Senin, November 14, 2005

Dispilin Singapore.

Pengalaman ini kami alami ketika pada bulan Juni 1993 saya sekeluarga melancong ke Singapore. Banyak pengalaman yang menarik yang kami alami.

Setiba di Singapore, kami akan bermalam selama 2 minggu di Flat adik ipar kami yang berada di Jakarta untuk beberapa hari. Flat 3 kamar tidurnya akan kami diami selama kami melancong. Dengan dibekali kunci flat dan beberapa informasi transportasi dari airport menuju ke flat tsb., kami berdelapan terbang dengan pesawat Sempati ( almarhum ). Penerbangan Jakarta – Singapore terasa begitu singkat. Belum hilang rasa kaget sejak memasang sabuk pengaman, memperhatikan peragaan Pramugari memakai peralatan dalam situasai gawat darurat pesawat, dan mencicipi makanan ringan, pesawat sudah mendarat dengan mulus di Changi airport.

Keluar dari bandara, kami menunggu taksi yang datang silih berganti dengan tertib mengambil penumpang. Kami naik 2 taksi. Kepada pengemudi saya katakan kami akan ke alamat Flat adik kami, jalan anu, nomer sekian. Ia sudah paham lokasinya.

Displin driver ( 1 ):

Meskipun kami para penumang sudah siap tetapi sang pengemudi masih belum mau menjalankan taksinya.

Akhirnya saya berkata “ Okay, let we go.”

Sang driver berkata “ Please take your seat belt first” kepada saya yang duduk di samping driver.

Merasa ditegur begitu ( kebiasaan memakai seat belt ini belum diberlakukan di Indonesia ), saya berkata “ I am sorry” sambil memasang seat belt.

Setelah seat belt terpasang, tanpa dikomandoi lagi taksi segera meluncur ke alamat yang kami maksud.

Disiplin driver ( 2 ):

Setiba di Flat adik kami, saya memberikan uang S$20 karena argometer taksi menunjukan angka S$18.50.

Saya berkata kepada driver “ Keep the change.”

Driver sambil memberikan uang kembalian S$1.50 berkata “ No. No. This is your money.”

Kalau di Indonesia mungkin tidak seperti itu. Uang kembalian tidak akan diberikankan dengan alasan tidak ada uang kembalian atau bahkan masih minta uang tambahan.

Disiplin antri (1 ):

Sore hari ketika kami akan belanja sembako di salah satu Depstore terdekat, kami naik MRT ( Mass rapid Transit ) semacam kereta api yang ber AC. Dengan uang 30 sen solar Singapore setiap karcis, kami membeli tiket MRT. Dengan tertib calon penumpang antri membeli tiket. Kami tidak pernah melhat seorangpun yang nyerobot beli tiket. Tulisan please queue terpampang di loket penjualan tiket yang dilayani oleh sebuah mesin penjualan.

Dispilin tidak merokok:

Di dalam MRT yang dingin dan bersih, kami melihat tulisan di dinding MRT “ No smoking unless you pay S$500.” Dengan biaya 30 sen yang sangat terjangkau, para penumpang dapat menikmati peralanan yang tepat waktu, bersih dari sampah, bersih dari asap rokok dan aman

Disiplin antri (2 ):

Setelah barang belanjaan di dapat, kami pulang dengan naik taksi. Kami harus menunggu di suatu tenoat khusus untuk menunggu taksi di dekat Depstore. Waktu menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat, kami harus menunggu taksi yang datang. Sambil menunggu Taksi datang kami ngobrol. Demikian asiknya ngobrol sehingga tanpa disadarai Taksi yang akan kami naiki sudah menunggu di tepi jalan. Calon penumpang lain warga Singapore berkata kepada kami “ That is your taksi.” Maksudnya silahkan anda segera naik taksi karena kami akan naik taksi yang berikutnya. Tidak ada satu calon penumpang taksipun yang mau menaiki taksi giliran kami itu. Budaya antri sudah melekat di setiap orang disana.

Disiplin driver ( 3 ):

Setiba di Flat kami, saya memberikan uang S$10 sambil berkata “ Keep the change “ setelah melihat angka di argometer taksi S$8.50. Lagi-lagi sang driver berkata “ No. No. This your money.” Sambil menyodorkan uang kembalian S$1.50 yang bukan hak nya. Luar biasa.

Tidak terasa waktu 2 minggu sudah terlewati dengan banyak pengalaman dan banyak membawa kenangan. Sentosa island, Tiger Balm park, Singapore Zoo dll objek pariwisata sudah kami kunjungi. Simpanan uangpun sudah menipis dan tibalah saatnya untuk kembali ke kota Jakarta.

Dalam penerbangan kembali ke Jakarta, saya merenungkan kembali pegalaman-pengalaman tentang disiplin ketat penduduk Singapore. Di dalam hati saya bertanya “ Kapan di negara kami disiplin yang ketat dapat melekat di setiap penduduk?”

Lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi? Saya tidak dapat menjawabnya.-

Minggu, November 13, 2005

Ingin hidup 100 tahun?

Kalau kita menghadiri perayaan hari ulang tahun seseorang atau memberi ucapan selamat, sering kita melihat tulisan atau menuliskan perkataan “Selamat ulang tahun dan semoga panjang umur”. Hampir semua orang menghendaki panjang umurnya, tetapi apalah artinya panjang umur, bila dalam keadaan lanjut usia ia menderita penyakit. Jangankan melayani orang lain ( suami/isteri ), melayani diri sendiri saja sudah tidak bisa dan harus dibantu oleh orang lain. Mungkin ucapan selamat tadi lebih baik bila diganti dengan ucapan “Selamat Ulang Tahun“ dan “Semoga awet muda“.

Seorang Pengusaha dan Direktur perusahaan jamu terkenal di Jawa Tengah di dalam sebuah artikel sebuah majalah pernah menyatakan dalam wawancara dengan seorang wartawan bahwa kalau bisa ia ingin mati muda. Sang wartawan terkejut, bagaimana mungkin seorang yang begitu sukses mempunyai keinginan yang lain dari orang lain dan ingin mati muda saja. Sang Direktur menjawab, “Bila mati muda kan tidak mengalami penderitaan bertahun-tahun karena menderita sakit di hari tuanya dan saya tidak ingin mengalaminya.”

Kami pernah menemui contoh kasus seorang yang ingin berumur panjang dan bahkan ingin hidup sampai umur 100 tahun. Ingin mengetahui ceritanya. Inilah kisahnya:

Suatu hari pertengahan tahun1990 yang lalu isteri saya yang juga seorang dokter umum mendapat pangilan berulang-ulang kali dari keluarga seorang nenek yang berumur 99 tahun dengan sakit usia lanjut.

Penderita sudah lama hanya berbaring di tempat tidurnya. Makan sedikit sedikit dengan cara disuapi oleh anaknya. B.a.k. ( buang air kecil ) dan b.a.b ( buang air besar ) diatas tempat tidur. Kadang-kadang demam, sedikit batuk dll keluhan di usia lanjutnya. Beberapa kali saya ikut mengantar isteri saya bila mereka memanggil dokter dan ikut melihat pasien tadi. Kami pernah menyarankan agar dirawat di Rumah Sakit saja, agar perawatannya dapat lebih intensif, tetapi hal ini ditolak oleh keluarganya.

Suatu saat ia mengalami krisis, demam tinggi dan tidak mau menelan minuman ataupun makanan cair selama 2 hari. Semua sanak saudaranya dipanggil datang dan bahkan anaknya yang tinggal di Hongkong juga sudah datang. Maklum mereka keluarga yang terpandang di kota kami.

Anaknya memohon kepada kami agar dapat menyembuhkan sakitnya. Meskipun kami menyarankan agar dirawat oleh T.S. spesialis/ ahli penyakit dalam, mereka menolak dan minta agar kami saja yang merawat ibu mereka. Mereka begitu ngotot agar ibunya segera sembuh. Hal ini bisa dimaklumi, siapa yang tega ibunya sakit berat?

Ketika anaknya datang dari Hongkong eh… sang pasien mendadak mau makan, sadar, bisa bicara dengan sanak keluarganya. Karena dianggap kondisi kesehatan ibunya membaik, sang anak kembali pulang ke Hongkong. 2 hari kemudian kami dipanggil lagi karena kondisi pasien merosot lagi dan bahkan lebih parah. Kami rasanya tak sanggup lagi untuk mempertahankan keadaan yang sudah lemah. Saya pernah berbisik kepada salah satu anak yang merawatnya ( serumah ) bahwa bila Tuhan memanggil ibunya maka relakan saja, karena kami kasihan melihat ibunya hidup dalam keadaan yang makin mengkhawatirkan, toh usianya sudah lanjut.

Kami mendapat jawaban yang menolak pernyataan saya dan sekali lagi memohon agar kami dapat merawatnya selama mungkin. Glek….. saya terhenyak. Saya tak dapat menjawab pertanyaan saya sendiri: untuk apa lagi ia hidup menderita dan juga membuat semua sanak keluarganya siang malam ikut menderita dengan menunggui ibu mereka siang malam?

Saya pada suatu hari kunjungan sempat mengeluarkan isi hati saya bahwa kalau mereka selalu ingin agar ibunya sehat kembali ( meskipun mereka juga tahu keadaan ibunya yang sudah payah karena usia lanjut ) dan menolak suatu saat Tuhan memanggil ibunya maka berarti anda sudah melawan takdir. Dan itu tidak baik karena tidak merelakan ibunya pergi dan ibunya juga sulit pergi karena dihalangi oleh anaknya.

Mereka terdiam. 2 hari kemudian kami mendapat berita bahwa pasien kami ini meninggal dunia dan jenasahnya tetap berada di rumah mereka dan tidak dibawa ke rumah duka. Kami pergi melayat kerumah mereka. Saya berbicara dengan anaknya dan ia mengeluarkan isi hatinya. Anda ingin tahu apa yang disampaikannya? Inilah “rahasianya”:

Ibunya pernah menyatakan bahwa ia ingin berumur sampai 100 tahun yang berarti kira2 1 bulan lagi sejak ia meninggal dunia dan ia ingin meninggal dunia di rumah sendiri. Ya Tuhan….. saya membatin. Saya belum pernah selama menjadi dokter menemui kasus seperti ini yang ngotot ingin hidup terus sampai 100 tahun ( kalau di sajak Chairil Anwar sih memang ada tertulis “ Aku ingin hidup 1000 tahun lagi” ). Tetapi apa bisa?

Anaknya juga memohon maaf kepada kami karena “keras kepalanya” sehingga ia selalu memanggil kami bila kesehatan ibunya menurun sedikit saja sudah memanggil dokter at any time. Memang repot sih menghadapi orang yang demikian. Tapi mau apa lagi? Setelah kami mengetahui “rahasia” ini maka terjawab sudah pertanyaan saya di atas tadi.

Anda ingin hidup sampai 100 tahun ? Hanya Tuhan yang dapat menjawabnya.-

Serba instan:

Saat ini pasien bila sakit dan berobat, ingin agar mereka cepat sembuh. Semuanya menghendaki yang serba cepat. Semuanya serba instan. Dari sekian banyak pasien, maka serba instan ini dapat di bagi-bagi kedalam kelompok-kelompok tertentu, seperti:

Ingin dilayani terlebih dahulu.

  1. Tak mau menunggu.
  2. Suntik minded.
  3. Ingin obat patent.

Contoh Kasus:

Ingin dilayani terlebih dulu:

1. Budaya antri ( please queue ) tampaknya belum membudaya di dalam masyarakat kita. Perasaan tenggang rasa untuk antri dalam segala hal masih kecil. Bila tidak ada petugas yang mengatur, maka masyarakat ingin mendapat pelayanan paling cepat. Pernah terjadi keributan antar sesama pasien yang menunggu giliran masuk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat praktek isteri saya. 2 orang pasien saling berebut ingin masuk terlebih dulu. Pasien lainnya menarik-narik baju pasien pertama. Padahal mereka sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa. Kalau tidak dilerai oleh pasien yang lain mungkin mereka sudah berantem. Akhirnya kasus ini tidak terulang lagi setelah di tempat praktek tadi tersedia petugas yang mencatat dan mengatur pasien yang akan berobat. Seharusnya pasien masuk berdasar siapa yang datang terlebih dulu, maka ia yang masuk terlebih dulu ( first come fisrt service ).

2. Tidak mau menunggu lama:

Saat ini pasien tidak mempunyai rasa sabar menunggu. Begitu menekan bel di pintu ruang tunggu, inginnya pintu segera terbuka ( seperti menyalakan lampu, begitu di on kan begitu lampu menyaka ), padahal bisa saja saat itu dokter sedang menyuntik pasien atau sedang memasang IUD pada seorang ibu, sehingga perlu waktu untuk membukakan pintu. Pernah suatu pagi sekitar jam 06.15 saya sedang mandi dan ruang tunggu pasien sudah dibukakan. Saya mendengar dering bel pintu . Berarti ada tamu/pasien yang datang. Saat itu saya sedang mencuci rambut ( keramas ) sehingga tidak dapat segera keluar dari kamar mandi. 4 menit kemudian saya keluar kamar mandi dan bertanya kepada pembantu saya, “Siapa yang membunyikan bel?”. Pembantu saya berkata,”Tadi ada pasien yang ingin berobat.” Saya katakana, “Coba dipersilahkan menunggu dulu barang sebentar.” 5 menit kemudian saya membuka ruang periksa dan melihat ruang tunggu dan halaman rumah tetapi tidak seorangpun yang saya lihat. Pembantu saya berkata lagi, “ Rupanya ia sudah pergi.” “Lho…kok begitu sih caranya.” Kata saya. Kalau mau berobat ya tunggu dulu dan harap bersabar. Jangan inginnya serba cepat. Kalau ia mau cari dokter yang buka praktek pagi juga rasanya sulit karena saat itu masih pagi. Dari pada berkeliling kota Cirebon, untuk cari dokter yang buka juga sulit. Lebih baik menunggu sebentar paling 5-7 menit juga akan dilayani.

3. Suntik minded:

Pasien yang berobat sering selain minta resep obat juga minta disuntik. Alasannya agar lekas sembuh. Pernah ada seorang ibu membawa anaknya umur 6 tahun yang menderita: nyeri tenggorokan dan demam sudah 2 hari. Setelah memeriksa pasien, saya menulis resep dan berkata agar obat segera diambil di apotik. Sang ibu minta agar anaknya disuntik saja agar lekas sembuh. Saya bertanya, “Ibu datang kesini agar anaknya sembuh atau karena ingin anaknya disuntik?” Ia menjawab, “ Agar anaknya sembuh.” “Nah kalau ingin anaknya sembuh, dengan minum obat juga pasti sembuh meskipun tanpa disuntik.” Sang ibu tetap ngotot minta anaknya disuntik dan saya juga tetap tidak mau menyuntik. Saya pikir yang jadi dokternya saya atau dia? Kok ngatur dokter. Lagi pula saya sangat jarang menyuntik pasien anak-anak.

Contoh lainnya: seorang bapak turun dari kapal ( kapalnya berlabuh di pelabuhan Cirebon ), berumur 30 tahun datang berobat dengan gejala batuk-batuk sejak 4 hari yang lalu, sedikit demam dan agak sesak nafas. Ia perokok sejak 5 tahun yang lalu. Saya memeriksa dan mendiagnosa sebagai Bronchitis acuta. Saya memberikan resep kepadanya. Pasien mengatakan bahwa ia ingin disuntik. Baiklah saya beri suntikan Vitamin saja. Setelah disuntik, pasien berkata lagi, “Dokter, minta sekali suntik lagi”. Saya jawab, “Kenapa sih”. Ia menjawab, “Kalau saya berobat di Surabaya, suntiknya 2 kali.” Saya menjawab, “Wah ..kalau 2 kali suntikan, bayarnya dobel.” Pasien menjawab, “Boleh, Dokter minta berapa?” sambil mengeluarkan segepok uang duapuluh ribuan. Wah, sombong juga nih pasien, meskipun sakit tapi masih sombong juga. Saya membatin, wah kalau punya pasien lima saja, lumayan deh… Meskipun sudah disuntik sekali juga pasien tidak merasa puas. Susah memang kalau ingin memuaskan semua pasien. Tiap pasien lain-lain kemauannya. Sebaliknya ada juga pasien yang anti suntik. Bila berobat selalu minta resep saja. Apa alasannya? Ternyata ia takut jarum suntik. He…he… Orangnya sih tinggi besar, tetapi nyalinya kecil.

  1. Ingin obat patent:

Saat ini harga obat banyak naik, sehingga saya selalu melihat kondisi sosial ekonomi pasien. Bila pasien dirasakan kurang mampu, maka saya berikan obat yang generik, karena harganya lebih murah tetapi khasiatnya sama dengan obat yang patent. Pasien golongan ini merasa tertolong dengan obat generic. Lain pula kemauan golonga the have. Pernah sekali waktu ada pasien mampu yang berobat dengan diagnosa kerja tersangka Tipes ( Typhus abdominalis ), yang saya beri kombinasi obat: generic dan nongenerik, sehingga harganya tidak begitu mahal. Tetapi 2 hari kemudian ia datang lagi dengan mengeluh bahwa sakitnya belum sembuh dan demamnya belum reda, padahal katanya ia sudah minum obat selama 2 hari. Ia tidak percaya dengan obat yang harganya terlalu murah baginy Ya Tuhan, sakit Tipes itu demamnya baru turun setelah minum antibiotika selama 4 hari. Jadi kalau belum 4 hari ya masih demam. Jadi harus tunggu 2 hari lagi. Tetapi pasien sudah tidak sabar, padahal saya sudah memberikan informasi dengan sejelas-jelasnya. Aklhirnya obat saya ganti dengan antibiotika patent untuk selama 10 hari ( 30 kapsul ). Untuk selama 2 minggu ia tidak kembali lagi. Semoga ia benar-benar sudah sembuh dari penyakitnya atau mungkin juga ia tak kembali lagi karena ia kapok minta obat patent yang harganya hampir Rp. 100.000,- an. Siapa suruh minta obat patent.-

Kejujuran manusia

Manusia yang nakal biasanya tidak jujur. Saya mempunyai beberapa kisah tentang ketidak-jujuran manusia.

Kisah ketidak-jujuran manusia:

Pasien yang nakal, biasanya mengenai kwitansi sebagai tanda atau bukti penerimaan uang untuk pembayaran jasa pelayanan medis/dokter.

Pasien A minta kepada dokter ( saya ) agar nilai uang yang telah dibayarkan ditulis lebih besar dari apa yang pasien bayarkan. Pasien berasalan bahwa perusahaan / kantornya hanya mengganti sebesar 50 % dari apa yang tertera di kwitansi. Artinya bila jasa pelayanan medis sebesar Rp. 20.000,- pasien minta di kwitansi ditulis sebesar Rp. 40.000,- Bila kantornya hanya mengganti 50% maka hanya akan diganti sebesar Rp. 20.000,- jadi sebenarnya kantor telah mengganti sebesar 100%. ( pasien tidak rugi ). Dengan perkataan lain kwitansi pembayaran telah di mark up ( diperbesar ). Saya selalu menolak permintaan pasien yang demikian karena tidak sesuyai dengan hati nurani. Saya hanya akan membuat kwitansi sebesar jasa pelayanan apa yang saya telah terima dari pasien. Kalau pasien ngotot maka saya katakan bahwa saya tidak dapat membuat kwitansi yang nilainya menurut kemauan pasien dan bila pasien berkeberatan maka lebih baik pasien tidak usah membayar ( tetapi ia tidak mendapat kwitansi ). Biasanya pasien dapat menerima alasana saya, tetapi bila lain kali ia sakit ia akan mencari dokter lain yang mau memberi kwitansi sesuai kemaunnya. Ya terserahlah itu adalah hak dia untuk mencari dokter yang sesuai.

2. Seminggu sebelum kisah ini saya tulis, kami mempunyai kisah lain yang lebih wah.

Sepulangnya saya dari Bank, isteri saya memberitahukan bahwa ½ jam yang lalu ada telepon dari salah satu kantor di Jakarta. Si penelepon menyatakan bahwa ia dari bagian keuangan kantor tersebut dan ingin menyanyakan kepada Dr. Basuki, apakah benar kwitansi pada tanggal sekian ( 4 hari yang lalu ) yang diserahkan oleh salah satu karyawannya, Pak B, ini sebesar Rp. 80.000,-? Isteri saya menjawab, tidak tahu dan sebaiknya ia menelpon kembali setelah 1 jam ( perkiraan saya sudah kembali ke rumah ). Saya tunggu sampai 3 jam, ia tidak menelepon kembali.

Saya berkesimpulan: kantor pasien saya tadi ragu-ragu apakah benar jasa pelayanan seorang dokter umum sebesar itu? Rupanya pasien saya tadi telah mengakali jumlah angka nominal dan angka huruf dari dua puluh ribu rupiah menjadi delapan puluh ribu rupiah. Sangat mudah merubah angka dua menjadi delapan kalau ia telah berpengalaman. Jadi kwitansi yang disodorkan pasien/karyawan tadi adalah Aspal ( asli tapi palsu ). Jasa pelayanan medis dari dokter spesialis di kota Cirebon adalah berkisar Rp. 30.000 – Rp. 50.000,- Jadi bagaimana mungkin dokter umum akan meminta jasa pelayanan medis sebesar Rp. 80.000,- kalau bukan di mark up. Mana ada kantor yang percaya? Semoga kwitansi yang disodorkan ke bagian keuangan itu di reject.

2 kisah ini merupakan bukti dari ketidak-jujuran seseorang.

Nah bandingkanlah kisah tadi dengan kisah di bawah ini.

Kisah kejujuran manusia:

Sebulan yang lalu saya naik becak ( karena mobil sedang di service di bengkel ) setelah belanja keperluan perbaikan pintu rumah. Saya membeli 2 kaleng cat dan 1 kwas ( seharga Rp. 20.000,- ) yang terbungkus dalam kantong plastik ( kresek ) hitam. Ketika saya turun dari becak tanpa saya sadari, kantong plastik tadi tertinggal di becak. Karena ada keperluan lain saya keluar rumah setelah menyimpan barng belanjaan yang lain. Ketika saya pulang 1 jam kemudian pembantu kami melaporkan bahwa tadi ada tukang becak yang ingin menyerahkan kantok plastik berwarna hitam ( belanjaan saya yang tertinggal di becaj tadi ). Pembantu saya menolak menerimanya ( sesuai dengan pesan kami : jangan menerima sesuatu dari orang yang tidak dikenal sebelumnya ) dan mengatakan agar ia datang kembali sore hari ketiuka saya ada di rumah. Sore hari tukang becak tadi tidak datang dan saya menganggap belanjaan saya sudah hilang akibat kelalaian saya sendiri. 2 hari kemudian saya di dekat rumah saya bertemu dengan seorang tukang becak yang menyodorkan kantong plastik berwarna hitam sambil berkata, “ Pak ini barang Bapak yang tertinggal di becak saya.” Rupanya ia masih mengenali saya. Saya menerima barang saya yang telah saya anggap hilang sambil berkata,”Terima kasih, Pak. Bapak telah menyimpan barang saya dengan baik.” Saya sangat menghargai kejujuran tukang becak tadi yang dalam keadaan serba kekurangan toh ia masih mau bersikap jujur.

Apapun yang terjadi, saya percaya masih manusia yang jujur.-

Terkecoh penampilan pasien

Sejak tahun 1996 saya menjadi salah satu dokter anggota Tim Kesehatan Untuk Rekomnendasi Surat Ijin Praktek (SIP ). Diantara 5 anggota, 4 diantaranya adalah Dokter Ahli dari beberbagai disiplin spelialisasi ( S2 ) dan hanya saya sendiri yang dokter umum ( S1 ). Tugas Tim ini adalah memeriksa dan membuat Surat Keterangan Sehat bagi para dokter yang akan melakukan praktek swasta ( praktek sore hari ) di kota Cirebon.

Sudah banyak Teman Sejawat yang datang ke tempat praktek saya untuk meminta S.K. Sehat tersebut. Pada umumnya mereka adalah dokter umum dan beberapa dokter spesialis. Sehubungan dengan tugas itu ada kejadian yang lucu dan sulit terlupakan oleh saya. Kisahnya demikian:

Suatu sore terdengar ketukan pintu Ruang Periksa saya. Setelah pintu saya buka, saya melihat seorang laki-laki, tinggi badan 155 - 160 cm, umur sekitar 40-45 tahun dan berpakaian cukup rapih. Ia tersenyum kepada saya dan saya memepersilahkannya masuk ke Ruang Periksa. Dari penampilannya itu saya menyangka ia adalah seorang pasien yang ingin berobat.

Setelah duduk berhadapan saya bertanya “Anda tampaknya tidak sakit, apakah anda ingin berobat?”

Tamu saya menjawab “Tidak, dok” sambil tersenyum.

Ada keperluan apa kiranya ?”

“Saya Dokter Ahli Paru, ingin membuat Surat Keterangan Sehat untuk mendapatkan SIP saya” sambil menyerahkan Kartu Namanya.

Glek, saya tertegun.

“ Wah maaf, saya kira anda mau berobat. Maaf deh, habis saya belum kenal dengan anda.” Malu juga saya menghadapinya, tapi bagaimana lagi kalau memang belum kenal. Dari penampilannya yang imut-imut, saya tidak menyangka bahwa laki-laki yang berhadapan dengan saya adalah seorang Dokter Ahli.

Akhirnya kami saling memperkenalkan diri lebih lanjut. Ternyata tamu saya ini adalah Dokter Ahli yang semula bekerja di salah satu Rumah Sakit di kota Jakarta. Saat ini ia bekerja di RSUD Gunung Jati. Singkat cerita urusan S.K. Sehat selesai dan beliau pamit dari tempat saya.

Masih sering saya bertemu dengannya di acara Seminar atau Simposium tentang Penyakit atau Obat yang sering dilakukan oleh IDI Cabang Kota Cirebon. Bila bertemu dengannya saya teringat kejadian saat beliau minta S.K. Sehat dari saya.

Semoga banyak pasiennya, Dok.-

Ngibulin Dokter

Suatu sore ada bulan September 2000, keluarga pasien yang ingin memanggil saya. Saat itu sedang waktu praktek sore sehingga sebenarnya saya enggan meninggalkan warung saya. Oleh karena ia meminta dengan sangat agar dokter dapat datang ke rumahnya karena ada pasien yang sakit keras. Akhirnya saya memutuskan untuk datang mengunjungi rumahnya.

Setiba di alamat yang ia katakan, saya memasuki teras depan rumahnya yang besar. Rupanya mereka tergolong keluarga mampu. Sekilas di ruang tamu saya melihat seorang bapak yang tergopoh-gopoh memasuki ruangan lain. Rupanya ia sedang melihat siaran TV sore hari itu.

Saya menanyakan kepada isteri pasien, “ Dimana Bapak yang sakit?”

Ia menjawab, “Ada di dalam kamar tidur, Dok.”

Kami masuk kedalam kamar tidurnya yang besar, maklum orang kaya. Sang pasien rapih berbaring di bed lengkap dengan selimut ( padahal udara cukup panas saat itu ). Ternyata sang pasien adalah laki-laki yang tadi saya loihat tergopoh-gopoh memasuki kamarnya. Rupanya ia hanya menderita Flu ringan dan besok pagi ia harus pergi ke Jakarta.

Sebenarnya pasien yang datang mengunjungi dokter dan bukan sebaliknya, karena sakitnya pasien tidak berat dan pasien masih dapat berpergian. Keluarga pasien bila ingin memanggil dokter biasanya membuat alasan bahwa pasien sakit berat ( meskipun sebenarnya tidak begitu ) agar dokter bersedia datang ( ngibulin dokter ). Mereka berbuat demikian mungkin karena menganggap toh mereka bisa “membayar” jasa pelayanan medis.-

Disangka tukang kebun

Suatu hari Minggu sekitar jam 16.00 bulan Agustus 2002, saya dengan mengenakan celana pendek, T shirt dan topi pet mencabuti rumput liar yang tumbuh di halaman depan rumah kami. Setelah lima menit saya bekerja, seorang ibu yang ditemani oleh seorang anak perempuan yang berumur kira-kira 6 tahun memasuki halaman rumah kami.

Sang ibu bertanya kepada saya, “Pak, pak dokternya ada?”

Saya menjawab sambil menunduk ( khawatir terbongkar rahasiaku ), “Ada. Ada keperluan apa Ibu ?”

Ibu tadi menjawab, “ Anak saya ingin berobat.”

Saya berkata, “ Baiklah, saya akan memberitahukan kepada pak dokter.”

Saya segera memasuki rumah dan berganti pakaian praktek dokter, baju putih dan celana panjang.

Saya membukakan pintu ruang periksa sambil berkata, “Ibu, silahkan masuk.”

Ketika mereka berada di dalam ruang periksa, sang anak berkata kepada ibunya, “ Bu, inikan tukang kebun yang tadi ada di halaman.” ( rupanya anak itu masih mengenali wajah saya tadi meskipun hanya sekilas wajah ).

Menyadari hal ini sang ibu berkata kepada saya, “Maaf, pak dokter. Kami mengira ia adalah tukang kebun, eh… tidak tahunya pak dokter sendiri.”

Saya berkata sambil tersenyum, “ Benar bu, tadi saya mencabuti rumput liar untuk menghilangkan stress.”

Ibu tadi berkata lagi, “ Ah… pak dokter, bisa aja”, sambil tersenyum malu ( saya juga jadi malu, rahasiaku terbongkar ).

Rupanya benar pendapat yang mengatakan bahwa pakaian dapat merubah penampilan seseorang. Anak tadi mepunyai ingatan yang kuat, masih dapat mengenali wajah saya meskipun ia hanya melihat hanya sesaat. Ternyata ia sedang menderita Flu.

Sejak penyamaran saya itu, saya harus berhati-hati lagi dalam berpakaian bila tidak ingin dianggap sebagai tukang kebun.-

Nenek pelit.

Akhir tahun 1990 letika saya sedang praktek sore, datanglah seorang nenek, 65 tahun, yang ingin berobat.

Setelah melakukan anamnesa ( tanya jawab riwayat penyakit ), pemeriksaan fisik, membuat diagnosa ( penentuan penyakit ), saya membuat resep untuknya. Saya menyerahkan resep obat kepada pasien saya.

Ia bertanya “Berapa bayarnya, Dok?”

Saya jawab “Lima ribu rupiah.”

“Kok mahal. Dulu hanya tiga ribu.”

Saya melihat Catatan Data Pasien ( medical records ), ternyata nenek ini pernah berobat 2 tahun yang lalu.

Saya menjawab “ Iya betul, dulu tiga ribu rupiah.Sekarang ada penyesuaian karena harga barang-barang juga sudah naik.”

Sang pasien tetap inginnya tiga ribu rupiah saja.

Saya mengalah dan berkata “ Baiklah, nenek tidak usah membayar. Ini kertas resep dan ini ballpoint untuk menulis. Silahkan nenek menulis resepnya sendiri.”

Nenek itu berkata “ Saya bukan Dokter, jadi saya tidak bisa membuat resep sendiri.”

Sambil tersenyum saya berkata lagi “ Itulah nek, saya yang jadi Dokter dan nenek yang jadi pasiennya. Saya yang memeriksa dan menulis resep, nenek yang menerima resep dan membayar jasa pelayanan medisnya.”

Akhirnya nenek itu setuju dengan doctor fee lima ribu rupiah.

Ia mengambil uang dari lilitan stagennya. Saya menduga uangnya pas-pasan saja, tetapi saya terkejut, karena dibalik stagennya ia mengambil segepok uang Rp. 20.000,- an. Uangnya cukup banyak, lebih banyak dari pada uang hasil praktek saya sore itu.

Uangnya banyak tetapi membayar lima ribu rupiah saja harus tawar menawar. Ketika diberikan gratis, ia menolak oleh karena ia tidak bisa menulis resep sendiri. Selama menjadi dokter baru kali itulah saya menjumpai kasus seperti itu-

Pasien tidak puas.

Ada seorang Bapak, pak A., yang membawa putranya si B, 3 tahun yang sakit untuk berobat. Dari anamnesa ( riwayat penyakit ) sang ayah berkata bahwa ia sudah mendatangi Dokter umum langganannya, tetapi sore itu tidak praktek karena pergi ke luar kota.

Setelah diperiksa ternyata putranya menderita Flu.

Saya membuatkan resep Puyer obat Generik sebanyak 10 bungkus untuk si B.

2 hari kemudian sang ayah datang berobat kembali sambil membawa kakak si B yaitu si C, 5 tahun. Ketika mereka akan memasuki Ruang Periksa, sang ayah marah-marah kepada saya.

Katanya “ Dokter ini bagaimana sih!”

Saya menjawab “ Pak silahkan duduk dulu. Sebenarnya ada masalah apa? Kok marah-marah kepada saya. Apa salah saya?”

Pak A berkata dengan sengitnya “ Kemarin dulu saya membawa putra saya si B berobat disini.”

Saya bertanya “ Iya benar. Lalu ada masalah apa?”

Pak A berkata lagi “ Dokter ini bagaimana memberi resep, harga puyer itu hanya Rp. 9.800,-“

Saya bertanya lagi “ Emang kenapa dengan Rp. 9.800,- Apakah putra bapak belum sembuh?”

Pak A menjawab “ Sudah sembuh, Dok, karena itu sekarang saya bawa kakaknya kesini. tapi kok harga obatnya hanya Rp. 9.800,- Biasanya Dokter langganan saya kalau memberi resep harganya sekitar Rp. 100.000,- an. Saya punya jatah dari kantor sebanyak Rp. 250.000,-”

Saya menjawab lagi “ Iya syukurlah kalau putra bapak sudah sembuh, meskipun dengan resep obat hanya seharga Rp. 9.800,- saja. Kalau dengan harga yang murah saja bisa sembuh. Untuk apa Bapak bayar harga obat yang lebih mahal? Kemudian ada keperluan apa lagi Bapak datang ke tempat saya?”

Ternyata Pak A ini ingin memeriksakan putranya yang lain, tampaknya kakak beradik ini sakit yang sama yaitu Flu.

Saya membatin “ Dengan harga obat yang murah dan penyakitnya bisa sembuh, mengapa ia marah-marah? Mestinya dengan harga obat yang mahal tetapi penyakitnya tidak sembuh, barulah ia layak marah-marah. Ini kok terbalik ya. Aneh tapi nyata.Yang aneh saya atau pak A?”-

Sabtu, November 12, 2005

Membangunkan orang mati.

Kejadian ini terjadi pada tanggal 24 Desember 1991. Pada pukul 22.30 ada sekelompok keluarga pasien yang meminta bantuan saya selaku dokter . Mereka mengatakan bahwa salah seorang ibu mendadak sakit seperti hilang ingatan akibat putranya baru saja meninggal dunia. Setelah mengambil tas berisi peralatan medis, kami menuju rumah penderita yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah saya.

Didalam mobil yang kami naiki, mereka bercerita bahwa putra ibu Ester ( bukan nama sebenarnya ) yaitu Joni ( bukan nama sebenarnya ) yang berumur 16 tahun ditemukan sudah meninggal dunia di dalam kamarnya. Pada pukul 20.00 Joni pergi ke Gereja bersama pacarnya. Ia pulang sekitar pukul 22.00 dan langsung masuk kamar.

Ayah dan ibunya merasa ada yang tidak beres dari dalam kamar putranya itu karena sesaat setelah Joni masuk kamar, mereka mendengar suara ribut dari dalam kamar Joni. Orang tua Joni mengetuk-ngetuk pintu kamar agar Joni membuka pintu kamar. Tetapi tidak ada jawaban dari dalam kamar dan akhirnya mereka membuka dengan paksa pintu tersebut. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi kamar Joni yang berantakan. Joni terkapar dilantai. Disampingnya tergolek kaleng Baygon yang isinya membasahi lantai. Kaleng itu sudah kosong. Rupanya Joni sudah melakukan tentamina succide ( percobaan bunuh diri ) yang berhasil.Mereka sia-sia mencoba menolong Joni dan akhirnya mereka membawa Joni ke salah satu Rumah Sakit terdekat. Namun Dokter disana tidak dapat berbuat banyak karena Joni sudah meninggal dunia.

Oleh keluarganya jenasah Joni dibawa ke rumah duka. Saat itu keluarganya minta tolong kepada saya, agar Ibu Joni dapat tenang dalam menghadapi musibah ini. Perkiraan keluarganya Joni berbuat demikian mungkin karena broken heart, cintanya ditolak pacarnya. Saya menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju dengan tindakan bodoh Joni ini.

Ketika memasuki rumah penderita saya melihat seorang ibu kira-kira berumur 45 tahun tergolek dilantai sambil meraung-raung seperti anak kecil. Ketika ia diberitahu bahwa ia akan diperiksa dokter yang baru datang, ia berteriak-teriak “ Saya tidak membutuhkan dokter. Lebih baik dokter pulang saja.”

Keluarganya membujuk agar ia mau diperiksa dokter.

Ia menjawab “ Saya tidak butuh dokter. Paling-paling dokter akan menyuntik saya dengan obat tidur.Saya hanya minta agar Joni bangun kembali.”

Dengan susah payah ia dibantu untuk duduk di kursi. Saya mencoba melakukan pembicaraan dengan Ibu Ester dengan cara menyampaikan beberapa pertanyaan., antara lain “ Apa yang dapat saya bantu untuk menolong Ibu ?”

Ibu Ester menjawab “ Dokter, tolonglah bangunkan Joni. Saya minta Dokter Basuki datang, karena saya yakin Dokter dapat membantu saya. Saya pernah mengikuti Ceramah dan kesaksian dokter di Gereja Kristen Imanuel beberapa waktu yang lalu.”

Wah.. rupanya ketika saya memberikan ceramah kesehatan, Ibu Ester ini ikut hadir dan merasa yakin bahwa saya dapat membantu membangunkan Joni yang sudah dalam keadaan meninggal dunia.

Kemudian saya menjawab “ Saya akan membantu kesulitan Ibu, mudah-mudahan Tuhan membantu kita semuanya.”

Dalam hati ini sebenarnya tidak mudah alias mustahil dan suatu hal yang tidak mungkin bagi saya untuk membangunkan orang yang sudah mati. Hanya Tuhan Yesus yang dapat membangunkan orang mati yaitu ketika Lazarus sudah meninggal dunia selama 4 hari. Yesus mengatakan bahwa Lazarus sedang tidur dan Yesus membangunkan Lazarus dari “tidurnya”.

Dalam keadaan yang kritis ini apa yang dapat saya lakukan.

Saya berkata “ Saya akan melihat tubuh Joni terlebih dulu. Marilah kita bersama-sama kerumah duka”.

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.15. Ketika kami berangkat ke rumah duka turunlah hujan, maklum bulan Desember adalah musim hujan. Sepanjang perjalanan saya berdoa “ Ya Tuhan berilah petunjuk, apa yang harus saya lakukan setiba di rumah duka untuk menolong Joni? Tuhan berilah kepadaku petunjukMu.”

Saya optimis Tuhan akan memberikan petunjukNya kepada saya.

Setiba di rumah duka saya melihat hanya 1 jenasah yang ada di rumah duka itu dimana bila penuh maka rumah duka ini dapat menampung 3 jenasah sebelum di makamkan atau di kremasikan. Saya melihat sehelai kain batik menutup jenasah Joni. Saya segera memeriksa jenasah Joni: suhu badan menurun/dingin, reflex cahaya pada pupil mata tidak ada/negatif, pupil mata midriasis total ( melebar ) dengan stetoscope saya tidak mendengar bunyi jantung dan suara pernafasan, tercium bau Baygon dari mulutnya, di punggung belum terlihat adanya lebam mayat yang berarti ia belum lama meninggal dunia. Setelah melakukan pemeriksan ini saya seperti mendengar suara agar kami berdoa bersama-sama. Segera saya berkata kepada Ibu Ester dan keluarganya bahwa Joni sudah dipanggil Tuhan dan saya tidak dapat membangunkan Joni kecuali seijin Tuhan, oleh karena itu marilah kita bersama-sama berdoa.

Kami yang hadir berdiri di sekeliling jenasah Joni dan saya meminpin doa.

“ Ya Tuhan yang bertahta didalam kerajaan sorga, saat ini kami keluarga Joni dalam keadaan duka karena baru saja Joni telah Engkau panggil, tetapi kami percaya bahwa bila belum waktunya Joni pergi kiranya Tuhan mau membangunkan Joni dan mengembalikan Joni kepada keluarganya yang saat ini hadir bersama-sama kami di tempat ini. Tuhan Tolonglah kami dan dengarlah permintaan kami ini. Dengan nama Yesus Kristus kami telah berdoa. Amin.”

Semua yang hadir termasuk saya mengharapkan agar setelah kata Amin selesai, maka Joni dapat sadar dan bangun kembali. Tetapi mujijat ini tidak terjadi. Ketika tidak terjadi apa-apa, timbullah rasa khawatir saya, bahwa saya akan dimaki-maki atau mendapat perlakukan yang tidak menyenangkan dari Ibu Ester dan keluarganya karena doa kami tidak mendapat jawaban.

Aneh bin ajaib setelah doa selesai, saya melihat sikap Ibu Ester berubah sama sekali yang semula gelisah, berontak, sulit ditenangkan, saat itu ia menjadi tenang dan ia mengangis .

Dalam tangisnya saya mendengar ia berkata kepada saya. “Dokter maafkanlah sikap saya dirumah tadi. Sekarang saya percaya bahwa Joni sudah dipanggil Tuhan dan saya pasrahkan kepada Tuhan.” Lalu ia menjabat tangan saya. Legalah saya saat itu, beban berat yang saya pikul ini sudah hilang dengan berubahnya sikap Ibu Ester ini. Ya Tuhan sudah memperlihatkan suatu mujijat kepada kami di malam Christmas Eve tahun 1991. Terima kasih Tuhan. Saya sudah melihat suatu mujijat.

Setelah keadaan teratasi, saya berkata kepada keluarganya” Silahkan jenasah Joni dirawat/dimandikan dan silahkan memanggil rohaniawan / pastor agar dapat mendoakan Joni.” Oleh keluarganya saya diantar pulang kerumah, saat ini pukul 00.15. Dalam perjalanan pulang kami disambut turun hujan yang sangat deras. Hujan ini turut mengiringi kepergian Joni. Selamat jalan, Jon.-

Kematian

Kasus kematian sering saya alami dalam praktek sore saya. Saya sering dipanggil keluarga pasien karena pasien dalam keadaan gawat.

Salah satu diantaranya ialah kasus Bapak A, umur 65 tahun, dengan riwayat penyakit ada Hypertensi ( darah tinggi ) yang tidak teratur berobat. Ketika keluarga memanggil saya, pasien masih bernafas meskipun dengan susah payah. Ketika saya datang dengan segera, pasien ini sudah tidak bernafas lagi alias baru saja meninggal dunia. Saya memeriksa pupil ( anak mata ) sudah mengalami dilatasi total dan reflek pupil yang negatif ( tidak mengecil ketika disinari lampu batere ), detak jantung negatip dan pernafasan berhenti.meskipun badan masih hangat. Kemungkinan besar pasien ini telah mengalami Stroke yang berat sehingga langsung meninggal dunia. Saya katakan “ menyesal sekali Bapak sudah di panggil Tuhan, saya turut berduka cita “. Setelah mendengar ini maka terdengarlah tangisan para anggota keluarga pasien yang mengantarkan kepergian Bapaknya. Ya Tuhan terimalah Bapak A ini disampingMu, saya mengucap dalam hati. Dengan lesu saya pulang dan menolak menerima bayaran dari keluarganya karena memang tidak dapat berbuat banyak. Bila terdapat kasus kematian demikian bukannya saya mendapat bayaran tetapi saya mengeluarkan uang sebagai rasa turut berduka cita ketika saya melayatnya dirumah duka sebelum hari pemakamanya. Hal demikian saya lakukan bila saya mengenal dekat dekat pasien atau keluarganya.

Kasus kematian lain terjadi pada tahun 1996 di Lapas Kelas I Cirebon. Pak S. adalah Napi yang menderita penyakit Darah tinggi. Dengan obat-obatan yang tersedia di Balai Pengobatan Lapas kami memberikan pengobatan. Ketika penyakitnya bertambah parah dengan ditandai meningkatnya tekanan darah sampai 190/100 mmHg dan kedua tungkai yang membengkak maka dirawatlah di RSUD Gunung Jati. ( bahkan sampi 2 kali keluar masuk RS ). Karena keadaannya membaik maka pasien napi ini dipulangkan dari RSU. 2 hari kemudian pada suatu pagi ia minta mandi dan ditolong kawan-kawan Napi sekamarnya. Pakaiannya diganti dengan yang bersih dan 1 jam kemudian ia pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya dalam keadaan tenang. Rupanya Pak S. punya firasat bahwa sebentar lagi ia akan dijemput pulang dan ia ingin agar fisiknya bersih dengan minta dimandikan kawan-kawannya. Kami memberitahukan kematiannya kepada keluarganya. Mereka menerimanya karena mereka mengetahui bahwa ia memang sakit sebelum kepergiannya.

Dari contoh 2 kasus kematian ini, saya makin menyadari benar bahwa ada waktu lahir dan ada waktu meninggal dunia walau berapapun umur manusia. Kalau sudah dijemput, kita tidak bisa berbuat banyak lagi untuk menolak kematian ini. Sudah siapkah kita semua ketika hal ini terjadi pada diri kita masing-masing?-

Montir ngerjain dokter.

Kejadian ini terjadi pada pertengahan tahun 1995. Suatu saat mobil saya ”batuk-batuk” alias mesin tersendat-sendat. Saya membawanya ke bengkel mobil terdekat.

Sang montir, Pak A, setelah memeriksa mesin mobil saya, berkata “ Karburatornya mesti disetel ulang. ( karburator adalah alat untuk merubah bensin dalam bentuk cair menjadi bentuk uap yang bila tercampur udara dan panas api busi akan mudah terbakar dan menjadi energi penggerak mesin mobi ). Disini ada 2 buah sekrup untuk setelan bensin dan untuk setelan udara. Kedua sekrup inilah yang disetel ulang.

Saya katakan, “Baiklah, tolong setelkan karburatornya.”

Tidak sampai 10 menit mesin mobil saya berjalan lancar dan tidak “batuk-batuk” lagi.

Saya bertanya, “ Berapa ongkos setelnya, Pak?”

Pak A menjawab “ Murah, dok, hanya lima belas ribu rupiah.”

Saya agak terkejut karena montir hanya memutar-mutar sekrup dan tidak ada sparepart( onderdil ) yang diganti, kok ia minta bayaran yang menurut saya agak mahal.

Saya berkata, “ Kok mahal, Pak. Kan tidak ada yang diganti dan hanya memutar sekrup saja.”

Sang montir berkata dengan enteng ( rupanya kalau dokter itu banyak duitnya, padahal tidak selalu demikian ), “ Ongkos memutarnya sih murah, tetapi untuk mencari sekrup mana yang harus diputar, itu yang mahal. Di mobil dokter ada ribuan sekrup dan hanya 2 sekrup yang saya cari dan saya setel kembali.”

Seminggu kemudian Pak A. sang montir yang perokok berat ini datang berobat. Rupanya ia menderita Bronchitis ( radang bronchus, saluran nafas ). Setelah saya memeriksanya, saya berkata, “ Bapak kena Bronchitis dan sebaiknya berhenti merokok.”

Ia bertanya, “Berapa saya harus bayar?”

Saya katakan, “Lima belas ribu rupiah.”

Ia protes, “ Hanya tul-tul ( maksudnya meletakkan stetoscope di tempat tertentu ) saja kok biayanya mahal, dok.”

Saya teringat argumentasi sang montir ketika mobil saya “batuk-batuk” dan berkata,” Biaya meletakkan stetoscope sih gratis Pak, tetapi biaya untuk mencari dimana saya harus meletakkan stetoscope itu yang mahal. Kalau saya meletakkannya di sembarang tempat kan penyakit Bapak tidak ketemu. Di dalam badan Bapak ada ribuan organ tubuh dan hanya 1 organ tubuh Bapak saja yang perlu saya periksa.”

Sang pasien ini mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju argumentasi saya tadi. Makanya jangan suka ngerjain dokter.-

Jumat, November 11, 2005

Olahraga, sehat atau sakit?

Kejadian ini terjadi pada medio 2003.

Suatu sore sekitar pukul 17.00, ketika saya sedang praktek sore, ada panggilan melalui telepon dari seorang isteri, Ny. A. Ia memanggil Dokter untuk memeriksakan keadaan suaminya, Tn. A, 35 tahun dengan keluhan badannya sakit sampai tidak dapat bangun dari posisi berbaring..

Ia mengatakan bahwa suaminya hampir setiap hari berolahraga naik sepeda sejak 1 tahun yang lalu. Pagi hari pukul 06.00, Tn A. bersama teman-temannya bersepeda ke daerah Waduk Darma, Kabupaten Kuningan. Tempat ini berjarak sekitar 35 km dari kota Cirebon dimana ia tinggal. Saya pikir jarak itu terlalu jauh bagi pengendara sepeda sehat, lagi pula jalannya menanjak karena Waduk Darma berada di daerah Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat.

Ketika saya memasuki kamar tidur dimana Tn. A berbaring, disekililing bed hadir isteri, ketiga putra/inya, Ibu Mertua dan seorang pembantu rumah tangga. Keadaan ini biasa terjadi bila seorang pasien sakit berat.

Dalam tanya jawab ( anamnesa ) penyakit yang diderita pasien antara saya dan Tn. A. tidak dapat berlangsung dengan baik ( kontak inadekwat ), sehingga Ny. A lah yang banyak menceritakan riwayat penyakit suaminya. Tn. A sebelumnya sehat dan tidak ada keluhan. Suaminya tampak sakit dan lemas sekembalinya ia naik sepeda dari Waduk Darma.

Pemeriksaan fisik yang saya lakukan semuanya dalam batas normal, kecuali kontak yang inadekwat, sepertinya ia menyembunyikan rasa bersalahnya kepada keluarganya bahwa ia naik sepeda terlalu jauh sehingga badannya kelelahan yang sangat. Ia menderita fatique syndrome. Saya memberikan resep 2 macam obat, tablet anti nyeri dan tablet multivitamin & mineral. Saya memberi anjuran agar setelah mandi air hangat dan makan malam pasien segera tidur untuk memulihkan kesehatannya. Tn. A tidak diperkenankan naik sepeda untuk 2-3 hari dan lain kali jangan bersepeda terlalu jauh jaraknya sehingga tujuan bersepeda untuk menjadi sehat tidak tercapai dan bahkan menjadi sakit.

Keesokan paginya sekitar pukul 06.30, untuk suatu keperluan saya naik mobil dan melewati rumah Tn A. Saat itu saya melihat Tn. A. membawa sepedanya keluar dari pintu pagar rumah. Rupanya Tn. A sudah pulih kembali kesehatannya dan ingin bersepeda lagi. Ia sudah lupa anjuran Dokter kemarin sore. Bersepeda rupanya sudah merupakan habituasi, kebisaan sehari-hari. Tn. A. mempunyai moto “ Tiada hari tanpa bersepeda.” Di dalam mobil saya menggeleng-gelengkan kepala.-

Kamis, November 10, 2005

Buah Merah Papua.

Buah Merah Papua "Pandanus conoideus lam" tidak pelak lagi menjadi primadona ajang Indonesian Herbal Fair 2005 yang berlangsung bersamaan pada saat libur 11-12-13 Maret di ibu kota. Pameran terbilang cukup sukses jika menilik kehadiran banyaknya pengunjung dan dukungan partisipasi instansi pemerintah. Maraknya peserta pameran yang hampir mencapai jumlah 100 stand pun dapat dianggap menjadi keberhasilan tersendiri hingga pantas jika penyelenggara berencana akan menjadikan expo sebagai ajang kegiatan tahunan.

Pembukaan resmi pada hari pertama dihadiri oleh Kepala BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan Dr. Sampurno yang membuka acara seminar bertema "Obat Herbal Indonesia, Aman, Efektif dan Berkualitas".
Kemunculan Buah Merah Papua dalam pameran di ibu kota untuk pertama kalinya sebenarnya berlangsung saat Agro and Food Expo 2002 di JHCC Jakarta dalam rangka menyambut program Tahun Hortikultura Nasional awal Mei 2002. Saat ini publikasi tentang khasiat Buah Merah Papua sebagai obat multi-guna -yang bahkan diperkirakan ampuh dalam melawan penyakit HIV-Aids dan kanker- tengah meluas dan amat menarik minat publik.

Sesungguhnya fenomena tingginya minat publik atas obat herbal agaknya sejalan dengan trend dunia yang cenderung gandrung akan pola hidup "kembali ke alam" atau "back to nature" dekade belakangan ini. Selain itu sebagian masyarakat berupaya mencoba mencari alternatif obat berbahan ramuan tanaman/herbal tradisional yg berharga lebih murah dibanding dengan obat kimiawi buatan pabrik farmasi.Heboh Buah Merah Papua berlanjut tersendiri lewat acara seminar sehari "Pro Kontra Khasiat Buah Merah Papua" oleh peneliti pertama khasiat Buah Merah Papua Drs. Budi Made MSc di Jakarta Maret dan medio April 2005. Dapat disimpulkan bahwa kalangan masyarakat luas benar-benar berkepentingan agar penelitian akan khasiat Buah Merah Papua menjadi program prioritas yang amat mendesak. Penelitian yang amat pantas menjadi prioritas teratas dalam program RUT -Riset Unggulan Terpadu penelitian obat herbal nasional pada tahun mendatang.

Seperti diungkapkan kepala BPOM penelitian obat herbal nasional -tahun 2005 mencakup 19 tanaman berkhasiat obat- dilaksanakan oleh pusat penelitian di beberapa Universitas ternama nasional, adalah program tahunan yg memang diarahkan guna menghasilkan jenis obat herbal baru yang dapat diproduksi massal oleh industri farmasi nasional berbasis herbal.

Dalam waktu dekat setidaknya masyarakat memerlukan kejelasan tentang standard minimal pengolahan sari Buah Merah Papua yg memenuhi syarat sebagai suplemen penguat daya tahan tubuh: semacam standar mutu SNI. Sampai saat ini dari sekitar belasan merk yg beredar di pasaran ternyata hanya 5 merk saja yg terdaftar di Balai POM Departemen Kesehatan. Riset pengujian khasiat Buah Merah Papua sebagai obat multi-guna akan memerlukan waktu yang masih panjang.

Jika membandingkan bahwa riset khasiat mengkudu/buah noni "morinda citrifola" -tanaman asli asal Indonesia- butuh waktu puluhan tahun lebih riset intensif dari berbagai pelosok dunia untuk dapat sampai pada kesimpulan, bahwa buah mengkudu memang berkhasiat untuk mengobati, a.l: pencegahan radikal bebas pembentuk terjadinya sel kanker, kholesterol, diabetes, Jantung koroner, anti biotik/ anti-infeksi, dll. Pusat riset terkemuka tentang mengkudu berada a.l. : Tokyo Noni Research Center - Jepang, Universitas Hawaii - AS dan beberapa pusat riset universitas di Perancis.

Zaitun -buah yg minyaknya "olive oil" dikonsumsi bangsa Yunani sebagai suplemen kesehatan sejak zaman kuno pra-Masehi- pun baru saja beberapa bulan y.l. diakui oleh FDA -badan semacam BPOM di AS- sebagai berkhasiat obat guna mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker payudara. Kandungan tocopherol dan phenol pada olive oil juga diakui dapat mencegah terbentuknya sel-sel radikal bebas yg erat berkaitan dengan munculnya penyakit kanker dan penyakit degeneratif lainnya.

Penelitian awal Buah Merah Papua menunjukkan kandungan tocopherol yg amat tingggi selain membuktikan bahwa "minyak" atau larutan sari buah mengandung berbagai asam lemak tak jenuh yg dikenal bermanfaat baik guna meningkatkan HDL dalam tubuh dan sebaliknya menurunkan LDL atau "bad cholestrol". Akan menjadi ironi menyedihkan jika terjadi bahwa khasiat lengkap sari Buah Merah Papua lebih dahulu diungkapkan oleh ilmuwan Asing yang bisa jadi amat berkepentingan terutama dalam upaya riset menemukan obat atau zat penangkal penyakit HIV-Aids.-

Jambu Merah dan Demam Berdarah.

SOAL jus jambu biji ini, ternyata ada perkembangan yang cukup mengejutkan. Jika jus itu dibuat dari buah, rasanya bukan sesuatu yang aneh. Tetapi, yang kini tengah dicoba dikembangkan dalam memanfaatkan jambu biji sebagai pencegah demam berdarah adalah pembuatan jus dari bahan daunnya. Betulkah ekstrak daun jambu biji ini bisa meringankan penyakit DBD?
Pada hari Rabu (10/3) kemarin, bertempat di Kantor Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jakarta Pusat, dilansir sebuah hasil kerja sama penelitian antara Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan Badan POM. Meskipun baru bersifat pengujian pre-klinik, dilaporkan bahwa ekstrak daun jambu biji diketahui bisa menghambat pertumbuhan virus dengue, penyebab DBD. Bahan itu juga disebutkan mampu meningkatkan jumlah trombosit hingga 100 ribu milimeter per kubik tanpa efek samping.
Dari pengujian, peningkatan jumlah trombosit diperkirakan dapat tercapai dalam tempo 8 s.d. 48 jam atau dua hari setelah ekstrak daun jambu biji dikonsumsi.
Kepala Badan POM, Drs. H. Sampurno, MBA mengungkapkan, sampai saat ini obat spesifik demam berdarah dengue (DBD) memang belum ditemukan. Tidak mengherankan, apabila pola pengobatan terhadap penyakit yang masuk ke Indonesia sejak 36 tahun lalu itu hanya bersifat pendukung. Sampurno menuturkan, setelah uji lebih lanjut yang dilakukan tim peneliti di bawah pimpinan Prof. Dr. Sugeng Sugiarto itu, diharapkan ekstrak daun jambu biji ini dapat dijadikan obat antivirus dengue. Penelitian sementara menunjukkan, daun jambu biji bisa bermanfaat. Bahkan, kabarnya, kandungan dalam daun jambu biji lebih baik dibandingkan dengan buahnya yang biasa digunakan.

Menurut keterangan, penelitian tersebut menghabiskan dana hingga Rp 500 juta. "Kami menargetkan, tahun sekarang bisa dilakukan uji klinik karena penelitian ini merupakan terobosan berharga untuk menanggulangi DBD," kata Sampurno yang juga alumnus Fakultas Farmasi UGM.

Rencananya, hasil pengujian itu pun akan dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). "Apabila nanti uji klinik yang dilakukan hasilnya paralel, maka kemungkinan ekstrak daun jambu ini akan menjadi suplemen dalam mengobati DBD," tuturnya.
Hasil lain dari pengujian pre-klinik di Jawa Timur, terindikasi bahwa daun jambu biji tersebut tidak memiliki kandungan zat beracun. Sebaliknya, daun jambu biji ternyata memiliki komponen yang berkhasiat, yakni kelompok senyawa tanin dan flavonoid. Diketahui, keduanya dapat menghambat aktivitas pertumbuhan virus dengue.

Menurut rencana, dalam waktu dekat ini Badan POM akan melakukan pengkajian mendalam, untuk mengetahui apakah ekstrak daun jambu biji bisa diproduksi secara besar-besaran. Misalnya, dalam bentuk kapsul untuk orang dewasa dan sirup untuk anak-anak.Sampurno mempersilakan apabila ada masyarakat ingin membuat ekstrak sendiri.
Caranya, daun jambu dibersihkan, ditumbuk, dan direbus. Setelah itu, airnya disaring, sebelum kemudian diminum. Namun, diingatkannya, standar pengobatan DBD dengan dokter harus tetap dilakukan, mengingat ekstrak daun jambu biji ini hanya suplemen. Kalau begitu, apa salahnya kita coba.-

Alergi Antalgin.

Keadaan alergi ini tidak diinginkan oleh banyak orang, tetapi keadaan yang bersifat bawaan lahir ini sering terjadi di masyarakat. Alergi yang merupakan manifestasi dari keadaan tidak tahannya seseorang terhadap sesuatu yang menimbulkan gejala-gejala berupa : gatal, kaligata/biduran, sesak nafas dan bahkan anafilaktik shok serta kematian. Sesuatu itu dapat berupa: makanan, minumam, kosmetik, obat, perubahan hawa, tepung sari dan lain-lain.

Suatu malam 5 Sept 1990, rumah kami didatangi oleh sepasang suami-isteri yang ingin berobat. Waktu menunjukkan pukul 21.30 malam, setelah mempersilahkan pasien yaitu sang suami dengan umur sekitar 35 tahun berbaring di bed periksa, saya mewawancarai isterinya ( melakukan heteroanamnesa dari isterinya ) keluhan, riwayat penyakit dsb. Sang Isteri mengatakan bahwa sang suami yang alergi tablet Antalgin, pada pukul 19.30 minum obat Antalgin ( yang dibeli di warung ) karena ia merasa pusing kepala. Oleh isterinya dilarang minum Antalgin tetapi karena saat itu sudah malam dan mereka tidak mempunyai obat pusing yang lain, terpaksalah Antalgin itu yang diminum sang suami.

Saya memeriksa keadaan suaminya itu: tekanan darah 100/60mmHg ( cukup rendah dari keadaan normal, gejala awal shok ), kesadaran menurun, kontak inadekwat, badan terasa dingin, tidak ada sesak nafas. Secepatnya saya mengatakan kepada sang isteri bahwa keadaan suaminya cukup parah dan sebaiknya segera dibawa ke Rumah Sakit ( ada 1 Rumah Sakit yang jaraknya hanya 100 meter dari rumah saya ). Perkiraan saya dengan naik Jip yang dikendarai supir mereka dalam waktu cepat ( 2 menit ?) pasti sudah sampai di Bagian Gawat Darurat. Saya menuliskan Surat Rujukan ke RS tadi dan menyerahkannya kepada sang isteri. Tanpa mengharap jasa pelayanan, saya membukakan pintu ruang praktek agar mereka segera ke RS. Dengan dibantu isterinya pasien saya ini keluar dan ketika tiba di teras rumah, pasien ini muntah-muntah mengeluarkan banyak is lambung yaitu berupa nasi ( tanda shok lain muncul lagi ). Setelah mereka meninggalkan rumah saya, saya masih harus membersihkan lantai akibat muntahan pasien tadi ( sang pembantu rumah tangga sudah tertidur ).

Saya mengharapkan agar pasien saya ini mendapat pelayanan RS dan terhindar dari keadaan yang lebih buruk lagi. Keesokan hari pada pukul 06.00 pagi saya menghubungi RS dekat rumah saya untuk menanyakan adakah pasien saya tadi malam masuk RS dan bagaimana keadaannya sekarang? Sungguh terkejut saya mendapat jawaban bahwa tidak ada pasien dengan nama pasien tadi. Saya menghubungi semua RS yang ada di kota saya dan jawabannya sama dengan RS yang pertama. Saya bingung kemana pasien semalam dibawa? Pulang ke rumah ?

3 hari kemudian saya mendapat kunjungan seorang ibu yang ternyata isteri dari pasien saya ini yang ingin memeriksakan anaknya untuk berobat. Saya mendapat informasi tentang suaminya bahwa malam hari sepulang dari tempat praktek saya, sang suami menolak masuk RS dan minta pulang kerumah saja.

Sampai dirumah sang suami tertidur dan terbangun keesokan harinya dengan keadaan sehat. Puji Tuhan, pasien ini tidak mengalami shok yang dapat membahayakan jiwanya. Beruntung sekali pasien ini yang sudah mengetahui bahwa ia alergi Antalgin, masih saja minum Antalgin dan ia sudah merasakan akibatnya. Semoga ia tidak berani lagi minum tablet Antalgin.-


Doa Dokter jelek?

Suatu saat saya bertemu dengan seorang teman yang bukan dokter. Lama kami tidak berjumpa sehingga kami membicarakan banyak hal. Dalam obrolan kami teman saya itu berkata, “Ah…doa dokter sih jelek, semoga banyak yang sakit.” Saya terkejut mendengar perkataannya itu.

Saya mendebat teman saya tadi, “Saya tidak pernah berdoa seperti itu. Itu kata anda, bukan kata saya.” Ia terkejut juga mendengar perkataan saya. “Tapi betul kan, dokter mengharap banyak orang yang sakit?”

“Orang yang sakit bukan karena doa saya atau dokter. Orang yang minta pertolongan dokter tidak semuanya sakit, tetapi karena banyak alasan.

“Apa contohnya, dok?” teman saya bertanya.

Lalu saya menjawab:

“ Alasan-alasan orang datang kepada dokter antara lain:

  1. Anak/orang dewasa yang ingin mendapatkan imunisasi.
  2. Anak yang mau disunat atau dikhitan dengan alasan keagamaan atau kesehatan.
  3. Ibu calon akseptor KB ( Keluarga Berencana ) yang minta disuntik KB atau dipasang I.U.D. ( Intra Uterine Device ).
  4. Orang yang minta Surat Keterangan Sehat untuk keperluan melamar pekerjaan, melanjutkan sekolah atau mengikuti ansuransi.
  5. Ibu hamil yang ingin melakukan pemeriksaan ANC ( Ante Natal Care ).
  6. Orang yang ingin disuntik Vitamin agar badannya tetap fit.
  7. Orang tua yang minta konsultasi agar anaknya terhindar dari Narkoba atau agar prestasi belajar anaknya bagus.

Jadi pekerjaan dokter banyak, selain mengobati orang sakit juga melakukan tindakan pencegahan agar tidak menjadi sakit. Dengan perkataan lain tidak perlu dokter berdoa “Semoga banyak yang sakit” agar dapurnya tetap berasap. Dengan reputasi yang baik, tidak perlu seorang dokter khawatir kekurangan rejeki.”

Setelah mendengar argumentasi saya diatas, teman saya mengerti dan tidak berani mengeluarkan “guyonan” tadi lagi. Dia pikir “Wah repot kalau berdebat dengan dokter.”

Kalau anda setuju dengan argumentasi saya diatas, maka tidak perlu ada debat kusir bukan?-

Rabu, November 09, 2005

Dokter murah .


Dokter murah bukan berarti dokter murahan. Pengalaman ini pernah saya alami ketika pada tahun 1998, saya dapat giliran jaga kota Cirebon dimana setiap 3 bulan satu kali kena giliran jaga kota. Tempat praktek swasta pribadi menjadi tempat Dokter Jaga Kota.

Pagi hari sekitar pukul 11.00 datanglah seorang laki-laki berumur sekitar 35 tahun dengan maksud untuk berobat. Pasien ini berasal dari Jakarta dan ketika berada di Cirebon ia merasa kesehatannya terganggu. Ia menderita Flu, setelah saya periksa saya menyerahkan resep obat kepadanya.

Pasien ini bertanya “ Berapa Dokter?’.

Saya menjawab “ Lima ribu rupiah untuk biaya pemeriksaan”.

Pasien saya ini agak terkejut dan ia bertanya lagi” Berapa Dokter?”.

Saya menjawab “Lima ribu rupiah”.

Pasien ini berkata lagi “ Kok murah sekali. Kalau dikota Jakarta saya biasa membayar lima belas ribu rupiah” .

Saya menjawab “ Kalau di Cirebon seorang dokter umum memungut lima belas ribu ya terlampau mahal dan pasti tidak laku. Dokter spesialis ( waktu itu) saja dua puluh ribu rupiah, tetapi kalau Bapak mau membayar lima belas ribu ya saya terima.” ( sambil tersenyum, guyon ).

“ Wah.. ya saya bayar lima ribu rupiah saja seperti yang dokter mauin “

Rupanya pasien saya ini termasuk orang yang kikir sehingga merasa rugi bila ia membayar lebih, padahal saat itu adalah hari Minggu dimana sulit mencari dokter yang praktek dan ia saat itu sudah ditolong oleh dokter jaga kota.

“Semoga lekas sembuh, Pak” kata saya sambil membukakan pintu.

Pengalaman lainnya juga cukup menggelikan. Seorang ibu pasien langganan saya suatu saat pada tahun yang sama datang berobat. Sakit kulitnya kambuh lagi.

Sambil menerima resep dari saya ia bertanya “ Berapa Dokter?”

Saya jawab “ Lima ribu rupiah.”

Ibu ini pura-pura terkejut dan berkata “ Kok naik Dok, dulu cuma tiga ribu rupiah” Rupanya ia mau nawar biaya pemeriksaan.

Saya menjawab, “ Ya dulu dulu sih cuma dua rupiah dan naik jadi tiga ribu rupiah. Ibu sudah lama tidak kontrol dan sekarang lima ribu rupiah.”

Ibu tersebut menggumam “ Ya sekarang apa-apa pada naik. Tidak ada yang turun ya Dok.”

Saya menjawab sambil guyon “ Ada Bu.”

“Apa itu Dok”

Saya jawab “ Celana dalam turun, bila mau disuntik “

“ Ah Dokter, ada-ada saja “

Padahal betul kan? Mana ada celana dalam yang naik bila mau disuntik. Ha..ha...ha.. Kadang kala disaat praktek Dokter harus dapat membuat pasien tertawa agar berkurang penderitaaanya. Tertawa itu sehat, karena itu tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Tertawa itu juga dapat mengurangi Stres.-

Khasiat Urine.

Pengalaman ini ketika saya masih bekerja di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cirebon pada tahun 1996. Ada seorang Napi yang berasal dari suatu negara Timur Tengah yang tengah menjalani hukuman seumur hidupnya, datang berobat ke Poliklinik L.P.

Saya pernah membaca artikel “Khasiat Urine Bagi Kesehatan “. Saya tertarik juga akan hasilnya.
Amir ( bukan nama sebenarnya ) mengeluh jari telunjuk tangan kanannya bengkak akibat gigitan Kelabang pada malam sebelumnya. Saya melihat jari tersebut: bengkak, merah, lebih panas dari pada daerah yang sehat dan nyeri bila tersentuh tangan. Saya membuat Diagnosa Kerja: Gigitan kelabang.

Karena persediaan antibiotika ( amoksisilin kapsul, anti inflamasi dll ) habis , maklum tangal tua, maka pasien Amir hanya saja beri Tablet anti nyeri dan anjuran agar jari tangannya dikencingi saja ( maaf ). Saya ingin mengetahui seberapa jauh khasiat Urine itu.

Semula advis saya ini dianggap guyonan oleh Amir dan roman mukanya menunjukkan bahwa ia tersinggung oleh ucapan saya tadi.
Saya berkata lagi “ Maksud saya, tampunglah urine anda dan oleskan ke jari telunjuk anda yang bengkak, agar cepat sembuh. Amoniak yang terdapat di dalam Urine mempunyai khasiat untuk menghilangkan bengkaknya. Urine mempunyai khasiat yang bagus untuk penyakit .”

Perkataan saya ini dibenarkan oleh Napi lainnya yang duduk disebelahnya.
Ia berkata “Benar dokter, air kencing dapat berguna bagi kesehatan. Minggu yang lalu mata saya merah setelah bekerja di kebun. Saya membersihkan mata saya dengan air kencing saya sendiri dan keesokkan harinya mata saya sembuh.”

Mendapat dukungan argumentasi, maka saya berkata lagi kepada Amir “ Nah benar kan ucapan saya tadi. Cobalah dulu oleskan urine ke jari telunjukmu. Kalau kamu punya uang saya akan beri resep kapsul Antibiotika dan tablet anti bengkak untuk dibeli di apotik. Kalau kamu tidak punya uang, tidak ada ruginya mencoba advis tadi, siapa tau ada manfaatnya.”

Amir menjawab dan berterima kasih atas advis saya tadi “ Baiklah dokter. Saya akan mengolesinya.”

Keesokan harinya saya panggil Amir ke Poliklinik, dan saya melihat bahwa bengkak pada jari tekunjuk kanan Amir sudah mereda dan nyerinya berkurang alias sembuh.
Saya berkata kepada Amir “ Mir, benar kan perkataan saya kemarin itu .”
Amir menjawab malu-malu “ Iya dokter. Terima kasih atas advisnya “.

Rupanya Urine sangat bermanfaat bagi penyakit-penyakit seperti: luka, hipertensi, menghaluskan kulit, menurunkan berat badan, hepatitis dll. Ketika saya melakukan surfing di Internet maka dengan kata kunci “ Urine therapy “, saya menemukan banyak artikel yang membicarakan tentang Khasiat Auto Urine therapy ( khasiat minum urine sendiri ). Di beberapa negara seperti: Perancis, USA, India, RRC dsb rupanya sejak lama penggunaan Urine ini sudah banyak dikenal dan sudah sejak lama dilakukan.-

Dokter menjadi Artis.

Berdasar Surat Edaran dari Dirjen Pemasyarakatan tanggal 4 Maret 1998 dan Kepala Kantor Wilayah Dep. Kehakiman Jawa Barat tanggal 10 Maret 1998 tentang: Pembuatan Audio Visual Pemasyarakatan, maka tampak kesibukan ekstra didalam LP Cirebon. Menurut rencana pengambilan Audio visual ini akan dilaksanakan pada hari Kamis pada pukul 12.00.Tim pelaksana dari Jakarta nyatanya baru tiba di LP Cirebon pada pukul 16.00, sehingga kegiatan baru dapat dilaksanakan pada hari Jumat mulai pukul 9.00. Tim yang terdiri dari 8 orang petugas ini bekerja secara maraton di LP Cirebon, Kendal, Semarang, Cilacap dll.

Pada pengambilan Audio visual ini direncanakan skenario : 3 orang Napi yang datang di LP Cirebon, turun dari kendaraan khusus, dikawal para petugas masuk melalui portir, diperiksa surat-surat pengantarnya. Dari sini diterima di bagian KPLP ( Komandan Pengamanan LP ) untuk pengecekan surat-surat dan penggeledahan badan dan barang bawaan. Dari KPLP diserahkan kepada Tim Penerima ( Registrasi, Perawatan) untuk penerimaan Napi. Pada bagian Perawatan diambil Audio visual ketika Napi diperiksa kesehatannya. Solihin, paramedis kami mencatat pada Kartu Catatan Medis Napi. Amir, karyawan LP di seksi Perawatan bertugas mengukur Tinggi badan dan berat badan Napi. Saya sendiri sebagai dokter LP bertugas mencatat riwayat penyakit sebelumnya, hasil pemeriksaan fisik pada saat itu dan melengkapi Kartu catatan medis napi. Selanjutnya pengambilan audio visual ini dilanjutkan dibagian A.O. ( admisi orientasi ) dan lain-lain.

Pada waktu syuting di bagian Perawatan, kami disinari dengan 1 set lampu yang terdiri dari 3 lampu sorot dengan sinar yang sangat terang dan juga panas menjengat. Beruntung kami sebelumnya telah menyiapkan 1 buah kipas angin untuk mengurangi panasnya lampu tadi. Untuk menghindari pantulan sinar lampu, terpaksa saya sampai melepas kacamata saya. Untuk memberikan tampilan wajah yang camera-face, wajah saya diberi bedak. Ah… seperti bintang film saja, padahal benar dokter saat ini menjadi aktor alias bintang film. Rasanya tegang juga saya pada waktu itu, karena 2 alasan yaitu : pertama seumur hidup saya belum pernah disyuting dan kedua bila sampai gagal pada syut kesatu. Maka adegan akan diulang lagi yang jelas akan menambah kerepotan bagi saya. Tapi syukurlah pengambilan adegan pemeriksaan hanya diulang 1 kali. Semuanya hanya mengambil waktu kira-kira 5 menit, padahal kami menunggu selama 2 hari. Untuk waktu yang sesaat itu kami harus menerima sinar lampu yang cukup panas apalagi 3 orang Napi yang juga menjadi bintang film ( peran utamanya ) tentu menerima lebih banyak sinar panas mulai dari Portir sampai selesai pengambilan Audio visual ini.

Semoga audio visual ini banyak manfaatnya bagi kepentingan program kerja Departemen Kehakiman. Semoga wajah kami tetap dikenal oleh Departemen Kehakiman.-

Selasa, November 08, 2005

Pasien marah


Ketika mengikuti rombongan piknik Alumni SMA Negeri Cirebon angkatan tahun 1966 ke Bali, saya bertugas sebagai Seksi kesehatan, saya memeriksa beberapa peserta yang sakit.
Ny. L, 55 tahun: Ia seorang penderita Kencing Manis ( Diabetes mellitus ). Sejak 1 minggu yang lalu ia mengeluh sakit pada lutut kanan dan otot sekitarnya. Ia minta resep obat dari saya. Saya menduga ia menderita Myopathy yang sering dikeluhkan pada seorang pasien D.M. Saya membuat sehelai resep yang berisi kapsul Neurontin dengan dosis 2 kali sehari.
Ia berteman dengan Ny.Y. yang mempunyai seorang putra yang Apoteker dan bekerja di sebuah Apotik di Denpasar. Melalui SMS handphone Ny. L dapat membeli kapsul Neurontin. Sore harinya ia mencari saya dan protes. “ Dokter, saya bukan penderita Epilepsi ( Ayan ). Mengapa saya diberi obat Anti Epilepsi?” dan ia tidak mau minum obat itu.
Saya balik bertanya “ Dari siapa Ibu tahu?”
“Dari putra Ny. Y yang Apoteker. Katanya obat ini berkhasiat sebagai anti Epilepsi. Ibu bukan penderita Epilepsi”
Dengan sabar saya jelaskan bahwa betul itu kapsul anti Epilepsi tetapi juga berkhasiat sebagai anti myopati bagi penderita D.M. Khasiat ini sudah banyak digunakan oleh dokter-dokter lain.
Saya melanjutkan “Bila anda tidak setuju, tak usah minum obat itu.”
Akhirnya ia dapat mengerti. Keesokan harinya ia mencari saya lagi dan melaporkan dengan sedikit kecewa bahwa rasa nyerinya berkurang tetapi belum sembuh betul, meskipun obat tadi sudah diminumnya.
Saya menjawab “Keluhan anda sudah berkurang, meskipun belum 100% hilang, tetapi sudah ada perbaikan bukan? Saya mengobati keluhan anda tidak secepat membalikan tangan. Sim Salabim, sakitnya segera hilang seperti makan cabe. Jadi sabarlah, pasti sakitnya lenyap bila obat yang saya berikan anda minum terus.”
Ny. L. diam mengiyakan perkataan saya.
Ia meninggalkan saya, tanpa berkata apa-apa. Saya tidak mengharapkan imbalan apa-apa di dalam acara piknik itu. Ucapan terima kasih juga tidak, yang emang tidak saya dapatkan dari semua pasien saya itu.
Mungkin ia tersinggung ketika ia mendapat resep obat anti Epilepsi yang ternyata banyak membantu menghilangkan rasa nyeri lututnya itu. Ia lebih percaya mendengar ucapan seorang Apoteker dari pada seorang Dokter. Pengalaman Dokter akhirnya dapat menyembuhkan keluhannya. Yang penting bukan mereknya tetapi khasiatnya seperti promosi iklan obat generik di TV. -