Minggu, Januari 28, 2007

Pasien meninggal

Tgl 27 Des 2005 jam 21.30:
saya memenuhi panggilan sebuah keluarga di Jl. P., Cirebon.
Ibu S. ( pernah berobat di tempat praktek saya ) minta bantuan saya untuk memeriksa adik laki-laki, Tn. P, 54 tahun yang tidak mau makan sejak tadi pagi dan sedikit batuk..

Tn P. ini idiot, keadaan umum: sadar, cachexis ( kurus ), sukar diajak bicara ( kontak inadekwat ), tensi darah: 120/80, kaki sedikit bengkak ( ankle edema ), Jantung / Paru/ Abdomen: dalam batas normal, Kulit: turgor kurang baik ( dehydrasi?).

Setelah saya menulis resep Vitamin, Obat batuk , Antibiotika Amoxycilin 500 mg, saya meninggalkan rumah mereka.

2 hari kemudian, saya di telepon oleh Ibu S tadi yang mau minta tolong lagi untuk memeriksa pasien lain yang masih keluarganya di Jl. S., Cirebon. Saya menyanggupi untuk mendatangi rumah pasien pada jam 21.30 setelah pulang praktek.

Saya bertanya kepada Ibu S. “Ibu, bagaimana perkembangan pasien Tn P.?”
Ibu S menjawab “Adik saya,P. sudah selamat, Dok.”
Saya mengomentari “Iya syukurlah kalau sudah membaik dan mau makan.”Ibu S menjawab lagi “Dok, si P. itu sudah kami makamkan di pekuburan Pronggol Cirebon.”
Saya tersentak “O ya? Kok bisa begitu Bu. Bagaimana ceritanya?”

Ibu S menjawab lagi “Setelah Pak Dokter pulang, suami saya membelikan resep dokter di salah satu apotik 24 jam. Sepulangnya dari apotik, kami bermaksud akan memberikan obat tsb kepada adik saya, P itu. Kami membangunkan P. dari tempat tidurnya, tetapi tidak ada reaksi apa-apa. Ternyata adik kami P sudah dipanggil Tuhan. Besoknya kami makamkan di pekuburan Pronggol. Obat dari Dokter Basuki belum sempat diminumnya.”

Saya berkata “Ibu, saya turut berduka cita. Jadi obat belum sempat di minum ya.”

Ibu S “ Belum diminum, Dok.”

Di dalam hati saya berkata, untung belum diminum, bagaimana kalau setelah diminum obatnya dan ia meninggal dunia? Mungkin ceritanya jadi panjang dan keluarganya akan menuntut saya. Obat apa yang telah diresepkan, dsb ?

Dari pembicaraan kami nampaknya Ibu S. tidak menyalahkan saya atas meninggalnya P, karena keadaan P sejak kecil sudah banyak menderita dan ia ikhlas bila Tuhan memanggilnya saat itu.

Kedatangan dokter hanya suatu kebetulan saja. Siapapun, dan kapanpun bila Tuhan memanggilnya maka tidak ada kuasa lain yang dapat mencegahnya. Sikap Ibu S. yang tidak menyalahkan saya, terbukti dari permohonannya kepada saya 2 hari kemudian minta tolong lagi untuk memeriksa salah satu familinya yang lain. Kalau ia tidak puas dengan pelayanan saya, maka pastilah ia tidak akan mau minta pertolongan saya lagi.

Pernah saya mendapat komentar dari seorang pasien ketika saya tidak buka praktek karena sakit. “Kok dokter bisa sakit sih?”
Saya jawab “Jangankan sakit pak, dokter pun bisa meninggal dunia kok. “

Ia menjawab “Iya benar ya dok. Dokter kan manusia juga ya.”

Sejak itu saya lebih bersikap rendah hati dan tidak menyombongkan diri meskipun menjadi dokter bahkan sudah pensiun, karena masih ada kuasa yang jauh lebih besar dari Sang Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar