Wow...ada pengemis keren. Pakai handsfree, jam tangan dll
Kalau penampilan pengemis seperti ini, siapa yang mau kasih sedekah?
****
Kemarin pagi ketika saya membeli Buah-buahan di sebuah pasar tradisionil, saya dihampiri oleh seorang pengemis wanita. Ketika terjadi tawar menawar harga sesisir Pisang, pengemis itu menyodorkan tangan meminta sedekah dari saya. Bila sedang melakukan suatu pekerjaan ( tawar menawar, sedang makan di warung makan dll ) kemudian datang pengemis yang nyelonong seenaknya tanpa basa-basi, rasa dongkol timbul. Apakah tidak bisa menunggu saya selesai, lalu meminta dengan rendah hati?
Rasanya sukar dilakukan. Maklum level pendidikan mereka juga rendah.
Saya merogoh saku celana saya. Ada sebuah koin Rp. 200,-, hanya satu koin yang tersisa. Saya berikan koin itu kepada sang pengemis. Ia bukannya berterima kasih atas pemberian itu, tetapi ia merengek meminta uang lagi.
Habislah kesabaran saya. Saya kerjain dia “Kalau tidak mau, sini kembalikan koin itu.” ( dalam bahasa daerah Cirebon ). Sang pengemis itu terkejut dan balik kanan meninggalkan saya.
Penjual Pisang berkata “Biasa Pak. Pengemis-pengemis itu selalu minta uang lebih banyak. Mereka sudah keterlaluan.”
Beberapa tahun yang lalu ketika kami sekeluarga makan disebuah Rumah Makan di sebelah sebuah Mall, datang seorang bocah laki mengemis. Saya beri sebuah koin Rp. 500,- Dia menerima koin itu dan melihat berapa harganya. Ketika ia mengetahui bahwa koin itu Rp. 500,- an dia langsung melemparkannya. Saya naik pitam, lalu berteriak “Hei, sini.”
Bocah itu melarikan diri, mengindar kejaran saya. Astaga.....sudah diberi uang, bukan berterima kasih tetapi ia tidak menghargai sebuah pemberian. Berapapun pemberian itu kalau dikumpulkan dalam sehari pasti ia mendapat sejumlah uang yang lumayan besarnya hanya dengan menyodorkan tangan mengemis, tanpa bekerja keras. Dia toh tidak mau menerimanya. Maunya diberi uang yang besar. Lalu siapa yang akan memberi uang besar kepada seorang pengemis? Huh…
Mental pengemis saat ini sudah salah kaprah.
Ikutilah kisah lain yang jauh lebih wah.
Ketika Pak Harto masih menjadi Presiden R.I. suatu pagi datanglah seorang perempuan tua ke tempat praktek saya. Dia teriak-teriak meminta sedekah. ( minta sedekah dengan cara berteriak saja sudah salah besar ).
Saya keluar ingin mengetahui siapakah yang teriak teriak pada pagi hari itu?
Ternyata dia adalah seorang pengemis wanita tua dengan pakaian yang lusuh.
Saya menyodorkan sebuah koin Rp. 500,- ( biasanya cukup dengan Rp. 100,- para pengemis sudah berterima kasih ).
Perempuan tua itu menerima koin itu dan ketika mengetahui koin itu Rp. 500,- ia segera melemparkannya ke hadapan saya dan ia berteriak “Dasar antek-antek Suharto.”
Lalu ia berteriak-teriak yang tidak jelas artinya.
Saya malas meladeninya. Sudah diberi uang, lalu marah-marah. Lagi pula apa hubungannya saya dengan Pak Harto? Nama Presiden kok dibawa-bawa ketika mengemis.
Saya segera menutup Ruang Tunggu dan membatin “Jangan-jangan dia Orgil, orang gila ” Huh....pagi yang menyebalkan. Siapa sih yang mau dijuluki antek-antek Suharto. Saya jadi Mentri bukan! Jadi Pejabat juga bukan! Diberi uang kok jadi marah-marah, lalu maunya apa??
Sesaat kemudian saya mendengar dia teriak-teriak di tengah jalan raya dan tertawa cekikikan. Ah….dugaan saya benar, ternyata ia Orgil.
Berurusan dengan orang gila tidak ada menangnya. Vonis Hakim di Pengadilan-pun tidak membawa dia ke Penjara tetapi ke Rumah Sakit Jiwa. Sebenarnya dia orang sakit ( sakit jiwa ) yang perlu dikasihani dan diberi pengobatan, tetapi siapa yang peduli?
***
Saat ini ada banyak pengemis, lebih-lebih pada masa resesi seperti ini.
Di. P. Bali saya tidak pernah bertemu dengan pengemis, baik di tempat-tempat umum maupun tempat pariwisata.
2 kali kunjungan saya ke P. Bali pada tahun 1979 dalam rangka Bulan Madu dan tahun 2005 ketika Piknik bersama teman-teman SMA, saya tidak bertemu dengan pengemis.
Memang ada banyak anak-anak / dewasa yang mendekati kami, tapi bukan untuk mengemis tetapi untuk menawarkan barang dagangannya yang berupa kerajinan tangan, foto-foto pemandangan Bali dll. Mereka berkata “Buy me, Sir”, maksudnya belilah dagangan saya, Tuan.
Jadi mereka ingin memberikan sesuatu kepada para pengunjung dan ingin mendapatkan sesuatu ( uang ) dari kita.
Sedangkan para pengemis disini, hanya ingin mendapatkan sesuatu ( uang ) tanpa mau memberikan sesuatu.
Mengapa di P. Bali tidak ada pengemis? Kita dapat bertanya kepada Pande Baik, teman Bloger saya yang orang Bali asli yang saat ini berdomisili di kota Denpasar bersama keluarganya.
****
Kemarin pagi ketika saya membeli Buah-buahan di sebuah pasar tradisionil, saya dihampiri oleh seorang pengemis wanita. Ketika terjadi tawar menawar harga sesisir Pisang, pengemis itu menyodorkan tangan meminta sedekah dari saya. Bila sedang melakukan suatu pekerjaan ( tawar menawar, sedang makan di warung makan dll ) kemudian datang pengemis yang nyelonong seenaknya tanpa basa-basi, rasa dongkol timbul. Apakah tidak bisa menunggu saya selesai, lalu meminta dengan rendah hati?
Rasanya sukar dilakukan. Maklum level pendidikan mereka juga rendah.
Saya merogoh saku celana saya. Ada sebuah koin Rp. 200,-, hanya satu koin yang tersisa. Saya berikan koin itu kepada sang pengemis. Ia bukannya berterima kasih atas pemberian itu, tetapi ia merengek meminta uang lagi.
Habislah kesabaran saya. Saya kerjain dia “Kalau tidak mau, sini kembalikan koin itu.” ( dalam bahasa daerah Cirebon ). Sang pengemis itu terkejut dan balik kanan meninggalkan saya.
Penjual Pisang berkata “Biasa Pak. Pengemis-pengemis itu selalu minta uang lebih banyak. Mereka sudah keterlaluan.”
Beberapa tahun yang lalu ketika kami sekeluarga makan disebuah Rumah Makan di sebelah sebuah Mall, datang seorang bocah laki mengemis. Saya beri sebuah koin Rp. 500,- Dia menerima koin itu dan melihat berapa harganya. Ketika ia mengetahui bahwa koin itu Rp. 500,- an dia langsung melemparkannya. Saya naik pitam, lalu berteriak “Hei, sini.”
Bocah itu melarikan diri, mengindar kejaran saya. Astaga.....sudah diberi uang, bukan berterima kasih tetapi ia tidak menghargai sebuah pemberian. Berapapun pemberian itu kalau dikumpulkan dalam sehari pasti ia mendapat sejumlah uang yang lumayan besarnya hanya dengan menyodorkan tangan mengemis, tanpa bekerja keras. Dia toh tidak mau menerimanya. Maunya diberi uang yang besar. Lalu siapa yang akan memberi uang besar kepada seorang pengemis? Huh…
Mental pengemis saat ini sudah salah kaprah.
Ikutilah kisah lain yang jauh lebih wah.
Ketika Pak Harto masih menjadi Presiden R.I. suatu pagi datanglah seorang perempuan tua ke tempat praktek saya. Dia teriak-teriak meminta sedekah. ( minta sedekah dengan cara berteriak saja sudah salah besar ).
Saya keluar ingin mengetahui siapakah yang teriak teriak pada pagi hari itu?
Ternyata dia adalah seorang pengemis wanita tua dengan pakaian yang lusuh.
Saya menyodorkan sebuah koin Rp. 500,- ( biasanya cukup dengan Rp. 100,- para pengemis sudah berterima kasih ).
Perempuan tua itu menerima koin itu dan ketika mengetahui koin itu Rp. 500,- ia segera melemparkannya ke hadapan saya dan ia berteriak “Dasar antek-antek Suharto.”
Lalu ia berteriak-teriak yang tidak jelas artinya.
Saya malas meladeninya. Sudah diberi uang, lalu marah-marah. Lagi pula apa hubungannya saya dengan Pak Harto? Nama Presiden kok dibawa-bawa ketika mengemis.
Saya segera menutup Ruang Tunggu dan membatin “Jangan-jangan dia Orgil, orang gila ” Huh....pagi yang menyebalkan. Siapa sih yang mau dijuluki antek-antek Suharto. Saya jadi Mentri bukan! Jadi Pejabat juga bukan! Diberi uang kok jadi marah-marah, lalu maunya apa??
Sesaat kemudian saya mendengar dia teriak-teriak di tengah jalan raya dan tertawa cekikikan. Ah….dugaan saya benar, ternyata ia Orgil.
Berurusan dengan orang gila tidak ada menangnya. Vonis Hakim di Pengadilan-pun tidak membawa dia ke Penjara tetapi ke Rumah Sakit Jiwa. Sebenarnya dia orang sakit ( sakit jiwa ) yang perlu dikasihani dan diberi pengobatan, tetapi siapa yang peduli?
***
Saat ini ada banyak pengemis, lebih-lebih pada masa resesi seperti ini.
Di. P. Bali saya tidak pernah bertemu dengan pengemis, baik di tempat-tempat umum maupun tempat pariwisata.
2 kali kunjungan saya ke P. Bali pada tahun 1979 dalam rangka Bulan Madu dan tahun 2005 ketika Piknik bersama teman-teman SMA, saya tidak bertemu dengan pengemis.
Memang ada banyak anak-anak / dewasa yang mendekati kami, tapi bukan untuk mengemis tetapi untuk menawarkan barang dagangannya yang berupa kerajinan tangan, foto-foto pemandangan Bali dll. Mereka berkata “Buy me, Sir”, maksudnya belilah dagangan saya, Tuan.
Jadi mereka ingin memberikan sesuatu kepada para pengunjung dan ingin mendapatkan sesuatu ( uang ) dari kita.
Sedangkan para pengemis disini, hanya ingin mendapatkan sesuatu ( uang ) tanpa mau memberikan sesuatu.
Mengapa di P. Bali tidak ada pengemis? Kita dapat bertanya kepada Pande Baik, teman Bloger saya yang orang Bali asli yang saat ini berdomisili di kota Denpasar bersama keluarganya.
Hohoho... Jangan Salah Pak Dokter.
BalasHapusBali, khususnya Kota Denpasar kini sudah mirip-mirip dengan Kota Jakarta. Dimana disetiap Perempatan besar, hampir selalu ada yang namanya :
- Pengamen
- Pedagang Asongan
- Pengemis (biasanya anak-anak)
Bahkan, disalah satu Kabupaten di Bali, yaitu Karangasem, ada satu desa yang hampir sebagian besar profesi penduduknya itu adalah 'Pengemis. Ini diakui oleh Kepada Desa setempat.
Biasanya mereka ini akan selalu kembali ke Denpasar, beberapa hari setelah 'digaruk Satpol PP dan dipulangkan. Uniknya, mereka akan menampakkan diri dengan sukarela -agar ditangkap oleh Satpol PP- begitu Hari raya tiba. Tujuannya tentu saja, Transportasi Gratis untuk Pulang ke Kampung Halaman.
Kira-kira Begitu Dok. :p
To PanDe Baik,
BalasHapusMakasih infonya. Wah... rupanya jadi Pengemis ini sudah mendunia.
Di Kota Sydney juga saya sering melihat laki-laki yg sudah dewasa, pakaian kumal, duduk di trotoir menunggu sebuah topi kumal. Pejalan kaki dapat memasukkan koin sebagai sedekah.
Pengemis, pengamen atau semacamnya adalah kumpulan orang-orang yang nggak mau berusaha tapi mau hidup enak???
BalasHapusGimana Indonesia mau maju jika orang-orangnya masih banyak yang seperti ini???
Pak Pande: Saya fans-nya Bali lho.. Hehe.. Kadang saya suka melihat pengemis juga di Bali, namun karena seringnya saya tinggal di Kuta yg daerah wisata jadi jarang melihatnya. Sampai sekarang Bali tetap pulau yg indah, meski banyak kemajuan tapi tetap indah.
BalasHapusDr.Basuki:
1. Saya tidak mau PTT di Bali. Biarlah Bali menjadi tempat yg spesial u/ menghilangkan kepenatan ya, Doc. Hehe.. Khusus, the one and only.
2. Di JKT, Rp 500,00 u/ pengemis sudah bisa dibilang cukup. Kan mereka ke mobil-mobil yang lain juga. Kalau sampai dikasih uang segitu lalu ngedumel, ya namanya pengemis tidak tahu terima kasih. Betul ya, Dok?
To Rudy,
BalasHapusPenyebabnya adalah: mental yang inginnya diberi saja dan lapangan kerja yang sangat terbatas shg susah cari kerja.
Kalau begitu sebaiknya membuat lap. pekerjaan sendiri, spt: tukang tambal ban, bikin kerajinan tangan dengan daur ulang barang bekas dll.
Omset pengemis yang rajin kalau dihitung di Jkt cukup banyak. Bisa Rp. 30.000,- /hari atau lebih.
Yg paling menyakitkan adalah mencari dan menampung anak-anak utk dijadikan pengemis, di drop disuatu tempat dan dijemput sore hari. Mereka hanya diberi makan seadanya oleh bandarnya. Keterlaluan.
To Jodi Visnu,
BalasHapusNanti kalau sudah diwisuda dan mau ambil PTT cari tempat yg cocok agar dpt bekerja dg tenang.
Tentang Pengemis: sekarang makin hari makin banyak jumlahnya. Seharusnya ada solusinya dari Pemerintah pusat / daerah, tapi nyatanya spt nya tidak diperhatikan shg sering kali malu-maluin kita thd wisman yg datang ke R.I. Belum lagi banyak pengemis yang ber-krah putih.
wah, kayak di tempatku nih, di ngruki tiap hari selasa. pengemis disiplin siap mengunjungi Anda. merekalah Tamu Kehormatan tiap hari selasa. hahaha...
BalasHapusJaman sudah berubahkah?
BalasHapusKalau diminta, saya beri.
Kalau sudah diberi, lalu minta lebih banyak lagi, ini namanya apa ya?
Makasih sudah berkunjung dan beri komentar.