Kemarin sore, teman saya Robert yang datang berobat.
Ia menderita Flu sejak 4 hari. Saya memberinya resep obat klasik untuk Flu.
Selesai semuanya, Robert bertanya kepada saya “ Bas, saya dengar anda sekarang sudah pensiun dari PNS.”
Saya menjawab “Betul, saya pensiun atas permintaan sendiri per 1 April 2000.”
Robert bertanya lagi “Dulu mengapa anda tidak study S2? Penghasilannya kan lebih besar dari pada hanya S1.”
Lama saya tidak menjawab pertanyaannya itu. Ceritanya panjang.
Akhirnya saya menjawab “Benar saya tidak ambil S2 karena saya sayang putra dan putri kami.”
“Maksud anda?” Robert ingin tahu lebih lanjut.
Saya menjelaskan “Sebenarnya pada tahun 1990 ketika putra dan putri kami duduk di TK dan SD kelas 1, isteri saya menyarankan agar saya mengambil study S2. Saya berat hati menerimanya. Setiap pagi dan siang saya harus mengantar dan menjemput putra dan putri kami pergi ke Sekolah masing-masing. Sore hari, isteri saya berangkat untuk praktek dokter umum. Saya praktek dokter umum di rumah. Seorang pembantu membantu mengerjakan keperluan rumah tangga. Putra dan putri kami sering kali bertanya soal PR, pekerjaan rumah. Tidak mungkin pembantu kami dapat menjawab soal-soal itu. Menjelang ulangan umum atau ujian makin banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya sehingga saya menjadi Guru Les bagi mereka. Kalau saya selokah S2 lagi di luar kota, lalu siapa lagi yang harus menggantikan tugas tsb? Isteri saya tidak mungkin, karena ia pagi saampai siang bekerja di Puskesmas dan sore hari juga tidak ada di rumah. Pulang praktek sore sekitar 21.00. Keberadaan saya di rumah pada siang daan sore hari membuat putra dan putri kami tenang dalam hal belajar. Kalau saya study S2 ujung-ujungnya juga mencari nafkah. Sekarang meskipun hanya S1, masih dapat mencari nafkah di rumah dan juga menjadi pendamping dan pembimbing bagi putra/i kami. Saya lebih senang memilih pilihan yang kedua yaitu mendampingi mereka belajar agar kelak mereka dapat study sampai S1 dan S2 kalau memungkinkan. Biarlah saya S1 saja dan berdoa semoga anak-anak kami ada yang menjadi Dokter dan mempunyai kesempatan meraih S1 atau S2. Saya dan isteri dapat meraih S1 Kedokteran saja, kami sudah sangat bersyukur.”
Saya melanjutkan “Puji Tuhan, akhirnya pada Desember 2005 putra kami dapat meraih S1 Kedokteran dan April 2007 putri kami dapat meraih S1 dan S2 dibidang Kimia Tehnik dan Biomedikal Tehnik di UNSW, Sydney. Saat ini mereka sudah bekerja di bidang masing-masing di kota tsb. Mulai Januari 2009 putra kami melanjutkan study S2 nya di salah satu Rumah Sakit. Jerih payah kami membimbing daan mengantarkan anak-anak kami sudah memberikan hasilnya. Saya tidak menyesal kalau saya hanya meraih S1 saja. Toh akhirnya anak-anak kami dapat meraih study sampai S2. Begitulah cerita sayang anak.”
Robert mengangguk–anggukkan kepalanya. Putra/i Robert tidak satupun yang berhasil meraih study S1. “Bas, anda lebih beruntung dari saya” kata Robert, temanku itu.
Saya menjawab “Amin.”
Ia menderita Flu sejak 4 hari. Saya memberinya resep obat klasik untuk Flu.
Selesai semuanya, Robert bertanya kepada saya “ Bas, saya dengar anda sekarang sudah pensiun dari PNS.”
Saya menjawab “Betul, saya pensiun atas permintaan sendiri per 1 April 2000.”
Robert bertanya lagi “Dulu mengapa anda tidak study S2? Penghasilannya kan lebih besar dari pada hanya S1.”
Lama saya tidak menjawab pertanyaannya itu. Ceritanya panjang.
Akhirnya saya menjawab “Benar saya tidak ambil S2 karena saya sayang putra dan putri kami.”
“Maksud anda?” Robert ingin tahu lebih lanjut.
Saya menjelaskan “Sebenarnya pada tahun 1990 ketika putra dan putri kami duduk di TK dan SD kelas 1, isteri saya menyarankan agar saya mengambil study S2. Saya berat hati menerimanya. Setiap pagi dan siang saya harus mengantar dan menjemput putra dan putri kami pergi ke Sekolah masing-masing. Sore hari, isteri saya berangkat untuk praktek dokter umum. Saya praktek dokter umum di rumah. Seorang pembantu membantu mengerjakan keperluan rumah tangga. Putra dan putri kami sering kali bertanya soal PR, pekerjaan rumah. Tidak mungkin pembantu kami dapat menjawab soal-soal itu. Menjelang ulangan umum atau ujian makin banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya sehingga saya menjadi Guru Les bagi mereka. Kalau saya selokah S2 lagi di luar kota, lalu siapa lagi yang harus menggantikan tugas tsb? Isteri saya tidak mungkin, karena ia pagi saampai siang bekerja di Puskesmas dan sore hari juga tidak ada di rumah. Pulang praktek sore sekitar 21.00. Keberadaan saya di rumah pada siang daan sore hari membuat putra dan putri kami tenang dalam hal belajar. Kalau saya study S2 ujung-ujungnya juga mencari nafkah. Sekarang meskipun hanya S1, masih dapat mencari nafkah di rumah dan juga menjadi pendamping dan pembimbing bagi putra/i kami. Saya lebih senang memilih pilihan yang kedua yaitu mendampingi mereka belajar agar kelak mereka dapat study sampai S1 dan S2 kalau memungkinkan. Biarlah saya S1 saja dan berdoa semoga anak-anak kami ada yang menjadi Dokter dan mempunyai kesempatan meraih S1 atau S2. Saya dan isteri dapat meraih S1 Kedokteran saja, kami sudah sangat bersyukur.”
Saya melanjutkan “Puji Tuhan, akhirnya pada Desember 2005 putra kami dapat meraih S1 Kedokteran dan April 2007 putri kami dapat meraih S1 dan S2 dibidang Kimia Tehnik dan Biomedikal Tehnik di UNSW, Sydney. Saat ini mereka sudah bekerja di bidang masing-masing di kota tsb. Mulai Januari 2009 putra kami melanjutkan study S2 nya di salah satu Rumah Sakit. Jerih payah kami membimbing daan mengantarkan anak-anak kami sudah memberikan hasilnya. Saya tidak menyesal kalau saya hanya meraih S1 saja. Toh akhirnya anak-anak kami dapat meraih study sampai S2. Begitulah cerita sayang anak.”
Robert mengangguk–anggukkan kepalanya. Putra/i Robert tidak satupun yang berhasil meraih study S1. “Bas, anda lebih beruntung dari saya” kata Robert, temanku itu.
Saya menjawab “Amin.”
Sama. Ortu saya juga S1. Dan sekarang mereka juga entrepenur yg membuka usaha sendiri. S1 juga bisa sukses dan banyak duit.
BalasHapusTo Kencana,
BalasHapusKami bersyukur kepda Tuhan, kalau kami lulus S1 dua-duanya bersama isteri. Akhirnya saat ini juga mencapai S2 ( Sudah Sepuh ) juga. he...he...
Kebahagiaan bukan tergantung dari berapa banyak uang yang ada di Bank tetapi dari apa yg dimiliki disekitar kita, bukan?
salam