Siapapun pernah menderita sakit gigi.
Meskipun organ tubuh ini ukurannya relatip kecil tetapi bila gigi mengalami gangguan maka sang pemilik gigi akan merasakan penderitannya. Wajarlah bila kita harus selalu menjaga kesehatan organ yang satu ini.
Dokter Gigi harus belajar selama 5 tahun untuk mempunyai wewenang memeriksa dan mengobati gigi yang sakit milik pasien.
Berbicara masalah Gigi, maka tempat praktek saya sering kali didatangi oleh pasien. Setelah ditanya apa keluhannya, mereka menjawab katanya mau cabut Gigi. Wah…salah alamat nih …………..Seharusnya datang kepada Teman Sejawat Dokter Ggi tetangga kami yang rumahnya berdekatan dengan tempat praktek saya. Pasien sering kali tidak membaca Papan nama Dokter yang akan dimintai tolong. Saya pikir kalau sudah sakit gigi biasanya sering tidak memperhatikan lokasi Dokter Giginya. Bisa salah masuk praktek Dokter.
Masalah cabut Gigi mengingatkan saya akan kejadian ketika kami mengikuti Pendidikan Klinik di Fak. Kedokteran pada tahun 1970 an. Seorang Koasisten ( Dokter Muda ) wajib mengikuti pendidikan Ilmu Kedokteran Gigi selama 2 minggu di Klinik Gigi RS Pendidikan kami. Setiap Koasisten diharuskan mencabut gigi sebanyak minimal sebanyak 20 gigi dengan tujuan setelah lulus dan ditempatkan di daerah dimana belum ada Klinik Gigi maka seorang Dokter praktek Umum dapat mencabut Gigi pasien.
Ketika tiba giliran Lisa ( bukan nama sebenarnya ) teman wanita kami akan mencabut Gigi seri bagian atas pasien, ia mulai menjuntikkan obat anestesi ( bius ) lokal kepada pasien Ibu Aminah, 50 tahun.
Setelah 5 menit kemudian Lisa bertanya kepada sang pasien “Ibu aapkah sudah baal?”
Ibu Aminah menjawab dengan mantap “ Gigi saya belum baal, tetapi Hidung saya sudah.”
Beberapa Koasisten, Dokter Gigi Pembimbing kami dan seorang Perawat Gigi mendengar jawaban pasien itu tersenyum-senyum.
Wah…salah lokasi suntik obat bius nih. Arah jarum suntik terlalu ke atas sehingga yang baal Hidungnya, demikian penjelasan Dokter Gigi pembimbing kami. Akhirnya beliau menyuntikkan sekali lagi obat anestesi lokal ke arah yang tepat.
Setelah baal ( parestesi ) yang menandakan obat bius lokal itu bekerja, maka Lisa mulai mencabut Gigi pasien yang sudah keropos berat. Ia berhasil mencabutnya dnegan mudah. Luka yang ditinggalkan akibat Gigi dicabut memberikan peradarahan seperti biasa. Setelah memberikan sebuah kain kasa khusus di lokasi pencabutan Gigi tadi, tiba-tiba Lisa terjatuh.
Heboh kedua terjadilah. Melihat darah. Lisa tidak tahan dan syncope alias pingsan. Baru satu gigi tercabut sudah pingsan, lalu bagaimana kalau harus mencabut 20 gigi? Apakah harus 20 kali pingsan? Ternyata tidak! Besok dan besoknya lagi, Lisa dengan mantap mencabut 19 gigi pasiennya. Tidak pingsan lagi. Berkat melihat darah setiap kali Gigi pasien dicabut oleh Koasisten lain, Lisa menjadi terbiasa melihat warna merah darah segar dari mulut pasien.
Saat ini kami sudah pensiun. Akibat jarang dipakai maka ilmu kami sudah terlupakan. Bagaiamana cara memberikan Block anesthesi untuk Gigi Geraham ( molar ) ke 3? Pasti sudah lupa. Kalau anstesi gagal, maka Gigi tidak dapat dicabut karena pasein akan merasa kesakitan sekali. Gigi…oh Gigi...mengapa engkau membuat orang menderita?
Saat ini kami sudah pensiun. Akibat jarang dipakai maka ilmu kami sudah terlupakan. Bagaiamana cara memberikan Block anesthesi untuk Gigi Geraham ( molar ) ke 3? Pasti sudah lupa. Kalau anstesi gagal, maka Gigi tidak dapat dicabut karena pasein akan merasa kesakitan sekali. Gigi…oh Gigi...mengapa engkau membuat orang menderita?
Waduh, dashyat juga pingsan setelah cabut gigi. Darahnya banyak sekaliah?
BalasHapusEmang separah apa giginya sampi harus dicabut 19 kali?
To Kencana,
BalasHapusCabut gigi dewasa akan menimbulkan keluar darah. Cukup banyak juga, tapi dalam beberapa menit darah akan membeku dan berhenti perdarahannya.
Diwajibkan mencabut gigi sebanyak 20 gigi itu dari 20 orang pasien, bukan dari 1 orang pasien. he...he...
Salam.