Senin, Desember 15, 2008

Sehidup semati


Pernahkah anda mengetahui atau mendengar berita kematian suami istri yang meninggal dunia dalam waktu dalam beberapa jam saja, bukan akibat kecelakaan?

Bila belum, inilah kisah nyata yang saya alami pada pagi hari ini.
Sejak saya menjadi dokter praktek tahun 1980, belum pernah saya membuat 2 buah Surat Keterangan Kematian dalam beberapa jam saja bagi pasangan suami isteri. Pagi hari ini saya telah membuatnya. Pasangan ini rupanya ingin sehidup semati.

Pagi hari ini pukul 09.15 saya kedatangan seorang wanita. Saya dimohon kedatangannya di rumah pamannya, Tn. A, 77 tahun. Dari kisah yang saya dnegar dari wanita ini Tn. A, pagi-pagi ke kamar mandi untuk b.a.k. Selesai keperluan kamar mandi, Tn. A bermaksud kembali ke kamar tidur. Ketika ia membuka pintu kamar tidur, mendadak ia terjatuh dan sukar bangun kembali. Tn. A oleh isterinya, Ny. A, 80 tahun dibantu berbaring diatas bed. Sejak pagi itu Tn. A tidak pernah kontak lagi dengan siapapun. Tn. A hidup bersama isterinya dan seorang pembantu. Anak-anak mereka tinggal diluar kota Cirebon.

Ketika saya memeriksa tubuh Tn. A pada pukul 09.30 saya mendapatkan bahwa ia sudah meninggal dunia. Pada lengan kanannya saya melihat luka robek sepanjang 5 cm yang rupanya ketika terjatuh lengan kanan yang berusaha memegang pintu kamar tidur dan lengan kanannya tergores anak kunci yang tipis yang melukai kulit Tn. A. Tampak darah sudah mengering.

Saya mengatakan kepada Ny. A bahwa suaminya sudah dipanggil Tuhan dan saya menyalami Ny. A sambl berkata saya turut berduka cita atas kematian suaminya. Tampak Ny.A sedih dan termenung sesaat ketika saya memberitahukan kematian sang suami. Saya mohon pamit kepadanya dan beberapa orang sanak famili yang datang kemudian. Tampak juga beberapa orang tetangga Tn. A datang berkunjung ke rumah mereka.

Pada jam 12.15 saya kedatangan seorang wanita lain yang memohon kedatangan saya ke rumah Tn. A, karena Ny. A tampaknya sudah tidak bernafas. Saya tidak percaya dan menduga bahwa Ny. A mungkin sedih dan shok ketika ditinggal suaminya.

Pukul 12.30 saya sudah berada di sekitar jalan Kesambi. Saya segera memeriksa tubuh Ny. A. Benar dugaan wanita, keponakan Ny. A yang memanggil saya. Ny. A sudah meninggal dunia. Ya Tuhan… Tragis sekali keluarga Tn. A ini. Sang suami belum di makamkan, sang isteri menyusul sang suami.

Tak lama kemudian Pak RT setempat datang menjenguk rumah Tn. A dan bertanya kepada saya, apakah benar Ny. A sudah meninggal dunia juga? Saya jawab, benar Tn. A dan Ny. A pagi ini sudah meninggal dunia. Benar-benar sehidup semati.

Saya menulis sebuah Surat Keterangan Kematian lagi, di rumah yang sama dan pada pagi yang sama juga. Saya belum pernah menulis Surat Keterangan ini berturut-turut 2 kali bagi sepasang suami-isteri. Saya ikut sedih dan berduka cita yang sedalam-dalamnya. Melihat umur dari KTP mereka memang mereka sudah tergolong Lansia.

Kita sebagai manusia tidak mengetahui apa rencana Tuhan. Yang pasti kita semua pasti akan dipanggil Tuhan satu demi satu pada saatnya.

Sabtu, November 15, 2008

Keracunan Durian




Minggu yang lalu datanglah seorang laik-laki yang hendak berobat. Pak Husen ( bukan nama sebenarnya ), 40 tahun, diantar isterinya, mengeluh buang air besar sebanyak 10 kali sejak 12 jam yang lalu.

Dari Anamnesa-tanya jawab riwayat penyakit- Pak H. kemarin sore membeli 5 buah Durian ( Durio kutejensis ) yang banyak dijual di pasar tradisionil. Setibanya di rumah Pak H. memakan buah Durian hampir semuanya. Isterinya yang tidak begitu suka bau Durian hanya mencicipi 2 biji Durian saja.

Beberapa jam kemudian Pak H. harus bolak balik ke toilet. Durian yang berkadar lemak tinggi menyebabkan diare. Tubuh Pak H terasa lemas. Keesokan harinya Pak H minta diantar oleh isterinya berobat ke dokter terdekat.

Setelah memeriksa tubuh Pak H. Semuanya dalam batas normal, kecuali turgor kulit-elastisitas- sedikit menurun yang menunjukan adanya dehidrasi-kekurangan cairan tubuh-ringan.

Sambil menuliskan resep untuknya, saya berkata “ Pak, lain kali jangan makan Durian banyak-banyak. Makanlah secukupnya saja.”
Pak H. mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setelah Pak H. dan isterinya keluar dari ruang periksa, saya membatin “ Kalau senang atau makan enak, dokter dilupakan tetapi kalau sakit, dokter dicari-cari.”
Kasus Pak. H ini dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.

Senin, November 10, 2008

Ingatan Pasien


Bulan yang lalu ketika saya dan Pengurus Panti Wreda Kasih suatu panti jompo milik Gereja kami di kota Cirebon menerima rombongan dari suatu Gereja dari kota Jakarta. Dalam pertemuan itu Warga Panti juga turut hadir dalm ruangan pertemuan Panti.

Rombongan yang terdiri dari belasan orang itu bermaksud berkenalan, menghibur dan memberikan bingkisan bagi Warga Panti. Rombongan ini dipimpin oleh seorang pendeta. Pak Pendeta ini bernama Pdt. B berusia sekitar 60 tahuan. Acara demi acara dilakukan oleh rombongan ini dengan menarik perhatian para hadirin. Dalam acara Pembukaan, Pdt. B ini banyak berbicara tentang Gerejanya, maksud dan tujuan kedatangan rombongan yang dipimpinnya.

Ketika Pdt. B ini melihat saya duduk di tengah hadirin, beliau berkata bahwa ia masih ingat akan Dokter Basuki ( saya ) yang sudah menjahit luka dikakinya pada tahun 1980 an.

Gleg... aku terkejut mendengar pengakuan Pdt. B ini. Saya sudah lupa kejadian puluhan tahun yang lalu.

Katanya suatu pagi ketika naik motor di kota Cirebon ( kota asal Pdt. B ) mengalami kecelakaan lalu lintas. Kakinya tertabrak motor lain dan mengalami luka pada kaki kanannya. Ia mencari Dokter yang praktek pada pagi itu dan tiba di tempat praktek saya.

Setelah Pak Dokter memeriksa luka saya, katanya kemudian beliau dengan cekatan menjahit luka saya. Luka saya sembuh beberapa hari kemudian. Saya berterima kasih kepada Dokter Basuki.

Wah... saya jadi malu karena saya sudah lupa akan kejadian itu. Maklumlah ada banyak pasien dan kejadiannya sudah puluhan tahun yang silam sehingga saya tidak dapat mengingat satu per satu pasien saya.

Pdt. B bertanya kepada saya “Apakah Dokter Basuki masih ingat saya, Dok?”

Saya menjawab “Maaf, saya saya sudah lupa kejadian itu. Yang saya ingat saya telah menolong anda sebagai pasien saya saat itu. Saya juga tidak tahu bahwa pasien saya itu adalah seorang pendeta”

Grrr.. hadirin tertawa atau mentertawakan saya.

Pdt. B berkata lagi “Kalau saya masih ingat sudah ditolong oleh seorang Dokter, meskipun Dokter-nya sudah melupakan pertolongannya.”

Saya berkata “Tidak apa-apa Pak. Yang penting Bapak sudah sembuh. Terima kasih Bapak masih ingat saya.”

Pdt. B melanjutkan pembicaraanya di hadapan para hadirin. Saya tidak memperhatikan lagi pembicaraan Pdt. B, karena pagi itu saya terharu mendapat pengalaman satu lagi yaitu saya masih diingat oleh mantan pasien saya yang saat itu berdiri dan berbicara di depan saya. Saya berharap misi rombongan Gereja ini memberikan banyak manfaat bagi para Warga Panti Wreda Kasih yang saya layani dalam bidang kesehatan setiap hari Jum’at pagi. Amin.

Jumat, November 07, 2008

AC tidak dingin


“Harun, oli Mesin dan air Radiatornya sudah kamu periksa?” isteriku bertanya kepada Supir Kantor tempat isteriku bekerja.
“Sudah, Bu. Masih cukup, tinggal beli Bensin saja sambil keluar Kantor” sahut Pak Harun.

Lima orang karyawan lain segera memasuki Minibus Kijang keluaran tahun 1997 itu. Mereka akan mengadakan kegiatan mobile unit yaitu mengambil darah donor darah di salah satu Bank di kota kami. Hari itu 3 tim mobile unit yang bergerak untuk mengambil darah donor di tempat yang berlainan.

“Run, nyalakan AC nya, panas nih “ isteriku memberikan perintah kepada sang Supir.
“Oh iya Bu, kelupaan” sahut Harun.
Selang tak lama kemudian ada suara dari arah jok belakang “ACnya sudah dinyalakan belum Pak Harun?”
“Sudah, untuk bagian belakang silahkan tombol Blower tengah di-On-kan.”
“Kok hanya udara hangat saja yang keluar” kata Ningsih yang duduk di jok tengah.
“Wah kalau begitu, mungkin gas Freon-nya sudah berkurang” sahut Harun sambil mengemudikan Kijang itu.
“Iya sudah besok ke bengkel AC, sekarang sabar saja dulu, sebentar lagi juga kita sudah tiba di Bank itu “ isteriku menengahi pembicaraan stafnya.

Keesokan harinya sepulang dari kantor isteriku melaporkan kepadaku bahwa kunci pintu belakang Kijang dinasnya sulit dibuka. Untuk memperbaiki sewaktu jam kantor sangat sulit karena mobilitas isteriku cukup tinggi.
“Tolong kuncinya diperbaiki dan sekalian AC untuk bagian belakang Kijang itu minta diperiksa dan diperbaiki agar dingin” isteriku berkata kepadaku.

Aku membawa Kijnag Dinas itu ke sebuah toko variasi mobil langgananku. Aku melaporkan kepada temanku masalah Kijang tersebut.
Pak Beni segera memerintahkan seorang tehnisi untuk memperbaiki Pintu belakang dan seorang tehnisi untuk memeriksa AC.

Masalah pintu cepat diselesaikan, hanya ganjal rumah kunci pintu yang perlu diganti dengan yang lebih tebal. Masalah AC yang diperiksa oleh Pak Udin ini juga cepat selesai. Ia membuka kap mesin Kijang dan membuka Blower di di dalam Kijang bagian tengah

“Sudah Pak. Semua normal” kata Pak Udin.
“Normal? Tidak ada udara dingin kok normal sih!” aku protes.
“Semua normal, yang keluar udara hangat saja, hembusan fan blower. Tadi saya lihat di dalam blower itu tidak ada pipa-pipa gas Freon. Jadi yang keluar hanya udara hangat saja. Ternyata di dalam blower tidak ada unit pendinginnya, Pak. Di ruang mesin juga tidak ada pipa penyalur udara dingin ke Blower bagian tengah mobil. Jadi normal. Tidak ada unit pendingin ya tidak dingin udaranya” kata Pak Udin sambil tertawa.

Aku heran mengapa Blower terpasang tetapi di dalam Blower tidak ada pipa-pipa freon. Lalu untuk apa Blower itu dipasang di dalam Kijang itu.
“Mungkin tadinya ada Pak, tetapi karena rusak, maka tidak dipasang lagi. Hanya Fan yang bekerja menghembuskan udara hangat” kata Pak Udin.
“Jadi bagaimana solusinya Pak Udin?” aku bertanya kepadanya.
“Mesti di pasang satu unit blower dan pipa-pipa yang baru” sahut pak Udin.
“Berapa kira-kira harganya?” aku bertanya lagi.
“Sekitar satu setengah juta rupiah” sahut Pak Udin.
Wah cukup mahal, kataku di dalam hati. Tidak ada unit pendingin, ya tidak dingin udaranya. Suara itu masih teringat olehku.

Kejadian ini mirip dengan kisah seorang Ibu yang merasa mesin mobilnya hilang di sebuah halaman parkir.

------------

“Tolong bantu Pak, aku mau mundur” kata seorang Ibu yang baru saja keluar dari suatu Mall kepada Tukang parkir.

“Baik, Bu” sahut Tukang parkir.
Beberapa menit kemudian tidak terdengar suara mesin VW kodok Ibu itu, meskipun Ibu tadi sudah duduk di dalam mobilnya.
“Kok mesinnya tidak mau hidup” katanya kepada Tukang parkir.
Tukang parkir bermaksud membantu Ibu tadi lalu berkata “Buka saja kap mesinnya, Bu” katanya sambil berjalan menuju bagian depan VW kodok itu.

Ketika kap “mesin” itu terbuka, Tukang parkir berkata kepada Ibu itu “Ibu, disini tidak ada mesin mobil. Mesinnya hilang!”
Tergopoh-gopoh Ibu itu keluar dari dalam mobilnya. Ketika ia melihat di dalam kap “mesin” itu tidak ada apa-apa selain sebuah kain lap kumal, ia menangis dan berteriak “Mesin mobilku hilang. Mesin mobilku hilang. Bagaimana ini Tukang parkir tidak menjaga mobilku dengan baik. Siapa pencurinya, heh” ia memegang leher baju Tukang parkir.

“Saya tidak tahu, Bu. Bukan saya yang mengambilnya” sahut Tukang parkir dengan berteriak juga.
Keributan tadi menarik perhatian orang-orang disekitar halaman parkir itu.

“Sebenarnya ada apa?” kata seorang Bapak.
“Kata Ibu ini, mobilnya tidak dapat distater dan ketika kap “mesin” yang di depan mobil itu dibuka, mesin mobilnya tidak ada” kata Tukang parkir tadi menerangkan.

“Ya tentu saja mesinnya tidak ditemukan di situ” kata Bapak itu.
“Jadi mesin mobilku dimana?” tanya Ibu pemilik mobil VW tadi.
“Mesin mobil Ibu tidak hilang, memang tempatnya bukan di depan mobil tetapi terletak di belakang mobil. Cobalah tarik tombol ini untuk membuka kap mesin yang sesungguhnya” kata Bapak tadi.

Rupanya ia mempunyai mobil VW kodok juga.
Setelah terbuka kap mesin itu, ternyata mesin VW itu ada disana. Benar kata Bapak tadi, mesin VW ada dibelakang mobil, bukan di depan mobil. Mesin mobilnya tidak hilang.

Setelah diperiksa kenapa mesin tidak dapat distater, karena bensinnya habis. Tidak terkontrol dan Ibu pemilik VW itu lupa mengisi bensin sebelum berangkat ke Mall itu. Mesin dapat dihidupkan lagi setelah sepuluh liter bensin yang dibeli di pedagang bensin eceran di depan Mall, masuk ke dalam tangki bensin VW tadi.

“Terima kasih Pak, Bapak sudah menemukan mesin mobil saya.” kata Ibu pemilik VW tadi sambil menyalami tangan Bapak tadi.-

Rabu, Oktober 29, 2008

Hobi memotret

Membawa sebuah Kamera Digital ketika pergi melancong banyak manfaatnya. Ada banyak peristiwa yang dapat kita abadikan. Sering kali peristiwa itu tidak akan terulang kembali. Mengabadikan peristiwa itu akan memberikan kenangan manis bagi kita. Bagi wartawan foto maka sebuah kamera merupakan kebutuhan wajib yang mesti tersedia.

Dengan makin majunya tehnologi fotografi maka kamera analog sudah bergeser menjadi kamera digital. Ada baik dan buruknya masing –masing kamera itu. Saya bersyukur bila harga kamera digital 5 megapixel atau lebih besar semakin terjangkau. Saat ini sebuah telepon genggam juga sudah banyak yang mempunyai fasilitas kamera digital dengan bermacam ukuran megapixel. Tentu saja hasil dari sebuah kamera digital akan jauh lebih baik dari pada hasil sebuah foto yang diambil dengan sebuah telepon genggam yang bersifat multi fungsi. File digital hasil jepretan kamera ini dapat langsung diolah di komputer saya. Setelah itu disatukan menjadi suatu album foto yang di burn ke dalam sekeping CD atau DVD atau dapat dikirimkan melalui sebuah lampiran email kepada orang lain.

Kamera digital Nikon coolpix 7900 dengan kemampuan 7,1 megapixel yang saya beli dengan uang tabungan saya, sudah 7 tahun menemani saya ketika pergi melancong ke beberapa negara atau meliputi kegiatan Organisasi IDI Cabang Kota Cirebon. Ada banyak kenangan manis yang dibuat dengan kamera kesayangan saya ini.

Bila anda sependapat dengan saya maka milikilah sebuah digital kamera yang dapat anda manfaatkan seperti peristiwa khitanan putra tercinta, perayaan pernikahan keluarga, piknik keluarga atrau sekedar iseng mengambil foto seseorang atau sebuah peristiwa disekitar anda.

Ketika kami akan menghadiri Wisuda putri kami yang telah menyelesaikan study S2, Biomediocal Tehnik di UNSW ( University of New South Wales ) Sydney, Australia tanggal 20 April 2007, saya bersama isteri mengunjungi negara Kangguru ini. Suatu pagi saya, isteri dan putri kami keluar Flat yang disewa putri kami bersama teman se Universitas.

Ketika kami berjalan kaki di trotoar, timbul keinginan saya untuk sekedar berfoto bersama isteri. Putri kami diminta mengambil foto berdua kami di pagi hari itu. Tanpa kami sadari lewatlah seorang wanita Australia yang mendekati kami. Kalau kami melihat ada sekelompok orang yang siap untuk di foto maka kami selalu menjauh agar tidak mengganggu foto mereka. Nah.. kali ini wanita itu malah yang mendekati kami untuk ikut berrfoto bersama.

Setelah berdiri disamping kami ia berkata “ May I joint you.?” ( bolehkah saya bergabung ).
Saya menjawab spontan “Sure” ( silahkan ).
Kami berempat tersenyum manis ketika kami bertiga di foto oleh putri kami.
Selesai diambil foto kami, wanita Aussie bercelana pendek itu berkata “Thank you” ( terima kasih ), sambil tersenyum dan melenggang menjauhi kami.
“Welcome”( terima kasih kembali ) jawab saya.
Setelah ia jauh dari pandangan kami, kami bertiga tertawa bebas.
Kok ada ya orang yang mau ikut berfoto dengan kami, padahal kami tidak saling mengenal.

Kalau isteri saya tidak ikut pergi pagi itu dan kami berdua berfoto dengannya, maka panjanglah ceritanya. Bisa berabe nih.
Pagi itu kami mempunyai sebuah pengalaman hidup lagi. Ada manfaat lain dari sebuah digital kamera.-

Senin, Oktober 27, 2008

Tersedot kloset

Pesawat Boeing 767, Sydney – Jakarta yang saat itu mengangkut 165 penumpang terbang dengan mulusnya. Siang itu udara cerah. Awan putih berada jauh di bawah pesawat.
Penerbangan selama 7 jam nonstop itu terasa membosankan karena film yang ditayangkan di layar tengah kurang menarik. Majalah yang terletak di bagian seat di depanku sudah kulihat berulang kali. Aku sudah bolak-balik sebanyak 2 kali ke Toilet yang berada di tengah pesawat. Ukuran Toilet yang hemat tempat ini, sangat bermanfaat bagi para penumpang. Jumlah Toilet ada 6 buah, 3 di tengah pesawat dan 3 dibelakang pesawat.
Setelah santap siang disajikan para penumpang sibuk dengan masing-masing aktifitas. Ada yang melihat film, ada yang mendengarkan siaran radio FM melalui headset ada yang melihat majalah, ada yang melamun, ada yang ngobrol sesama teman seperjalanan dan bayak pula yang tertidur.
Aku yang mendapat seat dekat Toilet di tengah pesawat tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari salah satu Toilet tersebut. Terdengar suara “Help, help”. Pintu Toilet sedikit terbuka.
Salah satu Pramugari menghampiri Toilet dan bertanya “What happen, Sir” kepada seorang Bule yang berada di dalam Toilet itu.
“Your toilet bite me. I can’t stand up. Help me, please” kata orang Bule setengah baya itu.
2 orang Pramugara berusaha membantu mengangkat orang itu yang dalam posisi duduk. Usaha mereka tidak berhasil.
Rupanya kejadian seperti itu bukan yang pertama kalinya terjadi. Setelah buang air besar dan kecil serta membersihkan diri dengan kertas Tissue yang banyak tersedia, pengguna Toliet seharusnya berdiri terlebih dahulu, menutup Toliet dengan penutup Toilet, kemudian menekan tombol Flush. Tenaga mesin jet pesawat akan menyedot semua kotoran yang ada di dalam Toilet.
Rupanya pria tadi setelah membersihkan diri, dalam posisi masih duduk, ia sudah menekan tombol Flush. Dengan demikian kedua bokongnya tersedot hisapan mesin dan sulit dilepaskan.
Seorang Pramugari berkata kepada salah seorang rekannya “Give him some Bir.”
Pria itu disuruh minum Bir sebanyak-banyaknya sampai ia mabuk. Dalam keadaan mabuk, usaha mengangkat badan pria itu dilakukan lagi. Dengan sudah payah, akhirnya badan pria itu dapat terlepas dari Toilet. Pria itu tidak terasa kesakitan akibat ia sedang mabuk berat.
Oleh Pramugara, pria itu diantar kembali ke seatnya. Isterinya yang menduduki seat di sebelahnya rupanya tertidur ketika peristiwa yang menghebohkan itu terjadi dan terbangun ketika sang suami di dudukkan oleh Pramugara. Melihat suaminya tertidur, iapun melanjutkan tidurnya tanpa mengetahui bahwa sang suami telah mengalami kecelakaan kecil di dalam Toilet pesawat.-

Accident prone


Semula aku merasa heran terhadap Pak Iwan ( bukan nama sebenarnya ), tetangga sebelah rumahku. Dalam setahun ini ia mengalami kecelakaan sebanyak 5 kali sejak awal tahun. Meskipun tidak sampai fatal tetapi Pak Iwan mesti mengalam rawat inap atau rawat jalan di Rumah sakit Umum di kotaku.
Suatu malam kami mendapat giliran jaga Siskamling di kampung kami. Aku sempat ngobrol dengan pak Iwan di Gardu jaga di dekat perempatan salah satu Gang. Sudah lama aku mengenal pak Iwan sejak kepindahan keluarganya ke sebelah rumahku. Oleh Pimpinan Kantornya Pak Iwan yang berasal dari kota lain, dipindahkan ke kotaku. Pak Iwan bersifat agresif kalau berbicara dengan orang lain, tidak peduli orang lain belum selesai bicara, ia sudah berbicara lebih banyak. Ia tidak mau menerima saran orang-orang sekitarnya. Akibatnya ia sering bertengkar dengan teman sekantor atau teman sekampungnya.
“Bulan Januari tahun ini aku masuk Rumah Sakit di kota dimana Kantor Pusat kami” kata Pak Iwan mengawali obrolan kami sambil mengisap rokoknya.
“Mengapa Bapak Masuk Rumah Sakit” aku bertanya.
“Aku mengalami kecelakaan lalu lintas ketika aku mengendarai mobil dinasku. Ada sebuah Minibus Suzuki yang mendahului mobil dinasku dengan tidak membunyikan klakson terlebih dulu. Setelah mobil itu berada di depan mobilku. Aku tanjap gas lagi untuk mendahului mobil itu. Dahulu mendahului terjadi sebanyak 3 kali. Yang terakhir kali perhitunganku meleset. Ketika aku ingin mendahuui mobil tadi, mendadak aku melihat ada Bus dari arah yang berlawanan. Aku banting setir ke kiri persis di belakang mobil yang akan aku kejar. Mobilku menabrak sisi jembatan, kakiku patah, aku masuk Rumah Sakit selama 1 bulan. Bertutur-turut aku megalami kecelekaaan lain yang lebih ringan”
“Bulan Maret ketika aku sedang menaiki tangga ketika akan memperbaiki genteng rumah kami yang bocor, aku terjatuh dari ketinggian 2 meter. Aku kurang hati-hati memasang tangga di atas selokan air. Salah satu kaki tangga masuk ke selokan air dan tangga itu miring sehingga kesimbanganku terganggu dan aku terjatuh. Untung aku tidak luka-luka. Padahal sebelumnya isteriku sudah memperingatiku, katanya lebih baik panggil orang untuk memperbaiki genteng yang bocor itu, tetapi aku bilang genteng itu hanya melorot sedikit saja. Mudah digeser sedikit gentengnya, pasti tidak bocor lagi. Saat itu aku tidak menerima anjuran isteriku dan aku harus menanggung akibatnya” kata Pak Iwan.
“Bulan April tangan kananku terbakar. Setelah membersihkan tanganku dengan lap yang dibasahi bensin sehabis membersihkan mesin mobil dinas, aku ingin merokok. Ketika korek api itu menyala, api langsung menjilat tanganku yang masih basah oleh bensin. Aku kaget dan secara refleks aku memasukkan tangan kananku ke dalam ember yang berisi air bekas mencuci mobil itu” Pak Iwan melanjutkan kisahnya.
“Bagaimana selanjutnya Pak Iwan?” aku dan teman-teman Siskamling makin asik mendengarkan kisah pak Iwan. Malam makin larut dan turun hujan gerimis.
“Bulan Juni, aku kena musibah lagi. Suatu saat aku dan temanku pergi ke suatu tempat dalam rangka survey lapangan. Saat istirahat kami masuk ke sebuah Rumah Makan. Perut kami sudah lapar dan aku memasukkan Nasi ke dalam mulutku, tanpa minum terlebih dahulu. Tiba-tiba akau tidak dapat nafas dan Nasi itu nyangkut di tenggorokanku. Aku panik dan temanku panik juag. Ia minta tolong kepada seorang lelaki yang duduk di meja sebelah kami.
“Pak, tolong teman saya. Tampaknya ia keselek makanan” kata teman sejawatku.
“Laki-laki itu segera mendekatiku dan tanpa ragu-ragu, ia menepuk pundak dekat leherku dengan satu tepukan yang agak keras. Nasi itu keluar dari mulutku dan hampir mengenai wajah teman sejawatku. Aku segera minum air teh yang tersedia. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak yang tidak kami kenal sebelumnya. Ternyata ia seorang perawat sebuah Rumah Sakit yang sedang dalam perjalanan bersama keluarganya dan makan di Rumah Makan itu. Wah aku malu juga atas kejadian itu” kata Pak Iwan.
“Mengapa pak Iwan sebelum makan tidak minum dahulu, agar tenggorokan basah dan makanan mudah masuk ke lambung Pak Iwan?’ kataku yang pernah mengalami hal yang sama. Untung saja dengan dorongan air minum, nasi di dalam tenggorokanku dapat segera terdorong masuk ke lambungku.
“Bulan Agustus, aku mendapat kecelakaan lagi. Hampir saja wajahku tersiram air panas” Pak Iwan melanjutkan kisahnya.
“Air panas, Pak?” Didin bertanya kepada Pak Iwan.
“Iya air panas” Pak Iwan menegaskan dengan bersemangat.
“Minum dulu Kopinya Pak” aku mempersilahkan pak Iwan minum kopi.
Setengah gelas Kopi masuk ke dalam perut Pak Iwan.
“Ketika itu, dalam sebuah perjalanan ke luar kota mesin mobil dinas kami ngadat. Mobil tidak dapat dipacu lebih cepat. Aku melihat alat pengukur suhu mesin di dashboard, Ternyata panasnya melebihi angka yang ditetapkan. Mesin mobil kami panas sekali. Mungkin Radiatornya bocor atau Karet Radiatornya sudah aus sehingga air Radiator menguap dari sana” kata Pak Iwan sambil menghisap trokok kreteknya.
“Aku parkir mobil itu di pinggir jalan, lalu membuka kap mesinnya. Meskipun teman seperjalananku mengatakan bahwa sebaiknya mesin mobil itu didiamkan saja dahulu agar suhunya menurun dengan sendirinya, aku tidak mendengarkannya. Kalau menunggu berarti kami akan tiba di tempat tujuan lebih lama. Kemudian aku dengan menggunakan kain lap aku mencoba membuka tutup Radiator mobil itu. Seketika itu juga uap panas munrat ke atas. Secara refleks aku memalingkan wajahku ke kanan, tetapi terlambat tangan kananku tersembur uap panas itu. Temanku segera mengambil botol air minum kami dan segera menyiram tangan kananku dengan air minum. Meskipun tertolong tetapi tangan kananku sempat melepuh juga. Temanku menyalahkan aku yang tidak mendengar sarannya agar mesin mobil jangan diutak-utik dulu sebelum suhu mesin menurun. Aku menyesal, tetapi menyesal kemudian tidak ada gunanya. Lihatlah ada bekas luka bakar di tangan kananku. Rupanya air di Radiator itu sudah neyusut banyak sehingga mesti diisi air tambahan agar sistim pendingin mesin bekerja dengan baik.
“Oleh keluargaku, aku dilihat oleh orang pintar. Katanya musibah yang beruntun ini akibat aku diganggu mahluk halus. Aku sudah diruwat, dimandikan dengan air kembang tujuh rupa, tetapi rasanya di dalam pekerjaanku aku selalu cenderung mengalami kecelakaan. Barangkali ada diantara saudara-saudara ada yang mempunyai saran?” Pak Iwan bertanya kepada kami yang sedang jaga Siskamling.
“Kalau upaya paranormal tidak berdaya guna, mungkin lebih baik bila Pak Iwan berkonsultasi dengan Pak Dokter, sambil menengok ke arahku. Ia dokter umum dan merupakan dokter keluarga kami” kata Pak Saleh kepada Pak Iwan.
“Kalau ke dokter, aku malu” kata Pak Iwan
“Kok malu Pak. Bapak kan tidak menderita penyakit menular. Aku mau mengantar Pak Iwan berkonsultasi” kataPak Saleh.
“Baiklah, kalau Bapak mau mengantar aku, besok sore kita kesana ya” kata Pak Iwan gembira.
---
Setelah aku bertanya riwayat penyakit dan memeriksa Pak Iwan, aku berkata “Badan Pak Iwan baik-baik saja, tidak ada kelainan fisik. Kecelakaan yang Pak Iwan alami itu namanya Accident prone atau kecenderungan mengalami kecelakaan lebih banyak dari orang biasa. Kepribadian Pak Iwanlah yang menyebabkan kecelakaan itu dan bukan karena gangguan mahluk halus.”
“Kepribadian saya biasa-biasa saja Dok, saya juga sudah beristeri dan mempunyai 2 orang anak” kata Pak Iwan yang tidak mau dianggap mempunyai gangguan kepribadian.
“Bukan itu masalahnya. Coba diingat-ingat: apakah Pak Iwan bersifat agresif kalau melihat ada orang yang sedang berbicara atau selalu ingin mendahului mobil lain yang telah mendahului mobil Pak Iwan. Juga apakah Pak Iwan mau mendengarkan saran atau advis orang lain termasuk isteri pak Iwan sendiri?” kataku.
Kepala Pak Iwan mengangguk-angguk seperti kepala ayam mematuk butiran padi di tanah. Ia teringat bahwa kecelakaan yang dialaminya kebanyakan akibat ia bersifat agresif, tak mau menerima saran atau tidak mau mendengar nasehat temannya atau isterinya sehingga ia terjatuh dari tangga pada bulan yang lalu.
“Pak Iwan mesti merubah, sikap mental Pak Iwan agar mau lebih banyak mengalah dan menerima saran orang lain. Lain kali Bapak datang lagi kesini untuk bicara soal kepribadian, ya” kataku, sambil membukakan pintu ruang praktek.

Jumat, Oktober 24, 2008

Setengah jam yang melelahkan.


Hari Minggu, 18 Oktober 2008 pukul 18.30, telepon di rumah kami berdering. Pak. A minta agar saya bersedia mengobati putranya yang sakit. Sebenarnya saat itu bukan hari praktek dan saya ingin istirahat. Pak A ngotot agar saya bersedia menolong putranya. Dengan pertimbangan demi kemanusiaan, akhirnya saya bersedia meolong putranya, meskipun bukan hari praktek.

Yang menelepon ayahnya tetapi kemudian yang datang adalah sang pasien, Henri ( bukan nama sebenarnya ), 6 tahun diantar Nenek, Kakak dan Pamannya. Sudut mulut kiri Henri ada luka robek 1 cm dalam 5 mm, akibat main-main kabel elektronik. Luka robek tsb perlu dijahit dengan 2 jahitan kulit. Mengingat Henri terus menerus menangis, saya pikir lebih baik kalau luka robek itu direkatkan dengan 1sebuah Agraf ( penjepit kecil dari bahan stainless steel ) yang 5 hari kemudian dapat dibuka setelah lukan menutup.

Pemasangan Agraf saya anggap yang paling cepat dan cukup baik hasilnya untuk luka robek kecil di sudut mulut sang pasien. Pemasangan Agraf ini tidak membutuhkan penyuntikan anestesi lokal seperti pada penjahitan luka. Pemasangan Agraf membutuhkan waktu yang singkat.

Saya memberitahukan kepada Henri bahwa saya akan membersihkan luka dan akan memberikan larutan Betadine pada luka kemudian akan memberikan sebuah jepit pada lukanya. Tindakan ini tidak menyakitkan dan harap tenang sebentar jangan menangis terus.

Menderngar penjelasan saya Henri makin meronta-ronta, tidak mau. Nenek dan Pamannya turut menenangkan Henri. Tidak berhasil. Ucapan sang Kakak untuk menenangkan Henri juga tidak ada gunanya.

Saya berkata kepada Nenek Henri, agar pasien dibawa saja ke Rumah Sakit terdekat untuk minta pertolongan. Nenek Henri tampaknya tidak setuju dan minta agar saya saja yang mengobati luka Henri.

Baik. Saya mau menolong dengan memasang Agraf yang hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 5 detik saja dengan syarat agar Henri tenang sebentar sementara saya memasang jepitan luka tsb.

Henri setuju., tetapi ketika ia melihat saya akan memasang Agraf dengan alat khusus, Henri meronta-ronta lagi dan berteriak minta Ibunya datang. Kakak Henri menelepon Ibunya via Handphonenya minta agar sang Ibu segera datang ke rumah saya untuk membantu menenangkan Henri.

Waktu berjalan terus. Sudah 15 menit sejak kedatangan pasien yang panik ini. Saya tidak dapat bertindak banyak, selain mengharap agar Henri tenang sebentar. Akhirnya sang Ibu datang. Ia turut menenangkan dan menasehati Henri tenang agar saya dapat merawat lukanya. Henri memegang tangan Ibunya sambil merengek-rengek. Hasilnya sama saja. Kehadiran Ibunya juga tidak banyak menolong.

Saya duduk dan mulai menulis sebuah Surat Rujukan ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Akhirnya Ibu dan Nenek Henri minta agar saya mau memasang Agraf pada luka Henri. Baiklah, kata saya, sekali lagi akan saya usahakan. Kalau gagal lagi, lebih baik segera membawa Henri ke Rumah Sakit.

Tangan dan kaki Henri dipegang oleh Paman, Nenek dan Ibunya, luka Henri ketika saya memasang Agraf. Waktu yang saya pergunakan untuk pemasangan Agraf ini hanya 3 detik saja ( tidak sampai 10 bilangan / detik ). Ketika Agraf sudah terpasang pada luka dan tindakan ini tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, Henri tampak diam ketika saya memberikan kain kasa pembalut luka tsb.

Saya segera menulis sebuah resep untuk luka dan berpesan agar 5 hari kemudian datang kembali untuk kontrol dan merlepaskan Agraf tsb bila luka sudah membaik.

Ruang periksa saya dalam 5 detik sudah sepi kembali. Pasien dan anggota keluarganya sudah keluar dan pulang ke rumah mereka masing-masing.

Di hari libur ini saya harus panjang sabar dan berjuang untuk mengobati sebuah luka kecil seorang pasien anak 6 tahun. Saya menghabisklan waktu 30 menit hanya untuk memasang sebuah Agraf yang memerlukan waktu hanya 3 detik saja. Sangat sulit mengobati luka pada seorang pasien yang meronta-ronta, tidak mau ditolong oleh dokternya.

Saya bersyukur kalau saat itu saya dapat memberikan pertolongan kepada pasien yang datang berobat.

Rabu, Oktober 08, 2008

Sakit Maag


Suatu sore beberapa hari yang lalu datang seorang Ibu yang ingin berobat kepada saya. Ibu Umi ( bukan nama sebenarnya ), 30 tahun, mengeluh sakit di daerah ulu hati sejak 5 bulan yang lalu.

Ibu Umi diantar oleh kakaknya, Pak Amin ( bukan nama sebenarnya ), 35 tahun. Keluhan Ibu Umi yang sejak berbulan-bulan ini tidak kunjung sembuh. Dari tanya jawab antara saya dan Ibu Umi, ternyata ia sudah berobat kepada 4 orang Dokter Umum. Macam-macam obat Maag sudah diminumnya tetapi keluhannya tidak kunjung sembuh.

Hasil pemeriksaan yang saya lakukan, kontak pembicaaran : baik, berat badan 49 Kg, tekanan darah normal, Jantung dan Paru-paru dalam batas normal. Perut terdapat sedikit nyeri tekan. Anggota gerak tidak ada kelainan. Saya tidak menemukan kelaiann yang berarti pada tubuh Ibu Umi.

Pembungkus obat atau kemasan obat-obat yang sudah diminum Ibu Umi berkisar pada tablet anti spasme ( mules ), antacida ( penyerap asam lambung ), vitamin. Setelah minum obat2 tsb keluhan membaik, tetapi bila obat habis maka keluhan akan muncul kembali.

Secara Jasmni , Ibu Umi tidak terdapat kelainan yang berarti. Untuk mencari penyebabnya saya mencarinya dalam bidang Rohani.
Ibu Umi ini bekerja di sebuah toko, pekerjaannya tidak terlalu berat. Sang majikan cukup baik dan bahkan menganjurkan untuk berobat sampai sembuh. Ibu Umi mempunyai seorang anak laki-laki usia 3 tahun. Saat ini ia tinggal dengan saudaranya. Suami Ibu Umi sejak 8 tahun, konon pergi ke Saudi Arabia untuk bekerja. Selama ini ia tidak pernah mengirim surat atau uang bagi isterinya di Indonesia. Ia juga tidak menceraikan isterinya. Ibu Umi tidak dapat kontak dengan suaminya. Nomer telepon genggampun ia tidak tahu. Beberapa bulan yang lalu pernah suaminya menelepon isterinya. Selain bicara basa basi, sang suami juga mengancam isterinya agar tidak kawin lagi.

Saudara-saudara pasien saya ini menganjurkan agar ia menikah lagi saja agar ada yang dapat melindungi dan membiayai hidup keluarganya. Ibu Umi takut akan ancaman suaminya tadi.

Saya membatin kok ada ya laki-laki yang begitu terhadap isterinya. Bertahun-tahun pergi jauh entah kemana ( katanya sih ke Saudi Arabia, tetapi seorangpun tidak ada yang tahu dimana ia sebenarnya berada ). Akhirnya Ibu Umi mengalami Stres yang berkepanjangan yang dapat menjadi dasar penyebab dari penyakit Maagnya.

Pada akhir tertemuan dengannya, saya akhirnya memberikan obat-obat klasik sakit Maag dan tablet anti depresi. Semoga penderitaan Ibu Umi menjadi berkurang. Terapi yang terbaik adalah menikah lagi dengan laki-laki yang jauh lebih baik dari suaminya yang mbalelo itu.-

Senin, September 15, 2008

Shok anafilaktik


Bagi Teman Sejawat Dokter atau Dokter Gigi tentu pernah mendengar istilah Shok anafilakstik, yaitu shok yang terjadi setelah minum atau disuntik sesuatu obat yang pasien alergi terhadapnya.

Kejadian ini sangat menakutkan. Bagaimana tidak kalau seorang pasien yang datang berobat dengan berjalan kaki, kemudian pulang diangkat oleh beberapa orang karena shok atau sudah meninggal dunia. Kejadian ini frekwensinya kecil, mungkin hanya nol sekian persen, tetapi kalau ini menimpa diri kita maka itu berarti 100 % bagi kita.

Sebagai Dokter yang kadang-kadang atau sering menyuntik pasien, harus menyiapkan diri untuk menghadap kejadian diatas. Sebuah artikel yang saya baca di Internet mengatakan bahwa bila seorang dokter di USA akan menyuntik pasiennya, maka di atas meja harus sudah tersedia Antidotum berupa larutan Adrenalin dalam Spuit injeksi yang siap disuntikkan kepada pasien bila terjadi Anafilaktik shok. Shok ini dapat terjadi dalam bilangan detik atau menit, kadang jarum suntik belum sempat dicabut pasien sudah shok. Kejadiannya begitu cepat. Jadi tindakan pertolongannya juga harus cepat. Kita berpacu melawan waktu. Terlambat sekian detik / menit pasien tidak tertolong lagi.

Saya sudah mengalami kejadian ini sebanyak 4 kali.
Tahun 1982 ketika saya bertugas di salah satu Puskesmas di Kabupaten Cirebon, seorang perawat yang membantu saya ketika memeriksa pasein dan menyuntik seorang pasien laki-laki, 25 tahun dengan Tetrasiklin ( yang banyak dalam logistik Puskesmas ). Pasien mengalami Shok anafilaktik. Muka pasien pucat, nadi nyaris tidak ada, tekanan darah tidak terukur. Setelah dilapori, saya segera mengambil ampul Adrenalin dan spuit injeksi yang baru dan segera menyuntik kan kepada pasien sebanyak 0,3 cc. Tiap menit tekanan darah dimonitoring, diukur berulang-ulang setiap menit. Setelah 3 menit pasien mulai sadar, tekanan darah sudah mencapai 90/60. Ada kemajuan. Efek suntikan Adrenalin dramatis sekali, begitu cepat efeknya merangsang Jantung berdenyut kembali. Segera dibuatkan air Teh manis. 5 menit kemudian tekanan darah sudah stabil mencapai 120/80. Pasien diberi minum air Teh manis dengan sedotan. Ketika ia sudah dapat menelan ( reflex menelan sudah berfungsi baik ) air The dengan baik, maka kami bernafas lega. “Terima kasih Tuhan.”

Saya selalu mengingat sebuah Pedoman Penatalaksanaan Shok anafilaktik dari Prof. Dr.Iwan Darmansjah, Fak. Kedokteran Univ. Indonesia yang sangat berguna dalam keadaan gawat darurat Shok anafilaktik. Tahun lalu ketika tempat praktek saya disurvei oleh Staf dari Bagian Perijinan Praktek DKK Cirebon, saya ditanya apakah sudah tersedia Pedoman Penalaksaan Shok anafilaktik? Saya jawab “Sudah. Saya gantungkan di tembok diatas bed pasien.” Sambil menunjuk sebuah Pigura yang berisi Pedoman tadi.

Di Kartu Pasien segera diberi catatan bahwa pasien alergi dengan Tetrasiklin. Jadi jangan sekali-kali lagi memberikan antibiotika itu kepadanya. Setelah keadaan pasien baik dan tidak pusing, saya minta bantuan seorang Staf agar mengantar pulang ke desa tetangga dengan naik becak atas tanggungan Puskesmas.

Kejadian Shok anafilaktik yang lain, juga terjadi ketika:
Saya di tempat praktek menyuntik larutan Hidrokortison untuk pasien Urtikaria ( biduren ) akibat makan / alergi Udang.
Perawat di Puskesmas menyuntik larutan Vitamin B kompleks kepada pasien.
Teman Sejawat Dokter Gigi di Puskesmas tempat kami bertugas di salah satu Puskesmas di Kota Cirebon, suntikan larutan lokal anestesi Procain 2 % menyebabkan pasien mengalami Shok anafilaktik, Wajah pasien pucat, tidak dapat membuka mulut ketika hendak dicabut giginya, nadi nol, tensi tidak terukur.

Beruntung kami dapat mengatasi semuanya dengan tindakan yang cepat dengan menyuntikkan larutan Adrenalin 0,3 cc secara intra muskular ( ke dalam otot bokong ) di sebelah tempat suntikan sebelumnya.

Semua obat yang disuntikkan dapat berpotensi menyebabakan Shok anafilaktik dengan frekwensi yang berbeda-beda setiap obat dan setiap pasien. Bila pasien mempunyai riwayat keluarga yang alergi sesuatu atau ada penyakit Ashma bronchiale maka kita harus lebih hati-hati lagi.

Seorang Teman sejawat pernah bercerita bahwa ia pernah satu kali menyuntik Obat KB yang dilakukan setiap 3 bulan, dan ibu akseptor KB ini mengalami Shok anafilaktik pada suntikan KB pertama kalinya. T.S. ini mengatasinya dengan menyuntikan Adrenalin 0,3 cc dan pasien tertolong. Sejak itu T.S. ini tidak menyuntik pasiennya kecuali suntikan KB yang mau tidak mau memang harus disuntikkan ke dalam otot bokongnya.

Sangat dianjurkan kita selalu menyediakan Adrenalin ampul dan injeksi spuit 2 cc di atas meja tempat alat-alat kerja, ketika kita memeriksa dan menyuntik pasien.-

Pemberian tidak ikhlas


Sehari menjelang hari H, syukuran Pernikahan putra kami pada bulan Juni 2008, datang seorang relasi kami, Pak A ke rumah kami. Pak A ini mengirimkan sebuah bingkisan berupa 1 Ember warna hitam yang berisi tiga perempat penuh Tape Ketan.

Tape ketan yang manis ini enak dimakan pada siang hari setelah makan siang. Dalam waktu beberapa hari habislah Tape itu. Ember plastik hitam kapasitas 5 liter itu saya simpan di bawah meja dapur.

Sebulan kemudian Pak A datang ke rumah kami dan bermaksud ingin mengambil kembali Ember, tempat bingkisan Tape ketan. Saya tidak menyangka kalau Pak A ini akan mengambil kembali Ember yang sudah diberikan kepada kami.

Saya bertanya “ Pak, untuk apa ember itu? kan sudah diberikan kepada kami”.

Pak A menjawab “ Maaf, Dok. Ember itu saya pinjam dari tetangga.”

Glek. Saya membatin “Saya kira parsel itu diberikan kepada kami lengkap dengan embernya, ternyata hanya isinya saja yang diberikan.” Di daerah kami kalau membeli Tape ketan lengkap dengan wadah yang berupa sebuah Ember warna hitam. Jadi kalau ingin memberikannya kepada orang lain sebagai oleh-oleh, praktis dengan wadahnya itu. Kalau wadahnya diminta kembali? Wah…saya dianggap sebagai orang yang Cumi, Cuma minjam aja. Ya udah lah mau apa lagi.

Saya berkata kepada Pak A “Ini Pak embernya. Makasih ya Tapenya.”

Pak A pamit kepada saya dan balik kanan pulang.

Hari itu pengalaman hidup saya bertambah satu lagi. Saya dianggap orang yang Cumi. Saya tidak menceritakan kejadian ini kepada isteri saya, khawatir kalau saya dianggap benar-benar orang yang cumi, padahal kalau mau saya masih mampu membeli 10 buah Ember hitam itu di pasar tradisionil.-

Sabtu, September 13, 2008

Pasfoto pasien


Hobi Fotografi ayahku menurun kepadaku. Sejak duduk di SMA tahun 1964 aku gemar memotret dengan kamera pinjaman ayahku.

Membuat dan memelihara Catatan medis ( medical record ) pasien yang berjumlah ribuan dalam waktu puluhan tahun dirasa merupakan pekerjaan yang berat, apalagi kalau sang asisten tidak datang. Kartu pasien harus diambil dan dikembalikan ke rak Medrec yang banyak mengambil waktu.

10 tahun yg lalu saya menggunakan Medrec dengan operating sytem DOS. Dalam kurun waktu 8 tahun akhirnya Medrec itu tidak dapat digunakan lagi oleh karena sering Hang ketika menyimpan data. Sang programer yang saya minta untuk memperbaikinya, tidak kunjung datang ke rumahku. Akhirnya aku googling di Internet untuk mencari atau membeli software Medrec yang baru.

Saya menemukan software Medrec SIDP ver 1.3 produksi seorang prgramer yang baik hati (
www.kunang.com ) yang berdomisii di Yogyakarta. SIDP ini akan bekerja dalam lingkungan OS Windows dan aku mengunakan OS Windows XP SP2. Perkembangan software cukup pesat dan versi berubah menjadi SIDP v2.1. Versi baru ini menuntut Hardware yang lebih baik sehingga aku membeli sebuah Laptop Acer Pentium 4 yang berfasilitas Bluetooth.

Dalam versi ini ada fasilitas untuk menampung Foto-foto ( Rontgen atau wajah pasien atau kelainan anggota tubuh pasien ). Mau tidak mau maka saya juga harus mempunyai sebuah Camera yang selama ini saya pergunakan. Wajah pasien yang diambil dengan Digital camera Nikon Coolpix 7900 ( 7 megapixel ) dan kabel data USB memungkinkan foto digital pasien dapat berpindah dari Camera ke Laptop.

Dari pada cabut pasang kabel USB di laptop dan Nikon 7900, maka saya menggunakan sebuah Handphone yang mempunyai fasilitas Camera 1,3 megapixel dan Bluetooth untuk menggantikan tugas Nikon 7900. Pasfoto yang diset 240 x 340 cukuplah untuk membuat sebuah wajah pasfoto pasien. BT sangat membantu pekerjaanku. BT di laptop dan HP diaktipkan maka dalam 2 detik digital file dari HP akan pindah ke laptop.

Saat ini Medrec pasienku dilengkapi dengan sebuah pasfoto yang dapat ditampilkan ketika aku membuka Medrec seorang pasien. Jadi pasien bernama: Siti Fatimah, Siti Muhidin, Siti Rositi dll Siti akan menampilkan wajah yang berbeda. Aku tidak bingung lagi kalau membaca Medrec pasien yang bernama Siti Muhidin itu yang mana ya, sebab sekarang akan ditampilan wajahnya.

Kalau ada pasien yang mempunyai penyakit TBC paru, maka Foto Rontgen pasien tsb dapat aku foto dengan HP dan akan berpindah file digitalnya di dalam Medrec pasien tsb. Jadi ada 2 Foto yaitu Foto wajahnya dan Foto Rontgennya.

Dengan menggunakan Medrec SIDP ver 2.1 ini aku dapat mempunyai data pasien lebih baik dari pada versi sebelumnya.

Bulan demi bulan aku rajin mengambil Pasfoto pasien sebelum pasien diperiksa, tentu saja dengan persetujuan sang pasien. Asik juga.

Reaksi pasien ketika mendengar bahwa aku akan mengambil pasfotonya ada bermacam-macam. Ada yang gembira, ada yang merengut dan ada yang tidak mau difoto. Setelah saya jelaskan bahwa Foto itu hanya akan ad di Laptopku bukan akan disebarluaskan, maka pasien akhirnya setuju. Bagi yang tidak setuju umumnya kaum wanita alasannya rambutnya kusutlah , wahjahnya belum di make up -ah dll. Orang sakit mana sempat bersolek bukan dan mereka tidak menyangka wajahnya akan difoto. Tentu saja antara dokter dan pasien ada rahasia jabatan yang mesti dipergang teguh oleh pasiennya. Data pasien tidak boleh diketahui oleh pihak ketiga meskipun itu adalah suami / isteri pasien sendiri, tanpa persetujuan dari sang pasien. Foto yang tampak di LCD HP selalu saya perlihatkan kepada pasien bahwa benar saya membuat Foto sesungguhnya dan bukan Foto bohongan.

Bila pasien mempunyai kelainan Kulit, misalnya Herpes simplex atau Herpes zoster atau penyakit kulit lainnya maka perkembangan penyakitnya dapat di bandingkan antara Foto pada kunjungan pertama dan Foto pada ketika pasien kontrol seminggu kemudian.

Penggunaan Laptop di Ruang Praktek Dokter saat ini sudah merupakan hal yang biasa. Aku sering berpikir kalau si Unyil di siaran TV dan Tukul Arwana di TV juga sudah lama menggunakan sebuah Laptop, lalu mengapa seorang Dokter masih belum menggunakan Laptop untuk merekam Medical Records pasien-pasiennya? Mau tidak mau sang Dsokter juga harus tidak gaptek lagi. Anda setuju bukan?

Dokter diomelin pasien


13 September 2008.

Kemarin sore datang berobat seorang laki-laki usia 67 tahun. Pak Beni ( bukan nama sebenarnya ) semingu yang lalu mempunyai keluhan nyeri pada pinggang sebelah kanan dan pada permukaan kulit timbul bintil2 berisi cairan yang bergerombol ( herpes ) yang terasa nyeri sejak 3 hari yg lalu. Setelah dilakukan pemeriksaan, saya menegakkan Diagnosa penyakit Pak B sebagai Herpes zoster thoracalis posterior dextra. Herpes zoster pada pinggang sebelah belakang kanan. Tampak bahwa Pak B ini tergolong Goleklem ( golongan ekonomi lemah ).

Sambil menyerahkan resep untuk membeli obat ( berupa tablet, kapsul dan krim kulit ) golongan generik saya berkata bahwa setelah sembuh dari herpes ini, anda kemungkinan masih akan merasa nyeri yang bisa sampai 3 bulan yaitu sebagai: post herpetic neuralgia ( rasa nyeri setelah terserang herpes zoster ). Pak B bertanya apakah penyakitnya bisa sembuh? Saya jawab bisa kalau obatnya diminum sesuai aturan pakai. Minggu depan boleh datang untuk kontrol ulang penyakitnya.

Sekitar 10 hari kemudian Pak B ini datang kembali. Di dalam Ruang periksa Pak B ini ngomel –ngomel.
Dengan wajah yang masam Pak B berkata “Bagaimana ini dokter, kok obatnya tidak ada apa-apanya. Saya merasa masih sakit.”

Saya balik bertanya “ Pak B, apa yang dimaksud tidak ada apa-apanya?”

Pak B ngomel lagi “Saya sudah beli obat setengah resep, tapi saya merasa masih sakit. Bintil-bintilnya sih sudah baikan, tapi ini nih sakitnya tidak berkurang. Obat dokter tidak ada apa-apanya.”

Setelah melihat kulit pinggang Pak B itu hampir mulus dan tidak tampak bintil-bintik ( herpes ). Ada banyak perbaikan penyakitnya, meskipun secara subjektip pasien masih merasa nyeri post herpetic sesuai dengan apa yanag saya katakan minggu sebelumnya kepada sang pasien. Hanya pasien yang tidak memperhatikan perkataan saya itu.

Saya berkata kepada Pak B “ Pak, kalau beli obat setengah resep, maka penyakitnya juga setengah sembuh.” Padahal harga obat generik yang saya resepkan itu tidak akan melebihi dari Rp. 20.000,- Mungkin sekali karena uangnya tidak cukup Pak B membeli setengah dari juulah yang saya resepkan.

Dalam menghadapi pasien yang banyak ngomel, biasanya ada maunya yaitu minta digratiskan biaya berobat. Saya sudah paham betul trik seperti ini selama 28 tahun buka praktek umum.

Sambil menyerahkan resep obat generik lagi kepada Pak B, saya berkata “ Ini Pak, resp tambahan obatnya agar rasa nyerinya berkurang. Bapak tidak usah bayar lagi.”

Mendengar perkataan saya ini, wajah Pak B tampak cerah. Beda dengan wajah yang masam ketika ia masuk ruang periksa. Ada kesan beban dipundaknya hilang.

Sambil tersenyum saya persilahkan Pak B keluar dari ruang periksa.
Dengan wajah yang ramah Pak B mohon pamit kepada saya. Hari itu pengalaman saya bertambah satu lagi. Kalau sudah ngomel-ngomel begitu pasti ada maunya. Ya masih manusiawi juga. Saya tersenyum.

Jumat, September 12, 2008

Dokter dapat Pisang


12 September 2008.
Pagi ini saya diantar supir naik minibus Kijang tua milik Gereja. Setiap hari Jum’at pukul 10.00 – 12.00 saya melakukan pemeriksaan kesehatan warga Panti Wreda Kasih milik Gereja kami. Sejak bertahun–tahun saya melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat nonprofit. Saya menyempatkan diri untuk datang ke Panti ini dan bertemu dengan warga Panti beserta Ibu Panti dan staf.

Di Panti ini saya mendapat pengalaman hidup dalam menghadapi pasien-pasien usia lanjut. Usia mereka berkisar antara 60 – 84 tahun. Gangguan kesehatan usila biasanya: darah tinggi, gangguan sendi, mata katarak, gangguan pendengaran, dll.

Setelah isterinya meninggal dunia akibat usia lanjut sekitar 3 bulan yang lalu di Panti ini juga, maka Pak Salam ( bukan nama sebenarnya ) tampak lebih segar. Pak S ini mempunyai hobi mengurus kebun. Disamping banguan Panti Wreda ini ada sebidang tanah kosong yang akn dibangun sebuah Gedung lain. Tanah kosong ini oleh Pak S ditanami bermacam-macam pohon seperti: singkong, jagung, pisang dll. Hasil panennya dikonsumsi oleh warga Panti juga.

Biasanya ketika saya datang ke Panti, Pak S ini masih sibuk di kebunnya. Pak S ini biasa diperiksa kesehatannya setelah pasien-pasien lain selesai diperiksa. Di usia 84 tahun kesehatan Pak S ini masih cukup baik, tidak memerlukan obat khusus, Biasanya saya memberikan resep multivitamin yang di ambil di sebuah Apotik langganan Panti ini.

Ketika saya selesai memeriksa kesehatan warga Panti, Pak S mengatakan bahwa ia telah memanen pohon Pisang di kebunnya. Satu tandan Pisang terlalu banyak untuk dikonsumsi oleh warga Panti yang berjumlah sekitar 12 orang. Pak S spesial memberi 2 sisir Pisang yang masih mengakal ( belum matang betul ) dan menitipkan kepada Supir.

Saya mengucapkan terima kasih kepada pada S. Pak S menimpali bahwa Pisang ini akan matang dalam 2 hari kemudian.

Harganya tidak seberapa tetapi saya sangat menghargai upaya Pak S ini yang sudah bersusah payah memelihara kebunnya dan sebagian hasil panennya diberikan kepada Dokternya. Tindakan Pak S merupakan penjabaran dari ucapan terima kasih kepada saya yang selama bertahun-tahun telah memeriksa Pak S dan isterinya semasa hidupnya. Saya terharu sekali.

Setiba di rumah, saya berkata kepada isteri saya bahwa saya mendapat 2 sisir Pisang dari Panti Wreda, hasil panen kebun yang dirawat oleh Pak S.

Besok lusa kami tidak usah membeli Pisang di pasar karena persediaan Pisang cukup banyak. Kami menyukai Pisang sebagai buah-buahan yang selain mengandung Karbo hidrat, serat nabati juga merupakan sumber mineral Kalium yang menjaga tonus otot-otot kita, agar otot tidak menjadi lemas.

Kamis, September 11, 2008

Jual Alkitab


11 September 2008.
Seminggu yang lalu kisah ini terjadi. Pagi itu ketika saya berada di halaman rumah, berhentilah sebuah becak yang megantarkan seorang laki-laki usia 65 tahun. Ternyata ia pasien saya yang bernama Pak Herman ( bukan nama sebenarnya ). Ia mengaku orang miskin tetapi kalau datang ke rumah saya selalu naik becak, mengapa tidak jalan kaki saja.

Saya bertanya “Ada apa Pak Herman? Mari masuk”.
Kami memasuki ruang tunggu dan duduk berhadapan.
Pak Herman berkata “ Dok, kemarin ada seorang pendeta yang datang ke rumah saya.”
Saya bertanya “Ada masalah apa Pak?”
“Tidak ada masalah apa-apa, pendeta itu hanya datang membesuk saya. Lalu ia memberikan sebuah buku. Dokter mau membayar berapa?”
Saya terkejut. Buku itu adalah sebuah Alkitab yang masih baru lengkap dengan kover berruisleting dan di dalamnya terdapat 2 buah Foto sebagai pembatas buku.
Saya berkata “ Pak Herman itu adalah Alkitab ( Bible ) yang berisi Firman Tuhan, mengapa mau dijual?”
Pak Herman menjawab dengan enteng “ Saya tidak membutuhkan buku ini. Saya butuh uang untuk keperluan saya.”

Saya berpikir mengapa ada orang yang dikunjungi oleh seorang pendeta yang sudah mau datang kepadanya dan memberikan sebuah Alkitab untuk dibaca, tetapi ia mau menjualnya? Bukankah manusia tidak hidup hanya dari Roti saja tetapi juga dari Firman Tuhan?

Setelah diam sejenak, saya berkata kepada Pak Herman “ Pak Herman Saya tidak mau membeli Alkitab itu, sebab saya sudah mempunyai 3 Alkitab. Lebih baik Alkitab ini disimpan saja, apalagi ini adalah pemberian seorang pendeta yang spesial datang ke rumah Pak Herman. Hargailah pemberian ini dengan menyimpan dan membacanya baik-baik.

Pak Herman menjawab “Saya butuh uang, jadi lebih baik buku ini saya jadikan uang saja.”

Semula saya akan membantu Pak Herman, tetapi hati saya tidak tega sebagai orang yang menampung penjualan Alkitab itu. Saya tidak sampai hati. Bukankah lebih baik kalau ia menjual bajunya saja yang sudah tidak dipakai.

Mendengar bahwa saya tidak mau membeli Alkitab itu, Pak Herman bertanya kembali “Dok, dimana ada Toko Buku yang mau membeli Buku ini?”

Saya menjawab “Saya tidak tahu. Mungkin Toko Buku tidak mau membeli Alkitab yang hanya sebuah saja. Silahkan coba datangi Toko A ( saya sebutkan sebuah toko buku di kota saya ), mungkin mau membelinya.”

Pak Herman pamit dari rumah saya dan ia pergi dengan naik becak yang sejak tadi menunggu di depan rumah saya.

Saya membatin “Ya Tuhan, kok ada ya orang yang mau menjual Alkitab yang baru sehari diterimanya dari seorang hamba Tuhan?”

Jumat, Juli 04, 2008

Pantai Jimbaran



“Don’t die, before see Bali Island.” Jangan mati, sebelum melihat Pulau Bali.
Begitu slogan orang Barat yang berbau promosi. Bahkan bagi sebagian orang Australia, Bali adalah tanah air nereka yang kedua. Bali dan Australia masing-masing mempunyai pantai yang indah, tetapi mengapa orang Australia saat liburan lebih suka pergi ke Bali yang dapat dijangkau selama 5 jam penerbangan pesawat?

Bali mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak heran bila ada kesempatan, orang akan berusaha pergi melihat Pulau Bali, Pulau Kayangan. Wisman mancanegara menganggap pesiar di Bali lebih murah dari pada di negaranya sendiri. Shooping di Bali dirasa lebih murah bila memakai dolar ( USA / Australia ) untuk membeli produk dengan harga IDR ( Indonesian Rupiah ). Hal ini bertentangan dengan kemampuan wisman dalam negeri yang membeli produk disana dengan IDR mereka sebab kebanyakan produk telah dihargai dengan Dolar. Saya pernah melihat harga sepasang sandal jepit biasa US$8.0, di salah satu counter di Ngurah-Rai Airport, Denpasar pada tahun 2000. Kurs saat itu sekitar Rp. 7.000,- an. Dengan uang sebanyak itu berapa pasang sandal jepit kalau kita membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta? Bagi mereka US$8.0, no problem.

Sayang promosi yang gencar dilakukan oleh banyak pihak, tidak berdampak positip akibat ulah para teroris yang telah melakukan pemboman di Bali sampai dua kali. Hancurlah dunia pariwisata Bali, jumlah kunjungan yang merosot tajam, hotel-hotel menjadi sepi, bisnis para pedagang sekitar pantai menurun tajam, makin sulit penduduk lokal mencari nafkah. Pendapatan daerah asli pulau ini sebagian besar mengharapkan dari sektor pariwisata. Lebih parah lagi adanya travel warning oleh pemerintah USA dan Australia bagi warganegaranya untuk lebih berhati-hati bila ingin bepergian ke Bali.

Masih ada masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri yang tetap mengunjungi Bali, meskipun situasinya dianggap kurang aman. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan, kalau kita berbuat baik, kenapa mesti takut. Begitu alasan mereka.
------
Aku mengikuti rombongan mantan siswa SMA Negeri angkatan tahun 1966 di kota kami. Sejak 3 bulan sebelum keberangkatan rombongan yang berjumlah 44 orang ini telah mengadakan persiapan yang matang. Rombongan ini terdiri dari dari Ibu dan Bapak yang berusia diatas 55 tahun.

Rombongan menggunakan sebuah Bus Pariwisata dari kota Bandung. Bus yang mewah ini berangkat dari depan Mesjid At Taqwa kota Cirebon pada pukul 05.00 WIB tanggal 21 September 2005. Direncanakan kami akan kembali di kota kami kembali pada tanggal 26 Desember 2005 sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 2005.

Bus melintasi Pantai Utara Pulau Jawa, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan tiba di Surabaya sekitar pukul 01.30 dini hari akibat padatnya lalu lintas di Pantura, kami datang lebih lama dari perkiraan waktu tiba. Kami beristirahat di rumah Ibu Yati, isteri seorang mantan seorang Kapolres di daerah Surabaya.

Ketua rombonga kami, Pak Wihara mengadakan kontak melalui telepon genggam bahwa kami akan tiba di rumah Ibu Yati pada tengah malam, meskipun kami berjanji akan tiba sekitar pukul 19.00 untuk menghadiri resepsi pernikahan salah seorang putrinya.
“Selamat datang teman-temanku” Ibu Yati menyambut kedatangan kami.
“Sudah tiga puluh sembilan tahun kita tidak berjumpa sejak tahun 1966, tetapi teman-teman masih ingat kepadaku. Mari masuk, makan, minum sepuasnya dan beristirahatlah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Denpasar” Ibu Yati menerima kami dengan ramahnya. Maklum teman lama. Kami saling melepas kangen dan mengambil beberapa foto bersama.

Satu jam kemudian kami pamit kepada keluarga Ibu Yati dan bus menuju Pasir Putih dan tiba pagi hari sekitar jam 07.30 WIB. Bus kami berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam. Hanya berhenti bila mengisi Solar atau tiba di suatu tempat untuk makan atau buang air kecil yang biasanya salah satu pompa bensin. Dengan 2 orang Supir yang bertugas secara bergantian dan 3 orang awak bus Bus kami berjalan nonstop. Di salah satu Rumah Makan kami memanfaatkan fasilitas mandi dan toilet dengan bayaran Rp.2.000,-/orang.

“Wah segernya mandi disini” aku berkata kepada Marku temanku.
“Betul Bud, airnya segar dan kita sudah 1 hari tidak mandi.he..he..” Marku menjawab.
Setelah sarapan rombongan menuju arah Timur menuju kota Ketapang, Banyuwangi, tempat yang paling Timur dari Pulau Jawa. Bus kami menyebrang dari Ketapang dengan menggunakan kapal feri melintas Selat Bali menuju kota Gilimanuk.

Setiba di Gilimanuk, P. Bali, bus meluncur kearah utara P. Bali menuju Lovina Beach. Tengah hari kami tiba di pantai ini. Disini sebenarnya banyak ikan Lumba-lumba yang dapat kita lihat bila kita naik perahu motor ke tengah laut. Tidak seorangpun yang mau pergi ke tengah laut di tengah hari yang sangat panas.

Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Tengah, mengunjungi Danau Bedugul. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Selatan menuju Sanur. Kami bermalam dua malam di Hotel Abian Srama (*) untuk melepaskan lelah dan mandi sepuasnya.

Kesokan hari sebelum kami ramai-ramai berjalan kaki ke Pantai Sanur, setelah kami sarapan pagi di Hotel.
Marku temanku memesan secangkir kopi. Ketika ia akan membayar Kopinya ia terkejut karena disodori bon sebesar Rp. 10.000,- ( sekitar US$1.0 ).
“Kok mahal amat, harga Kopi di hotel ini. Di Pasar Sukowati ( pasar trdisionil diluar kota Denpasar), harganya hanya Rp.1.500,-”.
Aku menggodanya “Masih untung, kamu tidak ditagih US$4.0 harga normal secangkir Kopi di hotel ini. Mungkin itu sudah harga paket karena kita ini rombongan 44 orang yang nginap disini.”
Tampak kekesalan di wajah Marku, temanku.

Kami mengambil beberapa foto bersama di pantai Sanur ini. Keadaan berawan sehingga kami tidak dapat melihat Sunrise matahari terbit dan matahari tenggelam, Sunset di pantai Sanur yang indah ini. Sepanjang hari banyak para wisman dalam negeri dan luar negeri berjemur di pantai sanur ini.

Rombongan mengunjungi objek-objek pariwisata lain seperti Benoa Beach. Di pantai ini kami tiba tengah hari. Ada 2 rombongan masing-masing 10 orang yang menyewa perahu motor dengan bayaran Rp. 10.000,- per orang untuk menuju ke suatu tempat penangkaran Penyu Bali. Di tengah perjalanan perahu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan para wisman ini melihat dasar laut yang dangkal melalui alas perahu yang terbuat dari fiber glass yang transparan sehingga kami dapat melihat rumput laut yang hijau bergoyang-goyang oleh arus air laut, ikan-ikan berwarna-warni.

Tiba di tempat penangkaran Penyu Bali, kami melihat banyak Tukik ( anak Penyu ) dan kami berfoto bersama. Ada beberapa Ibu yang ingin berfoto ketika mereka dalam posisi menduduki salah satu Penyu yang terbesar. Wah kocaknya, karena sang Penyu ogah diduduki manusia. Ia bergerak-gerak dan penumpangnya berjatuhan. Wah heboh….Geerrr. tertawa semua.

Udara panas dan disana ada penjual Kelapa muda. Kami minum masing-masing sebuah Kelapa muda yang dihargai Rp. 10.000,-/buah yang tidak dapat ditawar.
“Lima ribu aja ya.” Nur menawar
“Tidak bisa Bu, kami juga membeli dari tempat lain dengan harga yang mahal” Ibu penjual Kelapa itu menolak tawaran Nur.
Ketika air Kelapa habis tersedot, kami minta Kelapa dibelah dengan golok besar dan tajam. Kami menikmati daging buah Kelapa muda yang kenyal dan nikmat itu.

Kami kembali ke Pantai dan banyak para turis yang bermain ski air yang ditarik kapal motor dengan kecepatan tinggi. Ada juga yang naik Parasut yang di tarik kapal motor sehingga parasut yang membawa seorang penumpang itu naik dan terbang tinggi di udara.

Yang lain menaiki perahu karet, bertiga mereka ( dua penumpang dan satu instruktur pendamping ) yang ditarik oleh kapal motor dengan kecepatan sangat tinggi sehingga akhirnya perahu karet ini dapat naik ke udara, seperti ikan terbang, flying fish. Terdengar teriakan-terikan para penumpangnya yang kaget karena tiba-tiba perahu karet yang mereka tumpangi terbang diatas permukaan air laut Benoa beach.

Keesokan harinya kami pindah Hotel, kami menginap semalam di Hotel Ratna (*) di daerah Kuta. Setelah check-in kami ada acara bebas. Kesempatan ini aku dan beberapa teman berjalan kaki menuju Monoment Bom Bali I di daerah Legian, Kuta. Kami sempat mengambil foto-foto yang diambil secara bergantian. Kamera digital Nikon Coolpix7900-ku sangat bermanfaat untuk mengabadikan moment ini.

Kami merasa sedih dan mengutuk keras para teroris yang telah melakukan pemboman di daerah ini. Banyak korban yang meninggal dan luka-luka, Bali makin sepi dikunjungi wisman. Nama-nama para korban diabadikan di di dinding Monomen ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Di dekat Hotel Ratna, ada sebuah Toko “Jogger” yang menjual pakaian, T-Shirt, gantungan kunci dan lain-lain produk. Mutu yang lebih bagus dari pada toko-toko lain, Jogger memasang tarif harga yang lebih mahal. Banyak kalimat-kalimat yang menggelitik yang melekat pada T-Shirt, gantungan kunci dll.

Yang unik adalah jam buka toko yang semaunya saja. Toko seharusnya dibuka pada pukul 10.00, calon pembeli sudah berkumpul banyak di depan pintu masuk. Eh….para petugas toko malah membiarkan mereka menunggu lama dan pada pukul 12.00 tengah hari barulah toko dibuka dan para calon pembeli saling berebut masuk. Mungkin mereka senang melihat para pengunjung berdesak-desakan berebut masuk ke toko mereka.

“Sialan bener nih toko. Kami disuruh menunggu berjam-jam untuk masuk” kata seorang Bapak sambil menuntun putra dan putrinya masuk ke toko Jogger.
“Siapa suruh mau datang ke toko ini”, seorang gadis di belakangnya berbisik kepada temannya. Mereka ketawa cekikian, mentertawai orang lain, padahal mereka sendiri pun sudah antri berjam-jam untuk sekedar membeli T-Shirt atau Jean yang ketat, kesukaan anak-anak muda.

Juga ada ketentuan membeli produk mereka yang di beri label Jogger: setiap pembeli hanya diperbolehkan membeli sebanyak 6 buah untuk T-Shirt, 3 buah untuk produk lain, dll dengan tujuan agar pengunjung yang lain pun dapat membelinya. Jadi tidak diperkenankan memborong semua barang. Pembayaran dengan Kartu Kreditpun tidak ditolak. Ada Loket pembayaran yang khusus untuk pembayaran dengan Kartu Kredit ini.
Makin dipermainkan, makin banyak pengunjung Toko Jogger ini. Inilah uniknya.

Antri? Siapa takut! Aku yang masuk paling akhir hanya geleng-geleng kepala saja. Penasaran tidak kebagian T-shirt, aku membeli 2 buah untuk putriku, masing-masing seharga Rp. 59.900,-. Kalau di toko lain mungkin setengah harganya. Kalau di Pasar Sukowati tentu harganya paling murah, hanya sekitar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- dengan keterampilan pandai menawar seperti kaum Ibu belanja. Disini pembeli boleh memborong barang yang diinginkan asal cukup uang untuk membayarnya.

Keunikan Pasar Sukowati adalah lokasinya yang dipinggir jalan keluar dari kota Denpasar menuju Negara dan Gilimanuk, tempat untuk menyebrang ke P. Jawa. Mau tidak mau setiap mobil / bus harus melewati pasar Sukowati. Pasar ini mirip pasar Tegalgubug, di daerah Arjawinangun, Kabupaten Cirebon yang konon pasar pakaian murah terbesar se Asean.

Kami mengunjungi GWK ( Garuda Wisnu Kencana ) di daerah Uluwatu. Tiba di tempat sekitar pukul 15.00 WITA ( WIB + 1jam ). Puluhan Bus pariwisata diparkir di pelataran parkir yang luas. Ketika kami tiba sudah banyak rombongan dari tempat lain antara lain dari suatu pabrik elektronik di Surabaya. Peserta rombongan puluhan Bus mereka disambut dengan Tari Barong dan lain-lain atraksi dan kamipun larut dengan iring-iringan mereka

Kami menuju suatu bukit dimana terletak GWK. Suatu patung Dewa Wisnu yang terbuat dari lempengan logam. Konon dibuat oleh para seniman di Bandung. Patung ini masih perlu disempurnakan, karena masih belum selesai dan masih menunggu sponsor. Di bukit lain tampak patung seekor Burung Garuda.

Disana dipamerkan suatu maket / contoh GWK dalam skala ukuran yang lebih kecil setinggi 1,5 meter. Meskipun belum selesai tetapi aku melihat tinggi patung Dewa Wisnu ini puluhan meter dari permukaan tanah. Dari bukit yang tinggi ini kami dapat melihat pemandangan yang indah disekitarnya. Pemilihan lokasi GWK ini rupanya sudah diteliti matang-matang oleh si pembuatnya.

Puas mengambil foto-foto, kami menuruni bukit untuk b.a.k, di toilet yang terjaga bersih, cukup air mengalir, berbau harum, free of charge alias gratis. Keluar dari toilet aku melihat banyak orang berkerumun di satu tempat. Ternyata itu adalah penjual Es Cendol kesukaanku.
“Berapa harganya segelas, pak?” aku bertanya.
“Opat ribu wae” jawab seorang pemuda sekitar 25 tahunan.
Kok pakai bahasa Sunda sih. Ternyata ia dan kawan-lawannya berasal dari kota Tasikmalaya.
Merasa bisa berbahasa Sunda, aku berkata “Nyuhunkeun deui esna sakedik.” ( minta esnya sedikit lagi ) kepada salah satu penjual.
Tanpa ragu sedikitpun ia memberikan es batu sebanyak yang aku mau, tanpa harga ekstra. Bila satu bahasa, maka semuanya bisa diatur. KKN nih!

Kami juga mengujungi Tanah Lot, dimana ada Pura yang lokasinya ditepi Pantai. Semua objek pariwisata banyak pengunjungnya. Banyak anak-anak muda seusia delapan - sepuluh tahunan mereka menjajakan Foto-foto Tanah Lot dan lain-lain dengan harga Rp. 15.000,- / untuk sepuluh foto ukuran Post card dan dengan mutu cetak yang bagus. Aku membelinya untuk kenang-kenangan. Kami tidak pernah melihat seorang pengemispun di Pulau Bali ini.

Nina, seorang guide tour lokal dari sebuah event organizer yang bekerja sama dengan pemilik Bus Pariwisata yang kami pergunakan, membawa kami ke sebuah rumah tempat menyewakan pakaian adat Bali dan berfoto secara perseorangan atau berkelompok. Rumah ini berada di suatu Gang di suatu jalan raya di kota Denpasar.

Aku difoto ketika berpakaian adat Bali dari seorang Raja ( kata petugas yang membantuku berpakaian ). Foto-foto yang dibuat sudah tiba di Hotel kami tempat bermalam pada sore harinya. Suatu service cetakan yang baik.

Sepanjang perjalanan di Pulau Bali, rombongan kami banyak menemui upacara Odalan ( ulang tahun desa / keluarga ). Upacara bakar mayat ( Ngaben ) kami tidak menjumpai, kerena diadakan pada waktu tertentu mengingat biayanya sangat mahal. Begitu kata pak Wayan Wisnu, guide tour kami yang berdomisili di kota Denpasar.

Kami juga mengunjungi suatu tempat bernama Celuk, di daerah Sukowati. Kota ini terkenal dengan perhiasan Emas dan Perak murni. Di Toko Bali Gold, kami melihat-lihat. Saya sempat membeli sepasang Cincin Perak untuk isteriku dan aku sendiri dengan huruf initial name masing-masing di cincin Perak itu.

Untuk hadiah ulang tahun putriku pada bulan Desember 2005 aku membeli sebuah Cincin mas 23 K yang bermata Mutiara sebesar butiran buah Jagung yang konon hasil produksi Mutiara di P. Lombok. Untuk putraku, aku sudah menyiapkan sebuah cincin bermata Batu Blue Safire yang aku beli dalam kunjungan kami setahun yang lalu ke P. Lombok. Semuanya itu kubayar dengan Kartu Kredit Visa. Cincin itu akan aku bawa dalam kunjungan kami ke Sydney, Australia, pada medio Desember 2005, ketika kami akan menghadiri Wisuda putra kami yang lulus sebagai Dokter di salah satu Universitas di kota Sydney.

Istana Presiden Tampak Siring juga kami kunjungi. Ketika kami tiba disana sekitar pukul 16.00 WITA. Kami tidak diperkenankan masuk ke dalam halaman dalam Istana, hanya diperbolehkan masuk sampai di halaman depan. Kami sempat berfoto bersama dua orang Petugas Keamanan Istana. Dari kejauhan kami melihat banyak Rusa yang sedang merumput di halaman di depan bangunan Istana.

Suatu malam hari menjelang kepulangan kami kembali ke P. Jawa, kami makan malam bersama di Jimbaran Beach ( Pantai Jimbaran ). Dinner ini merupakan paket Pariwisata yang kami dapatkan dari trip kami ke P. Bali. Kami memasuki halaman belakang dari suatu Rumah Makan. Halaman ini langsung berada di tepi pantai Jimbaran.

Ada banyak Rumah Makan sepanjang pantai ini. Ratusan bus dan mobil pribadi di parkir di halaman parkir. Jalan raya yang hanya dapat dilalui oleh 2 mobil kecil sehingga sukar bila 2 bus saling berpapasan. Salah satu Bus mesti mengalah memberi jalan bagi Bus lainnya.

Ketika kami datang sekitar pukul 18.15 WITA, suasana pantai belum begitu ramai. Setengah jam kemudian seluruh kursi di seluruh Rumah makan sudah terisi. Sepertinya kami harus pesan tempat, bila ingin Dinner di pantai Jimbaran.

Kami mengharapkan sekali agar malam terakhir ini kami dapat menikmati Sunset di panatai Jimbaran. Lagi-lagi kami kecewa, karena awan hitam mendung banyak menghalangi sinar matahari yang akan masuk keperaduannya.

Kami berfoto bersama ketika hidangan sudah berada di meja masing-masing. Satu meja untuk delapan orang. Nyala lilin-lilin menambah semaraknya suasana di pantai Jimbaran ini. Baru sekali itu aku menikmati Dinner di pantai Jimbaran. Sayang isteriku tidak berada disampingku, karena urusan kantornya tidak mengijinkan mengikuti Trip kami ini.

Hidangan yang kami nikmati malam itu berupa: sebakul Nasi putih hangat, Ikan-ikan bakar ukuran kecil, Kangkung Pelecing ( ca kangkung yang sedikit pedas yang konon sayur Kangkung ini di datangkan dari P. Lombok ), Tahu, Tempe goreng, Sambel Terasi dan segelas Es Sirop. Nikmat juga Dinner ini. Angin berhembus lembut di pantai Jimbaran. Gelak tertawa saling bersahutan. Terasa aman dan damai. Kami menikmati sekali moment itu.

“Kita belum tentu bisa Dinner bersama lagi dalam kondisi yang sama seperti malam ini, Wi” aku berkata kepada Wihara yang duduk di sampingku.
“Betul Bud, mungkin kita hanya sekali ini bisa makan bersama. Lain kali mungkin jumlah teman tidak selengkap malam ini” jawabnya.

Keesokan harinya kami setelah chec-out hotel Ratna menuju Pasar Sukowati. Semua teman Ibu dan Bapak turun dari Bus. Turun hujan cukup besar tidak menghalangi mereka masuk ke dalam Gedung Pasar yang besar ini. Banyak yang memborong pakaian atau sekedar gantungan kunci. Padahal di kota kami ada banyak barang yang dijual dengan mutu yang sama. Mereka rela bersusah payah untuk belanja, katanya untuk oleh-oleh bagi yang di rumah.

Marku, temanku yang pecandu Kopi, memesan segelas Kopi di salah satu warung dan menikmati Kopi dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga secangkir Kopi di Hotel berbintang satu. Wajahnya cerah, secerah sinar matahari yang muncul kemudian setelah hujan reda di Pasar Sukowati. Aku memesan Mie instan kuah hangat ditambah sebutir Telur Ayam yang dilahap nikmat pada saat udara dingin akibat turun hujan di daerah Sukowati ini.

Bus meluncur ke Gilimanuk untuk menyebrangi Selat Bali dan kembali ke P. Jawa setelah melewati Ketapang di ujung Timur P. Jawa. Kami berjalan melewati pantai Selatan P. Jawa. Kami menuju Jember, Lumajang dan Blitar.

Di kota Blitar mobil kami di parkir di suatu tempat khusus parkir Bus. Kami mandi di rumah-rumah penduduk yang menyewakan kamar mandinya bagi para pejiarah makam Bung Karno. Dengan Tarif Rp.2.000,- kami dapat mandi sepuasnya. Makan pagi sekitar pukul 10.00 WIB berupa nasi Pecel, Rempeyek Kacang dan segelar air Teh hangat seharga Rp. 3.000,- sungguh nikmat. Badan segar sehabis mandi, perut kenyang, harga cukup terjangkau, kami bersiap-siap naik becak menuju Museum Bung Karno dan Makam Bung Karno.

Aku naik becak berdua dengan Marku, becak lain diisi isteri Marku dan anak gadisnya. Dengan tarif Rp. 10.000,- pulang pergi ke tempat asal, pelataran parkir Bus, kami mengunjungi Museum Bung Karno.

Musium Bung Karno sebagai Proklamator negera kita terletak di dalam sebuah rumah yang besar. Bangunan yang kuno ini mempunyai halaman yang luas dan dihuni oleh kerabat dekat Bung Karno. Semua ruangan bangunan diisi dengan perabot rumah tangga, lukisan dll barang. Kami dimintakan berfoto instan Polaroid dimana saja dengan membayar Rp. 10.000,- dan kami diperbolehkan untuk melihat-lihat musium Bung Karno sepuasnya.

Di halamanan belakang samping bangunan, diparkir sebuah mobil Mercedes warna hitam keluaran puluhan tahun yang lalu. Tampaknya mobil ini sudah tidak pernah dipergunakan lagi. Mobil yang mempunyai makna bersejarah ini tampak anggun dan aku sempat berfoto di samping Mercy hitam ini.

Kami menuju Makam Bung Karno dengan naik becak yang dengan setia menunggu kami. Kompleks Makam yang sedang dipugar ini cukup bagus. Di halaman depan tampak berdiri beberapa bangunan bergaya modern dan ada kolam air mancur yang belum selesai.

Dibelakang bagunan ini tampak sebuah halaman yang luas. Ditengah halaman ini berdiri sebuah bangunan beratap gaya Jawa. Tampak ada 3 makam. Di tengah adalah Makam Bung Karno dan di sisi kiri dan kanan adalah Makam Ibunda dan Ayahanda Bung Karno. Makam ini terbuat dari bahan yang bagus, lantai makam berupa keramik yang licin mengkilap.

Setelah semua peserta berkumpul di dalam Bus, kami lenjutkan perjalanan pulang. Bus menuju kota Yogya kemudian kami tiba di kota kecil Wates pada pukul 18.30 WIB. Bus berhenti di Rumah Makan Ambarketawang, satu Rumah Makan yang besar. Kami sempat mandi dan Dinner makanan khas Jawa Tengah. Sistim pembayaran yang khas pula. Rp. 10.000,- makan prasmanan sepuasnya. Selesai Dinner, kami masuk ke Toko yang menjual bermacam-macam Snack di sebelah Rumah Makan ini. Beban Bus kami bertambah berat karena hampir semua penumpang memborong makanan / Snack yang dijual disini.

Bus melanjutkan perjalanan ke kota Gombong, Puwokerto, Prupuk, Ketanggungan, Losari dan masuk kota Cirebon. Jalan raya di daerah Selatan Jawa tidak sebaik jalan raya berhotmix di Pantai Utara Jawa.

Kami tiba kembali di depan Mesjid At Taqwa Cirebon pada tanggal 26 September 2005 pukul 02.30 dini hari, tempat Start dan Finish Trip kami ke P. Bali. Seperti ketika Start, kami saat Finish bersama-sama memanjatkan doa dan bersyukur bahwa kami dapat selamat diperjalanan dan tiba kembali di kota kami dengan selamat pula, baik para penumpang, krew Bus dan Busnya sendiri yang tidak pernah mogok, meskipun selama perjalanan lebih banyak mesinnya hidup dari pada berhenti.

5 hari setelah kami tiba di Cirebon, kami mendengar melalui siaran TV bahwa pada tanggal 1 Oktober 2005 malam hari, terjadi ledakan Bom di Pantai Jimbaran dan Pantai Kuta ( Raja’s Bar & Restaurant, Kafe Menage dan Kafe Nyoman ). 22 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Kami telah dilindungiNya dan terhindari dari bencana maut itu. Kami baru saja meninggalkan Pantai Jimbaran.

Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kepada Tuhan. Para peserta Trip ini saling berkirim SMS menyatakan puji syukur kepada Tuhan yang telah melindungi kami dari ledakan Bom Bali II dan mengutuk keras para pelakunya.

Kamis, Juni 26, 2008

Pak Mamad


Suatu sore terdengar dering bel Ruang periksa saya. Setelah pintu terbuka, aku melihat seorang Bapak yang sudah kukenal sebagai pasien lama dan sangat akrab denganku.
“Selamat sore, Dok,” katanya.
“O... Pak Mamad, jangan panggil Dokter, panggil saja namaku, Pak . Mari masuk.” Aku mempersilahkannya masuk Ruang Periksa.
“Ada keluhan apa Pak?” aku bertanya.
“Biasalah, pusingnya kumat lagi.”

Segera aku memeriksa pasienku ini. Tekanan darahnya 160/90 mmHg, denyut jantung lebih cepat dari normal, berat badan 80 Kg, lain-lain normal. Dibandingkan 10 tahun yang lalu, tekanan darahnya normal 120/80 mmHg, berat badan 60 kg, tidak teralu jelek untuk tinggi badan 167 Cm. Makin bertambah umur manusia cenderung akan mengalami kenaikan tekanan darah dan berat badan bila pola hidup dan pola makan tidak dijaga ketat. Sosial ekonomi Pak Mamad biasa-biasa saja. Mungkin ada faktor genetik sehingga badannya sekarang menjadi gemuk. Ia dan isterinya satu rumah dengan putra / anak sulungnya yang bekerja di sebuah toko telepon genggam. Dua orang putrinya lainnya sudah berkeluarga dan mengikuti suaminya yang tinggal satu kota.

“Tekanan darahnya sedikit tinggi, Pak. Apa ada masalah keluarga?” saya bertanya kepada Pak Mamad.
“Masalah sih tidak ada, tetapi semalam saya kurang tidur.”
“Mengapa susah tidur?” aku bertanya.
“Gigi geraham saya berlubang. Saya sudah berobat ke Puskesmas di dekat rumah tetapi sakit. Hari ini saya mau ke Puskesmas lagi. Mungkin perlu ditambal.”

Sebuah gigi yang ukurannya relatip kecil bila dibandingkan dengan organ tubuh lainnya dapat menyebabkan seseorang menderita. Bila tidak segera diobati, akan menyebabkan gangguan emosi seperti mudah tersinggung, susah tidur, marah-marah, tidak selera makan dsb.

“Pak Mamad, ini resepnya.” Saya memberikan resep untuknya berupa anti pusing dan sedikit penenang generik .
“Belilah di apotik terdekat.” Sambil menyerahkan resep obat dan 2 lembaran uang dua puluh ribuan kepadanya.
“Wah terima kasih nih. Sudah diberi resep obat, bahkan diberi uang lagi. Semoga hari ini banyak pasiennya, Bud.” Kata Pak Mamad sambil tersenyum meninggalkan Ruang Periksaku.
“Amin.” Aku mengamininya.
“Hati-hati di jalan, ya Pak.” Kataku.

-----

Tahun 1954 memasuki kelas 1 SD Zending school ( SD Kristen, Jl. Kromong Cirebon ), saya masuk sekolah sore hari mulai pukul 13.00 – 17.00. Jarak rumah kami dengan sekolahku cukup jauh, sekitar 3 km. Ayahku bekerja sebagai petugas pembukuan di sebuah toko kelontong. Ibuku menerima jahitan pakaian wanita dan dibantu seorang tukang jahit. Orang tuaku praktis tidak dapat mengantar dan menjemputku pulang dari sekolah setiap hari. Tugas antar-jemput ini diserahkan kepada Pak Mamad. Sekarang istilahnya Tukang ojek sepeda. Aku dudak dibelakang sepeda ayahku yang dikayuh oleh Pak Mamad. Saat itu sepeda motor dan mobil masih sangat sedikit jumlahnya.

Pekerjaan Pak Mamad sebenarnya adalah Montir truk. Pamanku dan ayahku mempunyai 2 buah truk angkutan barang Cirebon – Jakarta. Umur truk yang sudah tua, jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi jalan Pantura yang seperti kubangan kerbau menyebabkan Truk itu hampir selalu harus diperbaiki setelah mengantar barang ke Jakarta dan kembali ke Cirebon. Truk tersebut disimpan di sebuah garasi dengan halaman yang cukup luas diseberang rumah kami ( sekarang telah menjadi T.K. Kristen, Jl. Merdeka ). Paman menyewa tanah itu dari seorang Bapak Haji, tetangga kami.

Suatu sore setelah jam pelajaran selesai, aku mencari-cari Pak Mamad yang biasanya sudah menunggu di halaman SD. Sampai semua murid SD pulang, Pak Mamad masih belum muncul juga. Hari makin gelap karena awan hitam menutupi sinar sang Surya. Aku ingin naik becak, tetapi aku takut dimarahi Ibuku dan takut diculik karena aku belum paham benar jalan-jalan di kotaku saat itu.

Di depan gedung SD aku menangis, takut, marah karena jemputan tak kunjung tiba. Tak seorangpun lagi berada di depan SD-ku. Rupanya Ibuku saat itu juga merasa ada yang aneh, mengapa sudah sore begini aku masih belum pulang dari sekolah dan belum berada di rumah.
“Pak Mamad, mengapa Budi belum dijemput? Sekarang sudah lewat waktu jemputan.” tegur Ibuku kepada pak Mamad.
“Pasang ban Truk ini masih belum selesai dan malam ini truk akan berangkat ke Jakarta, Bu.” Jawab Pak Mamad.
“Iya sekarang saya, akan jemput Budi di sekolah.”
Aku menggerutu selama waktu yang ditempuh sepeda Pak Mamad menuju SD-ku. Apa jadinya nanti bila aku benar-benar tidak dijemput?

“Sudah jangan menangis lagi, Bud. Saya lupa menjemput. Mari kita pulang.” bujuk Pak Mamad kepadaku.
Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali, tetapi kali yang kedua dan seterusnya aku tidak menangis lagi. Aku sudah menghafalkan route jalan dari SD ke rumahku dan sebaliknya. Bila jemputan terlambat lagi aku akan pulang jalan kaki saja. Aku malu diledek tukang nangis oleh Pak Mamad. Saat itu ia tidak menyangka bahwa anak tukang nangis ini kelak menjadi seorang Dokter dan dimasa tuanya anak ini bisa mengobati penyakit tuanya.

-----

Waktu berjalan dengan cepat, aku lulus menjadi Dokter, menikah dan mempunyai 1 orang putra dan 1 orang putri. Sejak April 2000 aku sudah pensiun dari Departemen Kesehatan R.I. Umurku sudah 61 tahun, putra kami sudah lulus juga sebagai Dokter Umum dan sujah bekerja selama 3 tahun di salah satu Rumah Sakit di kota Sydney. Adiknya juga sudah menyelesaikan study S1 dan S2 nya pada tahun 2007 dan sudah bekerja sejak 6 bulan yang lalu di salah satu pabrik pengolahan susu di kota Sydney. Aku merasa sudah S2 ( Sudah Sepuh ). Sudah waktunya alih generasi.

Bila bertemu dengan Pak Mamad, saya bersyukur bahwa ia masih diberi umur yang panjang, sepanjang umur Ibuku saat ini, 81 tahun. Mereka diberi umur yang panjang. Sayang ayahku sudah dipanggil Tuhan 16 tahun yang lalu akibat serangan Stroke. Ayahku tidak bisa lagi ngobrol dengan Pak Mamad montir pamanku. Hari-hari tertentu atau menjelang Hari Raya Idul Fitri, Pak Mamad mampir ke tempatku hanya untuk ngobrol-ngobrol atau berkonsultasi tentang kesehatannya. Tak lupa saya memberikan uang transport yang ia terima dengan senang hati. Lumayan katanya untuk beli beras, teh kesukaannya dan makanan burung Perkututnya.

Kring…….aku terkejut mendengar bel pintu Ruang Periksa ditekan oleh pasien berikutnya.-

Perokok berat


26 Juni 2008.

Beberapa bulan yang lalu saya kedatangan pasien, Pak A, 64 tahun. Ia diantar isterinya berobat kepada saya.

Pak A mengatakan bahwa ia ingin berobat dengan keluhan utama batuk-batuk sejak 1 minggu yang lalu. Isterinya Ibu A mengeluh bahwa selama suaminya sakit batuk-batuk, ia sukar tidur.
Saya bertanaya kepada Ibu A “ Mengapa Ibu sukar tidur, padahal yang sakit suami Ibu?”
Ibu A menjawab “Begini, Dok. Kalau suami saya batuk, terutama malam hari ketika kami tidur, maka ranjang kami ( tempat tidur yang terbuat dari besi, model lama ) bergoyang-goyang. Goyangan itu yang membuat saya terbangun dari tidur dan sukar tidur kembali.”
“Sudah berapa lama, Ibu sukar tidur?”
“Sejak 3 minggu yang lalu, Dok.”
Jadi saya tahu bahwa Pak A batuk-batuk bukan sejak 1 minggu yang lalu tetapi sejak minimal 3 minggu yang lalu.

Saya memeriksa fisik Pak A, mulai dari mengukur tekanan darah, memeriksa bunyi Jantung dan Paru-paru. Ternyata bunyi pernafasannya tidak normal. Terdengar bunyi yang khas untuk Bronchitis. Saya mencium bau nafasnya yang khas perokok.

Saya bertanya kepada Pak A “ Apakah Bapak merokok?”
“Benar, Dok.”
“Berapa banyak Bapak merokok?”
“Tiga, Dok”
“Tiga apa? Tiga batang atau tiga bungkus?”
“Tiga bungkus per hari”
“Wah, Bapak mesti berhenti merokok, kalau Bapak ingin sembuh dari batuk-batuk”
“Tidak bisa berhenti, Dok.”
“Kalau tidak mau berhenti merokok, percuma minum obat selama bapak merokok terus. Lebih baik berhenti merokok.”
‘Percuma, Dok.”
“Mengapa percuma?”
“Saya sudah terbiasa merokok”
“Kalau begitu lebih baik Bapak pulang saja, tidak usah saya beri obat lagi.”
“Lho, saya kan datang kesini mau berobat agar batuk-batuk saya sembuh”
“Percuma diberi obat sebakul juga, kalau Bapak tetap merokok, maka batuk-batuk Bapak tidak akan sembuh” kata saya sambil guyon.

Saya melanjutkan “Tadi Bapak berkata percuma berhenti merokok, kenapa?”
“Percuma, sebab merokok atau tidak merokok orang akan mati juga”

Glek..saya terkejut mendengar ucapan pasien saya itu.
Lalu saya menjawab “Iya betul, semua orang akhirnya akan mati juga, tetapi Bapak akan mati duluan” sambil guyon.
Tampak wajah Pak A menjadi sedih.

Setelah dipersilahkan duduk, saya berkata kepada Pak A dan Ibu A “ Kalau harga 1 bungkus rokok Rp. 6.000,-, maka 3 bungkus adalah Rp. 18.000,-. Dengan uang sebanyak Rp. 18.000,-, saya dapat membeli 1 Kg Beras, 1 Kg Telur Ayam dan 1 Liter Susu sapi setiap hari. Kalau semuanya saya berikan kepada Ibu, apakah Ibu mau?”
Ibu A langsung menjawab “Mau, Dok. Dari pada uang itu diberikan kepada suami saya dan dibakar setiap hari”
“Nah Pak, apakah Bapak mulai saat ini mau berhenti merokok?”
Pak A menjawab “Iya sudah Dok, saya mau berhenti merokok”
Ibu A berkomentar “Pak, jangan bilang mau berhenti merokok di depan Pak Dokter saja, nanti sepulang dari sini Bapak merokok lagi. Betul ya berhenti merokok, agar Bapak cepat sembuh dan saya dapat tidur lagi.”
Saya tersenyum dan ingat ada ranjang yang bergoyang-goyang ketika Pak A batuk-batuk dimalam hari.

Dari kisah singkat itu saya menjadi terharu, tidak mudah untuk memotivasi seseorang agar berhenti merokok. Sore itu minimal saya sudah berupaya untuk membujuk Pak A agar mau berhenti merokok demi kesehatannya dan demi isteri tercinta agar mereka dapat hidup lebih lama dalam kondisi sehat, sampai dipanggil Tuhan suatu saat kelak.-

Sabtu, Maret 08, 2008

Mengaku orang miskin


Sebenarnya saya enggan menulis pengalaman saya ini, tetapi makin lama makin menggelitik perasaan saya.

Suatu sore ketika saya buka praktek umum, datanglah Pak ATW, 65 tahun yang ingin berobat. Ia mempunyai keluhan pusing dan ingin diukur tekanan darahnya. Rasa pusing bersifat subjektip sehingga saya tidak dapat menyatakan berapa besar rasa pusingnya. Tekanan darahnya 140/80 mmHg, masih dalam batas wajar baginya. Lain-lain dalam batas normal, kecuali kulitnya yang sudah mulai berkeriput.

Dalam perbicaraan kami, Pak ATW ini menyatakan bahwa ia saat ini merupakan orang miskin, artinya tidak mempunyai uang untuk biaya berobat ( aneh juga ya katanya orang miskin tetapi kemana-mana ia naik becak ). Saya tidak ambil pusing kalau ia tidak membayar biaya pemeriksaan. Ketika saya persilahkan keluar dari ruang periksa, Pak ATW ini ingin curhat kepada saya.

Saya persilahkan ia berkisah, karena di ruang tunggu saat itu belum ada pasien berikutnya.

Sewaktu muda ia adalah seorang wiraswastra yang sukses. Ia dan keluarga bertempat tinggal sekitar 3 blok, sekitar 800 meter dari tempat praktek saya. Ia dan isteri dikarunia 3 orang anak. Saat ia berkisah 2 orang anaknya tinggal di Australia dan 1 orang anak lainnya tinggal di Jakarta. ( dalam hati saya menganggap mereka cukup mapan ). Dari ketiga anaknya itu tidak ada seorangpun yang mengirim uang kepada Pak ATW selaku ayahnya ( saya tidak habis pikir bagaimana anak-anak yang berkecukupan tidak mau memberi kepada ayahnya ). Saat itu Pak ATW sudah bangkrut.

Pak ATW saat curhat dan sampai sekarang sudah pisah rumah dengan isterinya yang katanya tinggal di salah satu kota di Jabar. Kenapa berpisah. Katanya mereka tidak cocok. Kenapa tidak bercerai secara resmi? Pak ATW ini menjawab ia tidak mau menceraikan isterinya. Apakah Pak ATW memberi nafkah bagi isterinya? Tidak, karena katanya ia tidak mempunyai uang.

Saya melihat pakaian Pak ATW cukup bagus, bahkan bahannya lebih bagus dari pada bahan pakaian yang saya pakai sehari-hari. Saat ini tinggal dimana? Dirumah sendiri. Dari mana uang untuk membayar rekening listrik, air ledeng, beli makanan dll? Pak ATW menjawab semua dari adiknya. Katanya adik-adiknya yang tinggal sekota dengannya mau memberikan uang untuk keperluan hidupnya. Untuk beli obat ia ngutang di salah satu apotiik milik temannya dan ia membayar pada akhir bulan dengan uang yang ia dapat dari adiknya.

Saya bertanya apakah selama ini Pak ATW sudah berdoa dan mohon bantuan dari Tuhan sesuai dengan imannya? Ia menjawab ia rajin datang ke rumah ibadahnya dan ia sudah banyak kali berdoa. Ia mengaku sudah pernah bertemu dengan Tuhan. ( dalam hari saya pikir ini bagus kalau dapat bertemu dengan Tuhan, tetapi apakah ini hanya halusinasi Pak ATW saja. Ia ngotot bahwa ia pernah bertemu dengan Tuhan. Ya sudah kalau begitu. ).

Pada akhir tahun 2007 ia mengaku telah mengirimkan Fruit parcel ke rumah kami. Saya mengucapkan terima kasih atas kirimannya dan berkata kepadanya agar lain kali tidak usah kirim apa-apa kepada saya ( katanya ia orang miskin ). Ia berkata uangnya didapat dari adiknya untuk membeli Fruit parcel tsb. Saya tidak melihat parcel tsb karena saya dan isteri pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008 pergi ke Australia mengunjungi putra dan putri kami yang tinggal dan bekerja di salah satu kota di negara Kangguru. Setiap Fruit parcel yang kami terima saya minta kepada penunggu rumah kami agar segera dikirim ke rumah ibu saya untuk dinikmati dan boleh diberikan kepada sanak famili kami. Jadi saya tidak tahu adakah nama Pak ATW pengirim parcel tsb.

Bulan Peb 2007 ia datang dengan keluhan susah tidur. Ia minta dibuatkan resep sesuai dengan obat yang pernah diberikan dari dokter umum lain. Saya lihat obat penenang dengan merk paten dari salah satu pabrik obat yang isinya Diazepam 5 mg. Saya buatkan resep baginya dengan pesan agar tidak sering-sering minum obat tsb karena dapat menyebabkan ketergantungan obat. Dari pada minum obat lebih baik rajin berdoa dan beribadah saja. Pak ATW meletakkan sejumlah uang dibawah map diatas meja tulis saya. Saya bilang tidak usah, bawa saja uang itu untuk membeli obat. Ia tidak mau.

Minggu yang lalu Pak ATW datang lagi khusus untuk minta resep obat seperti yang minggu lalu saya buatkan. Nah terbukti kan bahwa ia sudah mempunyai perasaan bila tidak minum obat itu ia tidak bisa tidur. Katanya ia Stres. Ia tidak mau ceritakan apa penyebab Stresnya itu. Kalau minum obat tsb ia bisa tidur. Saya godaiin dia dengan berkata, kalau mau tidur kan tinggal berbaring dan pejamkan mata saja. Kenapa mesti repot-repot minum obat tertentu? Ia bilang tidak bisa dok. Wah kalau begitu percuma rajin beribadah kalau masih tergantung kepada obat duniawi itu.

Dengan maksud agar ia berhenti minum obat tsb saya bilang, ini resep obat tsb tetapi untuk yang teakhir kalinya. Anda harus berhenti kebiasaan minum obat. Milikilah kemauan untuk berhenti minum obat dan makin tekunlah beribadah agar Tuhan memberikan kekuatan untuk melawan keinginan duniawi. Ia bilang baik dok, lalu ia menyodorkan sehelai uang kecil diatas meja tulis saya. Aneh juga ya katanya orang miskin tetapi pakaiannya bagus, selalu naik becak dan masih memiliki uang di saku celananya.

Jadi miskin itu relatip. Miskin menurut pendapatnya, tetapi tidak miskin menurut pandangan orang lain.

Sampai saat artikel ini saya tulis Pak ATW belum datang lagi. Semoga ucapan saya ditaati olehnya. Semoga. Amin.