
Tanggal Sept 22, - Oct. 10, 2009 saya dan isteri akan pergi ke
Kali yang ke 5 kali sejak Jan 2000, Des 2005, Apr 2007, dan Des 2007.
Kami akan berkunjung ke tempat putra/putri kami. Kalau masih sempat saya akan akses Internet di
See you later.
Tanggal Sept 22, - Oct. 10, 2009 saya dan isteri akan pergi ke
Kali yang ke 5 kali sejak Jan 2000, Des 2005, Apr 2007, dan Des 2007.
Kami akan berkunjung ke tempat putra/putri kami. Kalau masih sempat saya akan akses Internet di
See you later.
Tahun 1980-an, program KB merupakan program Kesehatan di Puskesmas yang paling ngetop.
Target program KB yang cukup tinggi kadang sulit dicapai pada daerah-daerah tertentu dalam wilayah kerja ( kecamatan ) tiap Puskesmas.
Pasangan Bapak dan Ibu Madi ( bukan nama sebenarnya ) mempunyai 4 orang anak ( 8, 6, 4 dan 2 tahun ). Bapak dan Ibu M jelas merupakan target KB di Puskesmas kami. Motivasi yang dilakukan petugas KB akhirnya membuahkan hasil. Ibu M mengikuti KB dengna cara suntik 3 bulan sekali.
3 bulan berlalu dan awal bulan ke 4 Bpk dan Ibu M membawa putra yang umur 4 dan 2 tahun ke Puskesmas. Bpk. M marah-marah kepada petugas di loket pendaftaran pasien.
Bpk M bicara dengan suara cukup keras “Mana Dokternya? Isteri saya ikut KB, tapi anak-anak kami bukannya menjadi sehat tetapi malah sakit Muntaber. Saya tidak terima!”
Pasien-pasien di ruang tunggu Puskesmas menghindar, khawatir terjadi keributan.
Mendengar suara gaduh, saya minta kepada seorang petugas, agar Bpk dan Ibu M segera masuk ke ruang pemeriksaan, dimana saya bekerja.
Saya bertanya kepada Bpk dan Ibu M “Met pagi, Bapak dan Ibu. Bisa saya Bantu?”
Pak M berkat dengan nada masih sewot “Dok, program KB
”Betul sekali, Pak” kata saya.
“3 bulan yang lalu isteri saya disuntik KB, tapi tadi pagi kedua putra kami sakit Muntaber.
Saya akhirnya paham duduk persoalnnya.
Masih dengan sabar, saya lalu bertanya “Pak, yang ikut KB siapa dan yang sakit Muntaber siapa? Sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara keikutsertaan KB isteri Bapak dengan sakitnya kedua putra Bapak. Ibu yang disuntik atau tidak disuntik KB, bisa saja anak-anaknya sakit Muntaber.”
Pak M masih belum mau menerima argumentasi saya.
“Kalau iteri saya tidak disuntik KB, mungkin kedua anak saya tidak Muntaber” kata Pak M.
Ya Tuhan, kok menyalahkan KB sih. Saya pakai pemecahan masalah yang win-win solution sajalah.
Selanjutnya saya berkata kepada Pak & Ibu M “Baiklah, saya mengerti masalah Bapak dan Ibu. Kedua putra Bapak kami periksa dan diberi obat. Tidak usah bayar alias gratis untuk kali ini”
Mendengar “gratis”, wajah Pak M menjadi cerah, secerah matahari siang itu di daerah Pantura ( Pantai Utara ) P. Jawa. Pak M tidak marah-marah lagi.
---
Ikut suntik KB alasannya dipaksa-paksa petugas. Jadi kalau keluarganya sakit, pak M seolah-olah menuntut diberi pelayanan kesehatan kalau bisa ya gratis gitu.
Beruntung pikiran saya masih jernih sehingga menemukan solusi terbaik. Win-win solution.
Masih ada beberapa kisah “lucu” seputar program KB yang saat ini sudah longgar, kurang mendapat perhatian lagi. Rupanya sudah tergeser dengan masalah: HIV/AIDS, Narkoba, Flu Burung, Flu Babi dll.
---
Pesan moral:
1. Untuk berbuat kebaikan, kadang-kadang masih sulit dilakukan.
2. Mencari kesalahan orang lain mudah dilakukan, tetapi mencatat kebaikannya sering kali sulit dilakukan.
Acara buka puasa bersama menjelang Hari Raya Idul Fitri setiap tahun diadakan. Hidangan yang dipesan beberapa hari sebelumnya terdiri dari makanan Sunda seperti: Nasi putih pulen, Ikan bakar, Ikan goreng, Sop Jamur Kuping, Udang ca saos tirem,
Tepat pukul 18.00 seluruh undangan hadir, duduk sila ( lesehan ) menjadikan suasana menjadi lebih santai. Bagi yang sudah berumur diatas 50 tahun, duduk sila membuat tungkai menjadi sesemutan dan sukar bangun kembali setelah santap malam. Dalam waktu singkat hidangan habis disantap oleh para undangan. Bagi yang puasa maka acara buka puasa merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Kami gembira semua habis disantap.
Bagi saya pribadi acara buka puasa sangat berarti dalam hidup kami. Sebenarnya bukan enaknya hidangan yang tersedia itu membuat terasa nyaman, tetapi siapa teman makan kita saat itu. Kalau makan bersama dengan orang-orang yang dekat dengan kita atau staf kantor yang selalu sibuk dalam jam kerja, maka makan bersama merupakan suatu kenyamanan yang sukar didapat. Tidak ada atasan dan bawahan, semua sama duduk lesehan. Kapan lagi bukan? Saat-saat itulah yang sangat menggembirakan seluruh Staf Kantor dimana isteri saya bekerja. Semua tersenyum, tertawa atau ditertawakan orang lain, guyonan silih berganti sambil menikmati hidangan yang tersedia.
Saya bertanya dengan guyon kepada salah satu Staf “Mengapa orang tidak bosan makan, tetapi kalau bekerja cepat bosan?”
Ia menjawab “Makan itu suatu kebutuhan hidup sih, Dok.”
Saya balik bertanya “Kalau bekerja?”
“He..he…kalau bekerja sering angin-anginan ya, Dok?” ia menjawab sekenanya.
Ha…ha… kami tertawa terbahak-bahak. Anda tahu sendirilah maksudnya. Itu hanya suatu guyonan belaka.
Sore sudah menjadi malam dan tibalah waktunya kami pulang ke rumah masing-masing. Idul Fitri masih 8 hari lagi, 21 - 22 September 2009.
"Mohon Maaf Lahir dan Batin."-
Kemarin pagi teman lama saya datang ke tempat saya.
Teman saya Hasan ( bukan nama sebenarnya ), 61 tahun ini mengeluh ada batuk, flu sejak 1 minggu yang masih belum sembuh juga meskipun sudah minum obat anti Flu yang dapat dibeli bebas di Apotik.
2 tahun terakhir, beberapa kali Hasan datang berobat kepada saya. Seperti biasa saya tidak menarik doctor fee, maklum teman lama. ( katanya itulah enaknya punya teman seorang dokter, bisa dapat gratisan ).
Teman saya Hasan ini selalu berkata “Bas, enak ya jadi dokter.”
“Enaknya apa sih?” jawab saya.
“Duit datang sendiri.” Begitu argumentasinya.
Lalu saya menjawab “Ya, ialah duit datang sendiri, kecuali kalau saya jadi Tukang Kredit yang harus menjemput uang di rumah orang-orang yang hutang kepada saya. Kamu yang jadi pedagang
Saya berkata kepada Hasan “San, mengapa kamu selalu bilang kepada saya kalau jadi dokter itu enak?”
“Yaitu duit datang sendiri enaknya.”
“San, jadi dokter itu sebenarnya tidak mudah seperti jadi pedagang seperti Kamu. Punya duit sekian ratus ribu sudah bisa jualan. Kalau dokter harus sekolah bertahun-tahun, biayanya lebih dari ratusan ribu rupiah, harus punya Ijin Praktik, bayar Pajak Penghasilan dll urusan yang harus dipenuhi,” kata saya.
Hasan sepertinya mempunyai kecemburuan sosial terhadap temannya yang bisa jadi dokter dan berkata lagi “Ah…jadi Pedagang juga bisa rugi dan jualan bisa tidak laku. Kalau dokter
Saya terpancing juga emosinya dan saya mengeluarkan kartu As dan berkata “San, kalau jadi dokter itu enak, mengapa kamu tidak jadi dokter saja?”
Gleg….sehak seter nih. Hasan terhenyak juga mendengar ucapan saya itu.
Merasa dirinya tidak mampu jadi dokter, lalu dengan lemes Hasan berkata “Itulah Bas, orang tuaku tidak banyak duit untuk menyekolahkan saya jadi dokter. Akhirnya jadi pedagang seperti sekarang.”
"Jadi Pedagang juga enak, San.” kata saya
“Apa enaknya?” kata Hasan.
“Kalau punya teman dokter, bila sakit
Hasan tergelak ha…ha…ha…. “Iya betul juga. Akhirnya enak jadi pedagang yang punya teman dokter.”
“Dasar kamu orang pelit ni ye” kata saya, sambil membukakan pintu keluar ruang periksa.
---
Posting kali ini berkisar pelayanan saya di Panti Sosial Tresna Wreda “Kasih”,
Bagi Anda, para Blogger yang kebetulan membaca posting ini, saya berharap agar Anda tidak bosan membacanya.
---
Pagi ini Jumat 11 September 2009, seperti biasa saya melakukan pemeriksaan kesehatan para warga Panti.
Selain menderita BPH, Opa S juga menderita Tuli total secara bertahap yang diakibatkan oleh adanya CO ( Cerumen obturan ) dupleks, Telinga kiri dan kanan. Setelah mendapatkan tetes telinga untuk melunakan dan mengeluarkan ( yang tidak berhasil ) kotoran telinga yang menyumbat, saya rujuk ke Bagian THT RSUD GJ. Pagi itu tuntas sudah keluhan tuli totalnya. Saat ini Opa S sudah dapat mendengar suara siaran TV dan lagu puji-pujian ketika mengikuti kebaktian di Gereja kami.
Pagi itu Opa S menyambut kedatangan saya di gedung Panti dengan perkataan “Terima kasih, Dokter. Pendengaran saya sudah normal kembali dan b.a.k. saya juga sudah normal kembali. Sekarang saya tidur enak, makan enak, hidup di Panti ini enak. Dokter sudah sangat membantu saya.” Tampak wajah Opa S seperti orang yang ingin menangis ketika menyambut kedatangan saya.
Saya paling tidak tahan kalau melihat ada air mata di wajah seseorang.
Saya menjawab “ Baik. Baik Opa S. Opa juga harus berterima kasih kepada Tuhan yang menyembuhkan Opa S melalui tangan Dokter di RS. Saya tidak banyak berbuat banyak, saya hanya telah membuka jalan ke RS.”
Opa S berkata lagi “Iya betul, tetapi tanpa perjuangan dokter Basuki yang peduli kepada saya dan isteri saya almarhum ( Oma T, isterinya juga pernah tinggal di Panti ini dan meninggal dunia tahun yg lalu ), kesehatan saya tidak akan banyak berubah menjadi lebih baik. Sekarang jauh lebih baik. Kalau bukan bantuan dokter Basuki, siapa lagi?”
Opa S dengan susah payah menahan air matanya agar tidak jatuh.
Segera saya memasuki Ruang Periksa dan meminta kepada Ibu E ( Ibu Panti ) agar Oma L mendapat giliran diperiksa yang pertama, agar saya dapat mengevaluasi kesehatan mata kiri Oma L yang tanggal 3 Sept 2009 dioperasi Katarak. Sore ini akan dilakukan kontrol ulang di
Saya meminta agar kain pembalut matanya dibuka dan saya melihat mata tidak merah, tidak bengkak, tidak sakit yang berarti tidak ada tanda-tanda infeksi post operasi. Saya gembira. Saya mencoba memeriksa ketajaman penglihatannya secara kasar dengan bertanya kepada Oma L
“Oma ini sinar lampu batere, apakah dapat dilihat terangnya?”
“Dapat, Dok!” jawabnya
“Oma , sekarang Oma sudah dapat melihat wajah jelek saya?” tanya saya.
“Ah Dokter ternyata masih muda ya, rambutnya masih banyak yang hitam ( padahal uban saya sudah mulai banyak ).”
“Oma , warna baju saya apa? Putih, Kuning, atau coklat?” saya bertanya lagi.
“Baju Dokter
“Saya pakai kacamata tidak?” ( saya sedang tidak pakai kacamata saat itu ).
“Ah dokter, masih muda kok pakai kacamata. Enggak lah. Dokter Basuki tidak pakai kaca mata.” ( wah…jadi GR, Gede Rasa nih , sudah punya KTP seumur hidup kok dibilang masih muda he..he.. ada-ada saja Oma L ini ).
“Yang pakai kaca mata ini nih Pak S ( yang mendampingi saya ketika pemeriksaan warga Panti dilakukan ). “ Benar, Pak S pakai kaca mata saat itu.
Saya gembira penglihatan Oma L banyak perubahan. Habis gelap, terbitlah terang. 2 mata buta akibat penyakit Katarak, sekarang 1 mata sudah melek kembali. Dunia sudah terang kembali. Oma L merasa sudah ditolong melek kembali. Ia sangat gembira dan berkata akan rajin mengikuti kebaktian di Gereja tiap hari Minggu pagi.
Saya masih penasaran ingin mengetahui ketajaman penglihatan mata ( visus ) Oma L.
“Oma, ini ada kalender ( sambil mendekatkan kalender 2009 ke hadapan wajah Oma ). Ini tulisan apa?”
Segera Oma L menjawab :”Ini tulisan
Saya berkata “Puji Tuhan, betul Oma. Sekarang penglihatan Oma banyak membaik, Nanti sore jangan lupa untuk diantar kontrol lagi ke Dokter Mata, ya?”
“Iya dok. Terima kasih, saya sudah banyak ditolong oleh dokter Basuki.”
Saya segera berkata “Oma, jangan berterima kasih kepada saya, berterima kasihlah kepada Tuhan dan Pengurus Panti yang sudah berupaya menolong mata Oma.”
“Betul, saya juga berterima kasih kepada semua pihak termasuk kepada Tuhan, tetapi dokter Basuki-lah yang berjuang agar mata saya dapat melihat lagi
“Iya, iya. Sebenarnya saya hanya membuka jalan saja agar semua kesehatan warga Panti ini tetap baik. Semoga Tuhan memberkati kita semua , ya Oma?” kata saya.
“Baik, siapa berikutnya “ kata saya kepada Ibu Panti sambil “mengusir” Oma L agar keluar Ruang Periksa.
“Opa M, silahkan masuk.” kata Ibu Panti…..
---
Pagi itu saya jadi malu hati, menerima ucapan terima kasih terus menerus, padahal saya tidak bekerja sendirian ( single fighter ) tetapi bekerja secara team work, bekerja bersama-sama dengan Pengurus Panti lainnya. Tanpa kepedulian mereka, tanpa dana yang tersedia untuk biaya periksa dan biaya operasi di RS semua perbaikan kesehatan mereka tidak akan terwujud.
Saya masih ingat perkataan Mother Theresia yang hidupnya diberikan sepenuhnya bagi kesehatan orang-orang di India semasa hidupnya.
Beliau berkata “Saya melakukan pekerjaan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh orang lain dan orang lain mengerjakan apa yang tidak dapat saya kerjakan. Marilah kita bekerja bersama-sama agar semuanya dapat dikerjakan bagi kebaikan orang-orang yang membutuhkannya.”
Perkataan beliau sangat sederhana, tetapi mengandung arti yang sangat dalam yaitu bekerja secara team work!
Semoga pelayanan kita semua mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Amin.-
---
Alkisah ada seorang pria yang baru saja di PHK dari tempat ia bekerja selama bertahun-tahun. Resesi ekonomi melanda negerinya.
Ia mengeluh kepada temannya bahwa sepatunya robek, sehingga ia malu berjalan mencari pekerjaan baru.
Temannya merasa heran kalau ia mengeluh karena sepatunya robek. Ia mencoba memberi semangat kepada temannya dan berkata “Wahai temanku, sepatumu robek saja sudah mengeluh. Coba lihat pria itu, sekarang ia tidak mempunyai kedua kakinya lagi. Kakinya hancur akibat bom ketika perang yang lalu. Untuk berpindah tempat ia ngesod dan bertumpu pada kedua tangannya. Ia setiap hari melintas di jalan ini dan berjualan koran. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun ia tidak punya kaki lagi. Engkau punya sepatu robek saja sudah mengeluh. Engkau masih punya 2 kaki , 2 tangan dan semua panca inderamu masih dapat dipakai. Mengapa engkau masih juga mengeluh!
Gleg…pria itu sadar akan kesalahannya dan merasa malu dengan pria yang tidak berkaki itu. Ia segera pergi ke tukang sol sepatu untuk memperbaiki sepatunya yang robek dan segera bergegas mencari pekerjaan baru. Akhir pekan ia sudah mendapat pekerjaan baru dengan upah yang layak.
---
Pesan moralnya:
Kita jangan cepat berputus asa. Masih banyak oran-orang yang jauh lebih jelek kondisinya dari pada kita, tetapi mereka tetap bersemangat dalam hidup ini. Kita mesti banyak belajar dari orang-orang seperti itu.
---Demikian juga saya selalu bertanya kepada pasien tentang Identitas psien untuk disimpan dalam Eletronic Medical Record masing-masing dan bukan untuk kepentingan lain.
---
Tahun lalu datanglah seorang wanita muda berobat kepada saya. Keluhannya sedikit demam dan nyeri tengorokan sejak 2 hari yang lalu dan belum minum obat apapun.
Terjadilah dialog sebagai berikut:
Saya bertanya “Ibu, siapa nama anda?”
Pasien saya berkomentar “Dok, jangan panggil Ibu.”
Saya bertanya “Kenapa? Keberatan”
Pasien menjawab “Saya
O..jadi itu alasannya ia berkeberatan dipanggil dengan sebutan Ibu. Baiklah.
Saya dengn sabar menjelaskan “Baiklah. Kalau saya memanggil anda dengan sebutan Ibu itu ada maksudnya yaitu suatu penghormatan kepada orang yang diajak bicara oleh saya. Dalam bahasa kita, sebutan Ibu atau Bapak adalah suatu penggilan kehormatan bagi yang diajak bicara. Kalau anda berkeberatan disapa dengan Ibu, lalu dengan sebutan apa ingin dipergunakan: Nona, mbak, Saudari atau apa?”
Pasien saya , diam tidak menjawab. Aneh
Pertanyaan berikutnya, ini lebih aneh lagi.
Saya bertanya “Berapa umur anda?”
Saya menaksir sekitar 25 tahun.
Pasien tidak menjawab. Baiklah. ( aneh juga, tetapi saya sudah paham kalau wanita ditanya umur selalu umurnya disembunyikan )
Pertanyaan berikutnya “Dimana alamat anda?”
Pasien tsb rupanya naik pitam “Dok, untuk apa bertanya alamat saya? Emang mau diapelin ( dikunjungi pada Sabtu sore )?”
Glek……… saya hampir naik pitam juga.
Saya masih dengan sabar menjelaskan “Begini, saya tidak ada urusan dengan apel ke rumah pasien wanita saya. Alamat pasien itu sangat, sangat penting! Salah alamat atau alamat palsu, maka yang rugi pasien sendiri. Saya beri suatu contoh. Suatu sore saya mendapat telepon dari sebuah Apotik yang menanyakan alamat pasien saya yang baru diberi selembar resep berisi 3 macam obat. Pasien itu bernama Siti Aminah ( bukan nama sebenarnya ). Obat untuk Siti Aminah tertukar dengan obat pasien Tn. Ali Baba. Pihak Apotik mencatat alamat Siti Aminah tidak lengkap. Oleh karena ia pasien saya, maka Apotik bertanya kepada saya. Alamatnya ada di dalam Medical Record Siti Aminah. Selesai sudah masalahnya. Kurir Apotik tadi dapat mencari alamat Siti Aminah dan memberikan obat yang benar, bukan obat yang seharusnya diberikan kepada Ali Baba. Nah… bila anda tidak mau menyebutkan alamat yang benar atau memberikan alamat palsu, maka anda mungkin sekali akan minum obat yang seharusnya untuk orang lain. Apakah anda mau?”
Saya lihat wajah pasien saya mengkerut, mungkin terkejut juga mendengar akan kemungkin salah minum obat akibat alamatnya tidak benar.
Setelah itu semua prosedur pemeriksan Fisik pasien selesai dan ketika saya menulis resep untuknya , saya bertanya “Siapa nama anda?”
“Nama saya Harsini.”
Saya menuliskan nama Harsini pada kolom PRO: pada resep itu.
Saya tidak yakin apakah benar namanya Harsini. Mungkin juga nama itu asal-asalan. Asal menyebut sebuah nama, sebab kayaknya pasien ini selalu ingin menyembunyikan Identitas dirinya, padahal itu semua sangat penting kalau mau berobat kepada Dokter, Bidan atau Rmah Sakit dimanapun baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sebenarnya saya juga harus mencatat Status Perkawinan pasien wanita. Nyonya dan Nona sangat berbeda.
Contohnya: Bila pasien mengeluh adanya Keputihan ( Fluor albus ) sejak 1 minggu yang lalu, bila ia sudah menikah dan bila ia belum menikah, analisa penyakitnya sangat berbeda. Kalau sudah menikah, mungkin di dapat dari suaminya dst, dan mesti bertanya lebih lanjut apakah suami ada keluhan pada alat vital atau tidak.
Pasien tsb sudah mengatakan bahwa ia masih gadis atau Nona. Saya tidak bertanya lagi, toh ia sudah mengatakannya.
---
Selama praktik sejak tahun 1980, baru kali itulah saya menghadapi pasien seperti itu.
Kok ada ya pasien seperti itu. Aneh tapi nyata.-
---
Joni ( bukan nama sebenarnya ) seorang anak laki-laki, 6 tahun. Ia mempunyai seorang adik perempuan E, 2 tahun.
Ayah dan Ibu Joni merupakan pasangan sebuah keluarga yang sederhana, tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Segala sesuatu mereka lakukan sendiri ( self service ). Tidak jarang Ibu Joni minta bantuan kepada putranya, Joni. Ibu Joni sering meminta Joni, untuk mengambil jemuran yang sudah kering, meminta bantuan Joni untuk menjaga adiknya yang duduk diatas kursi rodanya dan lain-lain tugas.
Suatu saat Joni mersa jengkel kepada Ibunya karena banyak tugas yang dilakukannya dianggap tidak mendapat upah, padahal setiap hari Ibu Joni memberikan makan sehari 3 kali, setiap hari Ibu Joni memeriksa home work ( pekerjaan rumah ) yang diberikan oleh Guru SD Joni dll.
Joni membuat rincian upah yang seharusnya di terima Joni.
Joni menulis:
Hutang Ibu kepada Joni:
Membereskan tempat tidur: Rp. 10.000,-, Menjaga adik Rp. 5.000,-, Mengambil air minum untuk makan bersama Rp, 2.500,- Menyapu lantai rumah Rp. 5.000,- Jumlah: Rp. 22.500,-
Joni menyerahkan daftar perincian hutang itu kepada Ibunya dan berkata “Ibu, tolong bayar hutang Ibu kepada Joni. Uang itu akan Joni pergunakan untuk memberi sebuah buku cerita.”
Ibu Joni semula terkejut kalau Joni mengatakan bahwa ia punya hutang kepada Joni. Hutang apa ya?
Setelah membaca daftar hutang itu, Ibu Joni sambil terenyum, mengambil kertas itu dan di lembar sebaliknya Ibu Joni segera menuliskan:
Hutang Joni kepada Ibu:
Biaya hamil dan melahirkan Joni: Rp. 0,-, Biaya menyusui Joni selama 1 tahun : Rp. 0,-, Biaya memandikan Joni selama 2 tahun : Rp. 0,-, Menjahit Baju Joni yang robek: Rp. 0,-, Biaya lain-lain: Rp. 0,-, Jumlah hutang semuanya : Rp. 0,-
Joni segera membaca tulisan Ibunya.
Ketika Joni membaca jumlah semuanya : Rp. 0,-, Joni segera memeluk Ibunya dan berkata “ Oh Ibu…… maafkan Joni ya. Ternyata, sebenarnya hutang Joni kepada Ibu jauh lebih besar dan Ibu tidak pernah menagih kepada Joni. Maafkan Joni ya Bu.”
Ibu Joni tersenyum dan membelai kepala Joni. Sambil menyerahkan uang Rp. 22.500,- Ibu Joni berkata “Ambillah uang ini untuk membeli buku cerita itu.”
Joni menangis dipangkuan Ibunya dan berkata terputus-putus “Ibu baik sekali kepada Joni. Joni sayaaaaaaaaaang kepada Ibu. Maafkan Joni ya Bu.”
Dalam hati Ibu Joni berkata “Ya Tuhan terima kasih saya sudah memberikan yang terbaik kepada putra kami. Tuhan selalu memberkati kami. Amin.”
Orang bijak berkata “Hiduplah kini seolah-olah engkau akan meninggal besok hari.”
Apa artinya?
Bila besok meninggal, maka hari ini semua urusan harus diselesaikan termasuk: hutang piutang, minta maaf atas segala kesalahan, dll.
Besok bisa berarti: nanti malam, 1 hari kemudian, 1 tahun kemudian dst.
Tidak ada seorangpun yang tau, kapan besok itu.
Batas antara hidup dan mati, itu tipis. Paling tidak menurut pikiran saya. Mohon maaf bila beda pendapat.
---
Tiap hari ada yang lahir dan ada pula yang meninggal dunia.
Saya lebih sering melihat yang meninggal dunia.
Tahun lalu, saya dipanggil oleh sebuah keluarga. Pasien adalah kepala keluarga ( ayah ). Pasien Tn. B, 65 tahun, terbaring lemah tidak berdaya diatas bed, tubuh kurus.
Tn. B konon menderita Kanker hati ( Carcinoma hepatis ) stadium lanjut. Di rawat di sebuah RS di
Ketika saya ditanya “Apakah Ayah kami masih ada harapan sembuh?”
Saya menjawab “Harapan selalu ada bagi orang yang percaya kepada Tuhan. Semoga Tuhan memberi mujizat. Banyak berdoa ya.”
Keesokan harinya, saya mendapat kabar dari putrinya, bahwa ayah mereka sudah tidak ada. Saya segera membuat Surat Keterangan Kematian untuk keperluan pemakaman.
---
Beberapa tahun sebelum saya pensiun dini ( April 2000 ) saya masih dapat berbicara dan bersalaman dengan Pak R, karyawan Dinas Kesehatan.
Pagi pk. 07.30 saya berkunjung ke rumahnya untuk bertanya dimana lokasi Pak W, karyawan Dinas Kesehatan juga. Kami sempat ngobrol sejenak.
Pk. 14.30 kami di kantor Dinas Kesehatan kaget dan tidak percaya akan berita duka. Pak R dan supir kendaraan Dinas tertabrak kereta api di lintasan k.a. di daerah Indramayu. Mobil tsb mendadak mogok di atas lintasan k.a.
Pagi masih hidup, menjelang sore sudah meninggalkan kami semua. Kami keluarga Dinas Kesehatan merasa kehilangan atas kepergian Pak S.
---
Itulah yang dimaksud dengan tipisnya batas antara hidup dan mati.
Orang bijak berkata “Hiduplah dalam kebenaran dan banyak menolong orang lain.
Maut akan menjemput kita semua, tidak peduli seberapa besarnya kekayaan kita dan seberapa tinggi kedudukan yang kita miliki. Bila sudah saatnya, pergilah kita satu demi satu, menghadap kehadiratNya.-
---
Seorang tukang cat yang bekerja di rumah kami yang sudah kami kenal, Pak D ngomel-ngomel pada saat ia akan pulang setelah bekerja di rumah kami.
“Dok saya menyesal nabung uang di Bank”, kata Pak D.
“Lho, kenapa Pak?” jawab saya.
“Tabungan saya tidak dapat diambil lagi setelah saya menyimpan uang di sebuah Bank.” kata Pak D.
Ia melanjutkan “Beberapa bulan yang lalu saya menabung Rp. 100.000,- di Bank A. Oleh karena saya ada keperluan, saya beberapa kali mengambil uang tabungan saya melalui ATM. Suatu saat layar TV ( maksudnya layer monitor ) di mesin ATM menampilkan huruf “Saldo anda tidak mencukupi”, padahal kalau dihitung masih ada sekitar Rp. 10.000,- Saya jengkel, lalu menghadapt petugas Bank. Ibu petugas berkata “Memang saldo Bapak tidak cukup, sebab telah beberapa kali diambil dan Bapak tidak pernah menabung atau menyimpan uang lagi di Bank kami. Jadi tidak ada lagi sisa uang Bapak yang juga telah dipakai untuk biaya administrai Bank setiap bulannya. Bapak harus menabung lagi kalau Bapak ingin ambil uang via mesin ATM.”
Pak D melanjutkan “Jangankan untuk menabung, untuk hidup sehari-hari saja saya sudah kewalahan. Saya mau menutup tabungan saya saja.”
Akhirnya Pak D tidak pernah lagi berurusan dengan Bank manapun juga sampai saat ini.
“Pak, kalau lebih banyak ambil uang, dari pada banyak menyimpan uang, lalu dari mana uang itu ada?” saya berkata sambil guyon.
“Ini Pak uang hasil kerja Bapak hari ini” kata saya sambil menyodorkan selembar uang
“Enggak usahlah, saya mau beli beras dan lauk pauk untuk keluarga. Terima kasih, Dok, saya pamit pulang dulu.” kata Pak D.
“Baik, Pak, hati-hati di jalan ya” kata saya.
---
Itulah sekelumit kisah seorang Pak D tentang tabungan di Bank.
Ternyata menabung merupakan hal yang mudah bagi sebagian orang dan sukar bagi kebanyakan orang seperti Pak D.
Keluhannya seperti layaknya pasien yang sudah sepuh, nyeri pada kedua lututnya sejak 1 bulan yang lalu, obs. Arthralgia genu.
Untuk berbaring di atas bed pemeriksaan yang agak tinggi dari permukaan lantai, saya sediakan sebuah bangku kecil ( dingklik, bhs Jawa ) sebagai tempat injakan kaki ketika akan naik ke bed tadi.
Ketika pasien sepuh akan diperiksa atau sesudah diperiksa, saya turut membantu, paling tidak mendampingi para pasien untuk baik / turun dari bed.
Pagi itu seperti biasa saya melakukan hal yang rutin itu bagi saya. Putranya tenang-tenang saja duduk manis di kursi, membiarkan sang dokter ( saya ) membantu ibunya naik dan turun dari bed pemeriksaan. Mestinya anggota keluarganya yang melakukannya, Karena saya tidak mempunyai perawat untuk hal itu. Saya pikir itu hal yang sudah sepatutnya dilakukan saya.
Ny. C merasa terbantu oleh tindakan saya dan dengan wajah yang cerah berkata “Terima kasih, Dokter sudah membantu saya.”
Saya menjawab “Tidak apa-apa Tante. Saya bantu agar Tante mudah naik dan turun dari bed ini.”
Alasan yang paling utama sebenarnya bukan ingin mendapat ucapan terima kasih dari pasien-pasien saya ketika naik & turun dari bed, tetapi ada alasan lain yaitu saya khawatir kalau-kalau ( belum pernah terjadi sih ) mereka terjatuh dan karena tulang sudah keropos terjadilah patah tulang leher tulang paha ( fracture collum femoris ).
Patah tulang ini akan sangat menyakitkan pasien lansia, perlu biaya terapi yang cukup mahal, sekitar 20 jutaan. Dari pada saya di klaim oleh keluarga pasien, lebih baik saya mencegahnya dengan membantu ( diminta atau tidak ) para pasien lansia naik & turun dari bed pemeriksaan tadi. Alasan itulah yang tidak dimengerti oleh mereka.
Semoga tidak ada pasien saya yang menderita ketika naik dan turun bed pemeriksaan. Amin.
---
Saya yakin semua orang tidak ingin sakit. Semuanya ingin tetap sehat seumur hidup.
Keinginan tetap keinginan. Kalau tidak dijaga maka tubuh kita pun akan sakit.
Salah satu factor penyebab yang tidak dapat kita tolak antara lain:
Faktor genetik, faktor keturunan. Sejak lahir kita lahir membawa sifat kedua Ortu kita. Penyakit itu a.l.: Hipertensi, Diabetes mellitus ( Kencing manis ), Ashma, mata Miopia dll.
Faktor lingkungan hidup: pengotoran udara ( asap rokok, asap kendraan, asap pabrik/industri ), pencemaran air sungai, keracunan logam berat ( merkuri dll ).
Terlepas dari semuanya, bila kita sudah mencapai umur diatas 40 tahun kita mesti waspada.
Pada usia 40 tahun kondisi tubuh mulai menurun ( apalagi bila tidak dipelihara dengan baik ). Nah mulai umur tsb kita mesti lebih menjaga kesehatan tubuh kita.
Dari banyak bacaan artikel atau seminar, para pakar Kedokteran sering mengingatkan bahwa ada makanan / zat di sekitar kita yang mesti diperhatikan, sesuai dengan Topik posting kali ini yaitu: Hemat GGM.
GGM, berarti Gula, Garam dan Minyak.
Bagaimana penjelasannya?
Gula.
Garam.
Rasa asin sungguh mengugah selera makan. Makanan yang tawar akan sukar masuk ke dalam lambung. Bila diberi sedikit Garam dapur, rasa asin maka selera makan akan timbul. Garam dapur ( Na Cl ) di dalam tubuh akan mengikat air ( H2O). Makin banyak air dalam tubuh kita, maka Jantung akan memompa darah lebih kuat dan bila sangat kuat maka akibatnya tekanan ( tensi ) darah kita akan naik. Dalam keadaan menahun hal ini dapat mempengaruhi tekanan darah kita menjadi lebih tinggi dari normal. Untuk mencegah itu, maka kita harus hemat garam. Jangan terlalu banyak Garam itu lebih baik. Tidak ada Garam juga tidak baik sebab tubuh kita memerlukan NaCl. Konsumsilah Gram secukupnya saja. Tidak makan Garam juga berbahaya, 3 hari ngasrep, tubuh akan sangat lemas.
Minyak.
Nilai enak makanan sangat dipengaruhi adanya minyak dalam makanan kita. Sayur bening dan Sop Buntut, mana yang lebih enak? Tentu Sop Buntut, bukan? Cobalah masukkan semangkok Sop Buntut ke dalam Freezer sekitar 10 menit. Semua minyak / lemak akan membeku. Bayangkanlah kalau semua bekuan lemak itu menutup semua lubang pembuluh darah kita. Aliran ke Otak akan berhenti, terjadilah Stroke. Aliran darah ke Jantung berhenti, terjadilah Penyakit Jantung Koroner dst.
---
Bila kita ingin sehat, mengapa kita tidak melakukan hemat GGM yang murah meriah dan sehat?
Selamat menikmati hidup yang sehat. Ciao.