Minggu, Mei 30, 2010

Menangis dan Tertawa




Menangis dan Tertawa dikenal oleh semua orang, semua bangsa dan semua negara.

Kalau ada orang yang menangis berarti ia sedang sedih, takut atau kecewa.
Kalau ada orang yang tetawa berarti ia sedang gembira, bahagia atau suka.

Tidak peduli dimana ia berada, maka orang-orang disekitarnya akan segera mengerti bahwa ia sedang sedih atau sedang gembira.
Menangis dan tertawa merupakan bahasa tubuh ( body language ) yang universal.
Tanpa diajari, maka mereka sudah maklum.

Kedua bahasa tubuh ini dimiliki oleh setiap orang. Kadarnya bisa berbeda-beda dari satu orang kepada orang lain. Artinya ada orang yang mudah tersenyum dan tertawa dan ada pula orang yang mudah sedih dan menangis.

Pada anak-anak bahasa tubuh ini begitu sensitif. Kisahnya dibawah ini.

---

Ibu T, 30 tahun datang membawa AB, putranya seorang Bayi usia 13 bulan. AB menderita sedikit demam dan ada batuk.
Ketika saya berhadapan dengan AB sambil memegang sebuah lampu senter, AB melihat saya dan ia tersenyum. Ia tidak merasa takut bertemu dengan saya ( yang baru pertama kalinya ia lihat ). Tanpa banyak kesulitan dalam waktu relatip pendek, saya sudah selesai memeriksa AB. Ketika ia melihat lampu senter yang nyala, AB tampak tersenyum dan gembira . Ia cepat familier terhadap saya dan sebuah lampu senter. Berarti penyakitnya tidak berat. Ia masih dapat tersenyum.

Ibu MN, 35 tahun datang membawa putrinya ST, 2 tahun.
ST sejak 2 hari mengalami diare dan susah / rewel makan. Sebelum memasuki ruang periksa ST sudah menangis. Ketika Ibunya membawa masuk ST, ia menangis hebat nyaris meraung-raung.
Saya berpikir “Ada apa nih. Belum diapa-apakan ia sudah menangis ketakutan.”
Saya sudah maklum kalau ST takut kalau berobat. Ibunya selalu mengancam agar ia diam, kalau tidak diam nanti dokter akan menyuntik kamu ( padahal dokter / saya tidak pernah menyuntik pasien anak-anak ). Sering kali ancaman Ibunya itu tidak berhasil meredakan tangis ST. Tindakan berupa ancaman seperti ini seharusnya tidak dilakukan terhadap anak-anak yang sedang berkembang. Rohani anak-anak begitu sensitifnya sehingga menimbulkan rasa takut yang hebat bila melihat orang berbaju putih ( yang dikiranya seorang dokter yang akan menyuntiknya, padahl tidak begitu ).

Setelah berhadapan dengan ST, saya berkata bahwa saya tidak akan menyuntiknya. Saya hanya akan memeriksa dengan alat Stetoscope dan lampu senter. Saya tempelkan ujung Stetoscope pada lengan Ibunya sejenak dan menempelkannya kemudian di dada ST. Setelah merasa tidak terjadi apa-apa / rasa sakit maka ia terdiam. Demikian juga ketika sinar lampu senter mengenai tenggorokan dan lubang telinganya.

Bila trik ini tidak berhasil, maka saya lakukan tindakan pamungkas.
Pasien anak-anak yang rewel dan susah diperiksa, saya beri sebungkus biskuit. Ketika ia merasa senang diberi Biskuit dari pada diberi suntikan, pasien biasanya lebih tenang dan lebih kooperatif ketika saya melakukan pemeriksaan fisiknya.


Menghadapi pasien yang beraneka ragam temperamennya, dokter harus lebih bijaksana menghadapinya.

Mana yang lebih mudah: membuat orang Menangis atau Tertawa?
Kedua-duanya mudah dan kedua-duanya sukar juga, tergantung bagaimana pintarnya kita bertindak dan bagaimana respon pasien itu.

---

Kita mempunyai 2 tangan, satu tangan untuk menolong diri sendiri dan tangan yang lain untuk menolong orang-orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar