Minggu, Februari 01, 2009

Ketinggalan Dompet


Kisah ini terjadi sudah lama, sekitar 5 tahun yang lalu.

Suatu malam sekitar pukul 22.30 rumah kami di ketok seseorang. Saya melihat ada seorang Ibu yang membawa seorang anak Balita. Udin ( bukan nama sebenarnya ), usia 3 tahun, putra Ibu Aminah ( bukan nama sebenarnya ).

Saya bertanya kepada Ibu A “ Ada keperluan apa Bu?” ( tidak semua tamu yang datang akan berobat apalagi sudah larut malam begini, mungkin ada maksud lain ).

Ibu A menjawab dengan sopan “ Met malam Dok. Maaf saya menggangu, putra saya sakit demam dan berak-berak.”

Saya tidak sampai hati untuk menolak permintaan Ibu A.
Setelah saya persilahkan Ibu A dan putranya masuk ke Ruang periksa, saya segera melakukan tanya jawab ( anamnesa ) dan melakukan pemeriksaan fisik Udin. Suhu badannya cukup tinggi, turgor kulit masih baik yang berarti belum ada tanda dehidrasi ( kekurangan cairan tubuh ). Saya membuat Diagnosa sebagai Enteritis acuta ( radang usus akut / mendadak ) tanpa dehidrasi.

Ketika saya menulis sebuah resep obat, saya mendengar suara khas ketika seseorang buang air besar dan tercium bau tidak sedap. Oh.... rupanya Udin b.a.b di atas bed pemeriksaan. Ibu A segera mengangkat Udin dari bed, tanpa banyak bicara. Tampaknya Ibu A ingin membuktikan bahwa Udin benar menderita diare. Tidak ada upaya Ibu untuk sekedar membersihkan cairan tinja diatas bed.

Saya memberikan resep obat yang dapat dibeli di Apotik 24 jam di kota Cirebon.
Ketika Ibu A menerima resep obat tsb, berkata “Aduh, dompet saya ketinggalan Dok. Saya panik anak saya diare dan langsung membawanya ke rumah Dokter.”

Saya berpikir dalam hati, kalau tidak bawa dompet lalu bagaimana Ibu A ini membayar jasa Tukang Beca yang membawanya ke rumah kami dan nanti bayar harga obat di Apotik?

Saya ingin agar pasien saya segera pulang.
Lalu saya berkata “ Tidak apa-apa Bu. Besok atau lusa kalau kebetulan Ibu lewat rumah kami, titipkan saja uang biaya periksanya kepada orang di rumah kami ( pembantu atau isteri saya ).

“Baik, Dok, besok akan saya antarkan uang periksanya.” tanpa bertanya berapa yang harus ia bayarkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, Ibu A dan Udin meninggalkan rumah kami dengan naik Becak yang sejak tadi menunggu. Segera saya membersihkan bed periksa dengan lap dan cairan lisol. Setelah membersihkan tangan saya duduk di kursi dan merenung.

Kok ada ya orang seperti Ibu A tadi.
Malam-malam minta tolong, anaknya b.a.b di bed tanpa mau membersihkan, pura-pura tidak bawa uang atau tidak mau bayar? Malam ini bukannya dapat duit, malah dapat kerjaan lagi. Dibalik kekesalan saya, saya berharap semoga Udin segera sembuh dari penyakitnya. Amin.

Oleh karena Ibu A berjanji akan membayar, maka setiap hari saya bertanya kepada pembantu saya, apakah ada seseorang yang menitipkan uang sebagai biaya periksa? Jawabnya “Belum, Pak”.

Saya tunggu sehari, seminggu, sebulan, setahun, uang itu tidak tidak juga datang. Saya sudah, mau apa lagi. Alamat pasien juga palsu.

Teman Sejawat saya yang buka praktik di tempat lain, sering bertanya sebelum memeriksa pasiennya “ Ibu/Bapak bawa uang berapa?”. Rasanya pertanyaan itu tidak etis. Kalau ia tidak bawa uang, apakah pasiennya akan diusir? Saya tidak tega berbuat seperti itu.

8 komentar:

  1. Anonim12:44 PM

    Istri saya punya pengalaman agak mirip Dok. Ada tetangga yang memeriksakan giginya ke tempat praktek istri saya. Setelah diperiksa, ada beberapa gigi yang lubang. Dijelaskan oleh istri saya bahwa ada sekian jumlah gigi yang perlu ditambal, dengan biaya sekian. Tindakan penambalan disetujui oleh si pasien. Setelah selesai semuanya, pada waktu mau membayar, si pasien mengatakan bahwa uangnya kurang, dengan dalih tadi dia salah hitung. Kekurangannya cukup besar. Akhirnya istri saya mengatakan, "Ya sudah dibawa dulu aja Bu. Kekurangannya kapan2 saja tidak apa, toh tetangga, kan gampang."
    Sekarang sudah lebih dari setengah tahun berlalu, dan kekurangannya belum terbayar. Diamati oleh petugas pendaftaran di tempat praktek istri saya bahwa si pasien sekarang tidak lagi pernah berjalan lewat depan tempat praktek, selalu mengambil jalan memutar.
    Kalau dibayang2kan kejadian berjalan memutar itu, kami sampai geli, walau terselip jengkel juga.

    BalasHapus
  2. To Albert: Awalnya jengkel juga, akhirnya saya ikhlaskan saja. Tuhan memberi berkat kepada saya dalam bentuk yg lain yg tdk dapat dinilai dg materi. Makasih sudah berkunjung. Salam sukses.

    BalasHapus
  3. Anonim8:56 PM

    Huahuahauaha.... Inilah asyiknya punya BLoG. Bisa menceritakan pengalaman unik yang bisa dibaca oleh siapapun mereka, termasuk saya yang notabene merupakan salah satu pasien dari para Dokter hebat negeri ini. Bolehlah ini menjadi satu kritik yang membangun bagi para pasien seperti saya kelak.

    BalasHapus
  4. He..he.. kok tega ya membohongi dokter. Sudah sekolahnya mahal, lama sekolahnya lagi. Bila berobat tidak mau bayar lagi. Kalau ada banyak yang tidak bayar, bagaimana dapat bayar Pajak Penghasilan??

    BalasHapus
  5. Mbok ya ,kalo tidak mau bayar tidak usah bohong ya Dok. Dokter kan pasti juga punya hati nurani untuk mendahulukan menolong manusia/ pasiennya daripada pembayarannya sesuai dengan sumpahnya dahulu. Tapi kenyataannya sekarang ini saya prihatin melihat di media massa banyak rakyat miskin yang tak mampu membayar ditolak oleh rumah sakit dengan berbagai alasan administrasi. Itu sebabnya sekarang banyak masyarakat miskin lari kepada hal2 gaib yang mudah dijangkau oleh kantong mereka seperti pengobatan batunya Ponari.
    Ter-la-lu!

    BalasHapus
  6. To Happycook70: Saya lebih suka kalau jujur bilang apa adanya, kalau tdk punya uang, tdk mungkin saya akan mengusirnya. Mungkin sekali saya akan layani dan juga beri uang utk beli obat di Apotik.( beberapa kali pernah terjadi. Saya pernah bilang kpd salah 1 perwakilan perush. obat. "Kalau saat ini ada 10 anak spr Ponari, mungkin sekali pabrik obat dan Dokter gulung tikar." Ia tertawa terbahak-bahak. Finally Ponari saat ini sdh gulung tikar duluan. Habis enggak bener sih. Masyarakat aja yg sdh tersugesti shg berpikir tidak rasional. Mosok air comberan rumah Ponari diambil dan dioleskan ke seluruh badan. huh....

    BalasHapus
  7. Si Ibu A keterlaluan juga. Entah dia miskin atau sebenarnya berkecukupan tapi "pura-pura" lupa bawa dompet.

    That's why some people should never have children.

    BalasHapus
  8. To Kencana,

    Iya sudah mau apa lagi. Saya membatin, mungkin belum rejeki saya.

    Salam

    BalasHapus