Rabu, Oktober 03, 2007

Mie Goreng atau Mie Rebus?


Kisah ini terjadi sebelum Ayah saya dipanggil Tuhan pada tanggal 4 bulan Mei tahun 1992.

Ayah saya menderita Hypertensi. Saat itu saya dan isteri sedang berada di rumah ayah. Malam itu sekitar pukul 20.00 ayah meminta agar Ibu meyuruh Pembantu untuk membeli Mie Goreng di penjual Mie Goreng yang bisa mangkal di dekat rumah Ayah. Rupanya saat itu Ayah ingin sekali makan Mie Goreng. Entah kenapa Ayah ingin makan Mie Goreng, padahal Ayah sudah malam malam pukul 18.00.

Pembantu Ibu kembali dengan tangan kosong, katanya penjual Mie Goreng malam itu tidak berjualan. Akhirnya Ibu membuat Mie Goreng di dapur yang sudah tidak ada kegiatan memasak pada malam itu. Dengan bahan seadanya Ibu membuat seporsi Mie Goreng pesanan Ayah. Di sebuah panci masih ada tersisa kuah Ayam untuk disantap besok pagi. Ibu menambahkan sedikit kuah Ayam ke dalam wajan Mie Goreng.

Ibu membawakan semangkuk Mie Rebus, karena Mie Goreng sudah berkuah kaldu Ayam.

Ibu berkata “ Pah ini, Mie Gorengnya. Makanlah mumpung masih hangat.”

Wajah Ayah yang semula berseri berharap akan menikmati Mie Goreng segera berubah menjadi tegang.

Ayah bertanya kepada Ibu “Ini Mie Goreng atau Mie Rebus sih. Pesanan Ayah kan MIe Goreng.”

Saya, isteri dan adik-adik saya yang hadir dalam Ruang keluarga merasa khawatir akan terjadi pertengkaran antara Ibu dan Ayah.

Ibu menjawab “Mie Gorengnya diberi sedikit kuah Ayam agar mudah ditelan. Mie Kuah juga enak.”

Ayah menjawab “Papah kan pesannya Mie Goreng. Kenapa diberi Mie Rebus?”

Ibu menjawab lagi “Pah, Mie Goreng kalau sudah masuk ke dalam perut dan minum segelas air maka jadilah Mie Kuah dalam perut.”

Ayah berkilah “Saya ingin Mie Goreng yang dapat dinikmati di ujung lidah. Saya tidak peduli setelah masuk kedalam perut, Mie itu akan tetap jadi Mie Goreng atau Mie Rebus. Saya hanya ingin menikmatiMie Goreng di ujung lidah, bukan dalam perut.” Tampak Ayah merasa kesal.

Ayah menolak makan Mie Rebus yang sudah dibuat Ibu dengan susah payah.

Ibu tampak kecewa dan sedih karena sudah membuat Ayah yang sedang sakit menjadi marah.

Ibu berkata kepada kami, anak-anak Ibu. “Kamu makanlah Mie Rebus ini, sayang kalau tidak dimakan. Besok Ibu akan membuat Mie Goreng beneran untuk Ayah kalian”.

Kami berbagi dan mencicipi Mie Rebus karya Ibu secara diam-diam di Ruang Makan. Agar Ibu tidak menjadi marah mendapat perlakuan dari Ayah, kami semua memuji kecakapan Ibu membuat Mie Rebus yang memang rasanya enak kalau disantap ketika Mie Rebus itu masih hangat.

Keesokan paginya adik wanita saya pergi ke pasar tradisionil untuk membeli bahan-bahan untuk membuat Mie Goreng pesanan ayah kami. Ia membantu Ibu di dapur untuk membuat Mie Goreng dan bukan Mie Rebus lagi. Kali ini mereka membuat dalam jumlah yang lebih banyak karena akan disantap oleh seluruh penghuni rumah kami.

Pagi itu kami seluruh keluarga besar kami makan pagi berupa Mie Goreng hasil karya Ibu kami. Mie Goreng dan Mie Rebus buatan Ibu sama-sama enaknya, tetapi Ayah lebih suka Mie Goreng yang katanya nikmat ketika digoyang di ujung lidah.

Saya tidak sampai hati bertanya kepada Ayah, apakah semalam Ayah bermimpi makan Mie Goreng atau Mie Rebus.

Saat ini tiga belas tahun Ayah sudah meninggalkan kami, tetapi kenangan manis dan kenangan pahit tetap melekat dalam pikiran kami. Meskipun saat ini saya sudah menjadi Dokter tetapi di mata Ayah dan Ibu, saya dan adik-adik saya tetap dipanggil dengan sebuatan anak ( anak-anak ). Emang benar sih. Namanya juga anak.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar