Senin, September 15, 2008

Shok anafilaktik


Bagi Teman Sejawat Dokter atau Dokter Gigi tentu pernah mendengar istilah Shok anafilakstik, yaitu shok yang terjadi setelah minum atau disuntik sesuatu obat yang pasien alergi terhadapnya.

Kejadian ini sangat menakutkan. Bagaimana tidak kalau seorang pasien yang datang berobat dengan berjalan kaki, kemudian pulang diangkat oleh beberapa orang karena shok atau sudah meninggal dunia. Kejadian ini frekwensinya kecil, mungkin hanya nol sekian persen, tetapi kalau ini menimpa diri kita maka itu berarti 100 % bagi kita.

Sebagai Dokter yang kadang-kadang atau sering menyuntik pasien, harus menyiapkan diri untuk menghadap kejadian diatas. Sebuah artikel yang saya baca di Internet mengatakan bahwa bila seorang dokter di USA akan menyuntik pasiennya, maka di atas meja harus sudah tersedia Antidotum berupa larutan Adrenalin dalam Spuit injeksi yang siap disuntikkan kepada pasien bila terjadi Anafilaktik shok. Shok ini dapat terjadi dalam bilangan detik atau menit, kadang jarum suntik belum sempat dicabut pasien sudah shok. Kejadiannya begitu cepat. Jadi tindakan pertolongannya juga harus cepat. Kita berpacu melawan waktu. Terlambat sekian detik / menit pasien tidak tertolong lagi.

Saya sudah mengalami kejadian ini sebanyak 4 kali.
Tahun 1982 ketika saya bertugas di salah satu Puskesmas di Kabupaten Cirebon, seorang perawat yang membantu saya ketika memeriksa pasein dan menyuntik seorang pasien laki-laki, 25 tahun dengan Tetrasiklin ( yang banyak dalam logistik Puskesmas ). Pasien mengalami Shok anafilaktik. Muka pasien pucat, nadi nyaris tidak ada, tekanan darah tidak terukur. Setelah dilapori, saya segera mengambil ampul Adrenalin dan spuit injeksi yang baru dan segera menyuntik kan kepada pasien sebanyak 0,3 cc. Tiap menit tekanan darah dimonitoring, diukur berulang-ulang setiap menit. Setelah 3 menit pasien mulai sadar, tekanan darah sudah mencapai 90/60. Ada kemajuan. Efek suntikan Adrenalin dramatis sekali, begitu cepat efeknya merangsang Jantung berdenyut kembali. Segera dibuatkan air Teh manis. 5 menit kemudian tekanan darah sudah stabil mencapai 120/80. Pasien diberi minum air Teh manis dengan sedotan. Ketika ia sudah dapat menelan ( reflex menelan sudah berfungsi baik ) air The dengan baik, maka kami bernafas lega. “Terima kasih Tuhan.”

Saya selalu mengingat sebuah Pedoman Penatalaksanaan Shok anafilaktik dari Prof. Dr.Iwan Darmansjah, Fak. Kedokteran Univ. Indonesia yang sangat berguna dalam keadaan gawat darurat Shok anafilaktik. Tahun lalu ketika tempat praktek saya disurvei oleh Staf dari Bagian Perijinan Praktek DKK Cirebon, saya ditanya apakah sudah tersedia Pedoman Penalaksaan Shok anafilaktik? Saya jawab “Sudah. Saya gantungkan di tembok diatas bed pasien.” Sambil menunjuk sebuah Pigura yang berisi Pedoman tadi.

Di Kartu Pasien segera diberi catatan bahwa pasien alergi dengan Tetrasiklin. Jadi jangan sekali-kali lagi memberikan antibiotika itu kepadanya. Setelah keadaan pasien baik dan tidak pusing, saya minta bantuan seorang Staf agar mengantar pulang ke desa tetangga dengan naik becak atas tanggungan Puskesmas.

Kejadian Shok anafilaktik yang lain, juga terjadi ketika:
Saya di tempat praktek menyuntik larutan Hidrokortison untuk pasien Urtikaria ( biduren ) akibat makan / alergi Udang.
Perawat di Puskesmas menyuntik larutan Vitamin B kompleks kepada pasien.
Teman Sejawat Dokter Gigi di Puskesmas tempat kami bertugas di salah satu Puskesmas di Kota Cirebon, suntikan larutan lokal anestesi Procain 2 % menyebabkan pasien mengalami Shok anafilaktik, Wajah pasien pucat, tidak dapat membuka mulut ketika hendak dicabut giginya, nadi nol, tensi tidak terukur.

Beruntung kami dapat mengatasi semuanya dengan tindakan yang cepat dengan menyuntikkan larutan Adrenalin 0,3 cc secara intra muskular ( ke dalam otot bokong ) di sebelah tempat suntikan sebelumnya.

Semua obat yang disuntikkan dapat berpotensi menyebabakan Shok anafilaktik dengan frekwensi yang berbeda-beda setiap obat dan setiap pasien. Bila pasien mempunyai riwayat keluarga yang alergi sesuatu atau ada penyakit Ashma bronchiale maka kita harus lebih hati-hati lagi.

Seorang Teman sejawat pernah bercerita bahwa ia pernah satu kali menyuntik Obat KB yang dilakukan setiap 3 bulan, dan ibu akseptor KB ini mengalami Shok anafilaktik pada suntikan KB pertama kalinya. T.S. ini mengatasinya dengan menyuntikan Adrenalin 0,3 cc dan pasien tertolong. Sejak itu T.S. ini tidak menyuntik pasiennya kecuali suntikan KB yang mau tidak mau memang harus disuntikkan ke dalam otot bokongnya.

Sangat dianjurkan kita selalu menyediakan Adrenalin ampul dan injeksi spuit 2 cc di atas meja tempat alat-alat kerja, ketika kita memeriksa dan menyuntik pasien.-

Pemberian tidak ikhlas


Sehari menjelang hari H, syukuran Pernikahan putra kami pada bulan Juni 2008, datang seorang relasi kami, Pak A ke rumah kami. Pak A ini mengirimkan sebuah bingkisan berupa 1 Ember warna hitam yang berisi tiga perempat penuh Tape Ketan.

Tape ketan yang manis ini enak dimakan pada siang hari setelah makan siang. Dalam waktu beberapa hari habislah Tape itu. Ember plastik hitam kapasitas 5 liter itu saya simpan di bawah meja dapur.

Sebulan kemudian Pak A datang ke rumah kami dan bermaksud ingin mengambil kembali Ember, tempat bingkisan Tape ketan. Saya tidak menyangka kalau Pak A ini akan mengambil kembali Ember yang sudah diberikan kepada kami.

Saya bertanya “ Pak, untuk apa ember itu? kan sudah diberikan kepada kami”.

Pak A menjawab “ Maaf, Dok. Ember itu saya pinjam dari tetangga.”

Glek. Saya membatin “Saya kira parsel itu diberikan kepada kami lengkap dengan embernya, ternyata hanya isinya saja yang diberikan.” Di daerah kami kalau membeli Tape ketan lengkap dengan wadah yang berupa sebuah Ember warna hitam. Jadi kalau ingin memberikannya kepada orang lain sebagai oleh-oleh, praktis dengan wadahnya itu. Kalau wadahnya diminta kembali? Wah…saya dianggap sebagai orang yang Cumi, Cuma minjam aja. Ya udah lah mau apa lagi.

Saya berkata kepada Pak A “Ini Pak embernya. Makasih ya Tapenya.”

Pak A pamit kepada saya dan balik kanan pulang.

