Selasa, Juli 28, 2009

Ashma


Kemarin pagi sekitar pukul 10.00 saya mendapat panggilan ke rumah pasien. Pak Wahyu ( bukan nama sebenarnya ) berkisah bahwa Yudi ( bukan nama sebenarnya ) putranya, 28 tahun, mengalami kambuh penyakit Ashmanya ( ngik..ngik.. ).

Hasil pemeriksaan saya Yudi dalam keadaan duduk, posisi yang lebih enak dari pada berbaring, suhu tangan yang saya raba agak dingin. Dari jarak 1 meter sudah terdengar suara ngik…ngik… apalagi bila didengarkan dengan alat Stetocope. Tekanan darah masih normal: 120/80 mmHg.

Yudi mendapat serangan Ashma, ashmatic attack. Saya anjurkan masuk RS saja. Pak Wahyu menolak dan minta diberi resep obat saja. Saya membuat Surat Rujukan kepada Dokter Jaga terdekat sebagai bekal bila nanti diperlukan dan resep obat berupa: Broncho dilator tablet, anti peradngan tablet dan vitamin tablet.

Isteri Pak Wahyu, ibu Eti ( bukan nama sebenarnya ) juga dalam keadaan kurang sehat. Sejak tadi pagi katanya ia merasa demam, badan lemes, ada sedikit batuk. Rupanya Ibu Eti menderita Flu. Saya berikan resep obat untuknya. Pak Wahyu kebingungan dalam saat yang sama ada 2 anggota keluarganya yang sakit.

Pukul 15.00 saya menelepon kepada pak Wahyu menanyakan bagaiaman kedaan Yudi. Pak Wahyu menjawab keadaan sesak Yudi tidak banyak membaik, masih sesak nafas. Saya sarankan agar Yudi dibawa ke RS terdekat dan juga saya sudah memberikan Surat Rujukannya. Keadaan isterinya sudah membaik dan sudah mau makan.

Saya terus memonitor via SMS keadaan Yudi setelah masuk RS tadi. Dokter Jaga memberikan gas Oksigen, infus cairan dan obat untuk mengatasi sesaknya ( mungkin Aminofilin drip per infus ).

Pukul 18.00 saya mendapat jawaban SMS dari Pak Wahyu , bahwa Yudi saat ini sedang tertidur dan tidak terdengar bunyi ngik…ngik….lagi. Saya bersyukur akhirnya Yudi dapat terlepas dari penderitaan sesak nafasnya.

Pesan moralnya:

Sering kali keluarga pasien menolak pasien masuk RS, dan sering kali ketika sudah masuk RS keadaan penyakit pasien sudah jauh memburuk. Lebih susah diobati dan lebih banyak membutuhkan biaya pengobatan. Kita tidak dapat 100% menyalahkan mereka sebab faktor dana, juga sangat mempengaruhinya. Oleh karena itu sebelum terserang penyakit apapun, kita wajib menjaga kesehatan kita, sebab mencegah jauh lebih baik dari pada mengobati dan juga lebih murah biayanya.

---

Kutipan:

Jika Anda takut berbuat salah, Anda takkan berbuat apapun. ( Marva Collins ).




2 komentar:

  1. Menurut saya selain faktor Dana, faktor rendahnya tingkat pendidikan, faktor budaya, faktor keadaan dokter dan rumah sakit pada umumnya lah yang membuat masyarakat enggan masuk rumah sakit ketika sakitnya masih ringan, dan baru masuk ketika sudah parah dan sering-sering jadi terlambat ditangani yang menyebabkan angka kematian menjadi tinggi.
    Ketika saya Coass di UGD saya sering bingung dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang sudah deman 3 hari bahkan seminggu, tengah malam, ke IGD.
    Sebagai tenaga kesehatan kita mungkin harus sering-sering lagi mengingatkan kepada pasien bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Dan mengobati lebih baik pada stadium awal penyakit daripada sudah di stadium lanjut atau stadium akhir.

    salam

    BalasHapus
  2. To Muliblog,

    TS Muliadi A. saya sependapat dengan anda.

    Yang paling saya rasakan adalah tidak mudah dokter merujuk pasien ke R.S. Faktor utama adalah masalah dana. Masuk RS perlu dana besar dan saat itu juga.

    Pendapatan keluarga sering kali tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari ( sewa rumah, makan, sekolah anak-anak, transportasi dll ).

    Suami isteri harus bekerja. Anak-anak dititipkan kepada neneknya ( kadang kala sudah usia lanjut ).

    Sakit saat ini dinegara kita merupakan suatu kemewahan bagi kebanyakan orang. Mungkin sekali ini berbeda dengan kondisi di negara-negara yang sudah maju, dimana kesehatan ditanggung oleh Medicare ( asuransi kesehatan ).

    Salam sukses.

    BalasHapus