Minggu, April 18, 2010
Please queue!
Kalau diminta antri biasanya orang-orang kita enggan melakukannya. Budaya antri nampaknya belum menjadi tradisi yang baik. Please queue! No way. Enggak mau antri!
Sering kali mesti ada petugas security yang mengawasi agar orang mau antri, misalnya mau setor uang di Bank, mau beli tiket kereta api, mau menerima pembagian Sembako dll. Tanpa petugas security antrian akan semerawut.
Mengapa bisa terjadi begitu? Karena orang ingin didahulukan, tanpa memikirkan orang lain.
1. Kisah segan antri juga pernah terjadi di Ruang Tunggu praktik isteri saya.
Biasanya pasien yang akan berobat duduk di bangku Ruang Tunggu. Siapa yang merasa datang duluan akan masuk duluan. Siapa yang datang belakangan akan masuk belakangan juga.
Suatu sore terjadi keributan di Ruang Tunggu itu.
Ada 3 pasien yang sedang menunggu giliran masuk Ruang Periksa. Tiba-tiba datang seorang Ibu A membawa putranya, 3 tahun. Mereka begitu turun dari Sedannya langsung masuk ke Ruang Tunggu dan begitu pasien yang selesai di periksa keluar, Ibu A akan memasuki Ruang Periksa. Ibu-ibu yang lain yang sudah antri menunggu, berteriak bahwa Ibu A harus menunggu giliran ( antri ) sebelum dapat masuk Ruang Periksa. Ibu A protes, sebab anaknya sakit demam tinggi dan ingin mendapat pelayanan kesehatan dengan segera.
Ibu A berkata “Anak saya sakit keras!’
Ibu B , C dan D berkata kompak “Lho..kami juga sakit dan ingin berobat. Ibu harus antri dulu. Enak aja nyerobot masuk.”
Ibu A naik pitam ( mungkin merasa bisa membayar lebih biaya pemeriksaan ) dan ingin segera memasuki Ruang Periksa. Akhirnya mereka berempat bertengkar hebat dan saling menarik rambut lawan bicaranya. Wah…jadi heboh sore itu di Ruang Tunggu dokter.
Akhirnya isteri saya mengambil sikap win-win solution dengan berkata “Kalau putra Ibu A sakit keras, boleh didahulukan asal mendapat persetujuan Ibu-ibu yang lain yang sudah antri duluan. Bagaimana Ibu-ibu?’
Ibu B, C, dan D saling berpandangan dan akhirnya berkata “Iya udah boleh lah, tetapi lain kali Ibu A harus tenggang rasa sebab kami sudah datang lebih dahulu. Ibu kan baru saja datang.”
Mengapa bisa terjadi begitu? Karena tidak ada petugas yang mengawasi antrian pasien. Akhirnya isteri saya dibantu oleh seorang petugas Kartu Pasien yang juga mengatur antrian pasien.
2. Kami sering diserobot oleh orang lain ketika hendak mengambil hidangan pada jamuan pernikahan. Biasanya kaum wanita yang nyerobot, mengambil hidangan yang hendak saya ambil saat itu. Saking jengkelnya saya berkata kepadanya “Ibu, sudah lapar ya?”
Lawan bicara saya cuek saja seolah tidak terjadi apa-apa, padahal ia sudah menyakiti hati orang lain.
Mengapa bisa terjadi begitu? Karena ia tidak tahu sopan santun, meskipun pakaiannya lebih bagus dari yang dipakai saya.
3. Ketika saya hendak membeli tiket kereta api beberapa kali diserobot orang lain, padahal saya akan segera dilayani oleh petugas loket.
Saya berkata “Ah….. Bapak, saya kan sudah duluan datang. Mosok diserobot begitu.”
Lawan bicara saya cuek, seolah tuli. Tidak ada petugas Security saat itu.
Saya bilang kepada petugas loket “Ini uangnya mbak. Minta kursi yang dekat pintu masuk.” Saya juga cuek dengan serobotan Bapak tadi. Ia gagal nyerobot saya. Saat itu hanya kami berdua yang hendak membeli tiket. Jadi kalaupun ia antri dibelakang saya, tidak masalah sebab tidak perlu menunggu lama untuk membeli tiket yang ia butuhkan.
Mengapa bisa terjadi begitu? Karena ia merasa bisa membeli tiket tanpa antri, padahal masih ada orang di depan dia. Sikapnya tidak sabar dan acuh kepada orang lain.
---
Bandingkan dengaqn kisah lain yang pernah saya alami di negara-negara lain.
Tahun 1993, suatu malam ketika hendak pulang setelah belanja di sebuah Mall di Singapore, kami antri menunggu datangnya Taksi. Di depan kami ada sekeluarga yang akan naik Taksi. Kami asik ngobrol. Tanpa sepengetahuan kami, keluarga itu sudah pergi naik Taksi yang segera datang.
Seorang wanita muda yang juga sedang antri naik Taksi, berkata kepada kami “That is your turn ( itu giliran kamu )” ketika Taksi lain datang.
Saya berkata “Thank you.” Sambil bergegas menaiki Taksi yang sudah menunggu kami.
Saya membatin “Hebat. Wanita tadi menyuruh kami agar segera menaiki Taksi yang sedang kami tunggu. Kalau di negara kita mungkin wanita tadi diam-diam akan segera naik Taksi tadi karena kami asik ngobrol.”
Tahun 2007 ketika kami hendak membayar belanjaan yang kami beli di sebuah Departemen Store di kota Sydney sering kali harus antri dengan tertib tanpa ngomel. Mengapa bisa begitu? Karena memang harus begitu, bila tidak begitu kita akan membangkitkan amarah orang lain.
Kalau tidak mau antri, maka kita harus membayar di alat pembayaran yang Self service ( melayani sendiri ) di sebuah alat semacam mesin ATM Bank. Kita harus men-Scanning label harga setiap barang yang kita beli dan harus menggesekkan Kartu Kredit kita pada tempatnya . Karena gaji buruh / pelayan mahal maka disediakan mesin semacam itu yang diharapkan para pembeli dapat melayani sendiri dan membayar sendiri. Hanya seorang petugas Dep Store ( biasanya kaum wanita ) yang mengawasai kalau-kalau ada pembeli yang mendapat kesulitan membayar via mesin semacam itu. Praktis.
Di negera kita belum ada alat semacam itu, belum semua pembeli punya Kartu Kredit dan gaji buruh relatip lebih murah.
Lain negara, lain budaya dan lain tehnologi.
Makan minum di sebuah Resto / Cafe dengan bayar masing-masing, itu sudah biasa.
Disini dianggap tidak sopan, mosok bayar masing-masing?
Melayani diri sendiri ( self service ) disana sudah menjadi tradisi.
Disini inginnya dilayani orang lain.
Memang enak dilayani orang lain, dari pada melayani orang lain. Padahal mereka bertugas melayani masyarakat.
Lain negara, lain budaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ikut Membaca Bapak
BalasHapusTo Bambang Wahyunanto,
BalasHapusTerima kasih anda sudah mau berkunjung dan memberi komentar. Salam sukses.