Kamis, Juni 26, 2008

Pak Mamad


Suatu sore terdengar dering bel Ruang periksa saya. Setelah pintu terbuka, aku melihat seorang Bapak yang sudah kukenal sebagai pasien lama dan sangat akrab denganku.
“Selamat sore, Dok,” katanya.
“O... Pak Mamad, jangan panggil Dokter, panggil saja namaku, Pak . Mari masuk.” Aku mempersilahkannya masuk Ruang Periksa.
“Ada keluhan apa Pak?” aku bertanya.
“Biasalah, pusingnya kumat lagi.”

Segera aku memeriksa pasienku ini. Tekanan darahnya 160/90 mmHg, denyut jantung lebih cepat dari normal, berat badan 80 Kg, lain-lain normal. Dibandingkan 10 tahun yang lalu, tekanan darahnya normal 120/80 mmHg, berat badan 60 kg, tidak teralu jelek untuk tinggi badan 167 Cm. Makin bertambah umur manusia cenderung akan mengalami kenaikan tekanan darah dan berat badan bila pola hidup dan pola makan tidak dijaga ketat. Sosial ekonomi Pak Mamad biasa-biasa saja. Mungkin ada faktor genetik sehingga badannya sekarang menjadi gemuk. Ia dan isterinya satu rumah dengan putra / anak sulungnya yang bekerja di sebuah toko telepon genggam. Dua orang putrinya lainnya sudah berkeluarga dan mengikuti suaminya yang tinggal satu kota.

“Tekanan darahnya sedikit tinggi, Pak. Apa ada masalah keluarga?” saya bertanya kepada Pak Mamad.
“Masalah sih tidak ada, tetapi semalam saya kurang tidur.”
“Mengapa susah tidur?” aku bertanya.
“Gigi geraham saya berlubang. Saya sudah berobat ke Puskesmas di dekat rumah tetapi sakit. Hari ini saya mau ke Puskesmas lagi. Mungkin perlu ditambal.”

Sebuah gigi yang ukurannya relatip kecil bila dibandingkan dengan organ tubuh lainnya dapat menyebabkan seseorang menderita. Bila tidak segera diobati, akan menyebabkan gangguan emosi seperti mudah tersinggung, susah tidur, marah-marah, tidak selera makan dsb.

“Pak Mamad, ini resepnya.” Saya memberikan resep untuknya berupa anti pusing dan sedikit penenang generik .
“Belilah di apotik terdekat.” Sambil menyerahkan resep obat dan 2 lembaran uang dua puluh ribuan kepadanya.
“Wah terima kasih nih. Sudah diberi resep obat, bahkan diberi uang lagi. Semoga hari ini banyak pasiennya, Bud.” Kata Pak Mamad sambil tersenyum meninggalkan Ruang Periksaku.
“Amin.” Aku mengamininya.
“Hati-hati di jalan, ya Pak.” Kataku.

-----

Tahun 1954 memasuki kelas 1 SD Zending school ( SD Kristen, Jl. Kromong Cirebon ), saya masuk sekolah sore hari mulai pukul 13.00 – 17.00. Jarak rumah kami dengan sekolahku cukup jauh, sekitar 3 km. Ayahku bekerja sebagai petugas pembukuan di sebuah toko kelontong. Ibuku menerima jahitan pakaian wanita dan dibantu seorang tukang jahit. Orang tuaku praktis tidak dapat mengantar dan menjemputku pulang dari sekolah setiap hari. Tugas antar-jemput ini diserahkan kepada Pak Mamad. Sekarang istilahnya Tukang ojek sepeda. Aku dudak dibelakang sepeda ayahku yang dikayuh oleh Pak Mamad. Saat itu sepeda motor dan mobil masih sangat sedikit jumlahnya.

Pekerjaan Pak Mamad sebenarnya adalah Montir truk. Pamanku dan ayahku mempunyai 2 buah truk angkutan barang Cirebon – Jakarta. Umur truk yang sudah tua, jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi jalan Pantura yang seperti kubangan kerbau menyebabkan Truk itu hampir selalu harus diperbaiki setelah mengantar barang ke Jakarta dan kembali ke Cirebon. Truk tersebut disimpan di sebuah garasi dengan halaman yang cukup luas diseberang rumah kami ( sekarang telah menjadi T.K. Kristen, Jl. Merdeka ). Paman menyewa tanah itu dari seorang Bapak Haji, tetangga kami.

Suatu sore setelah jam pelajaran selesai, aku mencari-cari Pak Mamad yang biasanya sudah menunggu di halaman SD. Sampai semua murid SD pulang, Pak Mamad masih belum muncul juga. Hari makin gelap karena awan hitam menutupi sinar sang Surya. Aku ingin naik becak, tetapi aku takut dimarahi Ibuku dan takut diculik karena aku belum paham benar jalan-jalan di kotaku saat itu.

Di depan gedung SD aku menangis, takut, marah karena jemputan tak kunjung tiba. Tak seorangpun lagi berada di depan SD-ku. Rupanya Ibuku saat itu juga merasa ada yang aneh, mengapa sudah sore begini aku masih belum pulang dari sekolah dan belum berada di rumah.
“Pak Mamad, mengapa Budi belum dijemput? Sekarang sudah lewat waktu jemputan.” tegur Ibuku kepada pak Mamad.
“Pasang ban Truk ini masih belum selesai dan malam ini truk akan berangkat ke Jakarta, Bu.” Jawab Pak Mamad.
“Iya sekarang saya, akan jemput Budi di sekolah.”
Aku menggerutu selama waktu yang ditempuh sepeda Pak Mamad menuju SD-ku. Apa jadinya nanti bila aku benar-benar tidak dijemput?

“Sudah jangan menangis lagi, Bud. Saya lupa menjemput. Mari kita pulang.” bujuk Pak Mamad kepadaku.
Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali, tetapi kali yang kedua dan seterusnya aku tidak menangis lagi. Aku sudah menghafalkan route jalan dari SD ke rumahku dan sebaliknya. Bila jemputan terlambat lagi aku akan pulang jalan kaki saja. Aku malu diledek tukang nangis oleh Pak Mamad. Saat itu ia tidak menyangka bahwa anak tukang nangis ini kelak menjadi seorang Dokter dan dimasa tuanya anak ini bisa mengobati penyakit tuanya.

-----

Waktu berjalan dengan cepat, aku lulus menjadi Dokter, menikah dan mempunyai 1 orang putra dan 1 orang putri. Sejak April 2000 aku sudah pensiun dari Departemen Kesehatan R.I. Umurku sudah 61 tahun, putra kami sudah lulus juga sebagai Dokter Umum dan sujah bekerja selama 3 tahun di salah satu Rumah Sakit di kota Sydney. Adiknya juga sudah menyelesaikan study S1 dan S2 nya pada tahun 2007 dan sudah bekerja sejak 6 bulan yang lalu di salah satu pabrik pengolahan susu di kota Sydney. Aku merasa sudah S2 ( Sudah Sepuh ). Sudah waktunya alih generasi.

Bila bertemu dengan Pak Mamad, saya bersyukur bahwa ia masih diberi umur yang panjang, sepanjang umur Ibuku saat ini, 81 tahun. Mereka diberi umur yang panjang. Sayang ayahku sudah dipanggil Tuhan 16 tahun yang lalu akibat serangan Stroke. Ayahku tidak bisa lagi ngobrol dengan Pak Mamad montir pamanku. Hari-hari tertentu atau menjelang Hari Raya Idul Fitri, Pak Mamad mampir ke tempatku hanya untuk ngobrol-ngobrol atau berkonsultasi tentang kesehatannya. Tak lupa saya memberikan uang transport yang ia terima dengan senang hati. Lumayan katanya untuk beli beras, teh kesukaannya dan makanan burung Perkututnya.

Kring…….aku terkejut mendengar bel pintu Ruang Periksa ditekan oleh pasien berikutnya.-

Perokok berat


26 Juni 2008.

Beberapa bulan yang lalu saya kedatangan pasien, Pak A, 64 tahun. Ia diantar isterinya berobat kepada saya.

Pak A mengatakan bahwa ia ingin berobat dengan keluhan utama batuk-batuk sejak 1 minggu yang lalu. Isterinya Ibu A mengeluh bahwa selama suaminya sakit batuk-batuk, ia sukar tidur.
Saya bertanaya kepada Ibu A “ Mengapa Ibu sukar tidur, padahal yang sakit suami Ibu?”
Ibu A menjawab “Begini, Dok. Kalau suami saya batuk, terutama malam hari ketika kami tidur, maka ranjang kami ( tempat tidur yang terbuat dari besi, model lama ) bergoyang-goyang. Goyangan itu yang membuat saya terbangun dari tidur dan sukar tidur kembali.”
“Sudah berapa lama, Ibu sukar tidur?”
“Sejak 3 minggu yang lalu, Dok.”
Jadi saya tahu bahwa Pak A batuk-batuk bukan sejak 1 minggu yang lalu tetapi sejak minimal 3 minggu yang lalu.

Saya memeriksa fisik Pak A, mulai dari mengukur tekanan darah, memeriksa bunyi Jantung dan Paru-paru. Ternyata bunyi pernafasannya tidak normal. Terdengar bunyi yang khas untuk Bronchitis. Saya mencium bau nafasnya yang khas perokok.

Saya bertanya kepada Pak A “ Apakah Bapak merokok?”
“Benar, Dok.”
“Berapa banyak Bapak merokok?”
“Tiga, Dok”
“Tiga apa? Tiga batang atau tiga bungkus?”
“Tiga bungkus per hari”
“Wah, Bapak mesti berhenti merokok, kalau Bapak ingin sembuh dari batuk-batuk”
“Tidak bisa berhenti, Dok.”
“Kalau tidak mau berhenti merokok, percuma minum obat selama bapak merokok terus. Lebih baik berhenti merokok.”
‘Percuma, Dok.”
“Mengapa percuma?”
“Saya sudah terbiasa merokok”
“Kalau begitu lebih baik Bapak pulang saja, tidak usah saya beri obat lagi.”
“Lho, saya kan datang kesini mau berobat agar batuk-batuk saya sembuh”
“Percuma diberi obat sebakul juga, kalau Bapak tetap merokok, maka batuk-batuk Bapak tidak akan sembuh” kata saya sambil guyon.

Saya melanjutkan “Tadi Bapak berkata percuma berhenti merokok, kenapa?”
“Percuma, sebab merokok atau tidak merokok orang akan mati juga”

Glek..saya terkejut mendengar ucapan pasien saya itu.
Lalu saya menjawab “Iya betul, semua orang akhirnya akan mati juga, tetapi Bapak akan mati duluan” sambil guyon.
Tampak wajah Pak A menjadi sedih.

Setelah dipersilahkan duduk, saya berkata kepada Pak A dan Ibu A “ Kalau harga 1 bungkus rokok Rp. 6.000,-, maka 3 bungkus adalah Rp. 18.000,-. Dengan uang sebanyak Rp. 18.000,-, saya dapat membeli 1 Kg Beras, 1 Kg Telur Ayam dan 1 Liter Susu sapi setiap hari. Kalau semuanya saya berikan kepada Ibu, apakah Ibu mau?”
Ibu A langsung menjawab “Mau, Dok. Dari pada uang itu diberikan kepada suami saya dan dibakar setiap hari”
“Nah Pak, apakah Bapak mulai saat ini mau berhenti merokok?”
Pak A menjawab “Iya sudah Dok, saya mau berhenti merokok”
Ibu A berkomentar “Pak, jangan bilang mau berhenti merokok di depan Pak Dokter saja, nanti sepulang dari sini Bapak merokok lagi. Betul ya berhenti merokok, agar Bapak cepat sembuh dan saya dapat tidur lagi.”
Saya tersenyum dan ingat ada ranjang yang bergoyang-goyang ketika Pak A batuk-batuk dimalam hari.

Dari kisah singkat itu saya menjadi terharu, tidak mudah untuk memotivasi seseorang agar berhenti merokok. Sore itu minimal saya sudah berupaya untuk membujuk Pak A agar mau berhenti merokok demi kesehatannya dan demi isteri tercinta agar mereka dapat hidup lebih lama dalam kondisi sehat, sampai dipanggil Tuhan suatu saat kelak.-