Minggu, November 13, 2005

Nenek pelit.

Akhir tahun 1990 letika saya sedang praktek sore, datanglah seorang nenek, 65 tahun, yang ingin berobat.

Setelah melakukan anamnesa ( tanya jawab riwayat penyakit ), pemeriksaan fisik, membuat diagnosa ( penentuan penyakit ), saya membuat resep untuknya. Saya menyerahkan resep obat kepada pasien saya.

Ia bertanya “Berapa bayarnya, Dok?”

Saya jawab “Lima ribu rupiah.”

“Kok mahal. Dulu hanya tiga ribu.”

Saya melihat Catatan Data Pasien ( medical records ), ternyata nenek ini pernah berobat 2 tahun yang lalu.

Saya menjawab “ Iya betul, dulu tiga ribu rupiah.Sekarang ada penyesuaian karena harga barang-barang juga sudah naik.”

Sang pasien tetap inginnya tiga ribu rupiah saja.

Saya mengalah dan berkata “ Baiklah, nenek tidak usah membayar. Ini kertas resep dan ini ballpoint untuk menulis. Silahkan nenek menulis resepnya sendiri.”

Nenek itu berkata “ Saya bukan Dokter, jadi saya tidak bisa membuat resep sendiri.”

Sambil tersenyum saya berkata lagi “ Itulah nek, saya yang jadi Dokter dan nenek yang jadi pasiennya. Saya yang memeriksa dan menulis resep, nenek yang menerima resep dan membayar jasa pelayanan medisnya.”

Akhirnya nenek itu setuju dengan doctor fee lima ribu rupiah.

Ia mengambil uang dari lilitan stagennya. Saya menduga uangnya pas-pasan saja, tetapi saya terkejut, karena dibalik stagennya ia mengambil segepok uang Rp. 20.000,- an. Uangnya cukup banyak, lebih banyak dari pada uang hasil praktek saya sore itu.

Uangnya banyak tetapi membayar lima ribu rupiah saja harus tawar menawar. Ketika diberikan gratis, ia menolak oleh karena ia tidak bisa menulis resep sendiri. Selama menjadi dokter baru kali itulah saya menjumpai kasus seperti itu-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar