Senin, November 14, 2005

Dispilin Singapore.

Pengalaman ini kami alami ketika pada bulan Juni 1993 saya sekeluarga melancong ke Singapore. Banyak pengalaman yang menarik yang kami alami.

Setiba di Singapore, kami akan bermalam selama 2 minggu di Flat adik ipar kami yang berada di Jakarta untuk beberapa hari. Flat 3 kamar tidurnya akan kami diami selama kami melancong. Dengan dibekali kunci flat dan beberapa informasi transportasi dari airport menuju ke flat tsb., kami berdelapan terbang dengan pesawat Sempati ( almarhum ). Penerbangan Jakarta – Singapore terasa begitu singkat. Belum hilang rasa kaget sejak memasang sabuk pengaman, memperhatikan peragaan Pramugari memakai peralatan dalam situasai gawat darurat pesawat, dan mencicipi makanan ringan, pesawat sudah mendarat dengan mulus di Changi airport.

Keluar dari bandara, kami menunggu taksi yang datang silih berganti dengan tertib mengambil penumpang. Kami naik 2 taksi. Kepada pengemudi saya katakan kami akan ke alamat Flat adik kami, jalan anu, nomer sekian. Ia sudah paham lokasinya.

Displin driver ( 1 ):

Meskipun kami para penumang sudah siap tetapi sang pengemudi masih belum mau menjalankan taksinya.

Akhirnya saya berkata “ Okay, let we go.”

Sang driver berkata “ Please take your seat belt first” kepada saya yang duduk di samping driver.

Merasa ditegur begitu ( kebiasaan memakai seat belt ini belum diberlakukan di Indonesia ), saya berkata “ I am sorry” sambil memasang seat belt.

Setelah seat belt terpasang, tanpa dikomandoi lagi taksi segera meluncur ke alamat yang kami maksud.

Disiplin driver ( 2 ):

Setiba di Flat adik kami, saya memberikan uang S$20 karena argometer taksi menunjukan angka S$18.50.

Saya berkata kepada driver “ Keep the change.”

Driver sambil memberikan uang kembalian S$1.50 berkata “ No. No. This is your money.”

Kalau di Indonesia mungkin tidak seperti itu. Uang kembalian tidak akan diberikankan dengan alasan tidak ada uang kembalian atau bahkan masih minta uang tambahan.

Disiplin antri (1 ):

Sore hari ketika kami akan belanja sembako di salah satu Depstore terdekat, kami naik MRT ( Mass rapid Transit ) semacam kereta api yang ber AC. Dengan uang 30 sen solar Singapore setiap karcis, kami membeli tiket MRT. Dengan tertib calon penumpang antri membeli tiket. Kami tidak pernah melhat seorangpun yang nyerobot beli tiket. Tulisan please queue terpampang di loket penjualan tiket yang dilayani oleh sebuah mesin penjualan.

Dispilin tidak merokok:

Di dalam MRT yang dingin dan bersih, kami melihat tulisan di dinding MRT “ No smoking unless you pay S$500.” Dengan biaya 30 sen yang sangat terjangkau, para penumpang dapat menikmati peralanan yang tepat waktu, bersih dari sampah, bersih dari asap rokok dan aman

Disiplin antri (2 ):

Setelah barang belanjaan di dapat, kami pulang dengan naik taksi. Kami harus menunggu di suatu tenoat khusus untuk menunggu taksi di dekat Depstore. Waktu menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat, kami harus menunggu taksi yang datang. Sambil menunggu Taksi datang kami ngobrol. Demikian asiknya ngobrol sehingga tanpa disadarai Taksi yang akan kami naiki sudah menunggu di tepi jalan. Calon penumpang lain warga Singapore berkata kepada kami “ That is your taksi.” Maksudnya silahkan anda segera naik taksi karena kami akan naik taksi yang berikutnya. Tidak ada satu calon penumpang taksipun yang mau menaiki taksi giliran kami itu. Budaya antri sudah melekat di setiap orang disana.

Disiplin driver ( 3 ):

Setiba di Flat kami, saya memberikan uang S$10 sambil berkata “ Keep the change “ setelah melihat angka di argometer taksi S$8.50. Lagi-lagi sang driver berkata “ No. No. This your money.” Sambil menyodorkan uang kembalian S$1.50 yang bukan hak nya. Luar biasa.

Tidak terasa waktu 2 minggu sudah terlewati dengan banyak pengalaman dan banyak membawa kenangan. Sentosa island, Tiger Balm park, Singapore Zoo dll objek pariwisata sudah kami kunjungi. Simpanan uangpun sudah menipis dan tibalah saatnya untuk kembali ke kota Jakarta.

Dalam penerbangan kembali ke Jakarta, saya merenungkan kembali pegalaman-pengalaman tentang disiplin ketat penduduk Singapore. Di dalam hati saya bertanya “ Kapan di negara kami disiplin yang ketat dapat melekat di setiap penduduk?”

Lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi? Saya tidak dapat menjawabnya.-

2 komentar:

  1. Anonim12:22 PM

    Mimpi Dok... Tapi jangan pernah berhenti bermimpi, smoga suatu saat [sebelum kiamat] masyarakat di Indonesia bisa memiliki displin yang tinggi seperti itu... duuuh, hehehe ;)

    BalasHapus
  2. To Anonim,

    Terima kasih sudah berkunjung.

    Benar mari kita bermimpi, sebab mimpi gratis, tidak usah bayar.

    Sering kali Sukses berawal dari sebuah Mimpi.
    Dengan segala perjuangan dan kerja keras, akhirnya mimpi itu dapat menjadi menjadi Kenyataan.

    Salam.

    BalasHapus