Sabtu, Januari 27, 2007

Subsidi silang ( 2 )


Rabu, 10 Januari 2007:
Siang itu sekitar pukul 14.30 ketika saya mengetik email di depan layar monitor komputer, saya mendengar ketukan berulang-ulang di pintu rumah kami. Rupanya ada orang yang ingin berobat.

Saya merasa belum waktunya mulai buka praktek yang biasanya dimulai pukul 16.00. Dengan agak segan saya membukakan pintu rumah. Saya melihat Heri yang biasa menjajakan masakan dengan bersepeda membawa Budi, seorang anak laki-laki berumur sekitar 4 tahun.
Saya melihat Heri nampak sangat panik dan berkata “Dokter, tolonglah. Di dalam lubang hidung anak saya ada biji jagung. Saya teringat akan dokter Basuki. Saya minta tolong, Dok.”

Saya mempersilahkan Heri, anaknya dan seorang laki-laki pengantar Heri. Mereka naik sepeda motor ke rumah saya.
Tanpa mengganti baju praktek, saya segera memeriksa hidung Budi. Saya melihat benda kuning menyumbat lubang hidung sebelah kiri.
Heri dengan wajah yang kusut berkata “ Budi nakal sekali, tidak mau diam. Saya sudah 3 hari tidak jualan masakan, Dok.”
Saya melihat matanya merah dan berair. Matanya penuh dengan air mata.
Saya bertanya “Kenapa tidak jualan?”
Heri menjawab “Orang yang biasa membuat masakan yang saya jajakan sudah 3 hari tidak memasak. Saya tidak tahu mengapa.”
Saya dapat membayangkan bagaimana Heri bisa mendapatkan uang kalau ia tidak menjajakan masakan selama 3 hari. Sungguh kasihan hidupnya. Ditambah lagi anaknya saat ini mengalami musibah.

Saya meminta agar Heri duduk di atas bed peneriksaan dengan memeluk Budi, Kepala Budi dipegang ayahnya. Saya meminta pengantar Heri, Pak Ikin untuk memegang lampu senter yang dapat menerangi hidung Budi. Dengan sebuah pinset anatomis ( capit yang ujungnya bergigi tajam ) saya mencoba menjepit benda kuning itu. Ternyata benda itu rapuh dan ujungnya hancur ketika dijepit pinset. Apakah ini benar biji Jagung? Rasanya bukan. Entah apa benda itu.

Saya memohon kepada Tuhan agar saya diberi kemampuan untuk dapat mengeluarkan benda itu dari hidung Budi. Saya berkata bila usaha saya gagal, maka sebaiknya dibawa kepada Dokter Ahli THT.

Heri berkata dengan nada memelas “Dok, saat ini belum ada Dokter yang buka praktek dan lagi pula saya tidak memunyai uang.”

Saya berkata lagi “Jangan panik dulu. Saya akan berusaha sekali lagi dengan menggunakan alat lain.” Saya juga bingung dengan alat lain apa, agar saya dapat mengeluarkan benda kuning yang menyumbat total lubang hidung Budi. Mendadak saya teringat rasanya dulu saya mempunyai sebuah spoon ( sendok ) yang kecil yang terbuat dari stainless steel. Mungkin spoon itu dapat saya pergunakan. Saya mencari spoon itu di dalam kotak penyimpan alat-alat bedah kecil di lemari obat. Saya tidak menemukannya. Dimana ya saya menyimpannya. Akhirnya saya minta isteri saya untuk mencarinya di tempat lain, yang mungkin ia lupa menyimpannya di tempat semula.

Sambil menunggu spoon itu ditemukan, saya menenangkan Budi agar tidak panik. Sesaat kemudian isteri saya memberikan spoon yang saya perlukan. Sambil memegang alat itu saya berdoa memohon Tuhan memberikan kemampuan kepada saya untuk mengeluarkan benda kuning dari lubang hidung Budi.

Dengan penerangan lampu batere yang dipegang Pak Ikin, tangan kiri saya melebarkan lubang hidung Budi dengan menekan ke atas dan bawah. Melalui sedikit celah yang terbentuk, saya dengan perlahan-lahan memasukkan ujung spoon sampai ke bagian belakang benda kuning tadi. Dengan sedikit gerakan kearah bawah dan keluar dari hidung, saya berhasil mengeluarkan benda kuning tadi. Benda itu akhirnya terjatuh ke lantai. Kami perhatikan benda apakah itu? Dengan cepat Heri berkata “Itu crayon ( semacam kapur berwarna kuning yang biasa dipakai untuk memberi warna gambar diatas sehelai kertas )”.

Hati saya lega dan berterima kasih kepada Tuhan yang telah membimbing tangan saya untuk mengeluarkan crayon yang ada di dalam hidung Budi. Panjang Crayon itu sekitar 1,5 Cm, diameter 0,7 Cm dan saya masukkan ke dalam sebuah kantong plastik kecil yang diberikan kepada Heri. Saya memberikan cairan Betadine dengan menggunakan kapas lidi plastik ke dalam hidung Budi untuk mencegah infeksi akibat lecet dalam upaya mengeluarkan crayon tsb. Saya membuat sebuat resep puyer dengan pesan agar diminum oleh Budi untuk mengurang rasa sakit dan pencegahan infeksi.

Saya berkata kepada Heri “Pulang dan bawalah Budi ke rumah.”
Budi menjawab dengan nada memelas “ Dok, saya tidak punya uang.”
Saya berkata “Heri, saya tidak minta uang, saya hanya ingin membantu anakmu. Pulanglah dan usahakan agar lain kali berhati-hati menjaga anakmu agar kejadian ini tidak terulang lagi.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Heri, Budi dan Pak Ikin meninggalkan ruang praktek saya. Hati saya lega. Lega sudah dapat melakukan pekerjaan yang sukar bila tanpa dibimbing Tuhan, meskipun saya tidak mendapatkan honor selain ucapan terima kasih.

--

Kamis, 11 Januari 2007: pagi itu saya mendapat 2 pasien yang berobat.
Sekitar pukul 10.15 saya kedatangan putra dan putri Ibu Hj. Asriah ( 72 tahun ) dari Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan ( 30 menit naik mobil dari kota Cirebon, tempat tinggal saya ). Mereka ingin memanggil saya untuk datang ke rumah ibunya di Cilimus, karena Ibunya mendadak tidak dapat duduk apalagi berdiri karena daerah panggul kirinya sangat sakit.

Saya menyanggupinya asal saya nanti diantar pulang ke kota Cirebon kembali dengan mobil mereka. Mereka setuju. Dengan membawa tas berisi alat-alat pemeriksan dan buku resep, saya masuk ke dalam mobil mereka. Dalam perjalanan mereka bercerita tentang riwayat penyakit ibunya. Ketika mengangkat sebuah cowet ( alat untuk menghaluskan bumbu dapur ) dari batu yang lumayan berat, Hj. Asriah ini merasa sakit pada daerah pinggang sebelah kiri dan tidak dapat duduk dan berdiri. Tubuh nya yang gemuk menyulitkan keluarganya untuk membawanya ke tempat praktek saya di kota Cirebon. Hj. Asriah ini merupakan pasien langganan saya. Keluarganya ingin membawa berobat kepada Dokter terdekat di Cilimus atau kota Kuningan, tetapi Hj. Asriah ini menolak. Ia hanya ingin berobat kepada Dr. Basuki. Dengan nada guyon putrinya berkata “Bila dokter pindah ke kota lain, Tegal misalnya, kami pasti akan mencari Dokter Basuki di kota Tegal.”
Saya menjawab “Ah, Ibu bisa aja. Berdoalah agar tidak sakit, sehingga keluarga ibu tidak usah repot-repot mencari saya.”

Setiba di rumah mereka di Cilimus dan setelah berbasa-basi dengan sang pasien, saya langsuing mohon ijin keluarganya karena saya akan memeriksa Hj. Asriah.
Tekanan darah normal, tungkai kiri tidak dapat bergerak bebas karena nyeri sekali pada daerah sendi panggul kiri, lain-lain nomal.

Saya curiga adanya gangguan ( retak atau patah pada leher tulang paha kiri ).
Saya membuat resep obat anti nyeri dan Surat Pengantar ke Klinik Rontgen di Cirebon. Bila dalam 1-2 hari nyerinya mereda setelah minum obat itu, saya berpesan agar Hj. Asriah dibuatkan foto yang dimaksud. Keadaan penyakit pasien tidak saya sampaikan kepada pasien ( agar pasien tidak panik ) tetapi kepada keluarganya di ruangan lain. Mereka dapat mengerti dugaan saya dengan alasan sudah dapat umur ( 72 tahun ) dimana tulang sudah mengalami keropos ( osteoporosis ) yang dapat retak atau patah sewaktu-waktu.

Ketika saya mohon diri, putri Hj. Asriah menyalmi saya dan memasukkan sebuah amplop ke dalam tas saya. Saya dengan diantar supir, kembali ke kota Cirebon dengan selamat. Setiba di rumah saya melihat jam dinding di ruang praktek. Saat itu menunjukkan pukul 12.00.

Sambil membereskan catatan pasien, saya membuka amplop yang telah saya terima. Isinya 4 lembar uang Rp. 50.000,- an. Ah… banyak sekali. Terima kasih Tuhan. Tuhan sudah memberi rejeki kepada saya pada hari ini. Lebih dari cukup untuk membayar kerja saya untuk datang ke Cilimus dan mengeluarkan Crayon dari hidung Budi kemarin siang. Tuhan sudah memberi rejeki dengan subsidi silang bagi pasien yang tidak mampu.

Kejadian yang mirip seperti ini, telah saya alami berulang-ulang selama saya melakukan praktek pribadi. Oleh karena itu saya ikhlas bila tidak mendapatkan fee setelah menolong pasien yang tidak mampu, karena saya yakin Tuhan akan memberikannya pada kesempatan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar