Selasa, November 08, 2005

Pasien marah


Ketika mengikuti rombongan piknik Alumni SMA Negeri Cirebon angkatan tahun 1966 ke Bali, saya bertugas sebagai Seksi kesehatan, saya memeriksa beberapa peserta yang sakit.
Ny. L, 55 tahun: Ia seorang penderita Kencing Manis ( Diabetes mellitus ). Sejak 1 minggu yang lalu ia mengeluh sakit pada lutut kanan dan otot sekitarnya. Ia minta resep obat dari saya. Saya menduga ia menderita Myopathy yang sering dikeluhkan pada seorang pasien D.M. Saya membuat sehelai resep yang berisi kapsul Neurontin dengan dosis 2 kali sehari.
Ia berteman dengan Ny.Y. yang mempunyai seorang putra yang Apoteker dan bekerja di sebuah Apotik di Denpasar. Melalui SMS handphone Ny. L dapat membeli kapsul Neurontin. Sore harinya ia mencari saya dan protes. “ Dokter, saya bukan penderita Epilepsi ( Ayan ). Mengapa saya diberi obat Anti Epilepsi?” dan ia tidak mau minum obat itu.
Saya balik bertanya “ Dari siapa Ibu tahu?”
“Dari putra Ny. Y yang Apoteker. Katanya obat ini berkhasiat sebagai anti Epilepsi. Ibu bukan penderita Epilepsi”
Dengan sabar saya jelaskan bahwa betul itu kapsul anti Epilepsi tetapi juga berkhasiat sebagai anti myopati bagi penderita D.M. Khasiat ini sudah banyak digunakan oleh dokter-dokter lain.
Saya melanjutkan “Bila anda tidak setuju, tak usah minum obat itu.”
Akhirnya ia dapat mengerti. Keesokan harinya ia mencari saya lagi dan melaporkan dengan sedikit kecewa bahwa rasa nyerinya berkurang tetapi belum sembuh betul, meskipun obat tadi sudah diminumnya.
Saya menjawab “Keluhan anda sudah berkurang, meskipun belum 100% hilang, tetapi sudah ada perbaikan bukan? Saya mengobati keluhan anda tidak secepat membalikan tangan. Sim Salabim, sakitnya segera hilang seperti makan cabe. Jadi sabarlah, pasti sakitnya lenyap bila obat yang saya berikan anda minum terus.”
Ny. L. diam mengiyakan perkataan saya.
Ia meninggalkan saya, tanpa berkata apa-apa. Saya tidak mengharapkan imbalan apa-apa di dalam acara piknik itu. Ucapan terima kasih juga tidak, yang emang tidak saya dapatkan dari semua pasien saya itu.
Mungkin ia tersinggung ketika ia mendapat resep obat anti Epilepsi yang ternyata banyak membantu menghilangkan rasa nyeri lututnya itu. Ia lebih percaya mendengar ucapan seorang Apoteker dari pada seorang Dokter. Pengalaman Dokter akhirnya dapat menyembuhkan keluhannya. Yang penting bukan mereknya tetapi khasiatnya seperti promosi iklan obat generik di TV. -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar