Senin, Maret 23, 2009

Karakter Pasien


Sejak tahun 1980 saya melakukan Dokter Praktek Umum, saya menarik kesimpulan bahwa karakter pasien berbeda-beda. Yang sama hanya 1 hal yaitu mereka sedang mengalami sakit. 

Saya mengamati karakter Pasien ada yang:

1. Percaya penuh kepada Dokternya. Tidak banyak macam-macam permintaan, selain agar lekas sembuh. Pasien-pasien yang demikian dapat menjadi pasien Dokter yang sama dalam waktu yang lama ( langganan ). Enak punya pasien yang demikian. Sugesti kepada Dokternya, sudah 50 % sembuh, sisanya karena minum obat dan menuruti advis dokter.

2. Ada pasien yang tidak dipungut biaya pemeriksaan ( doctor fee ). Pasien yang demikian tergolong para keluarga, relasi dekat. Oleh karena sering tidak dipungut biaya, sering kali mereka mengirim sesuatu yang dapat berupa parsel buah-buahan, kue-kue, dll.

3. Ada lagi yang bila berobat membawa barang-barang lain ( ayam goreng, ikan, dll makanan ), sebagai doctor fee. Pasien ini biasanya dari luar kota. Sering kali juga mereka memberikan doctor fee. Entah mengapa seolah-olah membayar double. Meskipun dianjurkan agar tidak berbuat demikian, tetapi mereka tetap ingin memberikan barang-barang itu. Kadang dokter sukar menolak rejeki.

4. Pasien yang banyak bertanya ( mungkin mereka pikir sudah bayar doctor fee ), misalnya Resep kesatu untuk apa?, resep kedua untuk apa? Dst. Lalu Dokter menjelaskan satu demi satu seperti memberikan kuliah kepada mahasiswa Kedokteran. Jadi sebenarnya mau berobat atau mau kuliah? Pasien tipe ini sepertinya tidak percaya kepada Dokternya. Kalau percaya, mestinya tidak banyak bertanya tentang resep yang diterimanya. Kalaupun bertanya: kapan harus kontrol ulang? Agak repot menghadapi tipe ini, harus panjang sabaaar dan banyak waktu menerangkan. Di Jakarta saya tahu ada Teman Sejawat Dokter yang mengijinkan pasiennya bertanya maksimal 3 pertanyaan saja, sebab setiap buka praktek pasienya cukup banyak yaitu dibatasi hanya 40 pasien saja yang diperiksa. Jadi pasien harus mencatat setiap pertanyaan yang mau diajukan, bila lebih dari 3 pertanyaan oleh Perawat yang bertugas pasien dan keluarganya langsung dipersilahkan keluar Ruang Periksanya. Kalau tidak begitu kapan selesai jam prakteknya?

5. Pasien sering memohon agar Obat resep yang akan diberikan harus yang Patent atau harus yang Generik. Lalu bertanya kira-kira berapa harganya? Lho yang jadi Dokter: saya atau dia sih? Kok ngatur obat yang akan diserepkan. Suatu ketika saya menjawab bahwa harga 3 macam obat resep generik itu sekitar Rp. 20.000,- Sepuluh menit kemudian, dari Apotik terdekat pasien menelopn saya, katanya harga obat itu bukan Rp. 20.000,- an tetapi Rp. 89.000,- Glek ...saya terhenyak. Jawaban saya salah atau ada obat yang diganti dengan obat Patent yang lebih mahal. Mosok sik obat2 sederhana itu harganya sampai segitu? Kemudian saya bilang kepada sang penelepon, bilang kepada petugas Apotik, agar obat sesuai yang diresepkan yaitu obat generik dan jangan diganti dengan yang patent. Kalau ngeyel, pindah ke Apotik lain saja. Selanjutnya saya kalau ditanya berapa harga obat yang saya resepkan, selalu dijawab: tanyalah kepada Apotik agar akurat. Kalau tidak cukup uangnya, beli setengah resep dulu, kemudian lusa dibelikan lagi sisa obatnya.

6. Ada pasien-pasien yang datang berobat. Setelah diperiksa dan dibuatkan Medical Recordnya dan dibuatkan Resep, lalu mereka bilang bahwa mereka adalah Pasien Askes ( ketika saya menggantikan praktek Isteri saya yang juga Dokter Askes ). Kenapa tidak sejak awal bilang pakai Askes, sebab semua administrasi akan dicatat di buku dan blangko resep khusus Askes. Kalau pasien umum lain lagi catatannya. Jadi harus kerja 2 kali dan makan banyak waktu kalau ia berobat bersama 2 orang anaknya pakai Askes. Mereka mengira kalau bilang pasien Askes, akan diperiksa asal-asalan ( padahal sungguh mati dokter akan periksa sama saja, mau yang umum atau yang Askes, sebab mereka pasien kami juga. Kami bukan dokter abal-abal ). Saya heran kok ada pasien yang Paranoid seperti itu. Aneh tapi nyata. Mohon maaf kepada para pasien Askes. Tidak semua pasien Askes berbuat begitu. Ada pasien Askes yang santun dan sugestinya besar kepada kami. Kami respek kepada mereka. Sampai sekarang kami juga mempunyai Kartu berobat Askes ( dipotong dari uang Pensiun kami setiap bulannya ). Jadi sebenarnya kami juga senasib, sama-sama peserta Askes.

7. Yang paling repot kalau menghadapi pasien yang tipe ini. Setelah menerima resep obat. Pasien minta Kwitansi sebagai bukti pembayaran yang dapat dimintakan ganti ke kantornya ( masih wajar dan masuk akal ). Selain itu ada embel-embelnya “ Dok, kwitansinya dibikin 2 kali lipat dari pembayaran yang saya berikan!”
Jadi kalau doctor fee sebesar Rp. 20.000,-/pasien, ia minta dibuatkan Kwitansinya sebesar Rp. 40.000,-. Selama ini saya selalu menolaknya, agar saya dapat tidur. Kalau menguruti kehendak pasien tipe ini, saya tidak dapat tidur sebab telah aberuat yang tidak benar. Kalau pasien ngotot. Saya pikir ini belum rejeki saya. Lalu saya berkata “Kalau tidak mau menerima Kwitansi yang benar ini, anda tidak usah bayar saja, tetapi saya juga tidak mau beri Kwitansi apapun. Ini resep obatnya dan semoga lekas sembuh.”
Kalau ia punya perasaan, ucapan saya ini sebenarnya suatu tamparan baginya.
Kalau ia ngeyel, saya bertanya “Mengapa anda meminta seperti itu sih?”
Sering kali jawabannya berupa “Kalau sakit kan saya juga mengeluarkan uang transport Becak, sedangkan yang diganti hanya 50 % dari Kwitansi yang Dokter berikan.”
Glek...jadi ongkos Becak juga minta penggantian dari Dokter. Astaga.....
Kalau saya menuruti kemaun tipe ini, lain kali akan begitu lagi. Saya akan menambah dosa lebih banyak. Lebih baik saya tidak memungut biaya pemeriksaan dan tidak memberi Kwitansi. Saya tidak berbuat kesalahan apapun, bahkan sudah berbuat kebaikan.

8. Tipe lain yang juga menjengkelkan ( maaf ya para pasien ) adalah pasien-pasien yang tidak sakit tapi mau minta Surat Keterangan Sakit dari Dokter. Mereka bolos dari pekerjaannya oleh karena: ikut Siskampiling ( iya kalau benar ikut ), pergi hajatan ke luar kota dll alasan yang mereka buat. Saya selalu menolaknya, sebab Dokter yang tanda tangani, kalau ada apa-apa yang dipanggil dan ditanya adalah yang beri tanda tangan, bukan pasien. Jadi Dokter sudah buat Surat Keterangan Aspal ( Asli tapi palsu, sebab paseinnya tidak sakit tapi bolos ). Ini ada sangsinya di KUHP, Barang siapa membuat Surat Keterangan Palsu akan dikenakan sangsi….dst dst.. Ini yang tidak dimengerti dan diketahui oleh pasien. Kalau 3 kali beri Surat Keterangan Sakit untuk seseorang yang dipanggil oleh Sidang Pengadilan, tetapi tidak mau hadir, maka sang Dokternya yang dipanggil ke Sidang Pengadilan. Lebih repot dan banyak buang waktu.

* Setelah membaca kenyataan diatas, kalau anda sebagai pasien termasuk yang manakah itu? Semoga anda termasuk tipe paling atas. Amin.




4 komentar:

  1. dok, pasien jenis terakhir biasanya pasien yang teredukasi.
    Baik teredukasi oleh pendidikan, atau
    teredukasi oleh rumor di TV. hahaha

    BalasHapus
  2. To Yudhi: he..he..benar. marketing via siaran TV paling efektip meskipun biaya tayang per menitnya juga cukup besar. Sering kali anak2 minta dibelikan ini dan itu spt yg ada di TV. Wah..sudah termakan iklandi TV.

    BalasHapus
  3. Hahaha.. saya baru bertemu dengan blog ini. Sebagai praktisi yang mempelajari karakter manusia dan sedang melakukan review dengan beberapa rekan dokter tentang karakter pasien, saya geli sendiri membaca blog ini Dok. Lucu dan mendidik sekaligus hahaha... terimakasih sudah menulisnya Dok. Salam kenal, Deborah Dewi

    BalasHapus
  4. To Deborah Dewi,

    Terima kasih sudah berkunjung. Ceritanya lucu ya. he...he...

    Salam.

    BalasHapus