Beberapa hari yang lalu datang Nn. E, 25 tahun.
Sore itu terdengar
suara bel pintu masuk Ruang Tunggu. Saya persilahkan masuk seorang wanita.
Saya menanyakan identitas pasien ini: nama , umur dan alamat.
Lalu saya bertanya apa keluhannya?
Ia menjawab “Dok, saya mau nambal gigi saya yang
berlubang.”
Glek…apa tidak salah masuk nih.
Saya berkata “Maaf, saya bukan Dokter Gigi. Kalau mau
nambal atau cabut Gigi datanglah ke Dokter Gigi N. ( tetangga saya ).”
Dengan wajah memelas Nn. E mengeluh dan kaget “Oh..maaf
Dok.”
Ia keluar dari Ruang Periksa, tanpa berkata apa-apa lagi.
????
----
Kejadian seperti itu sudah beberapa kali terjadi.
Pasien sering kali tidak membaca Papan Nama Dokter
yang akan dimintai bantuannya. Setelah
masuk mereka bingung sendiri.
Hendaknya kita teliti, sebelum mengetuk pintu rumah
orang.
Kejadian inipun pernah saya alami. Kalau ingat akan hal
itu saya jadi malu sendiri.
Pengalaman ini terjadi pada tahun 1966, saat saya hendak
mengikuti Ujian masuk Perguruan Tinggi di Universitas GM di Jogyakarta. Sehari
sebelum Ujian berlangsung, saya tiba di kota Yogya dan bermalam di sebuah
penginapan di sekitar stasiun kereta api Tugu.
Sebagai orang yang belum pernah datang ke kota Yogya, saya
belum tahu dimana ada praktik Dokter Umum. Saat itu kepala saya terasa sakit
dan bermaksud berobat.
Saat berjalan kaki di kaki lima Jalan Malioboro yang
nyaman, saya meihat ada sebuah rumah dimana ada Dokter Praktik. Saya masuk dan
duduk, menunggu giliran. Sekitar 30 menit saya menunggu akhirnya terbukalah
pintu Ruang Periksa.
Seorang Perawat wanita bertanya “Siapa berikutnya?”
Saya berdiri dan mendekatinya. Di sebelah dalam saya
melihat Kursi pasien Dokter Gigi.
Wah…pasti ini Dokter Gigi yang berarti saya sudah salah
masuk. Apakah ini suatu firasat buruk?
Tidak bisa masuk. Apakah saya tidak diijinkan masuk Universitas yang akan saya
pilih? Ah.. belum tentu, saya menghibur diri sendiri.
Oleh karena ini bukan Dokter yang saya maksud, saya
berkata “Maaf Zus, saya tidak jadi berobat.”
Sang Perawat bengong.
Akhirnya saya berjalan kaki lagi dan mencari toko yang
menjual obat pain killer yang dapat dibeli secara bebas, tanpa resep dokter.
Setelah membeli Nasi bungkus, saya kembali menuju
penginapan. Saya minum tablet pain killer yang saya beli dan saya mencoba untuk
beristirahat.
Saya membatin “Apa yang akan terjadi terjadilah. Bisakah
saya lulus dalam Ujian Masuk besok pagi?”
Ternyata nama saya tidak ada dalam Pengumuman Hasil Ujian
Masuk di Universitas itu. Saya beruntung dapat mengikuti kuliah pada tahun 1967
di salah satu Fakultas Kedokteran di kota Bandung. Lulus sebagai Dokter Umum,
bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil selama 20 tahun dan mengajukan Pensiun atas
permintaan sendiri TMT 1 April 2000.
Saat ini saya dan isteri menikmati hidup pensiun di usia
lanjut.
Kalau ada pasien yang salah masuk, saya selalu teringat
pengalaman saya yang juga salah masuk ke Ruang Periksa Dokter Gigi, padahal ingin masuk ke Dokter Umum.
Jadi kalau ada pasien yang salah masuk Ruang Periksa
saya, saya tidak memarahinya, tapi bahkan tersenyum. Saya juga penah mengalaminya.
Manusiawi juga ya.
keluhannya sakit kepala tapi malah nyasar ke dokter gigi... untung udah sadar duluan sebelum giginya dicabut Dok.. he..he..
BalasHapusTo Michael,
BalasHapusSuatu saat manusia bisa error juga kan? he..he..
Salam.