Sabtu, Maret 08, 2008

Mengaku orang miskin


Sebenarnya saya enggan menulis pengalaman saya ini, tetapi makin lama makin menggelitik perasaan saya.

Suatu sore ketika saya buka praktek umum, datanglah Pak ATW, 65 tahun yang ingin berobat. Ia mempunyai keluhan pusing dan ingin diukur tekanan darahnya. Rasa pusing bersifat subjektip sehingga saya tidak dapat menyatakan berapa besar rasa pusingnya. Tekanan darahnya 140/80 mmHg, masih dalam batas wajar baginya. Lain-lain dalam batas normal, kecuali kulitnya yang sudah mulai berkeriput.

Dalam perbicaraan kami, Pak ATW ini menyatakan bahwa ia saat ini merupakan orang miskin, artinya tidak mempunyai uang untuk biaya berobat ( aneh juga ya katanya orang miskin tetapi kemana-mana ia naik becak ). Saya tidak ambil pusing kalau ia tidak membayar biaya pemeriksaan. Ketika saya persilahkan keluar dari ruang periksa, Pak ATW ini ingin curhat kepada saya.

Saya persilahkan ia berkisah, karena di ruang tunggu saat itu belum ada pasien berikutnya.

Sewaktu muda ia adalah seorang wiraswastra yang sukses. Ia dan keluarga bertempat tinggal sekitar 3 blok, sekitar 800 meter dari tempat praktek saya. Ia dan isteri dikarunia 3 orang anak. Saat ia berkisah 2 orang anaknya tinggal di Australia dan 1 orang anak lainnya tinggal di Jakarta. ( dalam hati saya menganggap mereka cukup mapan ). Dari ketiga anaknya itu tidak ada seorangpun yang mengirim uang kepada Pak ATW selaku ayahnya ( saya tidak habis pikir bagaimana anak-anak yang berkecukupan tidak mau memberi kepada ayahnya ). Saat itu Pak ATW sudah bangkrut.

Pak ATW saat curhat dan sampai sekarang sudah pisah rumah dengan isterinya yang katanya tinggal di salah satu kota di Jabar. Kenapa berpisah. Katanya mereka tidak cocok. Kenapa tidak bercerai secara resmi? Pak ATW ini menjawab ia tidak mau menceraikan isterinya. Apakah Pak ATW memberi nafkah bagi isterinya? Tidak, karena katanya ia tidak mempunyai uang.

Saya melihat pakaian Pak ATW cukup bagus, bahkan bahannya lebih bagus dari pada bahan pakaian yang saya pakai sehari-hari. Saat ini tinggal dimana? Dirumah sendiri. Dari mana uang untuk membayar rekening listrik, air ledeng, beli makanan dll? Pak ATW menjawab semua dari adiknya. Katanya adik-adiknya yang tinggal sekota dengannya mau memberikan uang untuk keperluan hidupnya. Untuk beli obat ia ngutang di salah satu apotiik milik temannya dan ia membayar pada akhir bulan dengan uang yang ia dapat dari adiknya.

Saya bertanya apakah selama ini Pak ATW sudah berdoa dan mohon bantuan dari Tuhan sesuai dengan imannya? Ia menjawab ia rajin datang ke rumah ibadahnya dan ia sudah banyak kali berdoa. Ia mengaku sudah pernah bertemu dengan Tuhan. ( dalam hari saya pikir ini bagus kalau dapat bertemu dengan Tuhan, tetapi apakah ini hanya halusinasi Pak ATW saja. Ia ngotot bahwa ia pernah bertemu dengan Tuhan. Ya sudah kalau begitu. ).

Pada akhir tahun 2007 ia mengaku telah mengirimkan Fruit parcel ke rumah kami. Saya mengucapkan terima kasih atas kirimannya dan berkata kepadanya agar lain kali tidak usah kirim apa-apa kepada saya ( katanya ia orang miskin ). Ia berkata uangnya didapat dari adiknya untuk membeli Fruit parcel tsb. Saya tidak melihat parcel tsb karena saya dan isteri pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008 pergi ke Australia mengunjungi putra dan putri kami yang tinggal dan bekerja di salah satu kota di negara Kangguru. Setiap Fruit parcel yang kami terima saya minta kepada penunggu rumah kami agar segera dikirim ke rumah ibu saya untuk dinikmati dan boleh diberikan kepada sanak famili kami. Jadi saya tidak tahu adakah nama Pak ATW pengirim parcel tsb.

Bulan Peb 2007 ia datang dengan keluhan susah tidur. Ia minta dibuatkan resep sesuai dengan obat yang pernah diberikan dari dokter umum lain. Saya lihat obat penenang dengan merk paten dari salah satu pabrik obat yang isinya Diazepam 5 mg. Saya buatkan resep baginya dengan pesan agar tidak sering-sering minum obat tsb karena dapat menyebabkan ketergantungan obat. Dari pada minum obat lebih baik rajin berdoa dan beribadah saja. Pak ATW meletakkan sejumlah uang dibawah map diatas meja tulis saya. Saya bilang tidak usah, bawa saja uang itu untuk membeli obat. Ia tidak mau.

Minggu yang lalu Pak ATW datang lagi khusus untuk minta resep obat seperti yang minggu lalu saya buatkan. Nah terbukti kan bahwa ia sudah mempunyai perasaan bila tidak minum obat itu ia tidak bisa tidur. Katanya ia Stres. Ia tidak mau ceritakan apa penyebab Stresnya itu. Kalau minum obat tsb ia bisa tidur. Saya godaiin dia dengan berkata, kalau mau tidur kan tinggal berbaring dan pejamkan mata saja. Kenapa mesti repot-repot minum obat tertentu? Ia bilang tidak bisa dok. Wah kalau begitu percuma rajin beribadah kalau masih tergantung kepada obat duniawi itu.

Dengan maksud agar ia berhenti minum obat tsb saya bilang, ini resep obat tsb tetapi untuk yang teakhir kalinya. Anda harus berhenti kebiasaan minum obat. Milikilah kemauan untuk berhenti minum obat dan makin tekunlah beribadah agar Tuhan memberikan kekuatan untuk melawan keinginan duniawi. Ia bilang baik dok, lalu ia menyodorkan sehelai uang kecil diatas meja tulis saya. Aneh juga ya katanya orang miskin tetapi pakaiannya bagus, selalu naik becak dan masih memiliki uang di saku celananya.

Jadi miskin itu relatip. Miskin menurut pendapatnya, tetapi tidak miskin menurut pandangan orang lain.

Sampai saat artikel ini saya tulis Pak ATW belum datang lagi. Semoga ucapan saya ditaati olehnya. Semoga. Amin.

6 komentar:

  1. susah jg ya dok, apalg obatnya masuk 'dlm pengawasan'..dl ada pasien yg spt itu dengan keluhan/riwayat yg ngga jls, ternyata pindah2 dokter biar bs dpt obat yg sama scr rutin..

    salam

    BalasHapus
  2. To: Dani Iswara,
    Sebenarnya saya kasihan padanya. Ia yang semula hidupnya mapan sekarang tidak berpenghasilan dan menggantungkan hidupnya pada adiknya. Saya tidak habis pikir mengapa 3 anaknya tidak ada yg care kepada ayahnya. Pasti ada sebabnya sehingga 3 anaknya begitu. Ia tidak mau menceritakan kehidupan masa lalunya lebih lanjut. Makasih sudah berkunjung.

    BalasHapus
  3. memang betul kalo dibandingkan dengan masa mudanya sekarang beliau itu miskin.
    Kemana2 naik becak, kalo dulu mngkin kemana2 naik mobil mewah...
    ^_^

    BalasHapus
  4. To : Iyank4, he..he.. mungkin ia masih mengangap ia masih jadi orang kaya kali ya.

    BalasHapus
  5. Benar Dok, miskin itu relatif. Contohnya aja para anggota DPR yang sudah punya gaji besar, tunjangan dan fasilitas mewah lainnya dari negara masih aja tuh mencuri uang rakyat dengan cara korupsi....keterlaluan ya..

    BalasHapus
  6. To Happycook70: Betul, relatip. Kalau mereka sih melakukan mumpungisme. Mumpung jadi pejabat lalu melakukan sesukanya, tidak peduli yang mereka habiskan itu uang rakyat yg seharusnya mereka amankan. Aneh tapi nyata.

    BalasHapus