Rabu, Desember 26, 2012

Hidup sebatang kara


Kemarin sore datang berobat seorang Ibu. Ibu M, 76 tahun ini datang diantar oleh seorang bapak, Pak L, 74 tahun.

Keluhan Ibu M ini kedua kakinya bengkak sejak lama. Saat memasuki Ruang Periksa Ibu M jalan tertatih-tatih, badannya bungkuk, tanda usia sudah lanjut.
Pada wawancara Ibu M berkata bahwa ke 2 kakinya sejak lama ada bengkak ( ia lupa sudah berapa lama ), obat yang diberi oleh Puskesmas sudah habis, ia ingin kontrol tekanan darahnya.

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan sudah banyak giginya yang tanggal, tekanan darah: 190/100 mmHg ( tinggi ), otot anggota gerak sudah atrofi ( mengecil ). Ibu M diperiksa sambil duduk di kursi, sebab agak repot kalau naik ke atas bed pemeriksaan, mengingat usia dan keadaan fisiknya.

Ibu M ini menderita Hipertensi ( darah tinggi ).

Pada wawancara Kakaknya, Pak L, mengatakan bahwa Ibu M ini tidak mempunyai suami. Ia mengangkat seorang anak pungut laki-laki yg sudah menikah dan hidup serumah dengan Ibu M. Anak pungutnya ini sibuk bekerja, tetapi ia dan isterinya tidak mau merawat Ibu M. Kok aneh, ya anak ( meskipun anak pungut tidak mau merawat Ibunya ). Pak L berkali-kali mengajak kakak perempuannya ini ( Ibu M ) tinggal dengan keluarga Pak L di kota Bandung, tetapi Ibu M tidak mau. Ibu M tidak mau meninggalkan rumahnya di kota Cirebon ini. Banyak Lansia yang tidak mau meninggalkan rumahnya, meskipun hidupnya dalam keadaan susah.
Saya prihatin sekali melihat hidup Ibu M yang sebatang kara ini, tidak punya suami dan anak kandung.

Setelah menerima resep obat, Pak L dan Ibu M meninggalkan Ruang Periksa saya.

Saya membatin kok ada ya seorang anak yang dipelihara oleh seorang Ibu dan saat diusia senjanya anak pungut ini tidak mau merawat Ibu pungutnya ini.

5 komentar:

  1. Saya kasihan dengan Ibu M. Ini namanya Air susu dibalas dengan air tuba. Mana anaknya tinggal serumah engan Ibu M lagi.
    Ibu M tidak menikah? Jadi ingat dengan (mantan) guru les saya.

    BalasHapus
  2. To Kencana,

    Benar Ibu M tidak menikah.

    Saat ini kejadian hampir serupa banyak terjadi. saya punya pasien Pak,E, 83 thn. Bersama isterinya yg masih hidup mereka punya 5 anak kandung. Hidup diusia senjanya, mereka hanya mendapat bantuan finansiil hanya dari 1 anaknya yg bungsu. Ia memberikan Rp. 15.000,- setiap bulannya.

    Nilai uang segitu mana cukup utk hidup sebulan? 4 orang kakaknya tidak satupun yang memberikan bantuan sekedarnya bagi kedua Ortunya yg saat ini masih hidup.

    Astaga. Mereka tidak ingatkah saat mereka masih kecil, dibesarkan dan diberi makan oleh kedua Ortunya? Kok masih ada ya para anak yg bertindak demikian.

    Beruntung mereka mendapat bantuan dari Pemerintah berupa Kartu Jamkesmas. Jadi kalau sakit dapat berobat ke Puskesmas / Rumah sakit gratis.

    Salam.

    BalasHapus
  3. 15.000? Itu parah. Segitu miskinnyakah sampai nggak sanggup ngasih uang cukup ke ortunya?
    Ah, saya tahu. Mereka punya lasan klise: sibuk mencukupi kebutuhan suami/istri & anak.

    BalasHapus
  4. To Kencana,

    Tadinya saya sependapat dgn anda, tetapi setelah ayahnya menjelaskan lebih lanjut saya berpendapat lain tentang putrinya yg bungsu ini. Dia jauh lebih baik darui pada kakak-kakaknya.

    Dia masih single. Pekerjaannya adalah Guru SD. Ia hidup ditempat kost dan ia harus membayar cicilan sepeda motornya yg dipakai utk transportasi ke tempat ia bekerja.

    Ayahnya melarang dia memberikan uang setiap bulannya sebab lebih baik dipakai utk membayar kostnya atau cicilan sepeda motornya, tapi ia bersikeras ingin memberikan uang sebatas kemampuan gajinya itu.

    Lalu saya berpikir berapakah gaji seorang Guru SD?, tetapi ia tetap mau memberikan uang utk kedua Ortunya, meskipun dirasakan hanya sedikit. Sedikit lebih baik dari pada tidak memberi sama sekali, seperti kakak-kakaknya. Di dalam kesulitan hidup putrinya masih mau berbagi dengan kedua Ortunya. Semoga Tuhan memberkatinya. Amin.

    Salam.

    BalasHapus
  5. To Kencana,

    Kisah Pak E ini yg ternyata orang yg telah berjasa kepada diri saya. Kalau tidak ada Pak E saya tidak sekolah dan kalau tidak sekolah, maka saya tidak dapat menjadi seorang dokter.

    Kisah Pak E ini saya tuliskan dalam bentuk sebuah cerpen yang kalau ada waktu anda dapat mampir ke Blog Cerpen saya di: http://dpramana.blogspot.com/2009/07/pak-mamad.html

    Selamat membaca.

    Salam.

    BalasHapus