Senin, September 07, 2009

Terima kasih (2)


Tadi pagi Ny. C, 69 tahun datang berobat. Pasien saya ini sudah menjadi langganan. Ia diantar oleh putranya, Tn. H, 43 tahun.

Keluhannya seperti layaknya pasien yang sudah sepuh, nyeri pada kedua lututnya sejak 1 bulan yang lalu, obs. Arthralgia genu.

Untuk  berbaring di atas bed pemeriksaan yang  agak tinggi dari permukaan lantai, saya sediakan sebuah bangku kecil ( dingklik, bhs Jawa ) sebagai tempat injakan kaki ketika akan naik ke bed tadi.

Ketika  pasien sepuh akan diperiksa atau sesudah diperiksa, saya turut membantu, paling tidak mendampingi para pasien untuk baik / turun dari bed.

Pagi itu seperti biasa saya melakukan hal yang rutin itu bagi saya. Putranya tenang-tenang saja duduk manis di kursi, membiarkan sang dokter ( saya ) membantu ibunya  naik dan turun dari bed pemeriksaan. Mestinya  anggota keluarganya yang melakukannya, Karena saya tidak mempunyai perawat untuk hal itu. Saya pikir itu hal yang sudah sepatutnya dilakukan saya.

Ny. C merasa  terbantu oleh tindakan saya dan dengan wajah yang  cerah berkata “Terima kasih, Dokter sudah membantu saya.”

Saya menjawab “Tidak apa-apa Tante. Saya bantu agar Tante mudah naik dan turun dari bed ini.”

Alasan yang paling utama sebenarnya bukan ingin mendapat ucapan terima kasih dari pasien-pasien  saya ketika naik & turun dari bed, tetapi ada alasan lain yaitu saya khawatir kalau-kalau ( belum pernah terjadi sih ) mereka terjatuh dan karena tulang sudah keropos terjadilah patah tulang leher tulang paha ( fracture collum femoris ).

Patah tulang ini akan sangat menyakitkan pasien lansia, perlu biaya terapi  yang cukup mahal, sekitar 20 jutaan. Dari pada saya di klaim oleh keluarga pasien, lebih baik saya mencegahnya dengan membantu ( diminta atau tidak ) para pasien lansia naik & turun dari bed pemeriksaan tadi. Alasan itulah yang tidak dimengerti oleh mereka.

Semoga tidak ada pasien saya yang menderita ketika naik dan turun bed pemeriksaan. Amin.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar