Happyness atau kebahagiaan bagi tiap orang berbeda pengertiannya.
Pandangan umum kalau sudah mempunyai banyak uang, mereka akan merasa bahagia.
Apakah hal ini benar? Belum tentu.
Bahagia tidak ditentukan oleh jumlah uang yang ada di dalam Rekening Banknya, tetapi apa yang mereka miliki disekitarnya.
---
Kemarin sore datang Pak CP, 78 tahun ke tempat praktik saya dengan membawa sebuah sepeda pinjaman dari temannya. Wajahnya suram, sesuram sore itu dengan cuaca mendung akan turun hujan. Tiap hari Minggu ia sering mengikuti kebaktian pagi di Gereja kami.
Setelah saya persilahkan Pak CP masuk dan duduk, saya bertanya kepadanya “Bapak mau berobat?”
Pak CP menjawab “Dok, saya tidak sakit, tapi mau ngobrol tentang hidup saya.”
“Silahkan Bapak berkisah. Santai saja. Saya siap mendengarkan,” kata saya.
Saya terharu juga. Dalam usia 78 tahun, ia terpaksa naik sepeda pinjaman temannya untuk mendatangi tempat saya yang berjarak sekitar 2 Km dari tempat sewa kamarnya
Pak CP mulai berkisah atau curhat kepada saya “Bulan yang lalu saya diminta oleh salah seorang anaknya untuk tinggal di rumahnya di Jakarta. Papah tinggal saja di rumah kami dari pada hidup sendirian di kota Cirebon ( isterinya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu ) kata anak saya yang tinggal di Jakarta
Dari 10 orang anak kami, dia yang minta saya tinggal di rumahnya. Maksudnya sih baik. Tidur di sebuah kamar tersediri, makan-minum cukup, hari Minggu pergi ke Gereja bersama-sama naik mobil. Meskipun demikian saya tidak punya teman di kota Jakarta, semua teman ada di kota Cirebon. Jadi saya tidak betah hidup di Jakarta. Saya lebih senang hidup di kota Cirebon, meskipun hidup seadanya.
Saya sudah bicara sama anak saya itu agar saya diijinkan hidup di Cirebon saja, sewa kamar sederhana. Saya lebih baik diberi sedikit uang untuk dapat menikmati sisa hidup saya. Kalau diminta tinggal di Jakarta, saya tidak mau sebab saya tidak betah.
Sekarang saya datang kesini, tolong agar dokter beri saya sebuah Surat yang menyatakan bahwa saya tidak betah tingal di Jakarta dan biarkan saya tinggal di Cirebon saja. Tolonglah, dok.”
Saya berpikir keras. Permintaannya tidak biasanya. Kalau diminta membuat Surat Keterangan Sakit atau Surat Keterangan Kematian, bisa saya kerjakan kalau datanya benar, tetapi kalau buat Surat tsb, rasanya saya tidak bisa turut campur urusan dalam negeri keluarga Pak CP. Saya tidak berwenang membuat Surat yang dimaksud Pak CP.
Lalu saya berkata kepada Pak CP “Pak, kalau Surat itu, saya tidak dapat membuatnya sebab ini urusan intern keluarga Bapak. Saya tidak bisa turut campur urusan keluarga. Kalau saya diminta memberikan advis secara kekeluargaan dalam suatu pertemuan antara Bapak, saya dan anak Bapak, saya bisa lakukan. Nanti saya tukar pikiran tentang kemauan Bapak yang ingin tinggal di Cirebon dari pada tinggal di Jakarta.”
Wajah Pak CP makin suram, sedih karena saya yang diharapkan mau membuat Surat tsb, menyatakan tidak bersedia membuatnya. Saya juga tidak punya jawaban atas pertanyaan saya “Mengapa saya selaku dokter praktik yang diminta bantuannya dan bukan orang lain atau anggota keluarganya yang lain yang lebih berwenang?”
Oleh karena ia tidak mendapat surat yang dimintanya, maka saya memberi alternatif jalan keluar.
Saya melanjutkan “Pak, begini saja, saya punya Plan A. Bapak selaku orang tua, bicara secara baik-baik. Dahulu ketika anak-anak Bapak masih kecil, Bapak selaku Orang tua membesarkan dan menyekolahkan semua anak-anak sampai jadi orang. Sekarang di masa tua, sudah kewajiban anak-anak yang merawat orang tuanya. Kalau Bapak merasa lebih bahagia tinggal di kota Cirebon, mintalah kepada semua anak-anak agar mereka memberikan iuran dana setiap bulannya. Kalau saja Rp. 100.000,- setiap anak, kali 10 orang, maka jumlahnya Rp. 1 juta / bulan. Syukur kalau ada anak yang mau kasih lebih banyak. Uang Rp. 100.000,- per anak pada saat ini rasanya tidak terlalu besar, tetapi bagi Bapak mungkin cukup untuk hidup sederhana.”
Pak CP secara spontan menjawab “Kalau dapat Rp. 1 juta / bulan itu, berarti lebih dari cukup bagi saya, Dok.”
“Iya, bicarakan saja masalah ini dengan anak-anak Bapak. Kalau anak-anak Bapak punya hati nurani, rasanya tidak sulit-sulit amat sih,” kata saya memberikan dorongan semangat kepada Pk CP.
“Kalau anak-anak kami tidak bersedia, bagaimana dok?”
“Kalau tidak dapat terlaksana, saya masih ada Plan B, pak”, kata saya.
“Kalau boleh saya tahu, apa Plan B itu, dok?” Pak CP ngebet ingin tahu.
“Bapak masuk ke Panti Wreda Kasih milik Gereja kami saya,” kata saya dengan tenang.
“Bapak tidak usah mikirin lagi, makanan tinggal makan, kamar tidur tidak usah sewa, mau mandi banyak air bersih, kalau sakit ada yang kasih obat, mau ke Gereja ikut mobil Gereja bersama warga Panti yang lain. Bapak mau kan? Itulah Plan B saya,” saya menjelaskan kepadanya. Selanjutnya nanti saya yang akan memperjuangkan agar Pak CP ini bisa hidup di Panti Wreda. Itupun kalau dia mau. Untuk berbuat baikpun, tidak mudah. Ada batu sandungan di depan kita.
“Yah sudah…. saya mau coba Plan A dokter lebih dahulu ya. Sekarang saya permisi mau pulang sebab sudah jam 17.30. Saya mau makan,” kata Pak CP terburu-buru meninggalkan Ruang Periksa pasien. Basa-basi atau memang ia sudah lapar sih?
Hati saya geli. Kalau ada orang yang masih ingin makan, berarti ia masih punya semangat untuk hidup. Kalau sudah 2-3 hari tidak mau makan, berarti ini gawat sebab mungkin ia sudah termasuk orang yang waiting list, yang tinggal tunggu jemputan.
Nah oleh karena itu janganlah lupa mengisi perut, sebab kalau perut kosong kita akan sulit tidur dan beraktivitas lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar