Senin, Oktober 19, 2009

Berbuat baik pun tidak mudah


Ajaran untuk berbuat baik sejak lama sudah kita ketahui, tetapi  sampai saat ini kalau berbuat baikpun tidak mudah, paling tidak apa yang sudah alami. Mungin anda heran, tetapi inilah faktanya:

Sebagai dokter praktik umum yang seilmu dan seperguruan ( alma mater yang sama ) saya dengan isteri saya dalam masa pensiun kami masih melakukan praktik di tempat praktik yang berbeda.

Bila isteri saya sedang pergi ke luar kota untuk suatu urusan, seperti biasa saya menggantikan  praktik isteri saya.

Kisah di bawah ini mendukung  apa yang tertulis pada judul posting kali ini.

 

1. Seorang Bapak  datang berobat mengantar putranya Ali ( bukan nama sebenarnya ), 6 tahun. Setelah berhadapan dengan saya dalam Ruang periksa, Pak Alimin ( bukan nama sebenarnya ) berkata “ Dokter ini, bagaimana sih ( dengan nada sewot ) masa anak saya 3 hari yang lalu diberi resep obat seharga Rp. 8.900,- untuk 10 bungkus puyer.” ( kejadian ini  seitar 2 tahun yang lalu ).

Saya bertanya “Sembuh tidak, putra Bapak?”

“Sembuh, sih, tapi jatah kantor saya kan Rp. 250.000,-“

“Kalau sembuh kenapa Bapak, marah-marah? Lalu  Sekarang Bapak mau apa datang membawa anak yang lain?” saya bertanya ingin tahu, apa maunya.

“Ini kakaknya, sakit demam , batuk pilek juga. Rupanya tertular adiknya.”

Saya membatin diberi resep yang murah meriah dan sembuh, ia marah-marah. Aneh juga. Berbuat baik kok susah ya.

 

2. Sepasang suami isteri datang berobat. Sang suami menderita Radang Tenggorokan o.k. banyak merokok dan kurang tidur. Setelah memeriksa Pak Budi (bukan nama sebenarnya ), saya membuat resep 3 macam obat generik. Mungkin karena ia sering minum obat-obatan sehingga ia sudah paham nama-nama obat generik.

Setelah menerima dan membaca resep obat dari saya, Pak Budi ini minat agar resep obatnya diganti dengan obat paten. Ia tidak mau diberi resep obat generik.

Saya membatin diberi obat generik dengan harga yang terjangkau, ia tidak mau dan minta obat paten yang harganya lebih mahal, padahal khasiatnya sama persis. Diberi kebaikanpun ia tidak mau. Di depan tempat praktek, saya melihat sebuah Sedan  baru. Mungkin dia punya.

 

3. Ibu Rahman ( bukan nama sebenrnya ), 39 tahun, seorang akseptor KB dengan cara suntik tiap 3 bulan sekali. Setelah masuk ke dalam Ruang praktek ia agak kaget karena yang praktik bukan isteri saya, padahal di depan pintu masuk ada pengumuman bahwa isteri saya digantikan oleh saya. Ia menolak di layani oleh saya.

“Saya tidak mau disuntik oleh dokter ( saya ), katanya.

Saya bertanya “Kenapa, ibu”.

“Saya malu.” Ya Tuhan disuntik dibokong oleh Dokter pria juga malu.

“Baiklah, Ibu,  kalau malu, disuntiknya di lengan atas saja ya? Kata saya memotivasi agar ia tidak malu dan tidak perlu memperlihatkan bokongnya.

Ibu Rahman tetap menolak, katanya “Tidak mau, nanti obatnya tidak sama”.

Masih dengan sabar saya menjawab “Baiklah Ibu. Kalau tetap tidak mau, silahkan Ibu mencari Dokter wanita lain yang buka praktik sore ini, sebab isteri saya buka praktik lagi minggu depan.”

”Bagaimana ya, nanti malam suami saya datang dari Jakarta tempat ia bekerja dan kalau ia mengajak berhubungan, saya takut hamil lagi.” Ibu Rahman berkata dengan cemas.

Saya menjawab “ Pakai Karet KB aja dulu.”

Ibu Rahman menjawab “ Ia tidak mau pakai karet KB.” Ia permisi keluar dari Ruang Periksa.

Setelah memeriksa 2 pasien yang lain, Ibu Rahman kembali memasuki Ruang Periksa dan meminta disuntik KB oleh saya.

Saya berkata “Baiklah, Ibu, suntiknya di lengan atas saja ya!”

Ibu Rahman sudah berbaring tengkurep di atas bed dan siap disuntik di bokongnya. Rupanya ia tidak mau disuntik dilengan atas karena tidak biasanya. Biasanya di suntik di bokong oleh isteri saya.

Untuk berbuat baik ( menolong menyuntikkan  obat KB ) pun tidak mudah.

 

Masih ada beberapa contoh,  tetapi 3  contoh diatas rasanya sudah cukup mendukung bahwa untuk berbuat baikpun, ternyata tidak mudah.-

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar