Jumat, Januari 12, 2007

Enak di pasien, tidak enak di dokter.

Sebagai seorang dokter saya berusaha melayani pasien sebaik mungkin, sebatas kemampuan saya sebagai manusia biasa yang mempunyai emosi dan pertimbangan logis dalam memutuskan suatu kasus pasien. Ada banyak hal seperti judul di atas.

Contoh Kasus:

1. Pasien telepon ingin berobat saat itu juga ( jam 15.00 ), tetapi tidak datang.
Saat itu sedang jam istirahat siang ( tidur ). Meskipun agak malas saya terbangun dan siap menerima kedatangan pasien. Sampai jam 16.00 ( saat mulai buka praktek ) pasien tidak datang. Pasien tadi ( anak laki-laki berumur 2 tahun ) dengan diantar ibunya datang ke tempat praktek saya dan berkata bahwa ia yang tadi siang menelepon ( maksudnya agar didahulukan pemeriksaannya ). Ketika saya tanya.” Kenapa tidak segera datang setelah menelepon?” Ia menjawab sekenanya,” Anak saya sedang tidur, Dok. Jadi saya tidak berani membangunkannya.” Ia tidak tega membangunkan anaknya yang berumur 2 tahun, tetapi ia tega membangunkan dokter yang. sedang istirahat siang. Sebenarnya tidak susah untuk membawa pasien berumur 2 tahun ke tempat saya. Angkat, naik kendaraan pribadi atau umum dan ia akan mendapat pengobatan secepatnya. Tetapi hal ini tidak ia lakukan.
Kasus begini diatasi dengan mengaktipkan mesin penjawab telepon atau telepon diputuskan saat kami ingin tidak diganggu siapapun.

2. Memanggil dokter dengan naik sepeda.
Seorang pemuda suatu sore datang ke tempat praktek saya sekitar jam 17.00. Ia bermaksud memanggil dokter untruk datang kerumah pasien. Saya menjawab, “Baiklah kita berangkat sekarang. Anda dan saya akan naik apa?” Ia menjawab, “ Saya naik sepeda. Dokter naik mobil sendiri, kan dokter punya mobil” ( seharusnya kalau mau panggil dokter ya sudah dengan siap alat transpotasinya ). Saja jawab, “ Mobil saya sedang di service di bengkel jadi saya tidak ada mobil. Bawa saja pasien itu ke tempat praktek saya dan nanti akan saya periksa.” Ia balik kanan dan kembali ke rumahnya. Setengah jam kemudian datang orang lain yang berkendaraan motor yang maksudnya untuk menjemput dokter ( ganti penjemput ). “Baiklah” saya jawab. Saya balik tanya, “Bawa helm untuk saya tidak” “Saya hanya membawa 1 helm, Dok.” Ia hanya memakai helm untuk diri sendiri. Kalau terjatuh ya resiko di tanggung dokter sendiri yang tidak ber helm. Akhirnya kami berangkat juga meski tanpa memakai Helm. Untung jaraknya tidak terlalu jauh dan saya pesan agar tidak usah terlalu cepat mengendari motornya. Benar-benar enak di dia, tidak enak di dokter. Rupanya mereka kalau memanggil dokter sama dengan memanggil seorang tukang. Bukannya saya tidak mau melayanani masyarakat, tapi kalau caranya seperti ini ya malaslah untuk memenuhi keinginan mereka yang tidak menghargai seorang dokter. Kalau mau berobat, ya datanglah ke tempat praktek dokter. Kalau sakitnya parah ya bawalah ke UGD ( Unit Gawat Darurat ) yang ada di setiap Rumah Sakit disetiap kota.

3. Berobat diluar jam praktek tidak mau bayar dobel.
Pasien yang datang seenaknya diluar jam praktek biasanya di kenakan jasa dobel. Sering mereka protes, “Biasanya kan sekian rupiah”. Saya jawab, “ Betul kalau periksa pada jam praktek, ini kan jam luar biasa, ya dobel ( maksudnya agar pasien disiplin waktu kalau mau berobat )”. Kalau ia tetap ngotot ingin bayar seperti biasa, saya ngalah deh lalu menjawab, “Ya sudah kalau anda sudah ditolong dan tidak iklas membayar, maka anda tidak usah membayar lagi.” Pasien terkejut dan langsung ia membayar dengan uang yang besar. Jadi sebenarnya ia punya uangnya untuk membayar jasa pelayanan tetapi ingin enak di dia dan tidak enak di dokter.

4. Ingin berobat paksa?
Pernah ada kasus lain yang lebih runyam.
Saya pesan kepada pembantu kami, bila ada yang ingin berobat, sampaikan datanglah pada jam praktek sore, sekarang dokter sedang istirahat dan jangan membukakan pintu pagar dan rumah. Pernah suatu hari jam 15.00 pintu pagar kami di gedor-gedor, Terjadilah dialog antar pembantu saya dan keluarga pasien. “Maaf dokter sedang istirahat, kalau Bapak mau berobat nanti sebentar lagi pada jam 16.00 dokter mulai praktek.” Si Bapak tadi menghardik.”Oh dokter sedang tidur ya. Bukakan pintunya. Nanti saya yang akan membangunkan dokternya.” Orang ini sakit rupanya, saya kasihan kepadanya ia tidak tahu etiket. Mau minta tolong kok caranya begitu. Mau masuk rumah orang seenaknya saya. Mau berobat atau mau…
Pembantu saya tetap tidak membuka sebuah pintu yang manapun. Akhirnya mereka pergi meninggal rumah kami. Apa komentar anda??
Saya katakan kepada pembantu kami,”Tidak setiap orang yang datang ke rumah kami adalah pasien. Mereka bisa mempunyai maksud lain misalnya: menagih iuran RW, minta sumbangan ( paling banyak ) atau maksud-maksud lain apalagi malam hari. Sorry deh….

5. Segan menyebutkan nama sendiri.
Kalau pasien datang makan wajar kalau saya menanyakan siapa namanya, umur dan alamatnya. Ada beberapa pasien yang tidak mau menyebutkan namanya, ia menjawab “Nama saya kan sudah ada dibuku catatan dokter.Jadi saya tidak usah berulang-ulang menyebutkan nama saya setiap saya berobat ke dokter.” Aduh…ketus sekali orang ini. Saya masih bersabar dan menjawab balik, “Ini bukunya dan tolong cari nama anda.” Sulit kan mencari nama kalau tidak tahu persis tanggal berapa ia berobat. Saya juga tidak bisa menyimpan semua nama orang dalam memory saya. Apa sih susahnya ia dengan baik-baik, “Nama saya A. Dokter sudah pula ya.” Nah.. begitu kan lebih manusiawi. Lebih enak kami berkomunikasi.
Kasus begini diatasi dengan memberikan Kartu berobat kepada setiap pasien, sehingga saya dapat langsung melihat nama dll identitas pasien yang berobat. Hal ini juga ada kelemahannya.

6. Diberi Kartu Berobat, tetapi tidak bisa memperlihatkannya.
Pemberian kartu itu lebih banyak untuk kepentingan pasien dari pada kepentingan dokter. Jadi seharusnya mereka menyimpannya dengan baik. Meskipoun sudah diberi Kartu Boerobat, tetapi sering mereka tidak dapat memperlihatkannya kepada saya sehingga dialog,” Siapa nama anda, berapa umur anda, dsb dsb terulang kembali seperti pada kunjungan pertama berobat. Alasan mereka dapat berupa:
Hilang (mungkin harus di tuliskan diatas uang Rp. 50.000,- an agar tidak hilang ).
Disobek-sobek anaknya ( aduh susah payah merancang & mencetaknya )
Tercuci ketika mencuci pakaian, apalgai memakai mesin cuci ( hancur lebur…).
Kalau mood saya sedang baik ya saya berikan Kartu Berobat yang baru. Kalau mood saya sedang kacau, saya malas memberikannya lagi. Enggak perduli pasien protes. Habis untuk apa diberi, kalau untuk dihilangkan. Pasien ingin enak sendiri, tapi tidak enak di dokter. Tidak terpikirkah bahwa kalau mereka sakit kan perlu pertolongan dokter plus Kartu Berobatnya?? Bagaimana kalau KTP atau SIM kita hilang? Apakah semudah itu mnta ganti kepada petugas yang berwenang?

7. Minta Surat Kerangan Sehat tetapi ia tidak datang.
Kasus ini paling menjengkelkan saya. Seorang pemuda dating dengan maksud membuat Surat Keterangan Sehat. Saya Tanya. “Untuk maksud apa.” Ia bilang untuk ibunya untuk suatu keperluan. Saya mejelaskan bahwa bila mau membuat Surat itu maka orangnya harus dating, agar dokter tahu dengan jelas. Ia bilang, “Kan saya bawa fotokopi KTP ibu saya.” Saya jawab. “Baiklah KTP juga penting, tetapi ibu anda juga harus hadir, sebab saya harus memeriksa: berapa berat badan, tinggi badan, tekanan darah, sehat atau tidak untuk dapat dicantumkan pada Surat Keterangan Sehat yang akan dibuat. Ia ngotot, “Jadi kalau ibu saya tidak bisa hadir, dokter tidak dapat membuatnya?”. Saja tegaskan lagi. “ Tidak bisa”. Saya balik bertanya. “Ibu anda saat ini sedang berada dimana? Dan sedang apa sih sehingga untuk membuat Surat yang penting itu sampai hanya menyuruh anda/putranya?”. Ia menjawab, “ Ibu saya sedang ada tamu di rumah. Jadi tidak bisa dating ke tempat dokter saat ini.” O ..o..o.. karena ada tamu, jadi tinggal suruh anaknya saja untuk bikin Surat penting. Penting mana sih: tamunya atau Surat Keterangan Sehat? Padahal surat ini merupakan persayaratan mengurus hal lain jang jauh lbih penting.?

8. Bayar dengan uang Rp. 20.000,-an tapi mengatakan bayar dengan Rp. 50.000,-an.
Seorang pemuda datang berobat. Ia memberikan uang Rp. 20.000,- an sebagai biaya jasa pelayanan dan sudah diberikan uang kembaliannya dan juga kwitansi tanda bukti penerimaan ung. Setengah jam kemuadian ia datang lagi dan mengatakan bahwa tadi ia telah membayar dengan uang Rp. 50.000,- an dan minta uang kembaliannya yang kurang. Saya jawab, “Tadi anda memberikan uang Rp. 20.000,- an dan bukan Rp.50.000,- an dan sudah saya berikan kembaliannya juga kwitansinya.” Ia lalu balik kanan tanpa bilang sepatahpun. Karena ia sedang sakit sehingga pikirannya tidak jernih lalu ingin mencobai dokternya. Wah… repot deh kalau punya pasien yang beginian.
Kasusnya sama dengan kalau kita mengambil uang di Bank manapun juga, kalau kita mengklaim uang yang kita terima kurang dari yang semestinya kita terima maka pihak Bank tidak akan menggubrisnya. ( padahal uang yang kita ambil kan uang kita kita juga ), karena kita sudah terlanjur meninggalkan loket pembayaran di Bank tadi.

9. Pasien minta diresepkan macam-macam.
Ada beberapa pasien yang “nakal” yaitu mereka ingin diresepkan misalnya: susu bubuk, sabun antiseptis, obat gosok dll. Kalau dijawab oleh saya , “Untuk apa sih? Anda kan sakit Flu biasa yang tidak membutuhkan benar yang lain-lainnya. Semua yang anda minta kan bisa dibeli tanpa resep dokter alias bebas dibeli.” Ia ngotot, “Tak apalah, dok. Kalau beli sendiri kan tidak diganti oleh perusahaan.” Disini pasien mencoba mendikte dokter. Saya membatin,” Yang jadi dokternya saya atau anda sih “. Saya biasanya menolak permintaan pasien yang beginian. Enak di dia, tidak enak di dokter ( kalau dicek oleh dokter perusahaannya: pasti ia akan geleng-geleng kepala, masa sakit Flu saja diberikan resep sabun antiseptis yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan sakit Flunya.-

8 komentar:

  1. Pak dokter saya mau komentar ya.(minta ijin dolo :D )
    begini pak, seperti kata grup band seurius "Dokter Juga Manusia" (heheheh) maka saya menghargai pendapat Pak dokter.
    tapi sebagai masyarakat umum, saya sedikit komentar ttng contoh kasus no 2 yang "Pemuda jemput dokter memakai sepeda"
    Sbagaimana kita ketahui sendiri, negara kita masih banyak yang kurang mampunya (mungkin itu yg bikin pemuda itu memakai sepeda tuk jemput dokter), jadi mungkin bukan maksud "Pemuda" itu tidak menghargai Pak dokter (maaf loh pak) tapi mungkin karena dia memang punya nya itu. Dan Mungkin dia merasa "Pasien" tidak bisa pergi ke tempat praktek Pak dokter dan tidak punya biaya untuk masuk ke UGD, maka dia berniat memanggil dokter dengan memakai apa yang dia mampu (sepeda). Pak dokter kalau keluarga/teman kita sakit, kita tentu akan merasa prihatin, rasa sayang kita, memanggil kita untuk berusaha menolong. mungkin itu yang di pikirkan pemuda itu, jadi bukan bermaksud tidak menghargai pak dokter. Bgitu Pak dokter pendapat saya, mohon maaf atas komentar ini. saya hanya mengungkapkan pendapat, dan karena di blog ini ada fasilitas kirim komentar tentunya .. maju terus pak dokter..salam sehat :)

    BalasHapus
  2. Bagi saya sebenarnya lebih baik kalau bicara jujur apa adanya. Kadang saya merenung, kalau mau jemput dokter dengan naik sepeda saya tidak tega kalau yang memanggil saya harus membonceng saya diatas sepedanya. Lebih baik saya naik becak saja datang ke rumahnya yang sering kali berada di dalam gang yang sulit dilewati mobil. > Basuki

    BalasHapus
  3. dokter, saya terbahak-bahak membaca tulisan di atas. ternyata kehidupan dokter banyak suka-dukanya ('mudah2an lebih banyak sukanya ya')

    oiya perkenalkan sya mikhael mhs kedokteran tk 3 di jakarta. sy sudah membaca bbrp tulisan dokter, sangat menarik dan bermanfaat. terutama tulisan ketika membahas situasi seorg dokter menghadapi pasien, tidak hanya melihat dari sisi patofisiologik penyakit semata tetapi juga dari sisi humanioranya.
    ada banyak hal yang bisa saya pelajari melalui textbook2, tetapi banyak juga yang tidak, termasuk di antaranya humaniora dokter-pasien. dan itu hanya dapat diperoleh dari pengalaman. oleh karena itu terus sharing2 pengalamannya ya Dok! terima kasih :-D

    BalasHapus
  4. he..he..

    Sebenarnya saya ingin menolong banyak orang yang membutuhkan saya.

    Dalam praktek di lapangan ternyata untuk berbuat baikpun ternyata tidak mudah. Kita harus banyak sabar.

    Prinsipnya: makin banyak memberi akan makin banyak kita menerima.

    Ada banyak pengalaman hidup selma bertahun-tahun yang sayang kalau tidak dituliskan. Maka jadilah Blog ini.

    Kalau ada waktu dan ada kemauan, menulislah. Menulis apa saja ( dary, pengalaman hidup, uneg-uneg dll ). Suatu saat akan ada manfaatnya bagi diri sendiri dan bagi orang lain.

    Selamat menulis.

    BalasHapus
  5. Di antara semuanya, kayaknya no 2 paling parah, ya. Untung Dokter nggak dicegat polisi karena gak pakai helm.

    Yang nomor 5 agak aneh, ya. Masa segan neybutin anma sendiri. Apakah dia malu sama namanya sendiri atau gimana.

    BalasHapus
  6. To Kencana,

    Karena jaraknya tidak begitu jauh, ya saya mau juga dibonceng naik motor, mirip naik ojek. he...he...

    Saya jengkel juga kalau bertanya "Siapa namanya ya" dan dijawab "Nama saya kan sudah tercatat dalam buku dokter." Susah juga mencari nama pasien yang tidak tahu ( lupa ) kapan berobat terakhir kali. Jadi saya beri Kartu berobat yg tercantum identitas pasien ( nama, umur dan alamat ). Kartu inipun sering kali tidak dibawa ( disobek-sobek anaknya, hilang, tercuci dll ).

    Jadi saya sering bilang "Kalau namanya tidak disebutkan, saya tidak bisa beri resep yg harus dicantumkan nama pasein." Nah akhirnya sang pasien mau menyebutkan namanya.

    Salam

    BalasHapus
  7. Oh, jaraknya dekte toh. Kalau jauh, kira2 bakal Dokter tolak, ya? Hehehehe....

    Pasiennya justru mengulur waktu pemeriksaan. Mending langsung sebutin nama, lalu dicek ksehetannya. Gitu repot.

    BalasHapus
  8. To Kencana,

    Keluarga pasien yang mau panggil saya biasanya dalam jarak 1 km an saja. Cukup dekat.

    Pernah ada keluarga pasien dari Kecamatan Cilimus ( sekitar 20 km dari kota kami, Cirebon ) yang panggil saya. Mereka bawa mobil untuk panggil saya. Saya bilang kan sudah banyak dokter di sekitar rumah pasien yang dapat dimintai pertolongannya, tapi sang pasien mau diperiksanya oleh saya.

    Salam

    BalasHapus