Minggu, Januari 24, 2010

Perbedaan sikap pasien



 Seminggu yang lalu datang berobat, Tn. Husin ( bukan nama sebenarnya ), 38 th.

Tn Husin mengeluh sejak 1 minggu yang lalu, badan lesu, tidak selera makan, ada flu, batuk. Tekanan darah: 120/80 mmHg ( normal ), pemeriksaan Fisik: dalam batas normal.

Tn. Husin sepertinya menderita Flu dan mungkin ada Anemia ( kurang zat Besi dalam tubuhnya ). Saya menyarankan agar dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah untuk mengetahui apa penyebabnya.

Pasien tsb menolak advis saya dan ia  minta resep obat saja  tanpa mau dilakukan pemeriksaan darah. Melihat keadaannya, Status sosial Tn. Husin ini dari golongan menengah.

---

Tiga hari yang lalu datang berobat Ibu Eni, 40 tahun dari sebuah Desa yang berjarak sekitar 15 km dari tempat pratik saya. Status sosial Ibu Eni dari golongan bawah.

Ibu Eni sejak 5 hari yang lalu mengeluh batuk pilek, badan lesu. Ibu Eni diantar oleh suaminya Pak Sarno. Setelah dilakukan pemeriksaan, Fisik Ibu Eni dalam batas normal. Ia menderita Flu.

Ketika saya membuat resep obat baginya, Ibu Eni meminta kepada saya agar dibuat Foto Paru-paru.

Saya bertanya “Untuk apa, Ibu?”

Ibu Eni menjawab “ Agar penyakitnya diketahui dan tuntas pengobatannya.”

Saya menjawab lagi “ Tidak perlu Ibu. Ibu hanya menderita Flu saja dan tidak perlu dibuat Foto Paru-paru.”

Ibu Eni tampak tidak puas dan ngotot minta dibuat Foto Paru-paru. Saat itu ia menambahkan bahwa ia juga kadang-kadang menderita sesak nafas ngik-ngik ( ashma ).

Akhirnya saya membuat Surat Pengantar ke Klinik Rontgen untuk membuat Foto yang dimaksud dengan tujuan agar keadaan Paru-paru Ibu Eni dapat diketahui secara Radiologis dan pasien merasa puas kalau sudah di Rontgen.

-----

Dari kedua kasus ini nampak bahwa yang satu dari Kota ( golongan menengah ) menolak dilakukan pemeriksaan Laboratorium dan pasien yang lain dari Kabupaten ( golongan bawah ) ngotot minta dilakukan pembuatan Foto Rontgen.

Pertanyaan yang timbul dalam pikiran saya: mengapa terjadi begitu kontras?

Yang jelas: kedua pasien tadi menginginkan kesembuhan penyakitnya.

Yang masih belum jelas: mengapa yang satu menolak pemeriksaan penunjang dan yang lain ngotot minta pemeriksaan penunjang meskipun ia dari golongan bawah tetapi ia sangat ingin dilakukan pemeriksaan Foto Paru-paru. Mungkin juga ia  bangga kalau ia sudah di Rontgen oleh dokter di kota dan diketahui apa penyakitnya.

Minggu, Januari 17, 2010

Masuk ke roda sepeda


 

4 hari yang lalu datang berobat Bapak Ibu Sadikin ( bukan nama sebenarnya ). Mereka membawa seorang putranya, Udin ( bukan nama sebenarnya ) 3 tahun.

Kaki kiri Udin  dekat pergelangan kaki berlumuran darah. Udin  menangis sekencang-kencangnya. Ruang Tunggu dan Ruang Periksa jadi heboh. Udin berteriak-teriak kesakitan.

Ortunya berkisah bahwa  baru saja kaki Udin telah masuk ke roda ( jeruji ) belakang sepeda yang dikendarai Pak Sadikin. Hal ini menyebabkan  kaki kiri Udin luka lecet sampai sebagian kulit terkelupas. Ah … kasihan betul si Udin ini.

Segera saya membersihkan luka tsb dan memberikan salep kulit yang mengandung Antibiotika sebagai pencegahan  infeksi. Setelah mencatat data pasien dan penyakitnya, saya  membuat resep obat untuk Udin.

1 hari yang lalu Pak dan Ibu Sadikin datang  untuk kontrol luka kaki Udin.

Saya melihat Luka  kering tetapi  masih membutuhkan waktu untuk sembuh benar. Saya menambahkan obat-obatan dalam sebuah resep bagi Udin.

Saya memberi masukkan agar Pak Sadikin membuat pengaman  di sepedanya agar lain kali kaki Udin atau siapapun yang dibonceng Pak Sadikin tidak masuk ke dalam jeruji ( roda ) belakang sepeda. Ia setuju dan mengatakan bahwa dekat rumah mereka ada tukang yang membuat Kap / atap mobil, perbaiki sofa dll. Tukang tsb dapat dimintai bantuannya untuk membuat pengaman  yang terbuat dari kain terpal ( sejenis kain yang agak tebal ) untuk menutup roda belakang sepeda kesayangan Pak Sadikin tadi.

---

Setelah mereka keluar dari Ruang periksa, pikiran saya melayang pada tahun 1984-1985, dimana  saat itu  putra dan putri kami sering kami ajak pergi ke tempat bermain anak-anak atau Mall. Kami sudah tidak mempunyai sepeda lagi. Kami beruntung sudah memiliki kendaraan roda-4, sebuah minibus meskipun  sudah agak tua. Lumayan dari pada naik sepeda / sepeda motor yang  kalau hujan pasti kehujanan dan ada resiko kaki putra atau putri kami masuk ke jeruji sepede / sepeda motor. Lebih baik lagi  kalau  naik Vespa, karena roda belakangnya tertutup bagian body Vespa.

Kamis, Januari 14, 2010

Geger otak


Kasus ini sering terjadi apabila terjadi benturan pada kepala ( Trauma capitis ), akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, terjatuh dari ketinggian, pukulan kepada kepala dll.

---

1 hari yang lalu Pak Alimin ( bukan nama sebenarnya ), 49 tahun datang berobat diantar kakak dan adiknya. Pak Alimin pernah berobat 2 kali kepada saya.

Kali ini Pak Alimin terjath dari sepeda motor yang dikendarainya.

Saya melihat keadaan umumnya : jelek. Pada wajah, kepala terdapat luka memar, pada lengan kanan  dan tungkai kanan terdapat beberapa luka lecet. Sesudah duduk di kursi, pak Alimin menunjukan tanda-tanda akan muntah. Saya mengambil sebuah ember untuk menampung muntahannya. Beberapa saat kemudian ia muntah, cukup banyak  makanan yang belum tercerna, keluar dan masuk ke ember tadi.

Tekanan darahnya 140/80, keadaan umumnya lemah. Kasihan ia menderita Commotio cerebri ( geger otak ).

Saya menganjurkan agar Pak Alimn ini segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Kakak perempuannya langsung tidak setuju dengan alasan tidak ada biaya meskipun masuk  ke RS Umum.

Saya membuatkan Surat Rujukan ke Rumah Sakit bila kemudian pasien berseda di rujuk ke RS. Selain itu saya membuatkan Resep obat yang berisi  tablet anti muntah, kapsul antibiotika, tablet anti nyeri.

Hari ini ( keesokan harinya ), kakak perempuannya menelepon saya  dan melaporkan bahwa Pak Alimin, masih sakit kepala dan minta obat baru ( kalau ada ). Saya bilang obat yang kemarin sudah mengandung obat anti nyeri. Sebaiknya masuk RS saja. Lagi-lagi ia menolaknya. Ya sudah mau apa lagi. Saya bilang maaf saya tidak dapat membantu lebih lanjut selain dirawat di RS.

---

Untuk berbuat kebaikanpun sering kali mengalami kesulitan. Ada banyak batu sandungan.

Minggu, Januari 03, 2010

Pasien bingung


3 hari yang lalu datang berobat sepasang suami isteri.

Ibu Lili ( bukan nama sebenarnya ), 62 tahun diantar suaminya Pak Hari ( bukan nama sebenarnya ), 65 tahun.

Seperti biasa saya mengawali pertemuan dengan menanykan nama, umur, alamat dan keluhan pasien.

“Nama Ibu siapa” saya bertanya.

Ibu Lili melihat wajah suaminya, seolah-olah minta dukungan.

“Nama saya Elisa ( bukan nama sebenarnya ).”

Saya bertanya kembali “Nama Ibu siapa?”

Sang pasien  berkata “em…em…sebenarnya nama saya Lili, tapi pakai saja nama putri kami Elisa”.

Saya bertanya lagi ”Nama Ibu sebenarnya Elisa atau Lili?”

Pasien diam.

“Berapa umur Ibu?” saya bertanya kembali.

Ibu Lili lagi-lagi melihat wajah suaminya. 

Suaminya menjawab “Dok, pakai saja nama anak saya, sebab biayanya akan diganti oleh Kantor anak saya.”

Nah ketahuan juga akhirnya, bahwa jawaban pasien saya tidak benar dan akan membebankan biaya pemeriksaan dan harga obat di Apotik atas tanggungan Kantor putrinya. Kantor hanya  menanggung biaya pengobatan karyawannya. Ibu Lili bukan karyawan Kantor tsb, sehingga tidak benar kalau saya harus berbuat tidak benar.

Mereka memanfaatkan fasilitas Kantor putrinya untuk membiayai pengobatan Ibunya dan mungkin lain kali untuk membiayai pengobatan Ayahnya.

Saya sangat mengerti akan keadaan sosial ekonomi mereka, sehingga mereka berbohong tentang nama sebenarnya. Kalau kali ini berbohong, maka lain kali akan berbohong lagi dst dst.

Saya dengan ikhlas berkata kemudian “Ibu boleh berobat dan saya akan mencantumkan nama Ibu yang sebenarnya ( Lili ) dan bukan nama putri Ibu ( Elisa ). Kalau Ibu tidak punya uang, Ibu tidak usah membayar biaya pemeriksaan. Mari saya periksa dahulu kesehatan Ibu.”

Ibu Lili mengeluh penyakit Flu dan batuknya sejak 3 hari yang lalu.

Selesai memerksa Ibu Lili saya membuat Resep obat yang harus diambil di Apotik.

Ibu Lili menyodorkan selembar uang kertas. Saya mengambil uang itu dan menyerahkan kembali bersama Resep obat tadi.

“Ibu Lili, silahkan Ibu ambil obat di Apotik dengan uang ini. Saya tidak dapat memberi Kwitansi biaya pengobatan.”

Ibu Lili dan Pak Hari tampak kebingungan.

Saya mempersilahkan mereka meninggalkan Ruang periksa dengan membukakan pintu keluar.

Saya mendengar suara mereka berbarengan “Terima kasih, Dok.”

Saya menjawab “Iya Bu, sama-sama. Semoga lekas sembuh.”