Suatu siang kami berpapasan dengan Agus, temanku di selasar Rumah sakit.
“Gus, kamu masuk di bagian apa sekarang?” aku bertanya kepada Agus teman seangkatan, ketika kami sekolah Dokter di salah satu Universitas di Bandung. Ketika kami mengikuti tingkat akhir, pendidikan Koasistensi, kami belajar lebih banyak di lingkungan Rumah Sakit pendidikan kami dari pada di dalam Ruangan Kuliah di Kampus.
“Aku di bagian Pediatri ( I. Kesehatan Anak ). Malam ini kau kena jaga malam, Bud” Agus menjawab pertanyaanku.
“Sama, aku jaga malam juga di bagian Bedah” sahutku kepada Agus.
“Budi, siang ini ada Cito operasi di O.K. ( Operasi Kamar ) “ kata Lina rekanku di bagian Bedah.
“Emang giliran siapa yang mendampingi Dokter Singgih?”
“Menurut jadwal, kamu, Budi. Kamu bersiap-siaplah dan masuk O.K. sebelum Dokter Singgih cuci tangan. Kalau kamu terlambat, pasti kena marah” sahut Lina.
“Baiklah aku cuci tangan dulu, Lin” aku menjawab.
Setelah mengikuti asistensi di O.K. aku menulis laporan kegiatan Bedah siang itu. Yono seorang lekaki, 35 tahun, mengalami Perforasi Appendicitis ( Radang Usus Buntu yang pecah ). Dibanding operasi Appendectomi biasa ( operasi pengangkatan Usus Buntu ), operasi tadi lebih lama karena Dokter Bedah harus membersihkan rongga perut dari segala kotoran yang keluar dari Usus Buntu yang pecah tadi.
Malam itu aku jaga malam bersama Dokter Maksum. Enak kalau jaga bersamanya. Para Dokter muda dibimbing dengan baik dalam Ilmu Bedah dan juga tindakan praktis di ruang Poliklinik Bedah Rumah Sakit pendidikan kami.
-----
“Beri jalan, ada pasien.” begitu teriak petugas penerima pasien.
Seorang pemuda Amir, berusia sekitar 30 tahun mengalami kecelakaan lalu-lintas. Aku melihat Betisnya yang mengalami ekskoriasi ( luka lecet ). Bagian tubuh lainnya bersih, tak ada cedera, patah tulang dll. Semula di ruang depan Polikinik, ia dapat berbicara ketika ditanya identitas dirinya dan bahkan ingin menuntut seorang Bapak Toto, pengendara sepeda motor yang menabraknya. Toto mengatakan bahwa si Amir yang tidak hati-hati mengendari sepeda motornya sehingga terjadi tabrakan kedua sepeda motor. Pak Toto tidak mengalami luka dan pasien Amir hanya mengalami sedikit Eksoriasi di Betisnya.
“Siapa namanya?” aku bertanya kepada pasien Amir.
Dia diam saja dan kedua matanya tertutup rapat.
Aku memeriksa tekanan darah, denyut nadi, bunyi jantung dan pernafasan semuanya normal. Tidak ada luka lain atau tanda-tanda patah tulang.
Aku berpikir ia berpura-pura sakit berat dan kalau ia dirawat di R.S. maka ia dapat menuntut uang yang banyak dari Pak Toto yang dianggap penyebab dari lukanya.
Aku melaporkan hasil pemeriksaan pasien kepada Dokter Maksum dan mengatakan keadaan pasien yang ogah-ogahan menjawab semua pertanyaan.
Dokter Maksum berkata “Baik, kita lakukan Shok terapi ke satu saja.”
Aku bingung EST ( Electro Shock Therapy ) hanya dilakukan di bagian Psikiatry ( I. Kesehatan Jiwa ) untuk menenangkan pasien yang mengalami Schizophrenia ( gila ). Apakah di bagian Bedah ini biasa dilakukan EST juga?
Dokter Maksum meminta sebuah Pinset berkapas, dan ia mencelupkannya ke dalam larutan Yodium beralkohol, yang perih bila ditempelkan pada luka. Tanpa bilang apa-apa, Dokter Maksum mengoleskan kapas itu diatas luka lecet sang pasien.
“Aw…..perih…perih sekali” teriak sang pasien yang pura-pura pingsan itu. Ia duduk di atas bed pemeriksaan.
“Budi, pasienmu sudah bangun tuh” kata Dokter Maksum.
O… itu kah yang dinamakan Shok terapi ala Bagian Bedah?
Akhir minggu kami jaga bersama lagi dengan Dokter Maksum. Sore ini datang seorang pasien lelaki, Abang Becak, umur sekitar 40 tahun. Menurut laporan dari Perawat yang bertugas, pasien terjatuh dari Becak yang dikemudikannya. Menurut pengendara sepeda motor, seorang pemuda 30 tahunan, ketika akan mendahului Becak itu, tiba-tiba dari arah yang berlawanan meluncur sebuah Minibus yang mengambil jalan agak ketengah. Untuk menghindari tubrukan, ia mengarahkan setir sepeda motornya ke kiri dan mengenai kaki si Abang Becak. Abang Becak turun dari Becaknya dan masih dapat berdiri, setelah ia melihat ada seorang sepeda motor yang menyenggol kakinya , ia tiba-tiba terduduk dan minta diantarkan ke Rumah Sakit terdekat yaitu tempat kami bertugas. Ia minta ganti rugi atas kejadian itu. Tidak ada luka atau patah tulang.
Aku bertanya kepada sang pasien yang sudah berada diatas bed pemeriksaan “Pak, dimana yang sakit?”
Abang Becak diam saja.
“Pak, namanya siapa dan dimana rumahnya?” aku bertanya lagi.
Masih diam, matanya tertutup. Wah ini kasus simulasi ( pura-pura ) lagi. Aku melapor kepada Dokter Maksum tentang status kesehatan pasien yang baru masuk ini.
Dokter Maksum berkata “Baik, kita lakukan Shok therapi ke 2.”
Aku bingung, emang ada berapa macam Shok terapi di bagian Bedah ini? Di textbook aku tidak pernah membaca istilah ini.
Dokter Maksum berkata kepada salah seorang Perawat yang bertugas “ Suster, siapkan kamar operasi saat ini juga. Kita harus membedah pasien ini!” dengan mengedipkan mata kanannya.
Mendengar kata Operasi, Abang Becak tadi tiba-tiba bangun dan hendak lari dari ruang Poliklinik Bedah. Para Perawat lainnya menenangkan sang pasien agar tenang dan duduk di kursi.
“Itulah Bud, shok therapi ke 2 bagi pasien yang main simulasi” Dokter Maksum sambil tersenyum dan keluar dari Ruangan Poli.
Aku dan para perawat tertawa setelah Dokter keluar dari ruangan. Minggu itu aku mencatat ada 2 tipe Shok terapi yang manjur, bila menghadapi pasien yang main simulasi.