Minggu, Januari 03, 2010

Pasien bingung


3 hari yang lalu datang berobat sepasang suami isteri.

Ibu Lili ( bukan nama sebenarnya ), 62 tahun diantar suaminya Pak Hari ( bukan nama sebenarnya ), 65 tahun.

Seperti biasa saya mengawali pertemuan dengan menanykan nama, umur, alamat dan keluhan pasien.

“Nama Ibu siapa” saya bertanya.

Ibu Lili melihat wajah suaminya, seolah-olah minta dukungan.

“Nama saya Elisa ( bukan nama sebenarnya ).”

Saya bertanya kembali “Nama Ibu siapa?”

Sang pasien  berkata “em…em…sebenarnya nama saya Lili, tapi pakai saja nama putri kami Elisa”.

Saya bertanya lagi ”Nama Ibu sebenarnya Elisa atau Lili?”

Pasien diam.

“Berapa umur Ibu?” saya bertanya kembali.

Ibu Lili lagi-lagi melihat wajah suaminya. 

Suaminya menjawab “Dok, pakai saja nama anak saya, sebab biayanya akan diganti oleh Kantor anak saya.”

Nah ketahuan juga akhirnya, bahwa jawaban pasien saya tidak benar dan akan membebankan biaya pemeriksaan dan harga obat di Apotik atas tanggungan Kantor putrinya. Kantor hanya  menanggung biaya pengobatan karyawannya. Ibu Lili bukan karyawan Kantor tsb, sehingga tidak benar kalau saya harus berbuat tidak benar.

Mereka memanfaatkan fasilitas Kantor putrinya untuk membiayai pengobatan Ibunya dan mungkin lain kali untuk membiayai pengobatan Ayahnya.

Saya sangat mengerti akan keadaan sosial ekonomi mereka, sehingga mereka berbohong tentang nama sebenarnya. Kalau kali ini berbohong, maka lain kali akan berbohong lagi dst dst.

Saya dengan ikhlas berkata kemudian “Ibu boleh berobat dan saya akan mencantumkan nama Ibu yang sebenarnya ( Lili ) dan bukan nama putri Ibu ( Elisa ). Kalau Ibu tidak punya uang, Ibu tidak usah membayar biaya pemeriksaan. Mari saya periksa dahulu kesehatan Ibu.”

Ibu Lili mengeluh penyakit Flu dan batuknya sejak 3 hari yang lalu.

Selesai memerksa Ibu Lili saya membuat Resep obat yang harus diambil di Apotik.

Ibu Lili menyodorkan selembar uang kertas. Saya mengambil uang itu dan menyerahkan kembali bersama Resep obat tadi.

“Ibu Lili, silahkan Ibu ambil obat di Apotik dengan uang ini. Saya tidak dapat memberi Kwitansi biaya pengobatan.”

Ibu Lili dan Pak Hari tampak kebingungan.

Saya mempersilahkan mereka meninggalkan Ruang periksa dengan membukakan pintu keluar.

Saya mendengar suara mereka berbarengan “Terima kasih, Dok.”

Saya menjawab “Iya Bu, sama-sama. Semoga lekas sembuh.”

2 komentar:

  1. Pak Dokter yang baik hati dan tidak sombong, sudahkah membaca Majalah Trubus edisi 482 januari?
    Semoga bisa membantu bapak melayani orang sakit yang lainnya yang tidak mampu.

    BalasHapus
  2. To Popo,

    Makasih sudah berkunjung.
    Maaf saya belum baca majalah tsb.
    Apakah intisarinya? Dapatkah anda berbagi kpd saya. Trims.

    BalasHapus