Minggu, November 13, 2005

Serba instan:

Saat ini pasien bila sakit dan berobat, ingin agar mereka cepat sembuh. Semuanya menghendaki yang serba cepat. Semuanya serba instan. Dari sekian banyak pasien, maka serba instan ini dapat di bagi-bagi kedalam kelompok-kelompok tertentu, seperti:

Ingin dilayani terlebih dahulu.

  1. Tak mau menunggu.
  2. Suntik minded.
  3. Ingin obat patent.

Contoh Kasus:

Ingin dilayani terlebih dulu:

1. Budaya antri ( please queue ) tampaknya belum membudaya di dalam masyarakat kita. Perasaan tenggang rasa untuk antri dalam segala hal masih kecil. Bila tidak ada petugas yang mengatur, maka masyarakat ingin mendapat pelayanan paling cepat. Pernah terjadi keributan antar sesama pasien yang menunggu giliran masuk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat praktek isteri saya. 2 orang pasien saling berebut ingin masuk terlebih dulu. Pasien lainnya menarik-narik baju pasien pertama. Padahal mereka sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa. Kalau tidak dilerai oleh pasien yang lain mungkin mereka sudah berantem. Akhirnya kasus ini tidak terulang lagi setelah di tempat praktek tadi tersedia petugas yang mencatat dan mengatur pasien yang akan berobat. Seharusnya pasien masuk berdasar siapa yang datang terlebih dulu, maka ia yang masuk terlebih dulu ( first come fisrt service ).

2. Tidak mau menunggu lama:

Saat ini pasien tidak mempunyai rasa sabar menunggu. Begitu menekan bel di pintu ruang tunggu, inginnya pintu segera terbuka ( seperti menyalakan lampu, begitu di on kan begitu lampu menyaka ), padahal bisa saja saat itu dokter sedang menyuntik pasien atau sedang memasang IUD pada seorang ibu, sehingga perlu waktu untuk membukakan pintu. Pernah suatu pagi sekitar jam 06.15 saya sedang mandi dan ruang tunggu pasien sudah dibukakan. Saya mendengar dering bel pintu . Berarti ada tamu/pasien yang datang. Saat itu saya sedang mencuci rambut ( keramas ) sehingga tidak dapat segera keluar dari kamar mandi. 4 menit kemudian saya keluar kamar mandi dan bertanya kepada pembantu saya, “Siapa yang membunyikan bel?”. Pembantu saya berkata,”Tadi ada pasien yang ingin berobat.” Saya katakana, “Coba dipersilahkan menunggu dulu barang sebentar.” 5 menit kemudian saya membuka ruang periksa dan melihat ruang tunggu dan halaman rumah tetapi tidak seorangpun yang saya lihat. Pembantu saya berkata lagi, “ Rupanya ia sudah pergi.” “Lho…kok begitu sih caranya.” Kata saya. Kalau mau berobat ya tunggu dulu dan harap bersabar. Jangan inginnya serba cepat. Kalau ia mau cari dokter yang buka praktek pagi juga rasanya sulit karena saat itu masih pagi. Dari pada berkeliling kota Cirebon, untuk cari dokter yang buka juga sulit. Lebih baik menunggu sebentar paling 5-7 menit juga akan dilayani.

3. Suntik minded:

Pasien yang berobat sering selain minta resep obat juga minta disuntik. Alasannya agar lekas sembuh. Pernah ada seorang ibu membawa anaknya umur 6 tahun yang menderita: nyeri tenggorokan dan demam sudah 2 hari. Setelah memeriksa pasien, saya menulis resep dan berkata agar obat segera diambil di apotik. Sang ibu minta agar anaknya disuntik saja agar lekas sembuh. Saya bertanya, “Ibu datang kesini agar anaknya sembuh atau karena ingin anaknya disuntik?” Ia menjawab, “ Agar anaknya sembuh.” “Nah kalau ingin anaknya sembuh, dengan minum obat juga pasti sembuh meskipun tanpa disuntik.” Sang ibu tetap ngotot minta anaknya disuntik dan saya juga tetap tidak mau menyuntik. Saya pikir yang jadi dokternya saya atau dia? Kok ngatur dokter. Lagi pula saya sangat jarang menyuntik pasien anak-anak.

Contoh lainnya: seorang bapak turun dari kapal ( kapalnya berlabuh di pelabuhan Cirebon ), berumur 30 tahun datang berobat dengan gejala batuk-batuk sejak 4 hari yang lalu, sedikit demam dan agak sesak nafas. Ia perokok sejak 5 tahun yang lalu. Saya memeriksa dan mendiagnosa sebagai Bronchitis acuta. Saya memberikan resep kepadanya. Pasien mengatakan bahwa ia ingin disuntik. Baiklah saya beri suntikan Vitamin saja. Setelah disuntik, pasien berkata lagi, “Dokter, minta sekali suntik lagi”. Saya jawab, “Kenapa sih”. Ia menjawab, “Kalau saya berobat di Surabaya, suntiknya 2 kali.” Saya menjawab, “Wah ..kalau 2 kali suntikan, bayarnya dobel.” Pasien menjawab, “Boleh, Dokter minta berapa?” sambil mengeluarkan segepok uang duapuluh ribuan. Wah, sombong juga nih pasien, meskipun sakit tapi masih sombong juga. Saya membatin, wah kalau punya pasien lima saja, lumayan deh… Meskipun sudah disuntik sekali juga pasien tidak merasa puas. Susah memang kalau ingin memuaskan semua pasien. Tiap pasien lain-lain kemauannya. Sebaliknya ada juga pasien yang anti suntik. Bila berobat selalu minta resep saja. Apa alasannya? Ternyata ia takut jarum suntik. He…he… Orangnya sih tinggi besar, tetapi nyalinya kecil.

  1. Ingin obat patent:

Saat ini harga obat banyak naik, sehingga saya selalu melihat kondisi sosial ekonomi pasien. Bila pasien dirasakan kurang mampu, maka saya berikan obat yang generik, karena harganya lebih murah tetapi khasiatnya sama dengan obat yang patent. Pasien golongan ini merasa tertolong dengan obat generic. Lain pula kemauan golonga the have. Pernah sekali waktu ada pasien mampu yang berobat dengan diagnosa kerja tersangka Tipes ( Typhus abdominalis ), yang saya beri kombinasi obat: generic dan nongenerik, sehingga harganya tidak begitu mahal. Tetapi 2 hari kemudian ia datang lagi dengan mengeluh bahwa sakitnya belum sembuh dan demamnya belum reda, padahal katanya ia sudah minum obat selama 2 hari. Ia tidak percaya dengan obat yang harganya terlalu murah baginy Ya Tuhan, sakit Tipes itu demamnya baru turun setelah minum antibiotika selama 4 hari. Jadi kalau belum 4 hari ya masih demam. Jadi harus tunggu 2 hari lagi. Tetapi pasien sudah tidak sabar, padahal saya sudah memberikan informasi dengan sejelas-jelasnya. Aklhirnya obat saya ganti dengan antibiotika patent untuk selama 10 hari ( 30 kapsul ). Untuk selama 2 minggu ia tidak kembali lagi. Semoga ia benar-benar sudah sembuh dari penyakitnya atau mungkin juga ia tak kembali lagi karena ia kapok minta obat patent yang harganya hampir Rp. 100.000,- an. Siapa suruh minta obat patent.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar