Tidak ada manusia yang sempurna. Dalam hidupnya pasti manusia pernah berbuat salah, baik disengaja maupun tidak disengaja. Demikian pula saya. Meskipun sudah bertindak sebaik mungkin, tetapi mungkin saja oleh orang lain itu dianggap tidak baik. Berbuat baikpun dapat dianggap oleh orang lain itu tidak baik. Kadang serba salah. Marahpun tidak ada gunanya. Kemarahan bukan menyelesaikan masalah, tetapi dapat menambah masalah.
Kejadian ini sekitar 3 bulan yang lalu.
Dalam suatu Rapat Bulanan Pengurus Panti Wreda Kasih dimana saya melayani kesehatan para warga PWK setelah membahas masalah rutin, saya bertanya kepada semua Pengurus yang hadir ( sekitar 12 orang ).
Pertanyaan saya adalah “Kalau saya ( dokter Panti ) sakit dan perlu minum obat, bolehkah saya menulis Resep obat dan biayanya ditanggung Panti?”
Terdengar suara gaduh. Ada yang Pro dan ada yang Kontra.
Terdengar suara seorang Ibu “Ah..jangan jangan Dok. Moso dokter tidak punya uang sehingga minta dibayarin Panti!”
Terdengar suara seorang bapak “Ya boleh, asal…” ( maksudnya asal jangan terlalu besar ).
Semua yang hadir melihat wajah saya. Saya tenang saja.
Setelah hening sejenak saya berkata “Ibu dan Bapak sekalian, pertanyaan saya bukan apakah saya punya uang atau tidak, tetapi boleh atau tidak kalau saya sakit diberi obat oleh Panti via Apotik”
Tidak ada yang menjawab.
Saya ulangi lagi pertanyaan saya “Kalau saya sakit, bolehkah saya bikin resep obat ke Apotik dan dibayar oleh Panti? Pilihannya tentu obat Generik dengan harga yang terjangkau”
Akhirnya Pak T, selaku Ketua Pengurus PWK, menyetujui dn mengijinkan saya memperoleh obat dari Apotik langganan PWK.
Pak T bertanya “Mengapa sih Dok?”
Saya menjelaskan lebih lanjut
“Begini Bapak dan Ibu sekalian. Saya bicara realistis saja. Kita semua selaku Pengurus PWK bekerja dengan prinsip sukacita dan ikhlas. Tidak pernah digaji dan tidak pernah minta gaji, karena kita semua bukan karyawan. Kita hanya melayani yang bersifat nonprofit.
Kalau suatu waktu saya sakit Flu misalnya. Tentu saya ingin agar lekas sembuh dengan minum obat. Obat tidak diminum karena tidak ada obat. Minta juga tidak diberi. Hari Jum’at saat saya tidak bisa datang ke PWK untk memeriksa warga PWK. Akibatnya warga PWK tidak dapat menerima obat / vitamin sebab jatah obat seminggu sudah habis. Bagi yang sakit tidak dapat menerima obat sebab dokter tidak hadir karena sakit. Lalu kerugian akan bertambah banyak. Hari Jum’at berikutnya begitu juga sebab dokter masih sakit. Kerugian makin membesar. Lalu yang rugi siapa dan mengapa?
Kalau saya datang juga meskipun masih Flu, ini akan menularkan Flu kepada warga Panti yang sudah lanjut usianya sehingga mudah terkena Flu juga. Akibatnya makin banyak yang sakit. Yang rugi siapa dan mengapa?
Itulah sebabnya saya bertanya apakah saya boleh mendapat obat yang dibayar PWK?
Sekarang saya bicara secara ekonomis:
Saya perhatikan selama 2 tahun terakhir dari Laporan Keuangan Bendahara, pengeluaran obat-obatan bagi warga PWK sebanyak 12 orang ( diluar biaya Pemeriksaan Laboratorium atau biaya perawatan di Rumah Sakit ) berkisar antara Rp. 1,4 – Rp. 2,8 juta/bulan. Kalau dibagi rata per warga PWK sekitar Rp. 200.000,-/bulan yang masih masuk akal untuk memelihara kesehatan Opa dan Oma yang rata-rata sudah sepuh. Kalau saya bikin resep untuk pribadi sebagai anti Flu tentu tidak akan sebesar itu biayanya. Rasanya ini masih masuk akal juga. Begitulah penjelasan saya, Pak”
Semua yang hadir akhirnya menyetujui dan mengijinkan saya mendapat jatah obat kalau diperlukan.
Minggu depan berikutnya, saya membuat resep 3 macam obat yang rutin saya minum rutin sebab logistik sudah habis. Saya perkirakan harganya sekitar Rp. 150.000,- untuk 3 macam obat sebanyak a 30 tablet jatah untuk 1 bulan.
Sore hari petugas Apotik mengirim obat ke rumah kami. Saya berterima kasih.
Anehnya setelah saya menerima bungkusan 3 macam obat tsb saya menjadi gelisah dan bertanya-tanya kepada diri sendiri ”Apakah saya sudah bertindak salah? Kalau salah, kan Pengurus sudah mengjinkan. Lalu mengapa merasa bersalah?”
Gelisah tidak kunjung reda. Malampun tiba, isteri saya sudah terlelap tidur, saya masih belum dapat tidur. Insomnia menyerang saya sampai pukul 02.30 saya masih belum terlelap.
Saya membatin ”Mengapa jadi begini ya? O..Tuhan mengapa begini? Ampuni saya kalau saya sudah berbuat salah.” Saya minum 1 tablet obat penenang. Saya tertidur juga. Pukul 05.00 alarm HP yang saya setting berdering setiap pk. 05.00 pagi ( wake up ). Saya terbangun dan sudah waktunya untuk bangun untuk melakukan pekerjaan rumah tangga rutin sebab kami tidak mempunyai Maid yang pulang mudik dan belum kembali bekerja.
Untuk mencegah tidak terulang lagi kejadian ini, sejak saat itu saya lebih baik membeli obat yang dibayar sendiri dan tidak minta dibayarin oleh pihak lain.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar