Selasa, Maret 23, 2010

Pagi yang sibuk






Pagi ini saya ingin memperbaiki tambalan gigi saya yang lepas tambalannya sejak 10 hari yang lalu. Pukul 07.45 saya sudah meluncur ke tempat praktik dokter gigi langganan saya, Drg. A. Temanku ini buka praktik pagi mulai pk. 08.00.

Ketika gigi saya diperbaiki tambalannya terdengar bunyi suara burung Perkutut sebagai nada dering ada SMS masuk ke HP saya. Tidak lama kemudian terdengar nada dering panggilan ke HP saya. Meskipun HP saya berada di dalam sebuah handbag, tetapi sinyal HP masih dapat menembusnya. Hebat tehnologi komunikasi saat ini.

Saya membatin “Astaga…. apakah saya tidak boleh memperbaiki gigi saya barang sebentar saja. Pagi-pagi saya sudah dikejar-kejar orang lain? Minta waktulah sebentar lagi. Bila tidak sekarang, kapan saya dapat mengunyah makanan dengan baik?”

Drg A berkata “Dok, HP nya berdering.”

Saya menjawab “Biarin saja, saya minta waktu sebentar untuk kesehatan gigi saya.”

Temanku heran juga atas sikap saya ini. Biasanya para pasien bila mendengar dering HP mereka akan langsung meraih HP dari dalam sakunya dan cas cis cus menjawab panggilan ke HP mereka, tidak peduli mereka saat itu sedang berbaring diatas bed pemeriksaan dan sedang diperiksa oleh dokternya.

Rupanya mereka lebih mementingkan panggilan HP dari pada kesehatan mereka yang sedang diperiksa. Banyak orang yang bersikap seperti itu. Skala prioritas yang terbalik. Lebih bijaksana bila mereka mengabaikan dahulu panggilan ke HP mereka, toh nanti dapat dihubungi kemudian setelah pemeriksaan dokter sudah selesai.

Selesai urusan gigi saya, segera meluncur ke tempat praktik pagi saya di rumah orang tua saya. Ibu saya berkata “Tadi Ibu menghubungi HP tetapi tidak ada jawaban.”
O...rupanya panggilan ke HP saya itu berasal dari Ibu saya.
“Tadi saya ke dokter gigi dahulu, Bu. Ada apa Ibu menelepon saya?”

“Tadi ada seorang wanita yang akan minta tolong untuk memeriksa pasien di rumahnya di Jalan Anu. Nanti ia akan kembali lagi.”

Saya memeriksa dari siapa SMS yang masuk ke HP saya. O...rupanya dari Pak H , pasien dari Indramayu ( 1 jam drive ) yang akan kontrol berobat pada pk. 10.00 pagi ini.

Saya belum sempat membuka pintu praktik dan ruang tunggu, seorang wanita sudah datang. Ia meminta agar saya dapat datang ke rumah Bibinya yang sakit.

“Baik, tunggu sebentar. Saya akan mengambil peralatan Stetoscope, Tensimeter dan Buku Resep saya.

Sambil mempersiapkan semuanya, saya membatin “Pagi yang sibuk nih. Mencuci pakaian dengan Mesin cuci, menjemur pakaian, membersihkan halaman depan rumah, menambal gigi, mendatangi rumah pasien, menunggu pasien dari jauh dan buka tempat praktik. Belum lagi saya harus membeli lauk pauk untuk makan siang bersama isteri tercinta. Ya ….Tuhan kuatkanlah badan saya.”

Satu persatu semuanya saya lakukan dengan baik. Pasien senang saya juga senang dapat rejeki.

Tidak terasa arloji saya sudah menunjukan pukul 12.00. Pantesan perut saya sudah minta diisi. Siang ini saya dan isteri dapat menikmati makan siang sambil bersyukur kepadaNya. Sore nanti kami masing-masing harus melayani pasien-pasien lain yang datang untuk berobat ke tempat praktik kami masing-masing.

Begitulah hari lepas hari. Seringkali tidak ada bedanya antara hari Libur Nasional atau hari Kerja. Satu-satunya kesempatan istirahat yaitu ketika kami pergi ke luar kota mengikuti Seminar Kedokteran atau keluar negeri menengok putra/i kami di Aussie.

Kami bersyukur kalau kami dalam masa pensiun kami ini masih sehat, masih dapat menolong orang-orang lain dan menikmati hidup yang diberikan kepada kami.

Rasanya tidak seorangpun yang minta sakit tubuhnya, sebab pada saat ini sakit merupakan suatu kemewahan bagi kebanyakan orang dengan makin meningkatnya biaya perawatan dan pengobatan. Tetap sehat lebih bermakna dari pada banyak uang, tetapi tubuh sakit-sakitan.

Ada seorang pasien saya yang berpendapat “Dok, lebih enak kalau badan sehat dan banyak uang!”

Saya menimpali ucapannya “Ada yang kurang Pak!”

“Apa itu Dok?”

“Banyak uang dan banyak sedekah!”

Ia segera menjawab “Betul, Dok.”

Sambil bergurau saya berkata “Pak, kapan banyak uangnya?”

Pasien saya diam. “Betul, kapan saya punya banyak uang ya? Uang selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari saja. Uang mengalir seperti air. Tidak terasa sudah habis lagi.”

---

Untuk berbuat baikpun tidak mudah, ada banyak batu sandungan di depan kita.-

4 komentar:

  1. selamat siang Pak,,
    Saya kagum sekali sm Bapak dan Ibu,, kompak dan saling mengisi, sungguh sepatutnya dijadikan pasangan teladan. Seandainya ada award untuk itu, saya ajukan salahsatu calonnya adalah Bpk dan Ibu ya Pak,, Seandainya saya bisa spt Bapak dan Ibu sampe beranak cucu kelak dan sampe Tuhan yang memisahkan, alangkah anugerah terindah Pak,,,
    Salam buat Ibu.

    Terimakasih dan Salam dari Pulau Nias,
    SandRa

    BalasHapus
  2. To TS Sandra di P. Nias,

    Ketika saya membaca your comment, aduh GR nih...

    Sebagai manusia, seringkali saya merasa tidak berdaya, kalau tidak diberi kekuatan olehNya.

    Sampai saat ini usia kami sudah diatas 60, sudah ber KTP seumur hidup.
    Mungkin karena kami seprofesi seingga lebih dapat mengerti satu sama lain. Beda pendapat sudah biasa, saya lebih banyak mengalah, win-win solution gituy.

    Cucu? wah...kami belum punya cucu . Entah tahun depan. Kami masih dipanggil Oom dan Tante, belum di panggil Opa dan Oma. he...he...

    Kami belum pernah ke P. Nias, kalau Medan sudah 1 kali ketika kami melamar anak mantu kami di Medan. Semapt pergi ke D. Toba dan bermalam 1 malam. Suatu saat kami ingin ke Nias. Bagamana kabar Nias saat ini setelah Tsunami beberapa tahun lalu?

    Salam sukses.

    BalasHapus
  3. Repot juga jadi orang terkenal, Dok. diteleponin terus.

    Dok, saya pernah membaca kalau kebanyakan Dokter Gigi di Indonesia adalah wanita. Apakah itu benar, Dok? Bahkan menurut salah satu mahasiswa kedokteran gigi, di antara 60 teman seangkatannya, yang pria cuma 13. kalau dipikir-dipikir selama ini saya cuma pernah diperiksa ama doktor gigi wanita. Hampir setiap papan nama dokter gigi yang saya jumpai namanya perempuan semua.

    BalasHapus
  4. To Kencana,
    He..he.. saya belum pernah menghitung dokter Gigi yg wanita dan yg pria. Mungk in juga ada benarnya kalau yg wanita lebih banyak dari pada yg pria.

    Salam

    BalasHapus