Hari itu pengalaman hidup saya bertambah satu lagi. Saya dianggap orang yang Cumi. Saya tidak menceritakan kejadian ini kepada isteri saya, khawatir kalau saya dianggap benar-benar orang yang cumi, padahal kalau mau saya masih mampu membeli 10 buah Ember hitam itu di pasar tradisionil.-

Sabtu, September 13, 2008

Pasfoto pasien


Hobi Fotografi ayahku menurun kepadaku. Sejak duduk di SMA tahun 1964 aku gemar memotret dengan kamera pinjaman ayahku.

Membuat dan memelihara Catatan medis ( medical record ) pasien yang berjumlah ribuan dalam waktu puluhan tahun dirasa merupakan pekerjaan yang berat, apalagi kalau sang asisten tidak datang. Kartu pasien harus diambil dan dikembalikan ke rak Medrec yang banyak mengambil waktu.

10 tahun yg lalu saya menggunakan Medrec dengan operating sytem DOS. Dalam kurun waktu 8 tahun akhirnya Medrec itu tidak dapat digunakan lagi oleh karena sering Hang ketika menyimpan data. Sang programer yang saya minta untuk memperbaikinya, tidak kunjung datang ke rumahku. Akhirnya aku googling di Internet untuk mencari atau membeli software Medrec yang baru.

Saya menemukan software Medrec SIDP ver 1.3 produksi seorang prgramer yang baik hati (
www.kunang.com ) yang berdomisii di Yogyakarta. SIDP ini akan bekerja dalam lingkungan OS Windows dan aku mengunakan OS Windows XP SP2. Perkembangan software cukup pesat dan versi berubah menjadi SIDP v2.1. Versi baru ini menuntut Hardware yang lebih baik sehingga aku membeli sebuah Laptop Acer Pentium 4 yang berfasilitas Bluetooth.

Dalam versi ini ada fasilitas untuk menampung Foto-foto ( Rontgen atau wajah pasien atau kelainan anggota tubuh pasien ). Mau tidak mau maka saya juga harus mempunyai sebuah Camera yang selama ini saya pergunakan. Wajah pasien yang diambil dengan Digital camera Nikon Coolpix 7900 ( 7 megapixel ) dan kabel data USB memungkinkan foto digital pasien dapat berpindah dari Camera ke Laptop.

Dari pada cabut pasang kabel USB di laptop dan Nikon 7900, maka saya menggunakan sebuah Handphone yang mempunyai fasilitas Camera 1,3 megapixel dan Bluetooth untuk menggantikan tugas Nikon 7900. Pasfoto yang diset 240 x 340 cukuplah untuk membuat sebuah wajah pasfoto pasien. BT sangat membantu pekerjaanku. BT di laptop dan HP diaktipkan maka dalam 2 detik digital file dari HP akan pindah ke laptop.

Saat ini Medrec pasienku dilengkapi dengan sebuah pasfoto yang dapat ditampilkan ketika aku membuka Medrec seorang pasien. Jadi pasien bernama: Siti Fatimah, Siti Muhidin, Siti Rositi dll Siti akan menampilkan wajah yang berbeda. Aku tidak bingung lagi kalau membaca Medrec pasien yang bernama Siti Muhidin itu yang mana ya, sebab sekarang akan ditampilan wajahnya.

Kalau ada pasien yang mempunyai penyakit TBC paru, maka Foto Rontgen pasien tsb dapat aku foto dengan HP dan akan berpindah file digitalnya di dalam Medrec pasien tsb. Jadi ada 2 Foto yaitu Foto wajahnya dan Foto Rontgennya.

Dengan menggunakan Medrec SIDP ver 2.1 ini aku dapat mempunyai data pasien lebih baik dari pada versi sebelumnya.

Bulan demi bulan aku rajin mengambil Pasfoto pasien sebelum pasien diperiksa, tentu saja dengan persetujuan sang pasien. Asik juga.

Reaksi pasien ketika mendengar bahwa aku akan mengambil pasfotonya ada bermacam-macam. Ada yang gembira, ada yang merengut dan ada yang tidak mau difoto. Setelah saya jelaskan bahwa Foto itu hanya akan ad di Laptopku bukan akan disebarluaskan, maka pasien akhirnya setuju. Bagi yang tidak setuju umumnya kaum wanita alasannya rambutnya kusutlah , wahjahnya belum di make up -ah dll. Orang sakit mana sempat bersolek bukan dan mereka tidak menyangka wajahnya akan difoto. Tentu saja antara dokter dan pasien ada rahasia jabatan yang mesti dipergang teguh oleh pasiennya. Data pasien tidak boleh diketahui oleh pihak ketiga meskipun itu adalah suami / isteri pasien sendiri, tanpa persetujuan dari sang pasien. Foto yang tampak di LCD HP selalu saya perlihatkan kepada pasien bahwa benar saya membuat Foto sesungguhnya dan bukan Foto bohongan.

Bila pasien mempunyai kelainan Kulit, misalnya Herpes simplex atau Herpes zoster atau penyakit kulit lainnya maka perkembangan penyakitnya dapat di bandingkan antara Foto pada kunjungan pertama dan Foto pada ketika pasien kontrol seminggu kemudian.

Penggunaan Laptop di Ruang Praktek Dokter saat ini sudah merupakan hal yang biasa. Aku sering berpikir kalau si Unyil di siaran TV dan Tukul Arwana di TV juga sudah lama menggunakan sebuah Laptop, lalu mengapa seorang Dokter masih belum menggunakan Laptop untuk merekam Medical Records pasien-pasiennya? Mau tidak mau sang Dsokter juga harus tidak gaptek lagi. Anda setuju bukan?

Dokter diomelin pasien


13 September 2008.

Kemarin sore datang berobat seorang laki-laki usia 67 tahun. Pak Beni ( bukan nama sebenarnya ) semingu yang lalu mempunyai keluhan nyeri pada pinggang sebelah kanan dan pada permukaan kulit timbul bintil2 berisi cairan yang bergerombol ( herpes ) yang terasa nyeri sejak 3 hari yg lalu. Setelah dilakukan pemeriksaan, saya menegakkan Diagnosa penyakit Pak B sebagai Herpes zoster thoracalis posterior dextra. Herpes zoster pada pinggang sebelah belakang kanan. Tampak bahwa Pak B ini tergolong Goleklem ( golongan ekonomi lemah ).

Sambil menyerahkan resep untuk membeli obat ( berupa tablet, kapsul dan krim kulit ) golongan generik saya berkata bahwa setelah sembuh dari herpes ini, anda kemungkinan masih akan merasa nyeri yang bisa sampai 3 bulan yaitu sebagai: post herpetic neuralgia ( rasa nyeri setelah terserang herpes zoster ). Pak B bertanya apakah penyakitnya bisa sembuh? Saya jawab bisa kalau obatnya diminum sesuai aturan pakai. Minggu depan boleh datang untuk kontrol ulang penyakitnya.

Sekitar 10 hari kemudian Pak B ini datang kembali. Di dalam Ruang periksa Pak B ini ngomel –ngomel.
Dengan wajah yang masam Pak B berkata “Bagaimana ini dokter, kok obatnya tidak ada apa-apanya. Saya merasa masih sakit.”

Saya balik bertanya “ Pak B, apa yang dimaksud tidak ada apa-apanya?”

Pak B ngomel lagi “Saya sudah beli obat setengah resep, tapi saya merasa masih sakit. Bintil-bintilnya sih sudah baikan, tapi ini nih sakitnya tidak berkurang. Obat dokter tidak ada apa-apanya.”

Setelah melihat kulit pinggang Pak B itu hampir mulus dan tidak tampak bintil-bintik ( herpes ). Ada banyak perbaikan penyakitnya, meskipun secara subjektip pasien masih merasa nyeri post herpetic sesuai dengan apa yanag saya katakan minggu sebelumnya kepada sang pasien. Hanya pasien yang tidak memperhatikan perkataan saya itu.

Saya berkata kepada Pak B “ Pak, kalau beli obat setengah resep, maka penyakitnya juga setengah sembuh.” Padahal harga obat generik yang saya resepkan itu tidak akan melebihi dari Rp. 20.000,- Mungkin sekali karena uangnya tidak cukup Pak B membeli setengah dari juulah yang saya resepkan.

Dalam menghadapi pasien yang banyak ngomel, biasanya ada maunya yaitu minta digratiskan biaya berobat. Saya sudah paham betul trik seperti ini selama 28 tahun buka praktek umum.

Sambil menyerahkan resep obat generik lagi kepada Pak B, saya berkata “ Ini Pak, resp tambahan obatnya agar rasa nyerinya berkurang. Bapak tidak usah bayar lagi.”

Mendengar perkataan saya ini, wajah Pak B tampak cerah. Beda dengan wajah yang masam ketika ia masuk ruang periksa. Ada kesan beban dipundaknya hilang.

Sambil tersenyum saya persilahkan Pak B keluar dari ruang periksa.
Dengan wajah yang ramah Pak B mohon pamit kepada saya. Hari itu pengalaman saya bertambah satu lagi. Kalau sudah ngomel-ngomel begitu pasti ada maunya. Ya masih manusiawi juga. Saya tersenyum.

Jumat, September 12, 2008

Dokter dapat Pisang


12 September 2008.
Pagi ini saya diantar supir naik minibus Kijang tua milik Gereja. Setiap hari Jum’at pukul 10.00 – 12.00 saya melakukan pemeriksaan kesehatan warga Panti Wreda Kasih milik Gereja kami. Sejak bertahun–tahun saya melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat nonprofit. Saya menyempatkan diri untuk datang ke Panti ini dan bertemu dengan warga Panti beserta Ibu Panti dan staf.

Di Panti ini saya mendapat pengalaman hidup dalam menghadapi pasien-pasien usia lanjut. Usia mereka berkisar antara 60 – 84 tahun. Gangguan kesehatan usila biasanya: darah tinggi, gangguan sendi, mata katarak, gangguan pendengaran, dll.

Setelah isterinya meninggal dunia akibat usia lanjut sekitar 3 bulan yang lalu di Panti ini juga, maka Pak Salam ( bukan nama sebenarnya ) tampak lebih segar. Pak S ini mempunyai hobi mengurus kebun. Disamping banguan Panti Wreda ini ada sebidang tanah kosong yang akn dibangun sebuah Gedung lain. Tanah kosong ini oleh Pak S ditanami bermacam-macam pohon seperti: singkong, jagung, pisang dll. Hasil panennya dikonsumsi oleh warga Panti juga.

Biasanya ketika saya datang ke Panti, Pak S ini masih sibuk di kebunnya. Pak S ini biasa diperiksa kesehatannya setelah pasien-pasien lain selesai diperiksa. Di usia 84 tahun kesehatan Pak S ini masih cukup baik, tidak memerlukan obat khusus, Biasanya saya memberikan resep multivitamin yang di ambil di sebuah Apotik langganan Panti ini.

Ketika saya selesai memeriksa kesehatan warga Panti, Pak S mengatakan bahwa ia telah memanen pohon Pisang di kebunnya. Satu tandan Pisang terlalu banyak untuk dikonsumsi oleh warga Panti yang berjumlah sekitar 12 orang. Pak S spesial memberi 2 sisir Pisang yang masih mengakal ( belum matang betul ) dan menitipkan kepada Supir.

Saya mengucapkan terima kasih kepada pada S. Pak S menimpali bahwa Pisang ini akan matang dalam 2 hari kemudian.

Harganya tidak seberapa tetapi saya sangat menghargai upaya Pak S ini yang sudah bersusah payah memelihara kebunnya dan sebagian hasil panennya diberikan kepada Dokternya. Tindakan Pak S merupakan penjabaran dari ucapan terima kasih kepada saya yang selama bertahun-tahun telah memeriksa Pak S dan isterinya semasa hidupnya. Saya terharu sekali.

