Kamis, Juli 11, 2013
Dokter diomelin Ibu pasien
Sebelum era Reformasi jarang sekali pasien atau keluarga pasien menyalahkan / ngomelin dokter. Kejadian ini berlangsung pada tahun 2001. Pada era Reformasi banyak hal tersebut dialamai oleh saya. Kalau ditelusuri sebabnya adalah lebih banyak anjuran dokter yang tidak dituruti oleh mereka. Penyakit tidak/belum sembuh kemudian mereka mengajukan keluhan kepada dokter. Salah satu contoh dari kejadian tersebut adalah kisah dibawah ini.
Sepuluh hari yang lalu datang seorang pasien Hadi ( bukan nama sebenarnya ), laki-laki 14 tahun, diantar oleh Ibunya berobat kepada saat jam praktek sore. Pasien mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu, kepala pusing, tidak selera makan, badan terasa lesu.
Ibunya mengatakan pasien sudah minum tablet penurun panas yang dapat dibeli bebas, tetapi demam masih berlanjut sehingga ia mengantar putranya berobat kepada dokter ( saya ).
Setelah melakukan: anamnesa ( wawancara dengan pasien & ibunya ) dan melakukan pemeriksaan fisik, saya mengambil kesimpulan bahwa pasien menderita gejala Typhus ( Typhus abdominalis ). Mengingat pasien tidak begitu mampu, saya tidak membuat pemeriksan darah di Laboratorium Klinik.
Saya memberikan resep: kapsul Antibiotika yang sesuai, tablet penurun panas dan tablet Vitamin untuk selama 5 hari, advis istirahat di tempat tidur selama masih demam ( bed rest ), makan bubur selama masih ada demam, banyak minum, kompres dingin di kepala selama masih demam dan anjuran agar kontrol ulang setelah obat habis ( karena tidak mungkin Typhus sembuh dalam 5 hari, minimal ia harus minum antibiotika selama 10 hari ).
Enam hari setelah kunjungan pertama, mereka datang kembali. Kini ibu pasien meradang, dengan nada marah ia berkata,”Dokter anak saya belum sembuh, ia demam lagi. Bagaimana ini ?”
Saya menjawab, “Apakah semua obat dan semua advis saya sudah dilakukan?. Kalau obat habis kan harus kontrol/datang berobat kembali. Kemarin obat sudah habis, sekarang kok baru kontrol lagi. Lagi pula kenapa Ibu marah-marah?”.
Ia menjawab lagi,”Demamnya sudah turun setelah minum obat dari dokter selama 2 hari. Pada hari ketiga anak saya bermain badminton meskipun sudah saya larang. Malamnya ia demam tinggi sampai sekarang.”
Nah ketahuan kan, pasien belum sembuh ( gejala Typhus kok sudah berani main badminton ) sudah beraktifitas fisik yang melelahkan. Berarti advis dokter dilanggar, tetapi sang Ibu menyalahkan dokter.
Saya tidak mau bertengkar dengannya ( orang yang sedang kesusahan emosinya sangat sensitif ).
Saya berkata, “Begini saja Bu, saya beri resep lanjutan dan semua advis saya agar dilakukan tanpa ada tawar menawar lagi. Pasti sakit putra Ibu akan sembuh.”
Saya berikan resep antibiotika untuk 7 hari lagi dan obat penurun panas selama 3 hari lagi dengan suatu keyakinan bahwa bila obat dan anjuran saya dilakukan dengan baik maka penyakit putranya akan segera sembuh, seperti ratusan pasien dengan gejala yang sana yang pernah berobat kepada saya. Semoga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar