Sabtu, Januari 27, 2007

Subdisi silang ( 1 )

Tanggal 10 Oktober 2006, pukul 18.05:
Setelah memeriksa beberapa pasien, datanglah seorang pria meminta bantuan saya.
Setelah membukakan pintu ruang praktek, saya melihat Pak Sidik ( bukan nama sebenarnya ). Saya bertanya “Ada apa Pak, mau berobat?”

Pak Sidik menjawab “Kami ingin memanggil Dokter Basuki untuk memeriksa paman saya.”
Saya bertanya lagi “Dimana rumahnya Pak?’
“Di Gang Ini, jalan Anu, Pak.”
“Bapak naik kendaraan apa?”
“Saya naik sepeda, Dok.”
“Baiklah, nanti Bapak tunggu saja di mulut Gang Ini, untuk memandu saya ke rumah pasien. Saya akan naik minibus Kijang warna hijau”.

Akhirnya saya dapat tiba di rumah pasien, Pak Ahmad dengan dipandu oleh Pak Sidik. Rumah Pak Ahmad terletak di sebuah gang kecil dan sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya terbuat dari tanah yang belum disemen. Rumah itu rumah sewaaan yang hanya terdiri dari 2 ruangan kecil.
Pak Ahmad sebagai pasien terbaring lemah di sebuah dipan kayu.

Isteri Pak Ahmad, Ibu Tati ( bukan nama sebenarnya ) berkata “Tolonglah, Dokter, suami saya sakit panas sejak 1 minggu. Ia tidak dapat bekerja selama ini.”
Saya bertanya “Apa pekerjaan Pak Ahmad, Bu”
“Ia bekerja sebagai Tukang batu yang biasa ikut mandor Sugeng membangun rumah orang. Sudah 1 minggu ia tidak bekerja, upahnya harian.”

Saya dapat membayangkan kalau ia tidak bekerja selama 1 minggu maka keluarga mererka juga selama 1 minggu tidak mendapat penghasilan dan tidak dapat makan dengan cukup. Kemungkinan besar mereka hidup dari uang pinjaman dari orang lain.

Segera saya memeriksa kesehatan Pak Ahmad dan membuat Diagnosa kerja tersangka Tipes perut. Saya membuat resep obat generik berupa 1 macam kapsul antibiotika dan 1 macam tablet penurun demam.
Sebelum saya menyerahkan resep obat tsb, Ibu Tati bertanya “Berapa bayarnya, Dok?”
Saya enggan menjawab pertanyaan itu, bagaimana Ibu Tati akan dapat membayar doctor fee, bila suaminya sudah 1minggu tidak bekerja?
“Berapa, Dok” terdengar suara Ibu Tati dengan lesu.
“Terserah Ibu saja.” saya menjawab dan ingin tahu apa reaksi Ibu Tati ini. Dalam hati saya sudah merelakan tidak ingin menerima uang dari Ibu Tati.
Ibu Tati permisi kepada saya dan segera keluar dari rumah mereka.

Sesaat kemudian terdengar suara Ibu Tati di rumah sebelah. Suaranya masih jelas terdengar, karena dinding pemisah antara 2 rumah itu hanya terbuat oleh anyaman bambu saja.
“Ibu Siti, ibu Siti, saya mau pinjam uang lagi” kata Ibu Tati.
“Malam-malam begini pinjam uang untuk apa Bu” sahut tetangganya.
”Untuk bayar Dokter” sahut Ibu Tati.

Gleg, saya terharu sekali akan keadaan keluarga Pak Ahmad ini. Pinjam uang lagi untuk membayar Dokter. Hati saya tidak enak. Enggak usah bayar, tidak apa-apa.

Sesaat kemudian Ibu Tati sudah berada di hadapan saya dan berkata “Maaf, dokter kami hanya punya segini.”
Selembar uang sepuluh ribuan itu saya terima dan berkata kepada Ibu Tati “Ibu, ini resep obat untuk suami ibu dan pakailah uang ini untuk membelinya di Apotik terdekat“ sambil menyerahkan kembali lembaran uang itu kepadanya.
Saya melihat 2 tetes air mata mengalir dari kedua mata Ibu Tati. Ia tidak dapat berkata dan mulutnya tertutup rapat menahan tangisnya.

Segera saya pamit dan meninggalkan ruymah keluarga Pak Ahmad.

Ketika saya berjalan menuju mobil, saya berkata di dalam hati “Keluarga Pak Ahmad sudah dokter minded, tetapi daya belinya tidak ada sama sekali karena keadaan ekonominya yang lemah. Kapan orang-orang sakit seperti Pak Ahmad dapat menikmati pelayanan kesehatan yang memadai tanpa susah payah meminjam uang kepada orang lain?” Sampai sekarang pertanyaan itu belum terjawab.


Hati saya lega karena sudah dapat memenuhi panggilan orang yang minta pertolongan saya. Selesai mencuci tangan dan ingin mmebereskan catatan pasien di meja kerja, saya mendengar deringan telepon.
Terdengar suara diseberang sana “Halo Pak Dokter Basuki ya.”
Saya menjawab “ Benar, ini siapa?”
“Saya Alimin jalan Seberang, Dok”
“Baik, ada apa Min”
“Saya mau minta tolong. Perut Ibu saya nonjok, Dok. Dokter tolong datang ke rumah kami.”
“Boleh. Begini saja, karena saya belum tahu rumah anda, harap saya dijemput saja. Nanti saya tunggu.”
“Baiklah, Dok. Saya akan jemput dokter sekarang juga.”
Saya tidak usah menunggu lama, karena tidak sampai 10 menit mobil Alimin sudah berada di depan rumah kami yang juga menjadi tenpat praktek saya.

Setelah membuat anamnesa ( riwayat penyakit ) dan pemeriksaan fisik, Ibunda Alimin menderita sakit Maag ( Dispepsia ) karena tadi siang terlambat makan. Sakit Maagnya kambuh lagi. Sambil pamitan, kami bersalaman dan ditangan saya terselip sebuah amplop.

Setelah mencatat data pasein-pasien sore itu, saya membuka amplop yang saya terima dari Alimin. Saya melihat selembar uang kertas yang paling mahal nilainya alias seratus ribuan. Banyak juga.

Saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Barusan saya menolong pasien yang tidak mampu dan tidak lama kemudian saya mendapatkan uang yang lebih dari cukup untuk 2 pasein. Saya menyimpulkan ini adalah subsidi silang. Yang mampu ikut membiayai oyang yang tidak mampu.
Apakah ini suatu kebetulan? Rasanya bukan suatu kebetulan. Saya meyakini bahwa ini adalah pekerjaan Tuhan Yang Maha Tahu, Maha Melihat dan Maha Mendengar.

Malam itu saya mendapat sebuah pengalaman hidup lagi.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar