Jumat, Oktober 12, 2007

Jarum Kakek di Tubuh Cuifen


Ketika membaca artikel yang ditulis oleh Aries Kelana dan Elmy Diah Larasati
(Kesehatan, Gatra Nomor 46 , 30 September 2007), saya terkejut. Kok ada ya orang yang berbuat seperti itu, mau membunuh secara perlahan-lahan seorang bocah wanita.

---

Perjalanan hidup Luo Cuifen sungguh mengenaskan. Ibu beranak satu ini menderita depresi berat sejak masih kanak-kanak. Ia selalu cemas dan ketakutan bila sendirian berada di dalam kamar. Kecemasan yang berkecamuk di benaknya itu membuatnya sulit tidur.

Selain itu, Luo Cuifen juga kesulitan menggerakkan badan. Perutnya terasa nyeri manakala ia mengangkat beban berat. Gangguan inilah yang mengakibatkan dia tak bisa melakukan pekerjaan keras.

Wanita asal Desa Songming, Yunnan, Cina, berusia 31 tahun itu pun kerap mengalami sakit perut tanpa sebab. Meski ia sudah berkali-kali berobat ke dokter dan mematuhi diet makanan, keluhannya tak kunjung reda. Semakin hari, penyakitnya justru bertambah parah.

Penderitaan Luo Cuifen mencapai puncaknya dua pekan silam. Ia tak lagi sanggup menahan rasa sakit, lantaran setiap kali kencing dan buang hajat selalu bercampur darah. Begitu menutut laporan situs BBC.com. Akhirnya Cuifen dilarikan ke Rumah Sakit Richland International, Kunming, Yunnan.

Dokter yang memeriksa Luo Cuifen terperanjat. Sebab hasil foto sinar-X menunjukkan, ada 26 batang jarum jahit dengan panjang masing-masing 3,5 sentimeter menyebar di tubuh Cuifen. Ada jarum yang tertanam di paru-paru dan liver. Banyak pula jarum yang bersarang di kandung kemih, usus, dan ginjal.

Bahkan ada jarum yang sudah patah menjadi tiga bagian berada di otaknya. Seandainya jarum itu menusuk otak Luo Cuifen, tentu saja akan membahayakan jiwanya. Pembuluh darahnya bisa bocor dan timbul perdarahan otak. Namun efek radangnya lebih kecil apabila sudah stabil dan dapat dilokalisasi jaringan otak.

Juru bicara Rumah Sakit Richland International, Qu Rui, mensinyalir jarum-jarum itulah yang membuat Luo Cuifen tak bisa bergerak leluasa. "Ini sebuah keajaiban karena Luo Cuifen bisa bertahan hidup sampai sekarang," kata Qu Rui.

Tim dokter Rumah Sakit Richland International kini berusaha mengeluarkan puluhan jarum yang bersarang di organ vital Luo Cuifen. Untuk keperluan ini, 23 dokter dikerahkan. Mereka adalah dokter ahli berbagai bidang penyakit. Antara lain dokter hali saraf, tulang, jantung, kandungan, dan penyakit dalam.

Untuk mengoperasi Luo Cuifen, didatangkan dokter ahli Amerika Serikat dan Kanada. Pada operasi tahap pertama, dokter akan mencabut enam jarum. "Operasi itu bakal berlangsung lama dan melalui prosedur yang rumit," kata Dokter Xu Mei, Kepala Rumah Sakit Richland International.

Bedah pertama diperkirakan memakan biaya 170.000 yuan atau sekitar Rp 204,8 juta. Untuk operasi ini, Cuifen digratiskan. Tapi, untuk operasi berikutnya, ia harus membayar penuh. Biaya yang lumayan gede memaksa Cuifen mencari donatur yang bisa meringankan ongkos operasi selanjutnya.

Puluhan jarum yang bersarang di tubuh Cuifen itu diduga akibat kelakuan bejat kakeknya. Si kakek tak menyukai kelahiran Cuifen lantaran menghendaki cucu laki-laki. Alasannya, anak-laki-laki dapat membantunya bekerja di ladang. Dan hanya laki-lakilah yang mendapat jaminan sosial dari Pemerintah Cina.

Pemerintah Republik Rakyat Cina memang menerapkan kebijaksanaan satu anak, yang lebih memfokuskan pada anak laki-laki. Jika seorang perempuan Cina melahirkan bayi perempuan, ia diperbolehkan punya anak lagi agar mendapat anak laki-laki.

Si kakek itu kecewa atas kelahiran cucu perempuan. Ia berusaha menghabisi Cuifen. Kakek itu menusukkan puluhan jarum ke tubuh Cuifen yang masih bayi. Tujuannya, agar cucunya meninggal secara perlahan-lahan. Orang pun tak akan mengira ia dibunuh. Sayang, kasus ini terungkap setelah si kakek itu tewas.

Luo Cuifen sendiri mengaku tak terkejut mendengar keterangan dokter. Sewaktu kecil, ibunya pernah bercerita bahwa ketika masih bayi, ia sering menangis tanpa sebab. Pada awalnya hanya disangka rewel biasa, hingga suatu hari ditemukan jarum jahit di luka pada pinggang belakangnya.

Ketika Cuifen berumur tiga tahun, tiba-tiba muncul jarum di sekitar tulang rusuknya. Kasus adanya benda asing di usus sebenarnya sudah jamak. Banyak kasus gigi palsu tertelan atau jarum pentul tertelan pada wanita berkerudung. Tapi jumlahnya tak sebanyak yang dialami Cuifen. Dokter biasanya memutuskan untuk mengeluarkan jarum itu.

Lalu, bagaimana ia bisa bertahan hidup? Menurut Profesor Daldiyono, ahli penyakit pencernaan pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), organ tubuh terutama usus punya mekanisme tersendiri untuk berkontraksi mengeluarkan benda asing yang masuk. Apabila bendanya tumpul, ia akan keluar sendiri. Tapi, apabila tajam, akan menimbulkan luka sehingga menyebabkan infeksi pada usus.

Tusukan tersebut melukai usus. "Itulah mengapa ketika buang air besar terjadi perdarahan," kata Profesor Daldiyono. Namun akan terjadi kontraksi lagi untuk mengeluarkannya, baik melalui kotoran maupun keluar ke rongga perut.

Menurut Dokter Ari Fachrial Syam, Gastroenterolog FK-UI, mengeluarkan jarum yang masih berada di saluran cerna atas akan lebih mudah bila memakai peralatan endoskopi. "Dengan alat penjepit, kepala jarum diambil dan dikeluarkan melalui endoskopi," katanya.

Jarum yang berada di usus biasanya keluar dengan sendiri melalui kotoran setelah lebih dari 24 jam. Akibatnya, usus mengalami luka karena gesekan jarum dengan dinding saluran pencernaan.

Senin, Oktober 08, 2007

Kejujuran manusia


Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu.
Saya pulang naik becak (karena mobil sedang di service di bengkel) setelah belanja keperluan perbaikan pintu rumah kami. Di sebuah Toko saya membeli 2 kaleng cat dan 1 kwas (seharga Rp. 20.000, -) yang terbungkus dalam kantong plastik (kresek) hitam.

Ketika tiba di rumah saya turun dari becak, tanpa saya sadari kantong plastik tadi tertinggal di becak. Untuk keperluan lain saya keluar rumah setelah menyimpan barang belanjaan yang lain.

Ketika saya pulang 1 jam kemudian pembantu kami melaporkan bahwa tadi ada tukang becak yang ingin menyerahkan kantong plastik berwarna hitam (belanjaan saya yang tertinggal di becak tadi). Pembantu saya menolak menerimanya (sesuai dengan pesan kami: jangan menerima sesuatu dari orang yang tidak dikenal sebelumnya) dan mengatakan agar ia datang kembali sore hari ketika saya ada di rumah.

Sore hari tukang becak tadi tidak datang dan saya menganggap belanjaan saya sudah hilang akibat kelalaian saya sendiri. 2 hari kemudian saya di dekat rumah saya bertemu dengan seorang tukang becak yang menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna hitam sambil berkata, “Pak, ini barang Bapak yang tertinggal di becak saya.”

Rupanya ia masih mengenali saya. Saya menerima barang saya yang telah saya anggap hilang sambil berkata, ”Terima kasih, Pak. Bapak telah menyimpan barang saya dengan baik.”

Saya sangat menghargai kejujuran tukang becak tadi yang dalam keadaan serba kekurangan toh ia masih mau bersikap jujur.

Minggu, Oktober 07, 2007

Mengapa Dokter Hewan?


Suatu sore, 3 bulan sebelum Ujian akhir SMA pada tahun 1965, saya berbincang-bincang dengan ayah.

Ayah bertanya kepada saya “Sebentar lagi kamu Ujian SMA dan setelah lulus ujian kamu akan melanjutkan ke Falultas apa?”
Saya kaget juga ditanya begitu. Ujian saja belum mulai dan apakah saya lulus atau tidak, juga belum tahu.

Setelah berpikir sejenak lalu saya menjawab, ”Kalau saya lulus nanti, saya ingin menjadi menjadi Dokter Hewan, sekolahnya di IPB, Bogor”

Mendengar jawaban saya, wajah ayah sedikit tegang dan berkometar “Apa bagusnya jadi Dokter Hewan?”

Saya menjawab dengan pasti “Dokter Hewan lebih pandai dari pada Dokter Manusia. Saya ingin melanjutkan sekolah yang dapat membuat saya menjadi orang yang paling pandai.” Jawaban saya ini rupanya membuat ayah kecewa.

Ayah bertanya dengan wajah tegang “Apa buktinya kalau Dokter Hewan lebih pandai dari Dokter Manusia?”

Saya berargumentasi “Yah, kalau saya jadi Dokter Hewan, saya dapat mengobati Sapi yang sakit. Sapi tidak bisa bicara, tetapi saya dapat menyembuhkan penyakitnya. Kalau manusia, ketika ditanya oleh Dokter, apanya yang sakit, sudah berapa lama sudah minum obat apa. Ia akan menjawab: badan saya demam, sudah 3 hari dan saya sudah minum obat Aspirin tablet. Nah penyakitnya kan sudah dikasih tahu oleh pasiennya. Jadi Dokter akan mudah mengobati pasiennya. Kalau Sapi sakit kan tidak bisa kasih tahu sakit apa. Jadi Dokter Hewan lebih pandai dari pada Dokter Manusia, kata saya.

Ayah terpojok mendengar jawaban saya, tetapi ayah saya tetap ngotot agar saya menjadi Dokter Manusia.

Saya bertanya “Mengapa ayah ingin agar saya menjadi Dokter Manusia sih”

Ayah menjawab dengan nada lebih lembut “Ayah ingin agar ada anak ayah yang menjadi Dokter Manusia, sebab diantara keluarga besar kita belum ada yang menjadi Dokter.”

Saya bertanya lagi seperti anak yang bego “Apa rasanya sih kalau saya menjadi Dokter Manusia?’

“Kita akan bangga dan kalau ada keluarga yang sakit, kamu dapat mengobatinya tanpa harus membayar lagi. Kamu dapat menolong orang lain.”

Saya terdiam beberapa saat.
Ayah bertanya kepada saya “Mengapa kamu diam. Kamu mau kan?”

Saya menjawab dengan suara kecil “Mau sih mau, tapi...”

Ayah terus mendesak “Tapi apa? Kok ada tapinya”

Saya berterus terang ”Ada 2 masalah yang harus saya hadapi”

“2 masalah apa, coba sebutkan saja.”

Saya berkata “Masalah yang kesatu adalah masalah uang. Kalau saya sebagai anak sulung dari 7 bersaudara, banyak menghabiskan uang ayah untuk sekolah Dokter, lalu apakah 6 adik-adik saya masih dapat sekolah atau tidak, sebab Sekolah Dokter membutuhkan biaya yang besar.”

Ayah segera berkata “Masalah uang biar ayah yang tanggung dan tugas kamu adalah sekolah sampai lulus jadi Dokter. Masalah yang kedua apa?”

Saya menjawab dengan nada yang lebih kecil lagi “Selanjutnya apakah saya mampu menjadi Dokter, sebab sekolahnya sulit.”

Dengan mantap ayah menenangkan perasaan saya dengan berkata “Asal kamu rajin belajar pasti kamu dapat lulus Sekolah Dokter.”

Ayah menyebutkan 8 nama Dokter Umum yang praktek di kota Cirebon. Saat itu memang hanya ada 8 orang Dokter yang praktek di kota kami. Saat ini Oktober 2007, sudah ada sekitar 180 orang Dokter dan Dokter Spesialis, belum termasuk Dokter Gigi.

“Kalau mereka dapat menjadi Dokter, maka kamu juga bisa menjadi Dokter.”

Saya membatin ‘Aduh. Ayah kok ngotot banget sih, minta agar saya menjadi Dokter.” Apakah saya mampu? Saat itu saya tidak tahu, apakah saya mampu atau tidak memenuhi permintaan ayah. Rasanya saya mempunyai beban berat di pundak saya.

Tahun demi tahun saya sekolah Dokter dan akhirnya saya dilantik menjadi Dokter sesuai keinginan ayah. 6 adik-adik saya tidak seorangpun yang tidak sekolah. Tuhan Maha Pengasih. Ayah minta ada 1 anak yang menjadi Dokter, tetapi Tuhan memberikan ayah 2 orang Dokter masuk ke dalam keluarga besar kami. Mengapa? Karena saya menikah degan teman sekuliah dan tahun berikutnya ia lulus menjadi Dokter juga dan setelah menikah dalam keluarga kami ada 2 orang Dokter. Keinginan Ayah sudah terkabul.

Ayah sangat puas dan nampak bahagia dapat menyekolahkan saya menjadi Dokter Manusia dan bukan Dokter Hewan seperti keinginan saya.

Ketika bulan Desember 2005 kami menghadiri wisuda anak kami yang sulung mendjadi Dokter di UNSW, Sydney, berarti ada 3 Dokter dalam keluarga kami. Ayah tentu merasa senang sekali. Minta satu dapat tiga. Puji Tuhan.

Ayahku tidak mengetahui bahwa dalam keluarga kami sudah ada 3 Dokter, bukan hanya 1 Dokter. Ayah telah dipanggil oleh Tuhan pada 4 Mei 1992. Saya yakin disana ayah tersenyum, keinginanya mempunyai anak yang Dokter sudah terkabul.-

Rabu, Oktober 03, 2007

Mie Goreng atau Mie Rebus?


Kisah ini terjadi sebelum Ayah saya dipanggil Tuhan pada tanggal 4 bulan Mei tahun 1992.

Ayah saya menderita Hypertensi. Saat itu saya dan isteri sedang berada di rumah ayah. Malam itu sekitar pukul 20.00 ayah meminta agar Ibu meyuruh Pembantu untuk membeli Mie Goreng di penjual Mie Goreng yang bisa mangkal di dekat rumah Ayah. Rupanya saat itu Ayah ingin sekali makan Mie Goreng. Entah kenapa Ayah ingin makan Mie Goreng, padahal Ayah sudah malam malam pukul 18.00.

Pembantu Ibu kembali dengan tangan kosong, katanya penjual Mie Goreng malam itu tidak berjualan. Akhirnya Ibu membuat Mie Goreng di dapur yang sudah tidak ada kegiatan memasak pada malam itu. Dengan bahan seadanya Ibu membuat seporsi Mie Goreng pesanan Ayah. Di sebuah panci masih ada tersisa kuah Ayam untuk disantap besok pagi. Ibu menambahkan sedikit kuah Ayam ke dalam wajan Mie Goreng.

Ibu membawakan semangkuk Mie Rebus, karena Mie Goreng sudah berkuah kaldu Ayam.

Ibu berkata “ Pah ini, Mie Gorengnya. Makanlah mumpung masih hangat.”

Wajah Ayah yang semula berseri berharap akan menikmati Mie Goreng segera berubah menjadi tegang.

Ayah bertanya kepada Ibu “Ini Mie Goreng atau Mie Rebus sih. Pesanan Ayah kan MIe Goreng.”

Saya, isteri dan adik-adik saya yang hadir dalam Ruang keluarga merasa khawatir akan terjadi pertengkaran antara Ibu dan Ayah.

Ibu menjawab “Mie Gorengnya diberi sedikit kuah Ayam agar mudah ditelan. Mie Kuah juga enak.”

Ayah menjawab “Papah kan pesannya Mie Goreng. Kenapa diberi Mie Rebus?”

Ibu menjawab lagi “Pah, Mie Goreng kalau sudah masuk ke dalam perut dan minum segelas air maka jadilah Mie Kuah dalam perut.”

Ayah berkilah “Saya ingin Mie Goreng yang dapat dinikmati di ujung lidah. Saya tidak peduli setelah masuk kedalam perut, Mie itu akan tetap jadi Mie Goreng atau Mie Rebus. Saya hanya ingin menikmatiMie Goreng di ujung lidah, bukan dalam perut.” Tampak Ayah merasa kesal.

Ayah menolak makan Mie Rebus yang sudah dibuat Ibu dengan susah payah.

Ibu tampak kecewa dan sedih karena sudah membuat Ayah yang sedang sakit menjadi marah.

Ibu berkata kepada kami, anak-anak Ibu. “Kamu makanlah Mie Rebus ini, sayang kalau tidak dimakan. Besok Ibu akan membuat Mie Goreng beneran untuk Ayah kalian”.

Kami berbagi dan mencicipi Mie Rebus karya Ibu secara diam-diam di Ruang Makan. Agar Ibu tidak menjadi marah mendapat perlakuan dari Ayah, kami semua memuji kecakapan Ibu membuat Mie Rebus yang memang rasanya enak kalau disantap ketika Mie Rebus itu masih hangat.

Keesokan paginya adik wanita saya pergi ke pasar tradisionil untuk membeli bahan-bahan untuk membuat Mie Goreng pesanan ayah kami. Ia membantu Ibu di dapur untuk membuat Mie Goreng dan bukan Mie Rebus lagi. Kali ini mereka membuat dalam jumlah yang lebih banyak karena akan disantap oleh seluruh penghuni rumah kami.

Pagi itu kami seluruh keluarga besar kami makan pagi berupa Mie Goreng hasil karya Ibu kami. Mie Goreng dan Mie Rebus buatan Ibu sama-sama enaknya, tetapi Ayah lebih suka Mie Goreng yang katanya nikmat ketika digoyang di ujung lidah.

Saya tidak sampai hati bertanya kepada Ayah, apakah semalam Ayah bermimpi makan Mie Goreng atau Mie Rebus.

Saat ini tiga belas tahun Ayah sudah meninggalkan kami, tetapi kenangan manis dan kenangan pahit tetap melekat dalam pikiran kami. Meskipun saat ini saya sudah menjadi Dokter tetapi di mata Ayah dan Ibu, saya dan adik-adik saya tetap dipanggil dengan sebuatan anak ( anak-anak ). Emang benar sih. Namanya juga anak.-