Senin, Desember 19, 2011

Berlibur di Sydney (1)





17 Desember 2011:

Hari Sabtu 17 Des 2011 pk 10.30 ( Sydney time, + 11 GMT ) atau pk. 06.30 Waktu Indonesia Barat ( Jakarta time, +7 GMT ) pesawat Garuda  GA 712 mendarat mulus dan selamat di International Kingsford Sydney Airport. Kedatangan  saya dan istri dijemput oleh putra dan putri kami yang tinggal dan bekerja di kota ini.


Penerbangan selama sekitar 7 jam, 39.000 kaki diatas permukaan bumi, tempat duduk yang pas-pasan, membuat  para penumpang kelas Ekonomi sulit untuk dapat tidur sambil duduk. Perbedaan waktu 4 jam lebih siang membuat kami mengalami jetlag karena mengalami perbedaan waktu 4 jam.


Rasa kantuk yang masih terasa saat  kami antri di bagian Imigrasi untuk minta stempel di Paspor kami sebagai bukti kami memasuki Negara Kangguru ini. Kami bergegas mengambil koper-koper kami di ban berjalan. 3 koper telah kami dapatkan. Masih ada 1 bungkusan Kantong plastik warna biru berisi sebuah alat Mixer ( pengaduk bahan kue ) pesanan putri kami yang tidak kami temukan. Kami panik juga. Hilangkah atau nyasar dimana?


Kami bertanya kepada seorang petugas, pria bule yang cukup simpatik bahwa kami masih belum menemukan kantong plastik itu. Saat itu hampir semua penumpang sudah meninggalkan bagian bagasi.
“What kind of your bag?” ia bertanya.
“Plastic bag, Blue color, Sir.” Saya menjawab.
“Please, try to find your bag at  counter 14.” Jawabnya sambil menunjuk kounter 14, bagian bagasi yang diperlakukan khusus.


Saat kami berada di kounter tersebut, kami melihat sebuah kantong plastik warna biru milik kami di lantai. Rupanya  bungkusan / barang bawaan ada yang diperlakukan khusus yang tidak dicampur dengan koper-koper yang berat. Akhirnya semua barang bawaan kami sudah kami dapatkan. Kami  harus antri lagi dibagian terakhir, bagian pemeriksaan barang bawaan.


Declaration card ( kartu pertanyaan membawa / tidak membawa barang-barang tertentu seperti alcohol, uang  lebih dari 10.000 AUD dan lain-lain ) yang dibagikan diatas pesawat dan sudah saya dan istri isi dan ditanda tangani, kami serahkan kepada petugas seorang wanita bule .


Setelah ia melihat sekilas kartu daftar isian tsb, ia berkata “Please go to 8 way” sambil menunjuk arah ke gang kecil nomer 8 untuk menuju pintu keluar. Kami beruntung koper-koper kami tidak mengalami pemeriksaan yang ketat seperti beberapa tahun yang lalu saat kami tiba di Bandara Sydney ini. Pemeriksaan koper saat itu masih sangat ketat yang membutuhkan banyak wakatu untuk setiap penumpang. Bayangkan berapa jam untuk memeriksa para penumpang ( sekitar 300 orang setiap pesawat yang landing ). Sebagai International air port, bandara Sydney ini cukup sibuk. Hampir setiap 15 menit ada pesawat yang landing. Kapan akan selesai pemeriksaan koper kalau membutuhkan waktu yang lama untuk seorang penumpang saja? Jadi hanya penumpang yang mengisi Declaration card yang menyatakan membawa barang-barang yang mesti di declare, yang dibuka dan oleh petugas.


Putra dan putri kami merasa lega melihat kami, orang tuanya sudah tiba di Bandara dengan selamat. Udara di luar gedung bandara saat itu cerah, angin dingin menerpa tubuh kami yang  masih ngantuk.
Saat sudah berada di dalam mobil, kami merasa lebih nyaman kalau dapat tidur yang kami lanjutkan tidur begitu sudah berada di Flat putra kami. Saya terbangun pada pukul 14.10 ( Sydney time ). Mandi dan langsung kami menikmati Lunch  di sebuah tempat makan dekat Flat putra kami.

18 Desember 2011:

Kami mengikuti Kebaktian siang hari pukul 11.30 di Gereja ”Indonesian Presbyterian Church Randwick” ( www.ipc.or.au ) yang berada di jalan 94 Houston Rd. Kingsford NSW 2032.





Bapak Pendeta Joni Stephen yang memberi kotbah saat itu memperkenalkan saya dan istri kepada para anggota jemaat Gereja ini yang hadir. Ada beberapa pengunjung kebaktian yang juga diperkenalkan oleh Bapak Joni. Saat kami berdiri, kami mendengar sambutan tepuk tangan yang simpatik. Kami kagum dengan  daya ingat beliau yang masih ingat akan wajah kami. Bila sedang berada di Sydney, kami seperti biasa hadir di Kebaktian di Gereja ini yang juga menjadi tempat beribadah putra/i kami pada hari Minggu dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia.


Saat selesai acara Kebaktian kami bersalaman dengan Bapak Joni dan kami sekeluarga sempat  ngobrol sejenak. Kami berterima kasih dengan penerimaan beliau dan seluruh anggota Majelis Jemaat Gereja  IPC yang ramah. Di Gereja ini sebagian warga Indonesia yang sudah menjadi penduduk kota ini atau para tamu ( visitor ) datang beribadah pada hari Minggu.


Selesai kebaktian, kami menikmati Breakfast di sebuah tempat makan Thai. Saya menikmati Tom Yam noodle yang  rasa kuahnya asam-asam pedas yang menjadi salah satu makanan favorit saya.





Sore hari kami mengunjungi Westfield  Dep. Store yang berlantai 3. Tempat parkir penuh, kecuali di atap gedung yang masih kosong. Kami membeli makanan untuk sarapan pagi kami.
Untuk Dinner kami menikmati Myanmar food. Cita rasanya tentu berbeda dengan lidah saya. Yang paling netral bila menikamati Nasi Goreng, Fried rice yang juga rasanya berbeda dengan nasi Goreng Kotok Kowok ( Nasi Goreng yang diberi sedikit Mie ), khas kota Cirebon.



4 komentar:

  1. memang kursi kelas Ekonomi gak nyaman buat tidur. Saat ke Sydney pertama kalinya, saya cuma tidur 4 jam saja karena nggak terbiasa tidur sambil duduk. Mau tidur begitu nyampe di sana, gak bisa karena mesti ngikutin jadwal tur.

    Wah, Dok. Di Sydney hari pertama sudah makan makanan Asia. Nggak makan roti kayak orang bule? Hehehe....

    Sayang bagian dalam gerejanya nggak difoto, ta. Ada misa bahasa Indonesia? Enak juga. Saya denger umat gereja berkurang karena rata2 orang bule atheis. Itu bener nggak ya? Terkahir kali saya ke gereja luar negeri, umatnya gak sampai separuh.

    BalasHapus
  2. To Kencana,

    Pernah suatu saat pada tahun yg lain kami pada 3 hari pertama tidak bertemu dengan Nasi Putih. Lalu kari ke 4 saya bilang sama isteri "Kita bikin Nasi Putih dan lauknya ikan asin yg kita bawa ya." Orang Indonesia kalau tidak ketemu nasi rasanya belum makan ya. he...he...

    Umat yg datang ke Gereja yg kami ikuti ( kebaktian dalam bahasa Indonesia ) cukup banyak, hamppir seluruh gedung terisi. Mungkin sekitar 300 an orang yg hadir. Entah ya kalau kebaktian utk orang Bule berapa yg hadir. Iya disana ada kebebasan beragama.

    Yang penting disana 2 hal yaitu: 1. jangan berbuat kriminal dan 2. bayar pajak ( pay the tax ). Ke Gereja atau tidak tidak menjadi masalah. Dalam ID (Identity Card) juga tidak dicantumkan Agamanya apa?

    salam

    BalasHapus
  3. Iya. beda ama orang Indo yang mencamtukan agama di KTP.

    Pertama kalinya ke Sydney, saya bergumam, "Asyik, bisa nyicipin makanan bule!" Makhlum, masih ababil saat ke sana.
    Setelah seminggu makan roti terus, saya jadi ilfeel sejenak ama roti. Untung di jadwal tur ada acara makan di restoran Malaysia. Gak kebayang kalau bener2 gak makan nasi seminggu penuh.

    BalasHapus
  4. To Kencana,

    Sydney adalah kota yang multirasial, hampir segala bangsa ada. Demikian pula Rumah Makan terdapat banyak macamnya: China, Korea, Malaysia, Indonesia, India dll. Asal tahu saja tempatnya.

    Kalau ikut Tour, maka Tour leader sudah mengarahkan ke suatu tempat, yg mungkin ada bonusnya bagi mereka. Jadi peserta Tour ngikuti saja. Kalau dapat mencicipi hidangan di Rumah Makan
    Malaysia, baguslah menunya mirip-mirip dgn menu Indonesia.

    Lama-lama kalau sudah tinggal di Sydney maka akan terbiasa juga perut kita akan makanan disana. Sekali-kali buat hidangan Indonesia.

    Beras banyak di jual di Oriental Market ( biasanya disini penjualnya berasal dari Vietnam ), harganya lebih murah dari pada harga-harga di Dep. Store Aussie.

    Beras dimasak dengan Rice cooker, setengah jam sudah matang. Kwalitas berasnya juga bagus, baunya harum, pulen. Teman makannya juga banyak dijual di Oriental Market spt: Tahu, Tempe, Terasi, Kerupuk, Dendeng dll spt di Indonesia, hanya berlabel harga pakai Dolar Australia. Jadi kalau dibandingkan dgn IDR ( Indonesia Rupiah ) maka tampaknya lebih mahal sebab ada perbedaan nilai tukar uang.

    Salam.

    BalasHapus