Manusia yang nakal biasanya tidak jujur. Saya mempunyai beberapa kisah tentang ketidak-jujuran manusia. Kisah ketidak-jujuran manusia:
Pasien yang nakal, biasanya mengenai kwitansi sebagai tanda atau bukti penerimaan uang untuk pembayaran jasa pelayanan medis/dokter.
Pasien A minta kepada dokter ( saya ) agar nilai uang yang telah dibayarkan ditulis lebih besar dari apa yang pasien bayarkan. Pasien berasalan bahwa perusahaan / kantornya hanya mengganti sebesar 50 % dari apa yang tertera di kwitansi. Artinya bila jasa pelayanan medis sebesar Rp. 20.000,- pasien minta di kwitansi ditulis sebesar Rp. 40.000,- Bila kantornya hanya mengganti 50% maka hanya akan diganti sebesar Rp. 20.000,- jadi sebenarnya kantor telah mengganti sebesar 100%. ( pasien tidak rugi ). Dengan perkataan lain kwitansi pembayaran telah di mark up ( diperbesar ). Saya selalu menolak permintaan pasien yang demikian karena tidak sesuyai dengan hati nurani. Saya hanya akan membuat kwitansi sebesar jasa pelayanan apa yang saya telah terima dari pasien. Kalau pasien ngotot maka saya katakan bahwa saya tidak dapat membuat kwitansi yang nilainya menurut kemauan pasien dan bila pasien berkeberatan maka lebih baik pasien tidak usah membayar ( tetapi ia tidak mendapat kwitansi ). Biasanya pasien dapat menerima alasana saya, tetapi bila lain kali ia sakit ia akan mencari dokter lain yang mau memberi kwitansi sesuai kemaunnya. Ya terserahlah itu adalah hak dia untuk mencari dokter yang sesuai.
2. Seminggu sebelum kisah ini saya tulis, kami mempunyai kisah lain yang lebih wah.
Sepulangnya saya dari Bank, isteri saya memberitahukan bahwa ½ jam yang lalu ada telepon dari salah satu kantor di Jakarta. Si penelepon menyatakan bahwa ia dari bagian keuangan kantor tersebut dan ingin menyanyakan kepada Dr. Basuki, apakah benar kwitansi pada tanggal sekian ( 4 hari yang lalu ) yang diserahkan oleh salah satu karyawannya, Pak B, ini sebesar Rp. 80.000,-? Isteri saya menjawab, tidak tahu dan sebaiknya ia menelpon kembali setelah 1 jam ( perkiraan saya sudah kembali ke rumah ). Saya tunggu sampai 3 jam, ia tidak menelepon kembali.
Saya berkesimpulan: kantor pasien saya tadi ragu-ragu apakah benar jasa pelayanan seorang dokter umum sebesar itu? Rupanya pasien saya tadi telah mengakali jumlah angka nominal dan angka huruf dari dua puluh ribu rupiah menjadi delapan puluh ribu rupiah. Sangat mudah merubah angka dua menjadi delapan kalau ia telah berpengalaman. Jadi kwitansi yang disodorkan pasien/karyawan tadi adalah Aspal ( asli tapi palsu ). Jasa pelayanan medis dari dokter spesialis di kota Cirebon adalah berkisar Rp. 30.000 – Rp. 50.000,- Jadi bagaimana mungkin dokter umum akan meminta jasa pelayanan medis sebesar Rp. 80.000,- kalau bukan di mark up. Mana ada kantor yang percaya? Semoga kwitansi yang disodorkan ke bagian keuangan itu di reject.
2 kisah ini merupakan bukti dari ketidak-jujuran seseorang.
Nah bandingkanlah kisah tadi dengan kisah di bawah ini.
Kisah kejujuran manusia:
Sebulan yang lalu saya naik becak ( karena mobil sedang di service di bengkel ) setelah belanja keperluan perbaikan pintu rumah. Saya membeli 2 kaleng cat dan 1 kwas ( seharga Rp. 20.000,- ) yang terbungkus dalam kantong plastik ( kresek ) hitam. Ketika saya turun dari becak tanpa saya sadari, kantong plastik tadi tertinggal di becak. Karena ada keperluan lain saya keluar rumah setelah menyimpan barng belanjaan yang lain. Ketika saya pulang 1 jam kemudian pembantu kami melaporkan bahwa tadi ada tukang becak yang ingin menyerahkan kantok plastik berwarna hitam ( belanjaan saya yang tertinggal di becaj tadi ). Pembantu saya menolak menerimanya ( sesuai dengan pesan kami : jangan menerima sesuatu dari orang yang tidak dikenal sebelumnya ) dan mengatakan agar ia datang kembali sore hari ketiuka saya ada di rumah. Sore hari tukang becak tadi tidak datang dan saya menganggap belanjaan saya sudah hilang akibat kelalaian saya sendiri. 2 hari kemudian saya di dekat rumah saya bertemu dengan seorang tukang becak yang menyodorkan kantong plastik berwarna hitam sambil berkata, “ Pak ini barang Bapak yang tertinggal di becak saya.” Rupanya ia masih mengenali saya. Saya menerima barang saya yang telah saya anggap hilang sambil berkata,”Terima kasih, Pak. Bapak telah menyimpan barang saya dengan baik.” Saya sangat menghargai kejujuran tukang becak tadi yang dalam keadaan serba kekurangan toh ia masih mau bersikap jujur.
Apapun yang terjadi, saya percaya masih manusia yang jujur.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar