Rabu, Maret 25, 2009

Serba-serbi Merokok




Dinegara kita, suatu Peraturan bukan untuk ditaati tetapi sering kali untuk dilanggar.

Meskipun di Jakarta dan kota-kota lain sudah ada larangan merokok di tempat-tempat umum dengan ancaman sangsi denda, tetapi yang merokok masih banyak. Tidak peduli, karena yang petugas mengawasi juga masih sedikit.

Kalau seorang Dokter yang seharusnya memberi teladan untuk tidak merokok, bahkan terang-terangan merokok di depan pasien ketika sedang periksa pasiennya. Ini juga luar biasa.

1. Ketika masih mahasiswa saya mengantar adik saya yang Postmastoidectomy ( semacam operasi di daerah Telinga ) kontrol kepada Dr.THT di kota B. Begitu masuk Ruang Periksanya, ya ampun... penuh asap rokok. Ruangan ber-AC kok ada yang merokok yang justeru Dokternya sendiri. Rupanya bau dari pus / nanah pasien-pasien OMP ( Radang Telinga ) tidak disenangi oleh Dokternya. Lalu ia me-masking bau itu dengan bau asap rokok yang juga tidak sedap. Mengapa ia tidak pasang Exhausted fan untuk sedot udara dalam Ruang Periksa dan buat Ventilasi dengan udara luar yang bersih asap. Udara di B tidak panas seperti Jakarta sehingga tidak perlu benar pakai AC. Cukup AC alam saja.

2. Pasien saya seorang Nenek 66 th ( penderita Ashma Bronchiale ) mengeluh ketika dalam perjalanan ia naik minibus Angkutan kota. Seorang pemuda dengan enaknya merokok di sebelah nenek ini. Ketika ditegur agar jangan merokok, ia malah mengembuskan asap rokok ke wajah Nenek tadi. Ashmanya langsung kambuh ngik-ngik.. Pemuda itu ketika tahu bahwa perbuatannya itu sudah membuat orang menderita, tanpa bilang ba atau bu, langsung turun dari Angkot tanpa bilang maaf. Gila benar. Dosanya bertambah satu lagi!

Pemerintah sudah membuat larangan merokok di tempat umum dengan setengah hati, sebab Pajak berupa Cukai Tembakau merupakan pemasukkan untuk meningkatkan Devisa R.I. Jadi susah. Tidak bisa tuntas.

Oleh karena itu kalau mahasiswa/i Fak. Kedokteran sudah merokok, bagaimana nanti kalau sudah jadi Dokter. Juga para Dokter tidak peduli / mau memberi teladan bagi orang 
lain, maka beginilah jadinya.

Kalau kita menasehati mereka yang merokok, bukannya kita yang marah tetapi merekalah yang marah-marah. Dunia sudah terbalik. Dosa mereka bertambah satu lagi!

Faktor Keteladanan penting sekali agar rakyat banyak mencontoh perbuatan yang baik. Kalau Anggota DPR dll Pejabat melakukan Korupsi, maka rakyatpun akan berbuat yang sama. Maka tugas Tim KPK menjadi lebih banyak dan tidak selesai-selesai. Bagaimana negara kita mau maju, kalau masalah Merokok ini saja tidak dapat diatasi dengan baik. Sangat berbeda dengan negara-negara lain ( Australia, Singapore dll ). Rakyat disana mematuhi peraturan yang dibuat Pemerintah mereka dan sangsi bagi yang melanggar akan benar-benar dijalankan tanpa pandang bulu. 

Tahun 1993, ketika kami melancong ke Singapore, di dalam setiap gerbong MRT ( Mass Rapid Transit ), kereta listrik, selalu terpampang tulisan “No smoking, unless you pay S$500” ( Dilarang merokok, kecuali anda bayar denda S$500 ). Dendanya tidak tanggung-tanggung besarnya. Saat itu nilai tukar adalah: Rp. 4.300,- untuk setiap S$1. Akibatnya tidak ada seorang penumpangpun yang berani merokok, setiap gerbong MRT bersih, udara segar dan sejuk ber-AC. Bila jarak yang ditempuh cukup jauh, mereka selalu membaca Koran / Buku yang mereka bawa masing-masing. Waktu sangat dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan. Mereka sibuk membaca, tidak ada waktu untuk mencoret-coret dinding MRT, merokok atau perbuatan jelek lainnya. Luar biasa tertibnya. Saya pernah menulis artikel “Disiplin Singapore” pada Blog ini, ( 05/11/14 ). Bila ada waktu anda dapat membacanya. Siapa tahu bulan depan anda menang Undian / door price pergi melancong ke Singapore. Amin.

Di negara kita masih nayak yang merokok di tempat-tempat umum. Oleh karena itu tidak heran kalau kasus: Bronchitis chronica, TBC paru, Kanker Paru, Emphysema Pulmonum pada usia diatas 50 th banyak terjadi di negara kita. Frekwensi penyakit-penyakit tadi lebih banyak ditemukan pada perokok, terutama heavy smoker ( perokok berat ) dari pada orang yang bukan perokok.. Bila ini sudah terjadi maka it is too late. Sudah terlambat. Menyesal kemudian, tidak ada gunanya lagi. Penyakitnya dibuat sendiri dan resiko juga ditanggung sendiri. Eos ( end of story ).






2 komentar:

  1. 1. Waduh, dokter merokok di ruang periksa? Keterlaluan sekali. Akhirnya adik Dokter jadi berobat di sana? Atau keluar karena nggak tahan asapnya?
    Kalau saya sih, bakal langsung keluar. Nggak sopan ama dokter? Yah mending daripada paru2ku sakit.

    2. Wah, kisahnya hampir sama dengan Ibu S di jurnal "Asap Rokok". Orang yang samakah?

    BalasHapus
  2. To Kencana,

    1. Oleh karena sudah lama ngantri menunggu guiliran diperiksa ya terpaksa berobat juga dan tidak utk kedua kalinya. Kesel juga masa ruang periksa penuh dgn asap rokok.

    2. Kasusnya berbeda sih.

    Salam.

    BalasHapus