Saya mempunyai seorang kenalan, namanya Pak Alimin, yang akhirnya menjadi pasienku. Saya mengenal seluruh anggota keluarganya. Umurnya 3 tahun diatas saya. Ia penderita Hipertensi, Darah Tinggi.
Pak Alimin dan isteri memunyai 6 orang anak. Dua laki-laki dan empat perempuan. Yang bungsu masih sekolah di SD. Anak yang sulung, Yono, 27 tahun sudah menikah dan tinggal rumah Mertuanya. Kerjanya serabutan dan tidak betah kerja lama di suatu tempat atau toko. Akhir-akhir ini Yono sering datang kerumah Pak Alimin untuk minta uang. Pak Alimin tidak memberi uang karena ia sudah berumah tangga dan sudah dapat mencari nafkah sendiri.
Seharusnya Yono sebagai anak yang sudah bekerja, yang memberi uang kepada orang tuanya. Ibunya secara diam-diam memberi Yono uang ala kadarnya. Yono tidak puas diberi sedikit uang oleh Ibunya. Yono marah-marah dan teriakannya terdengar oleh Pak Alimin. Terjadilah perang mulut di dalam keluarga pasienku itu. Seringnya perang mulut ini mengakibatkan penyakit Darah Tinggi Pak Alimin sulit disembuhkan. Stres masalah keluarga yang menjadi faktor pencetus kumatnya penyakit Darah Tinggi.
Suatu saat pukul 20.00 saya mendapat panggilan per telepon dari Ibu Alimin. Katanya suaminya tidak bangun-bangun dari tidurnya sejak 2 jam yang lalu. Saya datang dan memeriksa Tekanan Darah Pak Alimin, 180/100 mmHg. Tinggi. Tidak biasanya. Biasanya sekitar 160/90 mm Hg. Reflex Pupil, anak mata negatif, anak mata Mydriasis, melebar. Tak ada reaksi apapun ketika kulit kakinya dicubit. Pak Alimin mengalami Koma.
Saya memberi advis untuk segera membawa Pak Alimin ke Rumah sakit terdekat. Isterinya menolak dengan alasan tidak punya uang. Seluruh anggota keluarganya, memanjatkan doa-doa agar Pak Alimin ini segera sadar dari Komanya. Saya bingung juga. Saya berdiskusi dengan isteri Pak Alimin di ruang tengah. Kemudian terdengar suara anak perempuannya berteriak memanggil Ibunya.
“Bu, ibu…. bapak sudah bangun!”
Saya dan Ibu Alimin segera masuk kamar tidur Pak Alimin.
Saya menyalami Pak Alimin dan ia bertanya “Kok ada Pak Dokter disini. Ada apa Dok?” tampaknya Pak Alimin bingung melihat kehadiranku di kamar tidurnya.
“Saya kebetulan lewat rumah Bapak, lalu saya mampir.” Saya menjawab sekenanya.
Saya bertanya “Pak Alimin, tadi Bapak pergi dari mana? Kok lama perginya.”
Setelah melihat langit-langit kamar tidurnya Pak Alimin menjawab “Saya sudah pergi jauh, masuk suatu terowongan yang berputar-putar, badan saya seperti ada yang menyedot ke depan. Saya melihat di ujung terowongan itu suatu sinar putih yang menyilaukan mata. Entah mengapa badanku tersedot lagi ke belakang dan akhirnya ke luar dari terowongan itu.”
“O… begitu, baiklah Pak Alimin, silahkan minum air teh hangat ini “ katsaya yang sebelumnya saya minta disediakan air teh hangat manis kepada salah satu putrinya.
Pak Alimin segera minum air itu dengan lahapnya seperti orang yang sedang kehausan.
Kejadiaan itu terulang 1 kali lagi selang beberapa bulan kemudian. Ia koma 1 jam dan sadar dengan sendirinya. Sepertinya ia mempunyai nyawa cadangan.
Suatu saat Pak Alimin ketika bertemu denganku berkata demikian “Dokter, nanti kalau menjumpai saya dalam keadaan tidak sadar lagi, saya minta agar disuntik mati saja” Pak Alimin memohon kepada saya.
“Tak mau saya menyuntik mati pasienku.” Saya segera mejawab permohonannya yang konyol itu.
“Wah kalau begitu, Dokter bukan sahabatku lagi” kata Pak Alimin yang seperti sudah kehilangan akal.
“Pak Alimin, mengapa mengajukan keinginan seperti itu”
“Dok, saya mempunyai Darah Tinggi, kalau nanti saya sadar dari pingsan suatu saat, saya mungkin akan mejadi lumpuh. Saya akan mati sebelah badan dan saya tidak bisa bekerja lagi. Untuk makan kami harus menjual rumah karena kami sudah tidak punya apa-apa lagi selain rumah yang kami tinggali. Nanti keluarga saya akan tinggal di kolong jembatan. Saya tidak mau itu terjadi” kata Pak Alimin dengan sedihnya.
Ya Tuhan, kok pikiran Pak Alimin seperti itu jauhnya. Saya sukar memahami jalan pikirannya.
Saya menjawab ”Saya tak mau menyuntik mati pasienku sendiri. Itu melanggar hukum. Saya sekolah dokter untuk menyembuhkan orang, bukan untuk membunuh orang.”
Pak Alimin termenung, kecewa dengan penolakanku tadi.
Bagaimana ya, saya dapat menyadarkan pikirannya yang sedang kacau itu. Akhirnya saya mempunyai ide jawaban yang mungkin sekali dapat menyadarkan Pak Alimin yang sedang putus asa ini.
“Pak Alimin, seandainya saya telah membuat Bapak meninggal dunia. Kemana perginya roh Bapak?” saya bertanya kepadanya.
“Roh saya akan berada di ahirat.”
“Iya benar, lalu Malaikat Penjaga akan bertanya kepada Bapak “Siapa namamu?”
Bapak akan menjawab “Nama saya Alimin.”
“Alimin bin siapa?”
“Alimin Bin Samsudin.”
Malaikat akan membuka Buku Kehidupan dan mencari nama itu pada tanggal itu.
Lalu Malaikat berkata “Alimin Bin Samsudin belum waktunya menghadap kesini. Pulanglah kembali.”
Saya melanjutkan “Roh Pak Alimin akan turun kembali ke dunia. Di dunia Bapak akan mencari rumah ( badan ) sendiri, tetapi rumahnya sudah tidak ada lagi karena jenasahnya sudah dikuburkan. Lalu Roh Bapak akan mencari-cari rumah dan jadilah Roh gentayangan. Apa Pak Alimin mau seperti itu?”
Pak Alimin diam seribu bahasa mendengar ucapanku. Rupanya argumentasiku untuk menolak mengakhiri hidupnya itu masuk di akal Pak Alimin.”
Pak Alimin sekarang sudah meninggal akibat Koma yang ketiga kalinya. Meskipun dibawa ke Rumah Sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Sekarang Pak Alimin sudah terbebas dari segala penderitaannya di dunia yang fana ini. Stres yang berkepanjangan, menyebabkan Pak Alimin ingin mati saya.
Demikianlah kisah Pak Alimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar