Selasa, September 15, 2009

Menyalahkan KB


 Kisah nyata ini sudah lama terjdi, tetapi bila saya berhadapan dengan Ibu akseptor ( peserta ) KB ( Keluarga Berencana ), kisah ini muncul kembali dari memori saya.

Tahun 1980-an, program KB merupakan program Kesehatan di Puskesmas yang paling ngetop. Pemerintah R.I. dengan gencar meghendaki agar program Nasional KB ini berhasil. Tidak heran bila ada petugas Kesehatan dari Negara-negara Afrika mengunjungi R.I. untuk study banding dalam program KB. Pemerintah menghendaki KB sukses agar laju pertambahan penduduk dapat diperkecil. Government pressure demikian gencarnya sehingga PNS yang anaknya lebih dari 2 orang, jangan harap dapat dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi.

Target program KB yang cukup tinggi kadang sulit dicapai pada daerah-daerah tertentu dalam wilayah kerja ( kecamatan ) tiap Puskesmas.

Pasangan Bapak dan Ibu Madi ( bukan nama sebenarnya ) mempunyai 4 orang anak ( 8, 6, 4 dan 2 tahun ). Bapak dan Ibu M jelas merupakan target KB di Puskesmas kami. Motivasi yang dilakukan petugas KB akhirnya membuahkan hasil. Ibu M mengikuti KB dengna cara suntik 3 bulan sekali.

3 bulan berlalu dan awal bulan ke 4 Bpk dan Ibu M membawa putra yang umur 4 dan 2 tahun ke Puskesmas. Bpk. M marah-marah kepada petugas di loket pendaftaran pasien.

Bpk M bicara dengan suara cukup keras “Mana Dokternya? Isteri saya ikut KB, tapi anak-anak kami bukannya menjadi sehat tetapi malah sakit Muntaber. Saya tidak terima!”

Pasien-pasien di ruang tunggu Puskesmas menghindar, khawatir terjadi keributan.

Mendengar suara gaduh, saya minta kepada seorang petugas, agar Bpk dan Ibu M segera masuk ke ruang pemeriksaan, dimana saya bekerja.

Saya bertanya kepada Bpk dan Ibu M  “Met pagi, Bapak dan Ibu. Bisa saya Bantu?”

Pak M berkat dengan nada masih sewot “Dok, program KB kan untuk menyehatkan masayarakat.”

”Betul sekali, Pak” kata saya.

“3  bulan yang lalu isteri saya disuntik KB, tapi tadi pagi kedua putra kami sakit Muntaber.

Saya akhirnya paham duduk persoalnnya.

Masih dengan sabar, saya lalu bertanya “Pak, yang ikut KB siapa dan yang sakit Muntaber siapa? Sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara keikutsertaan KB isteri Bapak dengan sakitnya kedua putra Bapak. Ibu yang disuntik atau tidak disuntik KB, bisa saja anak-anaknya sakit Muntaber.”

Pak M masih belum mau menerima argumentasi saya.

“Kalau iteri saya tidak disuntik KB, mungkin kedua anak saya tidak Muntaber” kata Pak M.

Ya Tuhan, kok menyalahkan KB sih. Saya pakai pemecahan masalah yang win-win solution sajalah.

Selanjutnya saya berkata kepada Pak & Ibu  M “Baiklah, saya mengerti masalah Bapak dan Ibu. Kedua putra Bapak kami periksa dan diberi obat. Tidak usah bayar alias gratis untuk kali ini”

Mendengar “gratis”, wajah Pak M menjadi cerah, secerah matahari siang itu di daerah Pantura ( Pantai Utara ) P. Jawa.  Pak M tidak marah-marah lagi.

---

Ikut suntik KB alasannya dipaksa-paksa petugas. Jadi kalau keluarganya sakit, pak M seolah-olah menuntut diberi pelayanan kesehatan kalau bisa ya gratis gitu.

Beruntung pikiran saya masih jernih sehingga menemukan solusi terbaik. Win-win solution.

Masih ada beberapa kisah “lucu” seputar program KB yang saat ini sudah longgar, kurang mendapat perhatian lagi. Rupanya sudah tergeser dengan masalah: HIV/AIDS, Narkoba, Flu Burung, Flu Babi dll.

---

Pesan moral:

1. Untuk berbuat kebaikan, kadang-kadang masih sulit dilakukan.

2. Mencari kesalahan orang lain mudah dilakukan, tetapi mencatat kebaikannya sering  kali sulit dilakukan.


 

2 komentar:

  1. Ada-ada aja. Saya bisa paham kalau ibu yg ikut KB kena muntaber, si bapak {dengan bodohnya} protes. Tapi ini anaknya? Duh.

    BalasHapus
  2. To Kencana,

    Mereka bertindak seperti itu, sering kali ada maunya sih.

    Salam

    BalasHapus