Setiba di rumah, saya berkata kepada isteri saya bahwa saya mendapat 2 sisir Pisang dari Panti Wreda, hasil panen kebun yang dirawat oleh Pak S.

Besok lusa kami tidak usah membeli Pisang di pasar karena persediaan Pisang cukup banyak. Kami menyukai Pisang sebagai buah-buahan yang selain mengandung Karbo hidrat, serat nabati juga merupakan sumber mineral Kalium yang menjaga tonus otot-otot kita, agar otot tidak menjadi lemas.

Kamis, September 11, 2008

Jual Alkitab


11 September 2008.
Seminggu yang lalu kisah ini terjadi. Pagi itu ketika saya berada di halaman rumah, berhentilah sebuah becak yang megantarkan seorang laki-laki usia 65 tahun. Ternyata ia pasien saya yang bernama Pak Herman ( bukan nama sebenarnya ). Ia mengaku orang miskin tetapi kalau datang ke rumah saya selalu naik becak, mengapa tidak jalan kaki saja.

Saya bertanya “Ada apa Pak Herman? Mari masuk”.
Kami memasuki ruang tunggu dan duduk berhadapan.
Pak Herman berkata “ Dok, kemarin ada seorang pendeta yang datang ke rumah saya.”
Saya bertanya “Ada masalah apa Pak?”
“Tidak ada masalah apa-apa, pendeta itu hanya datang membesuk saya. Lalu ia memberikan sebuah buku. Dokter mau membayar berapa?”
Saya terkejut. Buku itu adalah sebuah Alkitab yang masih baru lengkap dengan kover berruisleting dan di dalamnya terdapat 2 buah Foto sebagai pembatas buku.
Saya berkata “ Pak Herman itu adalah Alkitab ( Bible ) yang berisi Firman Tuhan, mengapa mau dijual?”
Pak Herman menjawab dengan enteng “ Saya tidak membutuhkan buku ini. Saya butuh uang untuk keperluan saya.”

Saya berpikir mengapa ada orang yang dikunjungi oleh seorang pendeta yang sudah mau datang kepadanya dan memberikan sebuah Alkitab untuk dibaca, tetapi ia mau menjualnya? Bukankah manusia tidak hidup hanya dari Roti saja tetapi juga dari Firman Tuhan?

Setelah diam sejenak, saya berkata kepada Pak Herman “ Pak Herman Saya tidak mau membeli Alkitab itu, sebab saya sudah mempunyai 3 Alkitab. Lebih baik Alkitab ini disimpan saja, apalagi ini adalah pemberian seorang pendeta yang spesial datang ke rumah Pak Herman. Hargailah pemberian ini dengan menyimpan dan membacanya baik-baik.

Pak Herman menjawab “Saya butuh uang, jadi lebih baik buku ini saya jadikan uang saja.”

Semula saya akan membantu Pak Herman, tetapi hati saya tidak tega sebagai orang yang menampung penjualan Alkitab itu. Saya tidak sampai hati. Bukankah lebih baik kalau ia menjual bajunya saja yang sudah tidak dipakai.

Mendengar bahwa saya tidak mau membeli Alkitab itu, Pak Herman bertanya kembali “Dok, dimana ada Toko Buku yang mau membeli Buku ini?”

Saya menjawab “Saya tidak tahu. Mungkin Toko Buku tidak mau membeli Alkitab yang hanya sebuah saja. Silahkan coba datangi Toko A ( saya sebutkan sebuah toko buku di kota saya ), mungkin mau membelinya.”

Pak Herman pamit dari rumah saya dan ia pergi dengan naik becak yang sejak tadi menunggu di depan rumah saya.

Saya membatin “Ya Tuhan, kok ada ya orang yang mau menjual Alkitab yang baru sehari diterimanya dari seorang hamba Tuhan?”