NATO, No Action Talk Only. Banyak omong, tapi tidak berbuat apa-apa. Judul artikel kali ini agak unik.
Pagi ini saya terbangun pada pukul 04.00 untuk b.a.k. Setting jam biologis saya tidak seperti biasanya. Saya biasa terbangun pukul 05.00. Alarm dalam tubuh saya berbunyi lebih cepat. Setelah b.a.k. saya tidak dapat tidur kembali. Pikiran saya terusik akan sikap keluarga yang memanggil saya karena Ibu mereka dalam keadaan kritis tetapi ending cerita seperti judul artikel kali ini.
Tanggl 11 April pukul 09.00 saya kedatangan sebuah keluarga ( anak dan cucu ) naik mobil, minta dengan sangat agar saya dapat menengok Ibunya yang sakit.
Saat itu mobil Gereja kami sudah menunggu saya untuk mengantar saya ke Panti Wreda Kasih yang rutin saya lakukan. O.k. saya diantar mobil ini mengunjungi rumah mereka yang berjarak hanya 200 meter dari tempat praktek pagi saya.
Ketika tiba di rumah mereka saya melihat, sesosok tubuh wanita, usia 80 tahun berada dalam sebuah kamar tidur berAC, kamar yang berukuran 3 kali 4 meter itu yang cukup nyaman. Ny. H. ini dalam keadaan tidak berdaya, terdengar suara pernafasan yang tampaknya ada banyak lendir dalam saluran pernafasan yang perlu segera disedot agar udara pernafasan dapat keluar-masuk ke dalam paru-parunya.
Reflex pupil ( anak mata ) sudah lemah, kontak dengan pasien tidak ada, Pasien dalam keadaan Sopor, suatu keadaan menjelang Koma. Tekanan darah 110/80 mmHg, denyut Jantung teratur, tetapi Paru-paru mengalami banyak gangguan akibat banyak lendir di dalam saluran nafasnya.
Saya segera memberitahukan bahwa Ibu mereka dalam keadaan kritis dan perlu mendapat pertolongan secepatnya dengan mengirim ke Rumah Sakit. Para anak dan cucu mengatakan ingin berunding dulu.
Baik, tapi berunding jangan lama-lama. Segera saya membuat Surat Rujukan ke sebuah Rumah Sakit terdekat.
Saya segera meluncur ke Panti Wreda Kasih untuk memeriksa kesehatan para warga Panti. Pukul 12.00 saya sudah kembali ke rumah dan segera menikmati makan siang kami. Pukul 12.15 keluarga ( anak dan cucu ) Ibu H datang ke rumah kami dan minta tolong untuk melihat Ibu mereka di rumahnya yang katanya sudah tidak bernafas.
Saya bilang saya sedang makan siang. Tunggu dulu. Saya akan ikut mobil mereka.
Ketika santap siang sudah selesai dan saya siap pergi ke rumah meraka, di depan rumah kami, mobil mereka sudah tidak ada. Saya dibiarkan pergi ke rumah mereka, tanpa mereka jemput. Sepertnya mereka hanya ingin menerima ( pertolongan saya ) tetapi tidak mau memberi ( tumpangan bagi saya ). Keluarga ini emang tidak tahu etika dalam pergaulan, padahal mereka ingin meminta bantuan saya.
Semula saya akan balik kanan masuk ke rumah kami kembali, tetapi sudah kepalang tanggung. Mau menolong orang jangan tanggung-tangung. Segera saya pinjam mobil kantor isteri saya untuk pergi ke rumah mereka.
Astaga sejak pukul 09.00 mereka akan berunding tetapi tidak ada tindakan apa-apa terhadap Ibunya yang sakit berat. Benar-benar NATO.
Mereka sepertinya tidak mau bertindak apa-apa lagi terhadap Ibunya. Ibunya memerlukan bantuan para anak-anak dan cucunya tetapi mereka membiarkan Ibunya pergi ke rumah Bapa sendirian. Alasan ingin berunding dahulu sebelum membawanya ke Rumah Sakit hanyalah basa-basi saja.
Saya pikir Surat Rujukan yang saya buat dengan susah payah akan mendapat respon, ternyata tidak. Lalu mengapa menanggil saya? Saya kan bukan Malaikat yang dapat berbuat lebih baik. Sebagai tenaga kesehatan kalau menghadapi pasien yang kritis wajib merujuk ke fasilitas yang lebih baik ( misalnya Rumah Sakit ) dari pada dibiarkan di rumah.
Sikap keluarga mereka acuh tak acuh terhadap Ibu mereka yang terbukti dari:
mereka tidak mendampingi saya ketika saya datang memeriksa tubuh Ibunya ( saya dibiarkan sendirian berdua dengan tubuh Ibu mereka. Ini saja sudah aneh. ) dan ketika saya datang untuk kedua kalinya, ketika saya memeriksa apakah sudah meninggal atau belum.
Yang lazim adalah keluarga pasien selalu mendampingi saya atau melihat tindakan apa yang saya lakukan bagi keluarga mereka yang sakit sampai perlu memanggil dokter datang ke rumah mereka.
Ny. H sudah meninggal dunia. Saya membuat sehelai Surat Keterangan Kematian, yang akan dibutuhkan untuk proses pemakaman, kremasi atau membuat Akte Kematian di Kantor Catatan Sipil.
Tugas saya sudah selesai ketika meninggal rumah mereka, tetapi rasa janggal dalam hati saya masih belum selesai. Mengapa mereka bertindak Nato terhadap Ibu mereka. Mereka lahir dari rahim Ibunya, tetapi kenapa mereka membiarkan Ibunya begitu saja menjelang kepergiannya tanpa ada usaha yang maksimal? Ini yang tidak habis pikir sampai saya terbangun dini hari untuk segera menulis artikel ini. Aneh tapi nyata.
Pagi ini saya terbangun pada pukul 04.00 untuk b.a.k. Setting jam biologis saya tidak seperti biasanya. Saya biasa terbangun pukul 05.00. Alarm dalam tubuh saya berbunyi lebih cepat. Setelah b.a.k. saya tidak dapat tidur kembali. Pikiran saya terusik akan sikap keluarga yang memanggil saya karena Ibu mereka dalam keadaan kritis tetapi ending cerita seperti judul artikel kali ini.
Tanggl 11 April pukul 09.00 saya kedatangan sebuah keluarga ( anak dan cucu ) naik mobil, minta dengan sangat agar saya dapat menengok Ibunya yang sakit.
Saat itu mobil Gereja kami sudah menunggu saya untuk mengantar saya ke Panti Wreda Kasih yang rutin saya lakukan. O.k. saya diantar mobil ini mengunjungi rumah mereka yang berjarak hanya 200 meter dari tempat praktek pagi saya.
Ketika tiba di rumah mereka saya melihat, sesosok tubuh wanita, usia 80 tahun berada dalam sebuah kamar tidur berAC, kamar yang berukuran 3 kali 4 meter itu yang cukup nyaman. Ny. H. ini dalam keadaan tidak berdaya, terdengar suara pernafasan yang tampaknya ada banyak lendir dalam saluran pernafasan yang perlu segera disedot agar udara pernafasan dapat keluar-masuk ke dalam paru-parunya.
Reflex pupil ( anak mata ) sudah lemah, kontak dengan pasien tidak ada, Pasien dalam keadaan Sopor, suatu keadaan menjelang Koma. Tekanan darah 110/80 mmHg, denyut Jantung teratur, tetapi Paru-paru mengalami banyak gangguan akibat banyak lendir di dalam saluran nafasnya.
Saya segera memberitahukan bahwa Ibu mereka dalam keadaan kritis dan perlu mendapat pertolongan secepatnya dengan mengirim ke Rumah Sakit. Para anak dan cucu mengatakan ingin berunding dulu.
Baik, tapi berunding jangan lama-lama. Segera saya membuat Surat Rujukan ke sebuah Rumah Sakit terdekat.
Saya segera meluncur ke Panti Wreda Kasih untuk memeriksa kesehatan para warga Panti. Pukul 12.00 saya sudah kembali ke rumah dan segera menikmati makan siang kami. Pukul 12.15 keluarga ( anak dan cucu ) Ibu H datang ke rumah kami dan minta tolong untuk melihat Ibu mereka di rumahnya yang katanya sudah tidak bernafas.
Saya bilang saya sedang makan siang. Tunggu dulu. Saya akan ikut mobil mereka.
Ketika santap siang sudah selesai dan saya siap pergi ke rumah meraka, di depan rumah kami, mobil mereka sudah tidak ada. Saya dibiarkan pergi ke rumah mereka, tanpa mereka jemput. Sepertnya mereka hanya ingin menerima ( pertolongan saya ) tetapi tidak mau memberi ( tumpangan bagi saya ). Keluarga ini emang tidak tahu etika dalam pergaulan, padahal mereka ingin meminta bantuan saya.
Semula saya akan balik kanan masuk ke rumah kami kembali, tetapi sudah kepalang tanggung. Mau menolong orang jangan tanggung-tangung. Segera saya pinjam mobil kantor isteri saya untuk pergi ke rumah mereka.
Astaga sejak pukul 09.00 mereka akan berunding tetapi tidak ada tindakan apa-apa terhadap Ibunya yang sakit berat. Benar-benar NATO.
Mereka sepertinya tidak mau bertindak apa-apa lagi terhadap Ibunya. Ibunya memerlukan bantuan para anak-anak dan cucunya tetapi mereka membiarkan Ibunya pergi ke rumah Bapa sendirian. Alasan ingin berunding dahulu sebelum membawanya ke Rumah Sakit hanyalah basa-basi saja.
Saya pikir Surat Rujukan yang saya buat dengan susah payah akan mendapat respon, ternyata tidak. Lalu mengapa menanggil saya? Saya kan bukan Malaikat yang dapat berbuat lebih baik. Sebagai tenaga kesehatan kalau menghadapi pasien yang kritis wajib merujuk ke fasilitas yang lebih baik ( misalnya Rumah Sakit ) dari pada dibiarkan di rumah.
Sikap keluarga mereka acuh tak acuh terhadap Ibu mereka yang terbukti dari:
mereka tidak mendampingi saya ketika saya datang memeriksa tubuh Ibunya ( saya dibiarkan sendirian berdua dengan tubuh Ibu mereka. Ini saja sudah aneh. ) dan ketika saya datang untuk kedua kalinya, ketika saya memeriksa apakah sudah meninggal atau belum.
Yang lazim adalah keluarga pasien selalu mendampingi saya atau melihat tindakan apa yang saya lakukan bagi keluarga mereka yang sakit sampai perlu memanggil dokter datang ke rumah mereka.
Ny. H sudah meninggal dunia. Saya membuat sehelai Surat Keterangan Kematian, yang akan dibutuhkan untuk proses pemakaman, kremasi atau membuat Akte Kematian di Kantor Catatan Sipil.
Tugas saya sudah selesai ketika meninggal rumah mereka, tetapi rasa janggal dalam hati saya masih belum selesai. Mengapa mereka bertindak Nato terhadap Ibu mereka. Mereka lahir dari rahim Ibunya, tetapi kenapa mereka membiarkan Ibunya begitu saja menjelang kepergiannya tanpa ada usaha yang maksimal? Ini yang tidak habis pikir sampai saya terbangun dini hari untuk segera menulis artikel ini. Aneh tapi nyata.
Saya sepertinya termasuk NATO Dok. :p
BalasHapusNgomong tok di BLoG tapi action di kenyataannya ndak ada. Huahahaha....
To PanDe Baik,
BalasHapusAh..engga juga.
Ngomong dalam hati, lalu kerja ngetik dan ngeBlog juga sebuah action. Kerja dengan hati, begitu kata Andi F. Noya dalam acara Kick Andy di Metro TV.
Mungkin hasilnya tidak dirasakan sendiri oleh PanDe, tetapi banyak Bloger yang banyak mendapatkan manfaat dari membaca Blog panDe.
Coba hitung aja sudah berapa banyak angka di Hitcounter Blog Pande.
He..he...lebih banyak dari pada angka di Hitcouter Blog saya.