Rabu, Februari 11, 2009

Hilang dua-duanya

Saat itu aku duduk di kelas III SMU, 1965. Mesin sepeda motorku mesti diperbaiki, tenaganya sudah berkurang. Maklum sepeda motor tua. Aku menabung hari demi hari dengan menyisihkan uang saku. Sudah terkumpul sebanyak Rp. 75.000,-cukup untuk biaya perbaikan sepeda motorku atau setara dengan harga beras setengah kwintal saat itu.

Sore ini Jaedi ( bukan nama sebenarnya ) teman sekampugku datang kerumahku. Setelah berbasa-basi ujung-ujungnya temanku ini bermaksud ingin meminjam uang kepadaku. Alasannya uang itu untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit.

“Aku tak punya uang sebanyak itu”, kataku kepadanya.
“Tolonglah Bas, lusa ayahku gajian, uangmu akan kukembalikan, jawab Jaedi.
“Aku akan memperbaiki mesin sepeda motorku di bengkel.” aku ngotot tak mau
meminjamkan uangku kepadanya.
“Uang itu kami butuhkan untuk biaya berobat Ibuku, sakit Ashmanya kambuh lagi, semalaman ia tak bisa tidur,” Jaedi merengek.

Aku tak tega kalau Ibu temanku itu meninggal dunia seperti salah satu keluargku yang meninggal bulan lalu akibat penyakit Ashma berkomplikasi Radang paru-paru. Saat itu aku juga perlu uang untuk sepeda motorku, aku tak mau kalau aku naik sepeda lagi ke sekolah.

“Bas, pinjami aku uang. Lusa ayahku gajian, akan kukembalikan uangmu.” Sekali lagi Jaedi merengek.

Lusa kan 2 hari lagi, tidak lama. Biarlah aku pinjamkan uangku kepadanya. Aku
mengalah.
“Berapa sih uang yang kauperlukan?” aku bertanya kepadanya.
“Hanya tujuh puluh ribu rupiah saja”, kata Jaedi.
“Kau ambillah TV 14 inchi kami, kalau kau tak percaya.” Jaedi melanjutkan rayuannya.
Aku takut itu barang curian dan nanti aku dituduh sebagai penadah barang curian. Aku menolak mengambil TV nya.

“Baiklah aku pinjamkan uang sebanyak itu, tetapi segeralah kau kembalikan lusa. Kalau tidak, awas kau,” aku mengancamnya.
“Baik Bas, engkau temanku yang baik sekali.”

Aku benci mendengar rayuan gombalnya.
2 hari kemudian aku naik sepeda untuk sampai di sekolah.
Hari yang dijanjikan tiba. Aku menunggu di rumah kedatangan Jaedi yang akan
mengembalikan pinjamannya kepadaku. Sampai malam hari, aku tidak melihat batang hidungnya.

“Puih..., sialan benar itu orang. Penipu. Penipu,” aku marah besar.
Sudah ditolong lupa mengembalikannya. Aku tunggu lusa-lusa berikutnya, tetapi Jaedi tidak kunjung datang kerumahku. Dengan nekat aku datangi rumahnya di kampungku.

Ternyata Ibunya sehat-sehat saja, tidak pernah menderita sakit Ashma. Ibunya
mengatakan bahwa Jaedi pergi ke Jakarta tepat sehari setelah ia menerima uang dariku. Penipu kau Jaedi.

Aku pulang dengan kecewa dan marah. Kok bisa-bisanya Jaedi temanku
menipuku dengan alasan yang dibuat-buat, Ibunya sakit. Wah kualat tuh orang…..kualat kau Jaedi.

Aku kehilangan uangku dan temanku, aku kehilangan kedua-duanya. Sampai saat ini aku tidak pernah bertemu lagi dengan Jaedi, temanku itu.

Bila anda meminjamkan uang kepada seorang teman, berhati-hatilah. Semoga pengalamanku tidak menimpa anda. .



4 komentar:

  1. Anonim9:10 PM

    Saya pernah mengalaminya lima enam tahun lalu. Waktu itu malam-malam seorang dosen yang kebetulan masih orang dari satu desa, datang kerumah mengatakan bahwa mobilnya mendadak mati dan memerlukan jasa bengkel. Minta tolong dipinjamkan duit, dan berjanji akan mengembalikannya. Saya beri seratus ribu, karena baru saja gajian... eh setelah Bapak itu pergi, seorang kakak sepupu mengatakan kalau Bapak Dosen tersebut sudah tak lagi bisa dipercaya, setelah kecanduan narkoba.
    Bisa ditebak kan Dok ?
    Saya kehilangan kedua-duanya juga.
    Karena orang tersebut, sudah dipecat dari tugasnya mengajar, dan hilang entah kemana....

    BalasHapus
  2. To Pande Baik: Akhirnya saya punya suatu trik utk cegah kekecewaan saya. 1. Jangan beri uang kepada seseorang dalam jumlah yang besar. 2. Setelah memberi, janganlah mengharap uang itu akan kembali. Sudah relakan saja. Hitung-hitung menolong orang sebatas kemampuan saya.Kalau uang itu dapat kembali, berikanlah kepada org lain yang juga membutuhkan. Tuhan memberkati. Amin.

    BalasHapus
  3. Anonim11:34 AM

    Terkadang memberi utang itu seperti makan buah simalakama. Diberi kita slalu dihantui pikiran, kira2 dibayar ya ngga nantinya. Tidak diberi kita dimusuhin. Saya sendiri dulunya sering memberi pinjaman kepada teman, ada yang mengembalikan ada juga yang ntar sok (janjinya molor melulu) bahkan ada selalu menghindar kalau mau ditemuin.Akhirnya bosan deh nagihnya, ikhlasin aja sebab saya percaya apa yang kita punya ini cuman titipan dari YME. Jadi kapan saja bisa diambil oleh Nya.

    BalasHapus
  4. TO Happycook70: Betul sekali. he..he.. rupanya anda juga pernah mengalami hal yang serupa.

    BalasHapus