Senin, Maret 02, 2009

Menolong atau tidak


Hari Minggu 1 Maret 2009 pukul 05.50 kami akan mengikuti kebaktian yang akan dimulai pukul 06.00 di Gereja kami.

Isteriku sudah duduk di dalam mobil. Aku setelah mengunci pintu pagar, masuk ke dalam mobil. Mesin mobil sudah di hidupkan. Tinggal tancap gas, mobil segera meluncur.

Tiba-tiba ada Becak mengangkut seorang Ibu dan seorang Balita meluncur mendekat ke arah depan mobil kami.

Melihat mobil kami yang berlambang IDI akan meluncur, Ibu itu berteriak “Dok, Dok, tunggu dulu. Anak saya sakit. Tolong, Dok, jangan pergi dulu”.

Secara reflex aku membula kaca jendela dan berkata “Maaf Bu, kami mau ke Gereja. bagimana kalau nanti saja pukul 07.30?”

Ada pasien yang datang tetapi timing-nya tidak tepat. Bagaiman ya? Kalau periksa pasien dulu, kami pasti terlambat mengikuti kebaktian.

Aku bilang kepada isteriku “Berangkatlah dulu ke Gereja, nanti saya nyusul naik becak.”

Isteriku menolak dan berkata “Periksa aja dulu pasien itu, tampaknya ia membutuhkan pertolongan Dokter.” Aku lega mendengar ucapan isteriku.

Aku berkata kepada Ibu ini “Baiklah, Bu. Saya periksa anak Ibu.”

Ibu itu berkata “Makasih ya, Dok.” Wajahnya lebih cerah dari pada sebelumnya.

Aku membutuhkan waktu 10 menit untuk buka, tutup pintu rumah dan periksa, menulis resep bagi Balita yang menderita Diare dan Flu itu.

Selesai menutup pintu pagar yang kedua kalinya, kami segera meluncur ke Gereja kami. Pintu Gereja sudah tertutup, kami masuk dari pintu samping. Kami dapat duduk di deretan kursi paling belakang. Kebaktian sudah dimulai dengan Lagu Pujian.

Saya tahu kami datang terlambat. Kalau Tuhan memarahi saya, saya tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi saya punya alasan yaitu saya menolong orang dulu, kemudian pergi ke Gereja. Apakah saya salah? Bukankah menolong orang itu baik?

Tengah hari ketika kami hendak menikmati makan siang, ada orang yang ketuk pagar rumah kami. Seorang pemuda, 35 tahun meminta saya untuk memeriksa Mertuanya, apakah sudah meninggal dunia atau masih hidup.

Saya bertanya “ Dimana rumahnya?”

“Di jalan Anu, Dok.”

“O..disitu kan ada Dr. H yang rumahnya berdekatan.” saya berkata

“Iya betul, Dok tetapi Dr. H dan keluarga sedang pergi ke luar kota. Saya telepon Dokter Jaga Kota, tetapi tidak ada yang angkat. Tolong, Dok.” Ia memohonon kedatangan saya.

“Anda naik apa kesini?” aku bertanya lagi.

“Naik motor, Dok. Nanti saya antar Dokter lagi.” ia menjawab

Wah siang ini saya akan naik ojek nih.

“Baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambil tas saya “

Sambil naik motor saya bertanya tentang kisah pak Achmad. Kata anak mantu ini, Pak Achmad sudah masuk Rumah Sakit 2 kali. Katanya ada gangguan pada Hatinya.

Setiba di rumah mereka, saya melihat Pak Achmad ( bulan mana sebenarnya ) tergolek di atas sebuah bale. PakAchmad, 59 tahun, ini pernah berobat 2 kali di tempat praktek saya dengan keluhan mual dan muntah.

Saya segera memeriksa Reflex Pupil yang sudah Negatip dan melebar ( mydriasis total ), yang merupakan salah satu tanda kematian susunan syaraf pusat. Bunyi Jantung dan Pernafasan sudah Negatip alias tidak bernafas lagi. Suhu tubuhnya dingin. Pak Achmad sudah pergi meninggalkan kita semua.

Saya berkata kepada isterinya “Ibu, Pak Achmad sudah selamat, sudah dipanggil Tuhan. Saya turut berduka cita.” Saat itu waktu menunjukkan pukul 12.30 tengah hari.

Ibu Achmad meneteskan air matanya. Demikian juga putra dan putri Pak Achmad.
Saya segera membuat Surat Keterangan Kematian bagi Pak Achmad dan diserahkan kepada isterinya.
”Selamat jalan Pak Achmad.” kata saya dalam hati.

Hari Minggu ini saya yang sudah pensiun ini sudah tidak mendapat tugas Jaga Kota lagi. Saya mengajukan pengunduran diri dari tugas Jaga ini kepada Kepala Dinas Kesehatan setempat 6 bulan yang lalu. Meskipun demikian masih banyak orang yang datang minta pertolongan kepada kami pada hari Minggu atau hari Libur. Pasien tidak mau mengerti kalau ini bukan hari praktek kami atau bukan Dokter Jaga Kota. Pasien minta tolong. Layakkah ditolak??

Ya sudah, selama kami masih dapat menolong, kami akan menolong. Efek sampingnya keluarga pasien memberi rejeki dengan ikhlas kepada kami, meskipun kadang kala kami tidak memintanya karena tidak tega ketika melihat keadaan pasien yang sakit parah atau bahkan sudah meninggal dunia, dan keluarganya bukan tergolong mampu.

Pesan moralnya:

Ingin Bahagia?
Untuk sehari, pergilah mancing.
Untuk sebulan, menikahalah.
Untuk setahun, warisilah harta.
Untuk selamanya, tolonglah orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar