda. Saya sempat datang menengok Pak B. ketika dipanggil oleh keluarganya. Setelah sadar pak B tidak mengalami kelainan syaraf sedikitpun, tidak mengalami defisit nerologis. Serangan syncope yang terakhir atau yang ketiga terjadi 4 tahun yang lalu pada suatu tengah malam, Pak B mengalami syncope lagi dan segera di bawa ke sebuah RS swasta terdekat. Pagi hari pukul 07.00 saya mendapat berita per telepon dari keluarganya yang mengabarkan bahwa Pak B sudah dipanggil Tuhan pada pukul 04.00 dini hari. Saya segera mendatangi rumahnya untuk memastikan kebenaran berita duka tsb. Benar, Pak B sudah dipanggil Tuhan. Ah... mengapa hidupnya cepat berlalu, ketika usianya mencapai 62 tahun? Selamat jalan Pak B, beristirahatlah dengan tenang.