Kamis, Desember 27, 2012

Terkun



Istilah Terkun atau Dokter dukun pernah beberapa kali saya alami.
Seorang Dukun kalau mengobati seseorang sering kali tidak melihat pasiennya dan langsung memberikan pengobatannya. Kalau saya seorang dokter tidak memeriksa pasien dan hanya mendengar riwayat penyakit seorang pasien, lalu memberikan pengobatan, mirip seorang dukun saya menyebutnya sebagai Terkun atau Dokter dukun. Tentu ini tidak sesuai dengan ketentuan profesi dokter yang seharusnya mendengar anamnesa ( wawancara penyakit ), melakukan pemeriksaan fisik, melakukan pemeriksaan penunjang kalau diperlukan ( laboratorium, Foto, USG, MRI dll yg diperlukan sesuai dengan penyakit yang diderita pasien ). Setelah Diagnosa diketahui, barulah dokter memberikan terapi ( pengobatan ).

Terkun dapat terjadi bila keluarga pasien datang dan memohon dengan sangat agar dokter dapat memberikan terapi kepada pasien yang tidak dapat datang memeriksakan dirinya.

----

Kemarin sore datanglah Ibu N, 68 tahun diantar oleh putranya Pak L, 55 tahun.

“Silahkan masuk, Bu” kata saya mempersilahkan mereka masuk Ruang Periksa.

“Siapa yang mau berobat?”

Ibu N menjawab “Begini Pak Dokter, yang sakit adalah suami saya.”

Saya berkata lagi “Baik, mana suami Ibu?”

“Suami saya tidak mau datang untuk berobat, meskipun kami sudah membujuknya untuk datang berobat.”

Saya pikir “wah seperti anak kecil saja yang takut kalau melihat dokter.”

“Kalau begitu saya tidak dapat memberikan pengobatan untuk suami Ibu” kata saya.

“Tolonglah kami , Dokter.”

“Baiklah, suami Ibu mengeluh apa?” saya ingin tahu lebih lanjut.

“Suami saya kalau buang air besar ada darahnya, sudah beberapa hari ini, Dok” kata Ibu N.

“Ada demam? Darahnya bercampur dengan kotorannya? Atau darahnya menetes setelah buang air besar ( gejala penyakit Wasir )?” saya bertanya lebih lanjut.

“Suami saya tidak menderita demam dan darahnya tidak menetes tetapi bercampur dengan kotorannya” jawab Ibu N.

Saya menduga suami Ibu N ini menderita Radang Saluran Pencernaan, semacam Disentri.
Setelah berpikir sejenak, saya berkata kepada Ibu N “Baiklah , Bu, saya tidak memeriksa suami Ibu, jadi saya sebenarnya tidak begitu yakin akan penyakit suami Ibu. Saya akan memberikan resep obat untuk suami Ibu, kalau dalam 2 hari belum sembuh, ajaklah suami Ibu kesini untuk saya periksa lebih lanjut ya.”

Saya membuatkan resep 2 macam obat berupa kapsul antibiotika dan tablet anti diare untuk suami Ibu N ini. Semoga suaminya sembuh.

----

Kejadian yang serupa juga terjadi pada tahun 1990 an, saat saya masih menjadi Kepala sebuah Puskesmas di sebuah Kecamatan. Pada suatu Rapat Tingkat Kecamatan semua instasi tingkat kecamatan ( kesehatan, pendidikan, kelurahan dsb ) hadir.

Sebelum rapat dimulai, seorang Bapak dari Dinas Pendidikan menghampiri saya.
Pak L, 45 tahun berkata “Dok, saya mau minta tolong.”

Saya menjawab “Apa yang dapat saya bantu untuk Bapak?”

Pak L berkata lagi “Dok, putra kami, umur 2 tahun menderita demam sudah 2 hari, tidak mau turun dari tempat tidur. Ia juga ada batuk, pilek dan tidak mau makan, Dok. Saya mau minta resep obat dari Dokter untuk putra kami. Tolonglah, Dok.”

Saya menjawab “Saya tidak memeriksa putra Bapak, bagaimana mau memberikan resep obat. Dimana rumah Bapak.”

Pak L menjawab “Rumah saya jauh, Dok. 5 km dari sini. Dokter tidak usah datang ke rumah kami. Berikanlah resep obat untuk putra kami, Dok.”

Wah sugesti Pak L ini besar juga yang begitu yakin kalau saya dapat menyembuhkan sakit putranya tanpa melihatnya lagi. Wah saya jadi Terkun lagi ini.

Saya menuliskan resep obat gratis di atas blangko lembaran resep dokter yang selalu saya bawa dalam tas saya.

Saya menyerahkan resep obat generik itu 2 macam, yang satu racikan puyer anti Flu dan yang satu lagi obat antibiotika untuk putra Pak L.

Bulan berikutnya pada Rapat Kecamatan yang rutin dilakukan kami bertemu lagi.
Saya bertanya kepada Pak L “Pak, bagaimana putra Bapak yang sakit bulan lalu, apakah sembuh?”

Pak L menjawab dengan wajah yang cerah “Terima kasih banyak ya, Dok. Putra saya sembuh. Setelah minum obat dari Dokter, besoknya sudah tidak demam lagi, putra kami itu sudah lari-lari lagi. Obatnya terus saya minumkan sampai habis, Dok.”

“Sukurlah kalau begitu. Semoga putra Bapak tetap sehat ya” kata saya.
Saya membatin “Wah, hebat juga ya saya ini, tanpa memeriksa pasien, pasien dapat sembuh. Jadilah saya ini Terkun. Apa boleh buat.”

----

Selamat pagi.-

2 komentar:

  1. Wah, aneh juga ya. Pasien yang sakit justru tidak datang. Malah keluarganya. Untung diagnosa dokter benar.

    BalasHapus
  2. To Kencana,

    Kalau dokter mengobati dan pasien sembuh, maka pasien / keluarga pasien menganggap bahwa itu sudah sewajarnya ( sembuh ).

    Kalau tidak sembuh, nah malu juga sebab dokter tidak dapat menyembuhkan penyakit pasien. Tapi kalau pasiennya tidak datang, dokter ( saya ) bisa berkelit "Habis pasiennya tidak saya periksa sih. Jadi maklum kalau tidak/belum sembuh." he...he...

    Salam.

    BalasHapus