Kamis, Oktober 29, 2009

Tidak punya uang (1)


Kemarin sore, 29 Oktober 2009, datang berobat Ny. L.

Rasanya Ibu ini pernah datang berobat. Lalu saya tanya siapa namanya dan saya cari Catatan pasien elektronik-nya yang ada dalam Laptop Acer 12” saya.

Ternyata  Ny. L, 38 th, pernah datang berobat pada tanggal 4 Mei 2009 dengan Diagnosa: TBC paru dupleks (kiri dan kanan ) dan LED ( Laju Endap darah: 30 mm/jam ). Saya sudah memberikan resep kombinasi obat generik anti TB ( Rifampicin 450 mg, INH 300 mg dan Etambutol 500 mg ) untuk 1 bulan. Saya berpesan agar setelah obat habis datang kembali untuk kontrol penyakitnya.

Beberapa bulan kemudian ia tidak pernah datang kembali dan baru  kemarin sore datang setelah 5 bulan tidak minum obat lagi setelah obat yang dibeli pertama kali habis. Ia mendapat uang dari saudaranya untuk membeli obat tsb. Dengan suaminya,  ia sudah berpisah tanpa mempunyai seorang anak.

Saya bertanya setelah minum obat selama 1 bulan dan obatnya habis apakah ia pernah berobat ke Puskesmas atau Dokter lain?

Setelah obat habis ia tinggal bersama salah satu saudaranya di kota Jakarta dan pernah berobat kepada Teman Sejawat. Di Jakarta-pun ia  minum obat tidak teratur karena katanya ia tidak punya uang untuk membeli obat dari resep yang diberikan oleh dokternya di Jakarta.

Bulan Oktober 2009 ini ia kembali ke kota Cirebon dan datang berobat lagi kepada saya.

Saya membatin “Bagaimana mau sembuh dari TBC parunya, kalau minum obat yang seharusnya diminum  6 bulan terus menerus tidak dilakukan?”

Memang benar untuk mendapat obat ia harus mempunyai uang. Tanpa uang obat tidak bisa didapat. Saya tidak memungut doctor fee pada kunjungan pertama dan kunjungan kemarin sore karena Ny. L tidak punya uang. Saya memberikan motivasi agar minum obat secara teratur, bila ingin sembuh dari TBC parunya dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang-orang disekitarnya ( anggota keluarga dan tetangganya ).

Ny. L hanya termenung mendengar ucapan saya. Melihat sikapnya tsb saya menjadi bingung sendiri. Mau apa lagi? Suami tidak punya. Anak tidak punya. Uang juga tidak punya. Lalu dari mana ia dapat membeli makanan sehari-hari?

Akhirnya saya membuat Surat Rujukan ke Puskesmas yang berdekatan dengan tempat tinggalnya. Semoga ia dapat berobat secara teratur di Puskesmas tsb dengan biaya terjangkau atau gratis.

2 komentar:

  1. Itulah susahnya di Indonesia dok. Sekarang ini menjadi seorang dokter sepertinya malah semakin tertekan. Pemerintah ingin rakyatnya sehat, tapi enggan mengeluarkan dana. Masyarakat juga ingin sehat tapi tidak punya dana. Lah dokternya jadi harus bekerja tanpa pamrih. Padahal sekola dokter sekarang sudah mahal sekali. Belum lagi ancaman tuntutan malpraktek yang kalau tidak penjara, denda beratus-ratus juta.
    Saya heran loh dok, di Indonesia masih banyak yang ingin menjadi dokter. Sedangkan disini peminat fak. Kedokteran semakin sedikit.
    Semoga nasib dokter pun bisa diperhatikan pemerintah dikemudian hari. Dan juga nasib kesehatan masyarakat tentunya.

    salam...

    BalasHapus
  2. To Muliblog,

    Benar.
    Saat ini sakit merupakan suatu kemewahan bagi kebanyakan orang. Kalau bisa janganlah sakait.

    Fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah ( Puskemas ) dirasa masih belum dapat mencukupi kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang baik karena dana yang terbatas ( obat-obatan, sarana dan tenaga yg memadai ). Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan swasta masih dirasa mahal.

    Bagi Dokter harus menyesuaikan kondisi spt itu dan kalau bisa mempunyai income dari sektor riil yang lain ( mengajar, toko keluarga dll ).

    BalasHapus