Selasa, Februari 03, 2009

Nama anda siapa?


Bila isteri saya, yang juga dokter umum sedang berada di luar rumah, saya sering menerima telepon yang kadang-kadang menjengkelkan.

Apa masalahnya?
Nama, ya nama si penelpon.

Hampir setiap hari telepon di rumah kami berdering, baik hari Minggu / libur atau hari kerja. Mungkin dianggap kami buka praktek 24 jam sehari, padahal tidak demikian.

Terdengar suara wanita “Halo, ini rumah dokter H ( isteri saya ).”
“Betul.” Jawab saya.
“Ibu Dokternya ada, Mas?” ( saya dianggap pembantu ibu dokter ).
“Anda jangan panggil saya Mas.”
“Lho emang anda siapa?” sipenelepon.
“Saya dokter B, suami ibu dokter. Anda siapa ya” jawab saya masih dengan ramah.
“Maaf dok, dokter ibu ada?” kaget juga si penelepon bahwa yang diajak bicara adalah Tuan tumah.
“Isteri saya sedang keluar, ibu dokter belum pulang kantor. Anda siapa ya” saya ingin tahu siapa nama si penelopon kalau saya ditanya isteri saya, saya harus tahu siapa dan apa keperluannya?
“Saya, pasien Ibu dokter.”

Hampir saja telepon saya tutup, kalau tidak panjang sabar. Kalau ia menyebutkan sebuah nama misalnya Siti Aminah atau nama lain, saya juga tidak tahu, apakah itu nama sebenarnya atau nama asalan. Rupanya si penelepon malu namanya diketahui oleh saya.
Saya pikir masih wajarlah kalau saya tahu nama lawan bicara saya. Kalau sudah saya kenal, kami bisa bicara lebih akrab. Lain masalahnya kalau saya bertanya “berapa umur anda” kepada seorang wanita. Sering kali tidak diberi tahu atau dijawab sekenanya saja atau ia marah.
Umumnya wanita tidak mau diketahui umurnya oleh orang lain. Kalau ditanya nama, seharusnya menjawab. Sering kali orang mau menerima tetapi tidak mau memberi. Saya berprinsip: makin banyak memberi, makin banyak menerima. Memberi tidak harus berupa uang / materi, tetapi dapat berupa pelayanan medis yang nonprifit, perhatian, advis, menjadi pendengar yang baik apa yang mereka bicarakan dll

Contoh lain dering telepon yang menjengkelkan.
“Halo, Asiong, kamu ini bagaimana sih. Kapan barang pesanan saya mau dikirim? Sudah banyak pesanan nih.”
Saya jawab dengan sabar “ Halo juga. Sebenarnya anda mau bicara dengan siapa?
“Dengan Asiong.” Jawabnya ketus. Tidak ada sopan santun sama sekali dalam bertelepon. Ketuk rumah orang lalu bicara semaunya. Kalau mood saya sedang jelek, telepon langsung saya tutup dan kalau berdering-dering lagi saya cuekin saja.
“Maaf, saya bukan Asiong. Anda salah sambung nih.”
Ia dengan jengkel dan nada tinggi bertanya lagi “ Ini siapa?”
“Budi, Toko Roti.” Saya jawab sekenanya.
Klik….Telepon langsung terputus. Tidak ada ucapan maaf, apalagi terima kasih. Seharusnya kita meyakinkan dulu, apakah benar ini telepon / ponsel dari seseorang akan kita ajak bicara, sebelum bicara murah sepanjang hari ..seperti iklan sebuah operator ponsel.

Sering kali kita lupa. Kita sudah ketuk rumah orang lain, lalu bicara tidak dengan santun. Ada yang memberi advis: kalau kita bicara dengan lawan bicara kita, anggaplah seperti kita saat itu sedang bicara langsung dengannya, dengan tersenyum dan suara yang ramah.
Saya setuju. Ini lebih baik. Berbuat baik kepada orang-orang lain, tidak ada salahnya bukan?

4 komentar:

  1. Anonim8:36 PM

    Hahaha.... saya sih sering banget malah Dok. Kalo mau dirangking sih, paling atas biasanya yang nyasar ke telp rumah itu nyati Travel Agent Tour'ist. Nomornya sama cuman dituker tempat saja. Trus kedua itu Toko ALI. kejadiannya ya sama persis dengan si Asiong itu. :)

    BalasHapus
  2. To Pande Baik: kasus salah sanbung ada banyak. Dulu sering malam-malam laki-laki menelepon menyanyakan apakah benar no saya ini Salon Anu. Masa laki-laki malam-malam mau ke Salon. Salon apaan ya? Nomernya berbeda 1 digit dg telp kami. Kalau habis ke Salon lalu ke Dokter mungkin cocok utk mendapat terapi. he..he..

    BalasHapus
  3. Anonim11:19 AM

    Sabar aja dok..namanya juga telpon salah sambung...hehe

    BalasHapus
  4. Salah sambung is okay, tapi itu lho tutur bahasanya sering bikin jengkel. Sudah ketok rumah orang, ngomong seenaknya lalu pergi tanpa pamit.

    Pernah saya pasang alat Answering machine. Wah..apa lagi. Komentarnya macam2. Telepon kok tidak ada suara orangnya ( lho nada sambung kan sudah diprogram, ngomong aja apa maunya apa, nanti kan saya dengerin, dll komentar ).Kebiasaan masyarakat kita berbeda, belum terbiasa dengan alat ini. Akhirnya saya cabut lagi.

    BalasHapus