Sabtu, Februari 28, 2009

NgeBlog



Suatu pagi 3 bulan yang lalu saat saya ngetik artikel untuk posting ke Blog saya, datang Pak Arifin ( bukan nama sebenarnya ), 40 tahun. Pak Arifin, salah satu Staf Kantor Perniagaan datang ingin berobat. Keluhannya demam, batuk, pilek sejak 3 hari yang lalau.

Ketika ia melihat saya sedang sibuk ngetik, ia bertanya “Ngetik apa, Dok. Kelihatannya sibuk.”

Saya menjawab ”Ngetik sebuah artikel untuk Blog saya.”

“Blog? Rasanya saya pernah mendengarnya. Di Internet ya Dok.”

“Iya Internet” jawab saya.

“Apa ada yang baca, Dok?” ia penasaran juga tampaknya.

Saya menjawab “Kalau melihat angka di tampilan Hit Counter Blog saya, angkanya selalu bertambah. Jadi yang berkunjung ke Blog saya ada saja. Kalaupun tidak ada yang baca, saya juga tidak peduli. Ini merupakan penyaluran keinginan saya untuk menulis apa yang ada dalam benak saya dan apa yang pernah saya alami selama puluhan tahun buka praktek. Dari pada di simpan di laci meja saya, lebih baik saya posting ke Blog saya agar dapat dibaca oleh Netter yang kesasar ke Blog saya yang diketahui dari mesin pencari, search engine di
http://www.yahoo.com/ , http://www.google.com/ atau lainnya.”

“O..gitu ya, Dok. Hebat.” ia memujiku.

“Ah... apanya yang hebat, Pak. Saya tidak sekolah Komputer atau sejenisnya. Saya ngeBlog hanya belajar dari Tabloid, buku-buku Blog yang dijual di Toko Buku dan petunjuk singkat dari teman-teman saya yang sudah mahir ngeBlog.” saya menerangkan apa adanya.

Malu juga saya berterus terang begitu, tapi mau apa lagi? Umur sudah lanjut, kalau masih bisa kirim Email, Chatting by Skype / ICQ, Googling, ceramah dengan bantuan Power Point, berteman via Facebook.com, membuat Medical Record dengan Laptop dan ngeBlog rasanya sudah lumayan. Kadang saya transfer uang dalam jumah yang kecil kepada sebuah Toko Online di Jakarta atau Bandung untuk membeli asesori Handphone atau Komputer via Internet Banking BCA. Dalam hati saya menghibur diri dan bersyukur masih dapat menikmati kemajugan Tehnologi Informasi dalam masa pensiun saya. Kapan lagi?

Kadang aku prihatin kepada mereka yang masih gaptek kemajuan Tehnologi Informasi. Mampu beli Laptop tetapi tidak mampu menggunakannya. Untuk beli Laptop saja mesti menabung beberapa bulan, kemudian mati-matian belajar bikin Blog dan bahkan nekat mengasuh Ruang Konsultasi Kesehatan di suatu ISP tahun 2000 – 2007 secara non-profit yang saat ini sudah almarhum pada awal tahun 2009.

Dari Ruang KonKes inilah saya dapat berkomunikasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penanya baik dari dalam negeri dan luar negeri a.l. Tokyo, Paris, Icelandia, Melbourne, Kuala Lumpur, Amsterdam dll. Ruang KonKes yang sudah dibina selama 7 tahun saya tutup karena biaya Internet yang makin mahal dan tidak ada sponsor. Penutupan ini membuat para Netter kecewa dan protes, harus kemana lagi kalau mau bertanya? Cari Ruang KonKes gratisan lain. Harus rajin surfing atau googling di Internet, siapa tahu ketemu yang lebih bagus.

Bantuan sang Webmaster, Pak Harun ( nama sebenarnya ) sangat membantu saya. Kepada Pak Harun, saya ucapkan banyak terima kasih atas segala advis dan bimbingannya selama saya berkerja sama di ISP ini.

Berangkat dari semuanya itu akhirnya saya sudah terbiasa bekerja dengan sebuah Laptop merek A. Tanpa Laptop rasanya sukar bisa bekerja dengan baik.

Kalau mau cari banyak teman, saya utak-utik account saya di Facebook.com. Memiliki banyak teman di dunia maya, maka harus banyak waktu untuk ngetik cerita, basa-basi, tukar informasi / foto dll. Urusan pasien bisa terbengkalai dan akibatnya dapur kami bisa tidak ngebul nih.he..he...Jadi mesti pandai-pandai mengatur waktu yang 24 jam sehari ini.

Pak Arifin memohon kepada saya “Dok, saya mau belajar ngeBlog kepada Dokter. Boleh kan?”

“Pak Arifin, saya bukan Guru Komputer. Malu saya. Masak Pensiunan ngajarin Bapak? Lebih baik Bapak minta bantuan, orang I.T. di Kantor Bapak saja agar lebih mantap belajarnya. Tapi ngomong-ngomong, kalau ada kemauan, sebenarnya sih bisa belajar sendiri. Bapak kan sudah punya semua fasilitasnya. Laptop Kantor bisa di bawa ke rumah untuk belajar.” saya menampik permohonannya dan memberikan solusi terbaik.

Saat ini saya mendengar bahwa Pak Arifin sudah bisa bekerja dengan Laptop untuk ngetik surat dengan pengolah kata MS. Word, membuat perencanaan anggaran proyek dengan pengolah angka MS Excel dan membuat presentasi di hadapan atasannya dengan MS Power Point. Kalau seandainya Pak Arifin berkecimpung di bidang Tehnik, dapat menggunakan program Autocad.

WebBlog? Siapa takut? Pak Arifin bahkan sudah punya Blog pribadi yang menjadi impiannya. Tiada hari tanpa ngeBlog. Nah benar kan kata saya. Semua bisa

Pesan moralnya:
Kalau ada kemauan, pasti ada jalan!
Kalau ada semangat, maka ngeBlog pun siap takut?

Jumat, Februari 27, 2009

Pulsa Telepon


Saat ini berkomunikasi secara verbal sudah lebih mudah dilakukan dengan adanya sambungan telepon, baik telepon rumah maupun telepon genggam. Pemakaian telepon yang berlebihan atau sering mengadakan sambungan langsung jarak jauh ( SLJJ ) dapat meneybabkan tagihan telepon akan membesar.

Dua bulan yang lalu Nani ( bukan nama sebenarnya dan bukan Nany 911 dalam serial Metro TV ), adikku yang tinggal di Jakarta berkunjung ke kota kami. Nani bermalam di rumah Ibu kami. Suatu pagi Ibuku mengeluh kepada Nani karena tagihan Telepon bulan berjalan lebih besar dari pada tagihan telepon pada bulan-bulan sebelumnya.

“Nan, tagihan telepon bulan ini kok sampai Rp. 250.000,-? Ibuku berkata kepada Nani.
“Coba, saya lihat Rekeningnya, Bu.” Sahut nani kepada Ibuku.
“Iya benar tagihannya Rp. 250.950,- Biasanya berapa tagihan setiap bulannya, Bu?”
“Biasanya dibawah Rp. 100.000,- antara Rp. 60.000 sampai 75.000,- setiap bulan. Mengapa bulan ini sampai seperempat juta? Padahal bulan ini Ibu tidak melakukan interlokal ke kota lain” Ibuku menyahut.

Nani memunyai ide, katanya kepada Ibu “Besok kita minta saja hasil print out nomer telepon Ibu kepada petugas Kantor Telepon.”
Hasil print out dari Kantor Telepon memberikan jawaban atas pertanyaan Ibu tentang besarnya tagihan telepon bulan ini.

Nani menjelaskan kepada Ibu, “Bu, disini tercetak ada 6 kali sambungan interlokal ke kota Kuningan dan 2 kali ke kota Surabaya. Besar biayanya cukup besar. Apakah pada bulan yang lalu Ibu pernah bicara dengan seseorang di Kuningan dan Surabaya?”
“Tidak, Ibu tidak bicara dengan seseorang di Kuningan, apalagi di Surabaya.” Sahut Ibu.
“Kalau begitu siapa ya yang mempergunakan telepon Ibu. Adakah orang lain yang menginap di trumah Ibu? kata Nani.
“ Tidak ada, selain pembantu yang baru 3 bulan bekerja di rumah Ibu.” sahut Ibu kami.
“Apakah ia berasal dari Kuningan?” kata Nani kemudian.
“Iya benar, ia berasal dari sana.” kata Ibu.

Ibu memanggil si Bibi yang berusia setengah baya.
“Bibi, apakah bulan yang lalu pernah mempergunakan telepon kami?
“Tidak Nyah, saya tidak pernah.” sahut si Bibi.
“Bi, berkatalah dengan jujur. Bibi berasal dari Kuningan. Tagihan telepon bulan ni besar sekali dan pernah dipakai untuk interlokal ke Kuningan sebanyak enam kali dan Surabaya dua kali. Apakah Bibi telah memepergunakan telepon di rumah ini?” Ibuku berkata dengan sengitnya.
Si Bibi terdiam sejenak dan ketika perbuatan bohongnya diketahui Ibu kami, ia menjawab

”Betul, Nyah saya memakainya.” dengan raut wajah tidak senang.
Ibu kami berkata lagi “Bi, kalau mau pinjam telepon boleh saja, tetapi bilang dulu, sebab biaya interlokal itu mahal.”
Si Bibi mendadak njeletuk seenak perutnya sendiri “Kalau begitu saya maling ya.”
Nani cepat menjawab “Kami tidak berkata begitu, Bi. Yang bilang maling si Bibi sendiri.”

“Kami keberatan kalau tagihan biaya interlokal itu, kami yang membayar.” kata Ibu kami.
Si Bibi menjawab dengan entengnya “Biarlah gaji saya dipotong dengan cara mencicil biaya telepon itu Nyah.” Sombong benar dia, gaji yang tidak besar mana cukup untuk bayar pulsa telepon yang membengkak?

Rupanya si Bibi berbicara dengan salah satu anaknya dan ketika satu kali perbuatannya tidak diketahui dan tidak ada teguran dari Nyonya rumah, Bibi melakukan lagi sampai beberapa kali. Dikiranya perbuatannya itu tidak diketahui oleh siapapun. Benar Ibuku tidak mengetahui, tetapi program komputer di Kantor Telepon mencatat semua pulsa yang dipakai oleh setiap pemilik nomer telepon secara 24 jam sehari.

Ibu berkata kepada si Bibi “Kalau begitu mulai bulan depan gaji Bibi akan dipotong cicilan biaya telepon selama lima kali.”
Setelah kejadian itu tidak ada lagi keluhan besarnya tagihan biaya telepon di rumah Ibu. Pesawat telepon itu akhirnya dilindungi dengan kotak telepon yang dapat di kunci sehingga dengan demikian telepon itu hanya dapat menerima saja dan kalau hendak bicara kepada orang lain kami harus membuka kunci gembok kecil terlebih dahulu.

Akhirnya pembantu rumah tangga itu diberhentikan dua minggu setelah kejadian itu. Saat ini sukar mencari pekerjaan. Ketika sudah mendapat kerja, lalu berbuat tidak sepatutnya. Penyakitnya dibuat sendiri, dipecat dari pekerjaannya.

Pesan moralnya:
Sering kali kita mendapat kepercayaan dari orang lain, tetapi sering kali kita menyalahgunakan kepercayaan itu. Akhirnya orang tidak mempercayai kita lagi dan sukar mengembangkan usaha kita.!

Kamis, Februari 26, 2009

Dora



Sejak anjing Labardor kami si Bona meninggal akibat usia lanjut, keluarga kami memelihara seekor anjing betina jenis Rottweiler, namanya Dora.

Umur Dora sudah 1,5 tahun, umur yang sulit untuk dilatih kebiasaan sehari-hari. Kami mendapatkan Dora dari adik ipar kami di Jakarta. Ia memelihara 6 ekor anjing ras yang berasal dari Jerman ini.

Karena usianya yang sudah 1,5 tahun kami mendapat kesulitan untuk melatih bila Dora ingin buang air besar atau kecil. Sering kali kami membiarkan ia berangin-angin di halaman depan rumah, sambil menjaga kalau-kalau ada tamu yang datang ke rumah kami, ia tentu akan menyalak ketika ia melihat ada orang asing yang masuk ke halaman rumah. Kami tidak pernah merantai anjing peliharaan kami, kecuali kalau sedang dimandikan, sehingga anjing-anjing peliharaan kami tidak galak kalau melihat tamu datang.

Sudah lima bulan Dora berada di rumah kami. Dora agak bandel kalau di panggil untuk pergi ke halaman belakang rumah, ketika ada tamu di rumah kami. Rupanya ia lebih senang dekat dengan kami. Sekali waktu saya kedatangan tamu, dan mereka takut ada anjing hitam yang berbadan besar ini. Aku panggil Dora agar mau pergi ke halaman belakang rumah kami, tetapi ia lebih senang berbaring di lantai ruang keluarga kami. Aku mencoba mengangkatnya agar ia mau pindah ke halaman belakang, tetapi ia bahkan menolak berdiri atau bangun dari tempatnya. Ah… berat sekali badannya, mungkin beratnya sekitar 45 kg. Akhirnya aku pancing ia dengan sepotong telur rebus. Pancinganku berhasil, ia segera mendekati tanganku dan mau dibimbing pindah ke halaman belakang rumah. Aku geli, rupanya anjing juga masih bisa diakalin dengan makanan yang ia sukai.

Karena usianya yang sudah cukup untuk dikawinkan kami membawanya ke rumah salah seorang relasi yang mempunyai anjing Rottweiler. Ia bernama Charles, suatu nama yang keren juga. Mirip nama seorang pangeran Inggris. Sering kali aku mendengar nama seekor anjing diberi nama yang mirip dengan nama seorang manusia. Dora kami tingalkan di rumah pemilik Charles selama 3 hari agar mereka mau berkenalan dan mau kawin selama alami.

3 hari kemudian aku dan isteriku mengunjungi rumah relasi kami. Tuan dan Nyonya rumah sedang keluar rumah sehingga kami hanya dapat bertemu dengan 2 orang pembantu mereka. Kami bertanya kepada mereka apakah Dora dan Charles mau kawin dalam waktu 3 hari ini. Mereka menjawab, rasanya mereka hanya bermain-main saja dan mereka tidak pernah mereka melihat anjing-anjing itu kawin. Akhirnya kami membawa pulang kembali Dora ke rumah kami tanpa ada hasil perkawinan dengan Charles. Kemungkinan besar Dora belum saat subur yang ditandai dengan keluarnya darah dari alat kelaminnya.

Anjing jenis Rottweiler jarang menyalak, tetapi bila ia menyalak pasti ada sesuatu yang tidak beres. Sesekali Dora juga menyalak ketika mendengar suara tukang Baso melewati rumah kami dengan membunyikan pikulannya.

Bila ada tamu dan kami membukakan pintu, Dora juga acuh saja. Mungkin ia menganggap tuan rumah sudah mengetahui kedatangan seseorang masuk ke dalam rumah. Dora berbaring di lantai dan hal ini menyebabkan tamu kami tidak berani masuk ke dalam ruang tamu, karena katanya ia takut ada anjing yang besar. Kami mengatakan jangan takut. Selama anda tidak bermaksud jelek, anjing kami tidak akan menyerang anda. Padahal si Dora itu acuh tak acuh bila ada tamu datang.

Sifatnya ini agak tidak biasanya seperti anjing-anjing lain yang kami pelihara. Kalau kami memeliharanya sejak ia berumur 3 bulan, mungkin kami dapat melatihnya dengan baik. Kalau sudah 1,5 tahun sulit melatihnya, karena ia juga mempunyai sifat bandel, tidak menuruti kehendak tuan rumah, kecuali dipancing dengan sedikit makanan.

Suatu pagi setelah isteriku meninggalkan rumah menuju tempat kerjanya, aku melepaskan Dora di halaman depan rumah. Pintu pagar diselot bagian atasnya saja sehingga tamu masih dapat membuka pintu itu dari arah luar rumah. Tiba-tiba aku mendengar suara bel pintu berdering yang berarti ada seseorang yang berdiri di depan Ruang Tamu rumah kami. Aku segera menghampiri pintu rumah yang mempunyai pintu lain yaitu pintu besi yang dianyam jarang-jarang untuk ventilasi udara. Aku melihat seorarng relasi berdiri di depan pintu tadi dan di sebelah kanannya duduk seekor anjing warna hitam dengan manisnya.

Aku bertanya kepada relasiku “ Apakah anda datang dengan membawa anjing ini?”
Relasiku, Pak Saelan ( bukan nama sebenarnya ) berkata “ Tidak. Ini kan anjing Dokter.”

“Astaga.” Aku berseru, kok Dora tidak menyalak ketika ada orang asing masuk ke halaman rumah? Apa ia disuap dengan makanan oleh tamuku ini? Ternyata tamuku ini semula ragu-ragu ketika melihat ada seekor anjing hitam besar, tetapi ketika pintu halaman terbuka dan anjing tadi tidak menyalak, ia berani memasuki halaman rumah kami.
Ia berkata “Anjing Dokter baik ya. Tidak menggigit saya.”
Dalam hati aku berkata “Wah anjing ini tidak bisa jaga rumah sama sekali. Ada orangpun ia diam saja, padahal ia tidak bisu. Ia bisa menyalak tetapi tetapi kali ini kok diam membisu.”

Aku mengatakan kejadian ini kepada isteriku setelah tamuku pulang. Isteriku malah terbahak-bahak ketika mendengar kisah Dora ini. Anjing ini kok diam saja ketika ada orang asing masuk ke rumah. Seminggu kemudian Dora kami antarkan kembali ke Jakarta. Disana ia dihamili oleh Rottweiler jantan yang ada di kennel adik iparku. Dora hamil dan mempunyai 5 ekor puppies yang sehat-sehat.

Kami memelihara sepasang anjing ras Cow-cow, yang kami terima dari saudara kami yang lain. Mereka banyak menyalak bila ada tamu yang datang. Gug…..gug…..Ini baru anjing namanya, bisa menjadi alarm kalau ada orang datang ke rumah kami.

Sepeda















Sebagian besar dari kita dapat naik Sepeda. Adakah diantara pembaca yang tidak dapat naik Sepeda?

Ada orang yang dapat membeli Sepeda tetapi mereka tidak dapat naik Sepeda. Alasannya takut, tajut jatuh atau takut keserempet kendaraan lain. Mereka memilih naik Becak atau Mobil pribadi untuk pergi kemana-mana.

Beberapa Teman Sejawat kami mampu membeli mobil model terbaru, tetapi mereka tidak mengendarai mobil sendiri. Alasannya tidak dapat / takut mengendarai mobil.

Bagi saya enaknya naik mobil yaitu ketika duduk di belakang lingkar kemudi atau mengendarai mobil sendiri. Bisa cepat atau lambat tergantung dari selera saya saat mengemudi. Kalau sedang ngantuk, paling nyaman duduk di jok belakang Supir sebelah kiri sambil tidur dan ada orang lain yang mengemudikan mobil. Bila saya tidak mual dan muntah, berarti mobil itu enak dikendarai dan supirnya pandai mengemudikan mobil. Bila saya muntah, berarti salah satu faktor tadi ada yang tidak beres.

***

Tadi pagi saya berangkat ke tempat praktek ke 2 naik Sepeda. Paviliun Rumah Ibuku kalau sore hari dipakai sebagai tempat Praktek isteriku dan pagi hari sebagai tempat Prakteku ke 2. Rumah kami dan tempat Praktek berjarak sekitar 150 meter saja. Kadang kala aku malas naik Panther, lebih enak naik Sepeda atau jalan kaki sambil olah raga pagi.

Setelah 1 menit aku bersepeda, saya bertemu dengan seorang Ibu pejalan kaki yang mengenal saya, mungkin ia pasien saya atau tetangga kami

Ia menyapa saya “Pagi, Dok. Mana mobilnya?”

“Pagi juga. Mobil kami ada di rumah” saya menjawab.Ia bertanya lagi “Kok engga naik mobil saja?”

“Enak naik sepeda kalau pagi. Demi kesehatan” jawab saya sekenanya.

“Kok aneh ya. Punya mobil tetapi, katanya enak naik Sepeda.” ia kebingungan.

Agar tidak membuat bingung Ibu ini, saya berkata lagi “ Ibu, di negeri Belanda, banyak Dosen pakai Jas dan berdasi berangkat ke Kampus untuk memberi kuliah sambil naik Sepeda untuk menghindari kemacetan lalu lintas dan sambil olah raga. Saya juga ingin begitu”

“O...begitu ya.”

Iya begitu, baru tahu dia. He...he.....

Dokter juga manusia, jadi berhak naik apa saja termasuk naik Sepeda.
Kalau diledek “Kok naik Sepeda?”
Jawabnya seperti jurus pamungkas tadi. Pasti tidak ada komentar lain. Percaya deh.

Rabu, Februari 25, 2009

M i m p i


“Pak Bas, harap dikeluarkan uang sebanyak Rp. 500 juta untuk keperluanku” kata atasanku.
“Tapi, Pak” aku menjawab perintah beliau.
“Tidak ada tapi-tapian, aku sedang membutuhkannya” kata atasanku lagi.
Aku tahu ia sedang mengincar wanita yang ketiga, padahal beliau sudah mempunyai 2 isteri.

Ketika aku meminta tanda tangannya di dalam surat pengeluaran uang, ia tidak mau menanda-tangainya.
“Pak Bas atur saja urusan itu” jawabnya
Kok enak benar ambil uang Kantor lalu orang lain yang harus bertanggung jawab. Kalau sudah kepepet butuh uang, maka segala cara dihalalkan.

Dengan makin aktipnya gerakan anti Korupsi, salah satu LSM mencium ketidak beresan keuangan Kantor Pemerintah dimana kami bekerja.
Aku masuk tahanan Polisi dan atasanku sebagai biang Korupsi menemaniku di dalam tahanan. Pak Samad ( bukan nama sebenarnya ) keesokan harinya bisa keluar atas jaminan keluarganya yang mengusahakan tahanan rumah. Dia yang makan uangnya, aku juga yang kena hukumannya. Dunia tidak adil.

Uang, rokok, makanan kiriman keluargaku yang membesuk aku habis diminta teman sekamar tahanan. Bila tidak diberi mereka akan memaki-maki aku.
“Dasar koruptor, tidak mau bagi-bagi kepada orang lain” teriak mereka kepadaku.

Suatu malam aku tidak dapat tidur. Banyak nyamuk beterbangan disekitar kami. Bau pengap akibat kami jarang mandi menambah penderitaanku.
Aku berdoa “ O..Tuhan, lindungilah aku. Berilah kekuatan kepadaku yang tidak bersalah ini.”

Hujan yang turun deras di musim hujan ini menambah penderitaan kami. Banyak atap kamar tahanan yang bocor dan membasahi badan kami. Tiba-tiba aku mendengar suara menggelegar, suara petir. Sekejap kemudian atap kamar tahanan kami runtuh. Petir menyambar atap itu. Kakiku tertimpa atap yang runtuh. Aku mengerang kesakitan. Penderitaanku bertambah lagi. Kaki banyak mengeluarkan darah.

Ketika aku siuman, aku berada diatas sebuah bed di rumah sakit. Tangan kananku terikat pada ranjang besi dengan sebuah borgol. Kakiku hancur dan tidak dapat diselamatkan lagi. Besok kaki kananku akan diamputasi setinggai lutut. Aku berontak. Aku protes mengapa aku yang mendererita, mengapa bukan atasanku yang berbaring di bed ini? Tidak ada yang mau mendengar suara seorang koruptor miskin seperti aku ini. Aku hanya menjadi pelengkap penderita akibat ulah orang lain yang menikmati uang hasil kejahatannya.

Aku sedih kaki kananku sebagian hilang. Aku akan menjadi cadad seumur hidupku. Setelah aku dapat menguasai diriku, aku berdoa kepada Tuhan agar aku diberi ampun atas segala perbuatan jahatku, dan mohon agar kaki kananku segera sembuh dari luka operasi.

Tiba-tiba aku melihat sinar putih yang menyilaukan mata. Bayangan mahluk mirip orang berjalan menghampiri bed. Aku melihat sebuah kaki dari ujung kaki sampai sebatas lutut melayang bersama sinar putih itu menuju tubuhku. Suatu sentakan yang mengejutkan membuat aku merasakan ada gerakan di kaki kananku. Kaki kananku utuh kembali. Aku mengerak-gerakan kedua kakiku. Aku punya kaki yang lengkap. Aku bersorak kegirangan. Terima kasih Tuhan.

“Pak, pak bangun” isteriku mengoyang-goyangkan tubuhku.
“Mengapa berteriak-teriak begitu. Mimpi ya?” isteriku bertanya.
Aku terbangun, bajuku basah oleh keringat. Aku telah bermimpi. Aku bersyukur itu bukan realita. Aku sudah pensiun sejak sembilan tahun yang lalu. Tidak mungkin aku menjadi seorang Bendahara di Kantor Pemerintah itu.

Mimpi itu aneh, kadang tidak masuk akal. Aku bersyukur itu hanya mimpi.

Suntik KB


Bagi isteri selain minum Pil Kb, pasang susuk KB, Sterilisasi ( mengikat kedua saluran telur / ovum ) yang disebut Tubektomi, ada cara lain yaitu suntik KB. Obat yang berisi hormon wanita sintetis ada 2 macam yaitu obat merk Cyclofem yang disuntikan setiap 4 minggu ( 1 bulan ) dan ada obat merk Depo Progestin yang disuntikkan tiap 12 minggu ( 3 bulan ).

Bagi suami cara Kb dapat berupa pakai Karet KB ( Kondom ) atau sterilisasi ( mengikat kedua saluran spermatozoa ) yang disebut Vasektomi. Pasangan suami isteri dapat memilih isteri atau suami yang ikut KB. Di lapangan ternyata peserta KB atau akseptor Wanita jumlahnya lebih banyak dari pada akseptor Pria

Rupanya kaum Bapak menyerahkan kepada kaum Ibu agar mereka yang lebih aktip masalah KB. Bila semua cara tidak cocok bagi isteri, maka mau tidak mau sang suami yang harus ikut KB. Cara yang paling mudah dan murah adalah pakai Karet KB. Cara ini tidak begitu disukai kaum Bapak dengan alasan tidak enak.

Lho enaknya berapa lama? Dan tidak enaknya kalau KB gagal, berapa lama? ( selama isteri hamil saja sudah 280 hari ). Sering kali kedaan ini tidak diperhatikan. Mau enaknya saja. Begitu kata kaum Bapak.

Bagi kaum Ibu masalah suntik KB juga bukan tanpa masalah. Ada yang tidak rewel dan ada yang rewel kalau mau disuntik KB. Seperti pada kasus dibawah ini.

Suatu saat, isteri saya megikuti Rapat PMI di Jakarta selama 4 hari. Selama itu praktek sore digantikan oleh saya. Saya menjadi ban serep selama kepergian isteri saya. Pasien isteri saya dapat dilayani oleh dokter lain ( suaminya ) dan ini sudah dikenal oleh mereka.

Datanglah Ibu Lisa ( bukan nama sebenarnya ), akseptor suntik KB dengan Depo Progestin. Sebelum masuk Ruang Periksa, asisten isteri saya yang bertugas membantu, sudah memberitahukan bahwa yang praktek suaminya bukan Ibu dokter. Setelah duduk sang akseptor bertanya “ Dok, Ibu dokter pergi kemana dan kapan praktek lagi?”

Lho kan sudah diberitahu oleh asisten isteri saya, kok bertanya lagi, sepertinya tidak percaya.

Saya menjelaskan lagi ”Isteri saya pergi ke Jakarta dan akan praktek lagi minggu depan.”

“Wah, gimana ya.” ia mengeluh.

“Gimana apanya Bu. Ibu sebenarnya datang kesini mau apa?” saya bertanya.

”Saya mau suntik KB ulangan yang tiap 3 bulan sekali.”

“Baik, akan saya bantu. Silahkan berbaring untuk saya ukur tekanan darah Ibu.”

“Saya maunya disuntik oleh Ibu Dokter.”

“Isteri saya kan tidak praktek. Saya yang akan bantu Ibu untuk menyuntikan obatnya.”

“Saya tidak mau.” ia menolak.

“Habis bagaimana lagi? Ya sudah, kalau begitu silahkan Ibu datang minggu depan hari Selasa.” saya berkata lagi.

“Wah, nanti malam suami saya datang dari Jakarta tempat ia bekerja.” ia menjelaskan.

“Tidak malasah.” kata saya.

“Lho......kalau ia minta jatah gimana, Dok.”

“Saat ini Ibu sudah tidak terlindungi lagi oleh obat KB karena obatnya habis setiap 12 minggu. Kalau suami Ibu datang, jangan campur dulu sampai Ibu mendapat suntikan KB baru” saya mencoba memberi penjelasan.

“Kalau suami saya minta, gimana Dok?”

“Pakai Kondom aja dulu.”

“Ia pasti tidak mau.” ia melotot.

“Ibu kan punya argumentasi yang kuat. Bisa menolak kan? Kalau suami tidak pakai Kondom, Ibu jangan mau!” saya ngotot juga, “kecuali kalau Ibu sekarang disuntik KB ulangan lagi. Kalau Ibu tidak mau disuntik oleh saya, silahkan Ibu minta suntik kepada Dokter wanita yang praktek sore ini atau minta bantuan Ibu Bidan terdekat.”

“Engga mau. Saya biasa suntik KB disini, Dok.” ia mulai putus asa.

“Kan Ibu Dokter sedang ke Jakarta. Saya mau bantu, Ibu tidak mau. Ya sudah, ini obat suntiknya dan silahkan Ibu suntik sendiri di paha Ibu. Beres kan.” saya mencoba mencari jalan keluar.

“Saya kan tidak bisa menyuntik, apalagi menyuntik sendiri.”

“Makanya saya yang suntik, Ibu yang diam. Mau kan?”

“Engak mau. Malu saya.” ia menolak.

“Suntik di lengan atas saja ya. Masih malu jugakah?” saya berkata lagi.

Glek.. mangkel juga saya menghadapai pasien yang begini. Habislah waktu 10 menit untuk hal yang konyol ini.

“Baik. Baik. Kalau begitu Ibu sekarang telepon suami di Jakarta dan bilang pulang ke Cirebon minggu depan saja, kalau anda sudah suntik KB ulangan. Saya mencoba tersenyum sambil membukakan pintu Ruang Periksa.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah sang Akseptor ini. Mungkin mencari Dokter wanita lain atau Ibu Bidan untuk minta disuntik KB ulangan atau telepon suami agar jangan pulang dulu.

Pasien berikutnya juga seorang Akseptor KB suntik tiap 3 bulanan.
Ibu Aminah ini lebih supel dan enak diajak bicara. Ia tahu isteri saya sedang tidak praktek. Oleh karena sudah jatuh tempo suntik Depo Progestin ulangan, ia datang dan minta disuntik. Ia tidak berkeberatan siapa yang menyuntik.

“Siapa sayalah, Dok. Boleh Ibu Dokter atau Pak Dokter. Kan semuanya Dokter yang sudah biasa menyuntik pasien. Ukur tensi darah dulu ya, Dok” ia berkata.

Saya membatin, coba kalau semua pasien isteri saya semuanya begini, kerjaan saya jadi cepat selesai tanpa susah payah. Jadi ban serep tidak selamanya diterima oleh pasien.

Kejadian seperti sudah sering terjadi dan saya akhirnya sudah terbiasa dengan kisah semacam ini. Ternyata tidak mudah memotivasi pasien, meskipun untuk tujuan yang baik. Dokter harus punya trik khusus, harus panjaaaang sabar dan keep smiling.

Kalau pasien masih juga tidak mau dilayani, mungkin belum rejeki saya. He….he….

Selasa, Februari 24, 2009

Ikan


Ikan bakar atau Pepes ikan tentu lebih nyaman bila disantap dari pada makan cindil bukan?

Ikan merupakan lauk yang bagus untuk konsumsi penambah Protein ( zat putih telur ). Kandungan Kolesterol yang rendah, menyebabkan ikan lebih banyak disukai dari pada Daging Merah ( sapi, kerbau atau kambing ) oleh orang yang mengerti Gizi.

Demikian juga orang Jepang yang gemar makan Sashimi atau irisan daging Ikan mentah yang dicocol Kecap Jepang, disantap dan didorong dengan minum Sake ( arak Jepang ). Rasanya enak sekali kata mereka.

Saya pernah mencoba makan Sashimi, ikan Salmon mentah di sebuah Rumah Makan Jepang ( Japanese restaurant ) di kota Sydney. Sepotong ikan mentah itu langsung membuat perutku mual dan memuntahkan daging ikan yang sudah tertelan. Putra kami tertawa melihat ayahnya mual dan muntah. Gila..apa tidak ada lauk lain?

Akhirnya saya melahap lauk lain yaitu benda warna kuning yang ukurannya imut-imut, yang ternyata itu adalah telur ayam kukus. Ya sudah lumayanlah dari pada lauk yang mentah dan berbau amis. Daging ikan Salmon lebih amis dari pada daging ikan Trout yang banyak dijual di Sydney Fish Market, suatu pasar ikan segar di tepi salah satu pantai Sydney. Meskipun amis tetapi rasanya emang nyam-nyam. Sepotong ikan Salmon ditaruh di atas sebuah wajan panas yang sudah diberi sedikit minyak sayur, dalam waktu beberapa menit sudah matang dan menghasilkan aroma yang menggugah selera makan. Ikan ini diberi sedikit Garam dapur dan merica. Ikan goreng ini disantap dengan dicocol Kecap ditambah sedikit Sambal botol. Wah… sampai lupa berdiri dari duduk di kamar makan nih.

Beberapa tahun yang lalu, saya tinggal sendirian di rumah, karena Pembantu pulang mudik ke kampungnya dan isteri saya pergi ke Jakarta untuk suatu keperluan. Datanglah seorang kurir yang mengantarkan sebuah Kantong plastik berisi air dan 20 ekor Ikan Mas ( ikan Kancra ) seukuran telapak tangan orang dewasa yang masih hidup. Sang kurir berkata bahwa ini kiriman dari Ibu Hajah Esmirah ( bukan nama sebenarnya ), hasil panen tambak ikan air tawarnya. Menjelang Hari Idul Fitri mereka biasa memanen tambak ikan dan ingin berbagi dengan Ibu Dokter.

Ibu Ewsmirah ini pasien isteri saya. Wah rejeki nomplok nih. Saya tidak usah belanja ikan di pasar. Semua ikan itu saya masukkan ke dalam bak mandi pembantu kami yang sedang pulang mudik.

Keesokan harinya saya melihat semua ikan mati terapung diatas permukaan air bak mandi itu. Saya tidak sadar bahwa air ledeng mengandung Kaporit yang membuat semua ikan mati.

Aku bingun mau diapakan ikan sebanyak ini?
Saya mengambil 2 ekor ikan dan membuang isi perutnya. Saya membungkusnya dengan selembar platik dan memasukkannya ke dalam Freezer, lemari pendingin kami. Nanti siang akan saya goreng seekor dan sisanya dapat untuk lain hari.

18 ekor ikan sisanya mau di apakan ya?
Saya teringat kepada Pak Jen ( Jaenudin, bukan nama sebenarnya ), tetangga kami. Saya panggil dia dan saya tawarkan ikan-ikan itu.

“Pak Jen, apakah Bapak mau ikan? Saya dapat banyak ikan Mas dari pasien kami. Ikan –ikan itu tidak habis bagi kami. Saya mau berbagi kepada Pak Jen. Tolong berikan juga kepada para tetangga Pak Jen. Jangan di jual ya.” saya berpesan sambil menyerahkan sekantong plastik yang berisi ikan-ikan itu.

Pak Jen kegirangan dapat rejeki nomplok. Saya juga bersyukur dapat berbagi rejeki dengan tetangga kami menjelang Hari Raya Idul Fitri. Minal aidin walfaizin. Mohon maaf lahir dan batin.

Cindil


Pernahkah anda melihat dan menelan anak tikus ( cindil )?

Sebagian dari kita pasti menjawab “Belum”. Melihatnya saja sudah geli, apalagi menelan mahluk yang masih kecil seukuran jari telunjuk orang dewasa.

Kisah ini terjadi pada tahun 1996 ketika saya bekerja di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cirebon. Daya tampung 500 orang Napi sering kali terisi lebih banyak dari jumlah ini. Saya bekerja disini menjelang saya pensiun atas permintaan sendiri atau pensiun dini setelah menyelesaikan masa kerja 20 tahun. Pensiun dini terjadi TMT ( Terhitung Mulai Tanggal ) 1 April 2000. Selama 4 tahun saya bekerja disini.

Ketika giliran Baihaki ( bukan nama sebenarnya ), 40 tahun, seorang Napi asal Jateng untuk diperiksa kesehatannya, tampak ia membawa sebungkus bekas bungkus rokok kretek.

Saya berkata “Baihaki, sebaiknya kamu tidak merokok lagi. Kamu kan sering batuk-batuk.”

Baihaki menjawab “Saya sudah tidak merokok lagi, Dok.”

“Lha itu kamu membawa sebungkus rokok” saya mendebatnya.

“Dok, ini isinya bukan rokok, tetapi ini….” sambil membuka bungkus rokok yang dipegangnya.

Hah… saya kaget juga. Di dalam bungkusan itu tampak 3 ekor cindil ( anak tikus ) yang masih berwarna merah. Mungkin baru lahir.

“Untuk apa cindil-cindil ini?” saya bertanya kepada Napi Baihaki.

“Ketika tadi pagi saya memperbaiki genteng yang bocor diatas ruangan dapur, saya menemukan 6 ekor cindil. Yang 3 ekor diminta Napi Dapur dan yang 3 ekor ini saya simpan.”

Saya bertanya lagi “ Untuk apa cindil-cindil ini?

Baihaki menjawab “ Untuk lauk makan siang saya, Dok.”

“Gila kau. Masak anak tikus kau embat juga?” saya protes.

“Jangankan anaknya, Dok. Tikus dewasa juga kami embat. Oleh karena sering tertangkap, maka sekarang sudah jarang Tikus berkeliaran di kompleks Lapas ini. Bila ketahuan ada Tikus masuk kamar Napi, maka ia akan ramai-ramai menjadi rebutan Napi untuk ditangkap dengan tangan kosong dan menjadi tambahan lauk makan kami.”

Jatah anggaran makan yang minim bagi para Napi, menyebabkan mereka mencari tambahan lauk antara lain Tikus atau Kangkung yang banyak ditanam di kebun sekitar kompleks Lapas.

Kata mereka cindil yang dimakan akan membuat badan menjadi lebih fit. Benarkah itu?
Mungkin saja mitos itu, karena protein yang terdapat dalam tubuh mahluk itu.




Luar biasa…manusia termasuk mahluk yang Omnifora, pemakan segala. Dalam keadaan terdesak, apa saja disantapnya. Hari itu pengalaman saya bertambah satu lagi. Ada cindil dimakan orang. Bulu kudukku berdiri semua. Maaf, kalau setelah membaca artikel ini, nafsu makan anda hilang.

Dementia senilis


Bila kita menghadiri Pesta Ulang Tahun, maka akan terdengar nyanyian yang bertema “Selamat Ulang Tahun dan Semoga Panjang Umur.”

Benarkah kita ingin panjang umur? Bagaimana kalau diberi panjang umur tetapi badan kita sakit-sakitan? Sebaiknya tema itu diubah menjadi “Semoga Awet Muda.” Siapa sih yang tidak ingin tetap muda? Banyak Dokter yang telah mengadakan penelitian agar manusia tidak menjadi tua. Misalnya dengan membuat HCG, Human Growth Hormone yang konon dapat menghambat proses ketuaan. Sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra atas hasil penemuan hormon ini.

Bulan yang lalu aku mengunjungi rumah sahabatku Asikin ( bukan nama sebenarnya ). Sahabatku ini sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang putra dan putri. Ayah Asikin meninggal tiga tahun yang lalu akibat usia lanjut. Ibundanya yang sudah manula tinggal bersama keluarga Asikin. Ibunda Asikin bernama Juarti dan berumur sekitar 77 tahun.
“Selamat pagi Bu” aku menyapa Ibu Juarti.
Beliau acuh tak acuh ketika aku berkata seperti itu.

“Bas, pendengaran Ibuku sudah berkurang. Kalau ingin berbicara dengannya, kita harus berbicara di samping telinganya.” Kata Asikin.
Meskipun penglihatan Ibu Juarti masih cukup bagus, tetapi pendengarannya sudah banyak berkurang.
Aku mendekati Ibu Juarti dan bicara di samping telinga kanannya “Selamat pagi, Bu.”
Ibu Juarti menoleh ke arah aku berdiri dan tampak ia tersenyum.
“Apakah Ibu sudah sarapan?” aku melanjutkan bertanya.
“Belum, aku belum sarapan” sahutnya. Tampak giginya tinggal dua.
Semula aku heran, katanya belum sarapan tetapi di sampingnya tampak sebuah piring yang masih tersisa sedikit Bubur dan Ibu Juarti masih memegang sebuah sendok.
Asikin berkata “Ibuku baru saja sarapan, tetapi Ibu sudah melupakannya.”

Aku mengetahui tentang penyakit Pikun atau Dementia senilis ketika kuliah, suatu keadaan kemunduran ingatan akibat proses umur lanjut. Rupanya benar kalau sudah Manula, maka ingatan jangka pendeknya menjadi buruk, tetapi ingatan jangka panjangnya masih bagus. Kejadian masa kecil, ketika mereka duduk di SD atau ketika ia belajar naik sepeda masih diingatnya dengan baik. Mereka dapat bercerita panjang lebar tentang masa kecil mereka dengan lancar. Sedangkan kejadian yang masih baru atau baru saja dilakukannya sudah tidak ingat lagi. Suatu saat aku juga akan mengalami kedaan Dementia senilis, bila aku diberi umur panjang oleh Yang Maha Kuasa.

Tadi pagi aku pergi ke Kantor Pajak untuk menyerahkan SPT Pajak tahun 2008. Aku bertemu dengan teman lama, Abidin ( bukan nama sebenarnya ). Sambil menunggu giliran namaku dipanggil petugas Kantor, kami ngobrol dengan Abidin.
Abidin berkisah “Sejak 2 hari yang lalu aku sedikit demam dan sakit menelan. Aku sudah mengurangi merokok, tetapi keluhanku masih belum membaik. Aku tak mau penyakitku ini berlarut-larut dan sore hari aku mengunjungi Dokter Umum langganan keluarga kami, Dokter Wisnubrata ( bukan nama sebanrnya ). Aku menjadi pasien pertamanya.”

“Siapa nama anda dan dimana alamatnya?” Dokter Wisnu bertanya untuk dicatat di dalam lembar Kartu Pasien.
“Nama saya Abidin, tinggal di Jalan Ampere Nomer sekian, Dok” Abidin menjawab.
“Apa keluhan saudara dan sudah berapa lama?”
“Saya merasa demam dan kalau menelan terasa sakit sejak dua hari, Dok. Saya belum minum obat apapun” Abidin menjawab lagi.
“Baik, silahkan berbaring” kata Dokter Wisnu sambil menunjuk ke arah bed pemeriksaan pasien.

Setelah memeriksa Tekanan darah, meraba dahi menyinari tenggorokanku dengan lampu senter, mendengarkan bunji jantung dan paru-paru, Dokter Wisnu berkata “Sudah. Silahkan duduk kembali.”

Ketika Dokter Wisnu menulis hasil pemeriksaan kesehatan Abidin.
Abidin bertanya “Berapa biaya pemeriksaannya, Dok”
“Biaya periksa dua puluh ribu rupiah” jawabnya.
Abidin memberikan uang selembar lima puluh ribuan.
Dokter Wisnu menerimanya dan dari laci mejanya, ia mengambil dan menyerahkannya kembalian tiga lembar puluhan ribu.
Setelah selesai menulis selembar resep, Dokter Wisnu menyerahkannya kepada Abidin sambil berkata “Ambillah obat ini di Apotik terdekat.”
“Terima kasih, Dok”
Abidin berdiri dan ketika hendak menuju ke pintu keluar, Dokter Wisnu berkata “Anda belum membayar biaya pemeriksaannya.”

Abidin tersentak kaget. Rasanya aku sudah memberikan biaya pemeriksaan dan Dokter sudah memberikan uang kembaliannya. Mengapa Dokter masih menagihnya.

Dengan tenang karena tidak merasa bersalah Abidin berkata “Dok, tadi saya sudah memberikan uang lembaran lima puluh ribuan yang berwarna biru dan Dokter sudah mengembalikan uang tiga lembar sepuluh ribuan. Ini uang kembaliannya” Abidin menjawab sambil memperlihatkan uang kembaliannya.

Dokter Wisnu membuka laci mejanya untuk memeriksa benarkah tadi ia sudah memasukkan uang lima puluh ribuan berwarna biru? Beruntung aku menjadi pasien pertamanya, sehingga laci Dokter belum banyak terisi uang.
Akhirnya ia menyadari bahwa memang aku sudah membayar biaya pemeriksaan.

Dokter Wisnu berkata kepadaku sambil tersenyum “Sorry Din, aku lupa.”

Dokter sebagai manusia biasa, bisa lupa juga akan kejadian yang baru saja terjadi tetapi masih ingat akan gejala penyakit-penyakit, nama obat-obat, cara pemeriksaan yang dulu pernah dipelajari ketika ia masih muda saat mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran. Rupanya siapapun akan mengalami dementia senilis, bila diberi panjang umur.

Di TV channel sekian, aku pernah melihat adegan seorang suami sudah tiba di rumah, tetapi sang isteri tidak ada disampingnya. Suami lupa tidak mengajak isterinya pulang kerumah. Ia pulang sendirian dan disangka isterinya juga ikut pulang, tetapi ternyata isteri tertinggal di Mall. Sang isteri marah-marah. Sudah pikun ya! Emang iya!


Senin, Februari 23, 2009

Susuk jodoh



Bagi wanita, masalah umur paling sensitif. Bila usia sudah mencapai 30 tahun masih belum dapat jodoh, mereka akan gelisah.

Sering kali mereka pakai segala macam cara agar cepat dapat jodoh. Salah satu kisah yang saya alami dalam praktek sehari-hari dalam profesi saya adalah kisah dibawah ini.

5 tahun yang lalu, Nn. Kathy ( bukan nama sebenarnya ) datang berobat. Keluhannya sakit pada bagian diatas alis mata kanannya. Tekanan darah dll dalam batas normal. Wajahnya biasa saja. Badannya sedikit gemuk.

Keluhan sakit, pada kepala merupakan keluhan yang sering ditemui pada praktek sore.
Saya minta agar pasien saya ini membuat Foto Rontgen pada Kepala dengan 2 projeksi: dari samping ( lateral ) dan dari arah depan ( antero posterior ), untuk melihat ada apa di dalam kepalanya?

Keesokan harinya sang pasien datang membawa hasil foto yang saya minta dari Klinik Rontgen terdekat. Pada Foto tsb nampak garis putih sepanjang 1 Cm di area mata kanan. Saya bilang bahwa ini ada sesuatu pada daerah alis kanan, mungkin suatu benda terbuat dari logam yang tipis.

“Bagimana ini bisa terjadi?” saya bertanya.

“Saya terbujuk perkataan teman saya. Lalu saya pasang susuk di wajah saya di suatu kota kecil di Jabar. Ketika ia memasukkan kawat emas itu, rasanya sakit sekali karena kawat itu langsung ditusukkan ke dalam kulit saya.” Ia menjelaskan.

“Wah kalau caranya begitu, rasanya tidak canggih.” Saya berkomentar. Tentu saja kawat yang ditusukkan ke dalam kulit akan menimbulkan rasa nyeri. Apakah ini dapat memberikan khasiat yang yang diminta pasien? Ternyata kemudian hari tidak benar alias nol besar.

Nn. Kathy nampak sedih.
Saya berkata ”Tidak apa-apa. Benda ini dapat dikeluarkan dengan cara operasi kecil di Klinik Bedah di Rumah Sakit.”

Pasien saya menjawab “Tidak mau, Dok. Nanti ada bekasnya diwajah saya.”

“Lalu maunya apa?’ saya bertanya.

“Adakah cara lain?” ia memohon.

Saya bertanya lagi “Susuk? Dimana kamu pasang? Kalau benar, maka ia yang harus cabut susuk ini.”

Pasien saya berkata “Tidak bisa, Dok”

“Lho kok tidak bisa. Bagi dia ini pekerjaan mudah.” saya ngotot.

“Tidak bisa lagi, karena ia sudah meninggal dunia.”

“Hah.... bagaimana ini? Ya sudah cari orang pintar lain”

Pasien saya berkata lagi “Saya tidak tahu siapa dan dimana rumahnya? Tolong lah, Dok.”

Glek...wah saya ketiban pulung lagi.

Saya ingat Pak Alimin ( bukan nama sebenarnya dan saat ini sudah meninggal dunia ).
Saya menelponnya dan ia menjawab “Suruh datang ke rumah asaya, aja Dok. Nanti saya bantu” jawabnya dengan enteng.

Beberapa hari kemudian Nn. Kathy datang ke tempat praktek saya dan melaporkan bahwa ia sudah dilihat pak Alimin dan diberi penawar berupa memakan sesuatu buah yang harus diambil langsung dari pohonnya dan tidak boleh jatuh ke tanah. Bila dalam waktu 1 minggu tidak ada perubahan, silahkan datang lagi.

Belum seminggu pasien saya ini datang lagi dan berkata bahwa susuknya belum keluar dan masih terasa nyeri.

“Tunggu sampai minggu dapan. Kalau masih belum keluar sendiri, laporlah kepada Pak Alimin.” kata saya. Dalam hati saya berkata kalau dikeluarkan dengan cara kedokteran kan sudah beres, tapi emang benar pasti ada bekas sayatan pisau.

Minggu berikutnya pasien saya ini datang lagi dan melaporkan ”Dok, sudah keluar. Nih barangnya.” Sambil memperlihatkan kawat emas itu.

“Bagimana kamu mengeluarkannya? Apa keluar sendiri?” saya bertanya ingin tahu.

“Tadi pagi saya melihat ada kawat kuning yang muncul sedikit di atas alis kanan saya. Lalu saya nekat, saya cabut aja sekalian dan keluarlah susuknya.he..he..” ia tertawa kegirangan.

Berarti benar, susuk itu akan keluar sendiri dalam waktu 1 minggu dan bisa tuntas dengan sedikit mencabutnya.

Rasa nyerinya langsung hilang dan juga sakit kepalanya.

Pas 2 tahun susuk itu ada di wajahnya tetapi jodohnya, masih belum dapat. Ternyata pasang susuk ini tidak berkhasiat sama sekali dan bahkan menimbulkan penderitaan baginya selama 2 tahun. Sudah banyak obat anti sakit kepala yang diminumnya tetapi sia-sia belaka.

Beberapa bulan kemudian Nn. Kathy datang bersama seorang pria yang lumayan wajahnya. Ia memperkanalkan bahwa ia adalah pacar pertamanya. Semoga menjadi suaminya.

Akhirnya tanpa pasang susuk, jodoh dapat diraihnya.

Apakah ini suatu kebetulan?
Saya tidak mengetahuinya dengan pasti. Ada beberapa kemungkinan: mungkin sudah waktunya ( semua di dunia ini ada waktunya, Pengkotbah 3: 1-8 ) atau perubahan sikapnya yang mudah bergaul karena sakit kepalanya sudah lenyap, sehingga ada pria yang menyukainya. Pasien saya saat itu sangat berbahagia, sudah dapat pacar. He…he….

Kata orang: umur, rejeki dan jodoh ada tangan Yang Maha Kuasa. Amin.

Santet ( 2 )


4 tahun yang lalu saya kedatangan pasien, Ibu Eli ( bukan nama sebenarnya ), 35 tahun. Keluhannya sakit kepala yang tidak semabuh-sembuh. Satu tahun sebelumnya ia pernah datang berobat kepada saya, tetapi sakit kepala yang dideritanya tidak kunjung sembuh.

Ibu Eli berpindah-pindah Dokter Umum dan Dokter Ahli Syaraf. Segala macam pemeriksaan seperti Foto Kepala, CT scan, MRI, pemeriksaan Darah di Lab. Klinik tidak menemukan sebab penyakitnya.

Saya tidak menemukan kelainan pada pemeriksaan Fisik, pemeriksaan Lab. Klinik dan Foto Kepala Ibu Eli. Resep obat yang saya berikan, tidak banyak bermanfaat.

Kalau ada pasien yang hasil pemeriksaan semuanya baik tetapi keluhannya tidak hilang, saya curiga ini bukan penyakit biasa tetapi penyakit kiriman orang.

Saya bertanya kepada Ibu Eli yang diantar suaminya.
“Ibu Eli, apakah Ibu mempunyai musuh, pernah bertengkar dengan seseorang atau pernah menyakiti hati seseorang beberapa waktu yang lalu?”

Ibu Eli balik bertanya dengan heran “ Kenapa Dok? Rasanya saya tidak melakukan semuanya itu.”

Saya menjawab “ Badan Ibu baik-baik saja, mungkin penyakit Ibu bikinan orang.”

Ibu Eli dan suaminya heran dan bertanya “Jadi harus bagaimana?”

“Ibu harus diperiksa oleh orang pintar.” Saya melanjutkan.

“Kami tidak punya kenalan orang pintar, Dok. Apakah Dokter punya?” suami Ibu Eli bertanya.

“Saya punya kenalan yang dapat melihat penyakit Ibu Eli. Bersediakah Ibu diperiksa olehnya? Siapa tahu benar penyakit kiriman orang lain.” saya berkata.

“Kami mau, Dok.”

Saya angkat telepon bicara dengan kenalan saya pak Alimin ( artikel “Bosan hidup” di Blog ini ), bukan nama sebenarnya.

Pak Alimin bersedia memeriksa Ibu Eli, saat itu juga. Saya menerangkan dimana alamat Pak Alimin.

Keseokan paginya saya bertanya via telepon kepada Pak Alimin tentang penyakit Ibu Eli. Pak Alimin menjawab bahwa benar itu penyakit kiriman orang, mantan pacarnya.
5 tahun yang lalu sebelum Ibu Eli menikah dengan suaminya yang sekarang, pernah berkenalan dengan Badrun ( bukan nama sebenarnya ). Ibu Eli tidak begitu suka dengan Badrun. Ibu Eli lebih menyukai Sidik, suaminya yang sekarang. Badrun sakit hati dan setiap 3 bulan sekali mengirim santer via orang pintar. Oleh karena Badrun masih menyukai Eli, Badrun hanya membuat Eli menderita sakit kepala yang berkepanjangan saja. ( kok tanggung ya, mengapa tidak sekalian dibuat mati saja. Kok jahat sekali si Badrun ini. Mengapa tidak cari wanita yang lain saja, yang lebih cantik? )

Saya bertanya lagi “ Selanjutnya bagaimana Pak Alimin?”

“Saya beri penawarnya yaitu memakan semacam buah yang harus dipetik dan tidak boleh jatuh ke tanah. Bila dalam waktu 1 minggu keluhan Ibu Eli masih ada, harap datang lagi”

Sebulan kemudian ketika saya bertenu dengan Pak Alimin di ruang periksa saya ketika ia minta diukur tekanan darahnya, Pak Alimin berkata “Satu minggu dan sampai sekarang Ibu Eli tidak datang-datang lagi tuh. Mungkin sembuh total.”

Saya menjawab “Iya, semoga begitu Pak.”

Pak Alimin bertanya “Ngomong-ngomong, bagaimana Dokter tahu kalau itu penyakit kiriman orang lain?”

Saya jawab “Entahlah Pak. Penyakitnya kok aneh, tidak sesuai dengan teori semua penyakit dengan gejala sakit kepala. Saya hanya menduga mungkin ini penyakit kiriman orang lain.”

Saat saya menulis artikel ini Pak Alimin sudah dipanggil Tuhan, 4 tahun yang lalu.

Santet ( 1 )



Tadi siang kami makan dengan lauk Soto Sapi yang dibeli di sebuah rumah makan kecil. Sambil menikmati Soto Sapi ini, saya kok jadi teringat akan kejadian yang sudah lama sekali.

Sekitar tahun 1971, saya dan beberapa teman kost sering makan pagi di sebuah warung makan yang menjual Nasi Soto Sapi di sekitar Kampus Unpad Jl. Dipatiukur Bandung.. Penjualnya adalah sepasang suami isteri, Pak Abdul ( bukan nama sebenrnya ) dan Ibu Siti Aminah ( bukan nama sebenarnya ). Mereka berasal dari kota Cirebon, kota kelahiranku. Oleh karena saya sering makan di warungnya dan kami berasal dari kota yang sama, kami sering berkomunikasi dengan bahasa Jawa Cirebon. Kami cukup akkrab dengan Pak Abdul.

Rumah mereka di sebuah gang sekitar 100 meter dari lokasi warung nasi Sotonya di Jalan Dipatiukur. Setiap pagi Pak Abdul memikul bakul Nasi dan baskom Soto dari rumah mereka ke warung Nasi tadi.

Suatu pagi, ketika saya makan diwarung mereka, saya melihat Nasi dan baskom Soto diangkut dengan sebuah Becak. Saya tidak melihat Pak Abdul.

Saya bertanya kepada Ibu Siti “ Ibu, saya tidak melihat Pak Abdul. Dimana bapak?”

Ditanya begitu wajah Ibu Siti tampak sedih dan menjawab “Bapak sakit, nak Bas”

“Sakit? Sakit apa Bu.Kemarin Bapak kok kelihatannya masih sehat dan dapat memikul dagangan Ibu” saya berkata dengan heran.

Sambil berbisik Ibu Siti berkata lagi “Bapak tidak dapat duduk, apalagi berdiri dan berjalan. Kami khawatir sekali akan kesehatan Bapak. Tolong bantu kami, nak Bas.”

Mereka tahu bahwa saya adalah mahasiswa Kedokteran. Pada tahun 1971 saya masih tingkat IV, semester 8. Paling tidak dapat menyembuhkan atau meringankan penyakit Pak Abdul. Beberapa bulan sebelumnya telinga kanan Pak Abdul mengeluarkan cairan dan berbau tidak sedap. Ia sakit radang telinga tengah ( Otitis Media Purulenta ). Saya memberinya 15 tablet Trisulfa ( semacam anti infeksi yang harganya murah meriah ) kepada Pak Abdul. 4 hari kemudian telinga Pak Abdul sembuh.


Ketika saat kemudian pak Abdul sakit lagi, Ibu Siti meminta tolong kepada saya untuk memberikan obat untuk menyembuhkan penyakit yang diderita Pak Abdul. Ia menderita kelumpuhan pada kedua kakinya ( paraplegia ).

Saya merasa aneh juga. Paraplegia yang diderita oleh Pak Abdul ini datang secara mendadak. Kemudian saya memeriksa fisik Pak Abdul. Semuanya baik-baik saya, kecuali kedua tungkai dan kakinya terasa lemas ( flacid ). Ah mungkin ini hanya sebuah radang syaraf tepi ( neuritis acuta ) yang dapat sembuh dengan minum tablet vitamin B1 100 mg sehari 3 kali.

Hari ke 4 saya datang ke warung Nasi Ibi Siti dan bertanya “Apakah Pak Abdul sudah sembuh dan dapat berjalan lagi?”

Ibu Siti hanya menggelengkan kepalanya dan tampak sedioh sekali. Saya menengok Pak Abdul di rumahnya. Keadaannya tetap tidak berubah. Minum tablet Vit, B1 tidak banyak artinya.

Sekelebat saya mendapat inspirasi jangan-jangan pak Abdul dissantet orang.
Saya berkata bepada Pak Abdul dan Ibu Siti “Ibu Siti, saya merasa aneh dengan penyakit Bapak. Rasanya ini bukan penyakit biasa. Saya tidak dapat menyembuhkannya. Lebih baik Pak Abdul diperiksa oleh orang pintar, semacam Paranormal gitu . Siapa tahu dapat menyembuhkan Bapak.”

Semingu kemudian saya tidak makan pagi di warung Ibu Siti karena saya malu tidak dapat menyembuhkan penyakit Pak Abdul. Memang saat saya belum menjadi dokter.

Terdorong rasa ingin tahu, suatu pagi satu minggu kemudian saya makan di warung Nasi Soto Ibu Siti. Ketika Ibu Siti melihat saya ia berkata kegirangan “Nak Bas, sini. Makanlah sekenyangnya dan tidak usah bayar. Ibu dan Bapak sangat berterima kasih kepada nak Bas.”

Saya menjawab “Ah….masak saya makan gratis, Bu? Saya kan tidak berbuat apa-apa untuk Bapak. Bagaimana keadaan Bapak?”

Ibu Siti sambil menyodorkan sepiring nasi Soto Sapi favoritku, berkata “ Itu Bapak sedang memikul sebuah ember berisi air teh. Makanlah nak Bas. Nanti Bapak akan bercerita tentang penyakitnya.” Ibu Siti tampak sumringah melihat saya datang untuk sarapan di warungnya lagi.

Saya menyalami Pak Abdul ketika ia tiba membawa air teh untuk warungnya.
Pak Abdul berkata dengan gembira “Nak, Bas kami berterima kasih, yang sudah membuka jalan bagi saya sehingga saya dapat berjalan lagi.”

“Iya Pak, tapi bagimana ceritanya?” saya bertanya.

“Kami melakukan saran nak Bas untuk mencari orang pintar. Sore hari kami datang ke rumah seorang Embah wanita di jalan anu. Embah ini memegang sebilah Keris. Keris diletakkan diatas setumpuk macam-macam bunga. Beberapa saat kemudian, ada sebuah bunga mawar merah yang nempel di ujung Keris. Embah bilang katanya penyakit kamu penyakit kiriman orang.

Pak Abdul bertanya “Mbah, siapa yang mengirimnya?”

“Yang ngirimnya adalah orang yang jualannya sama dengan dagangan kamu. Ia jualan di sebelah warung kamu.” Sang Embah menerangkan.

Glek… Pak Abdul kaget. Kok begitu ya. Sampai hati ia berbuat begitu terhadap Pamannya. Ternyata ia adalah keponakan Pak Abdul yang berjualan Nasi Soto Sapi juga di sebelah warung Nasi Pak Abdul. Keterlaluan.

Sang Embah memberikan setumpuk bunga kepada Pak Abdul. Bunga-bunga itu untuk dicampur dengan air mandi untuk menawarkan kiriman keponakannya. Keseokan harinya Pak Abdul dapat berdiri dan berjalan lagi.

Ketika sang Keponakannya melihat Pamannya berjalan memikul dagangannya, ia merasa panik. Ia segera menutup warung Nasinya dan lenyap entah kemana. Sejak itu Pak Abdul tidak bertemu lagi dengan keponakannya. Ia merasa perbuatannya sudah diketahui dan Pamannya sudah dapat berjalan lagi. Santetnya sudah ditawarkan sang Embah.

Pola pikirnya sederhana saja. Kalau Pamannya sakit dan tidak jualan lagi, maka langganannya akan pindah makan di warungnya. Akhirnya kebaikan akan selalu mengalahkan yang jahat!

Minggu, Februari 22, 2009

Manula


Tanggal 29 November 2004 Aku mendapat Surat Penugasan dari Majelis Jemaat GKI Pengampon, Cirebon untuk melaksanakan pelayanan kesehatan di Panti Wreda Kasih. Teman Sejawat Dr. Y. tidak dapat melayani di tempat ini lagi, karena mendapat tugas di suatu Instansi Kesehatan di Kabupaten Cirebon. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan Tenaga Medis, aku mendapat tugas tsb. Selain aku masih ada Teman Sejawat Dr. K. yang secara bergantian kami memberikan pelayanan pada setiap hari Sabtu pukul 11.00 - 12.00.

Semasa lokasi Panti Wreda ini di daerah Kejawanan, aku juga pernah memberikan pelayanan kesehatan, setelah Teman Sejawat seniorku yaitu Dr. A. B. dipanggil Tuhan. Untuk mendapatkan daya tampung yang lebih besar maka lokasi Gedung Panti dialihkan ke daerah Perumnas. Lokasi yang tenang dan udara yang bersih maka tempat ini lebih nyaman untuk ditempati.

Tidak adanya Catatan Kesehatan ( Medical Record ) yang memadai mendorong aku membuat Kartu Medrec yang ditempeli Pasfoto masing-masing warga Panti, sehingga lebih mudah mengenali pemiliknya. Hobi fotografiku banyak bermanfaat dalam pengambilan pasfoto tsb.

Akhirnya saya rubah jadwal kunjungan dari hari Sabtu ke hari Jum'at, karena hari Sabtu biasanya ada Seminar atau Simposium. Setiap hari Jum’at, supir Gereja dengan rajin menjemputku dan mengantarkan pulang dari rumahku ke Gedung Panti. Sepulang dari Panti aku hampir selalu membeli buah-buhan Nangka, Pepaya atau lainnya di kios buah di depan Pasar Perumnas. Pisang kesukaanku merupakan sumber kalium yang murah dan enak rasanya.

Di masa pensiunku dari Departemen Kesehatan tmt 1 April 2000, aku masih buka praktek swasta di rumahku pada pagi dan sore hari. Uang gaji pertama sebagai PNS dan pensiun yang aku terima setiap tanggal 2 selalu aku berikan kepada Ibuku untuk membiayai segala kebutuhan rumah orang tuaku. Sudah sewajarnya bila aku mengembalikan uang orang tuaku yang sudah dipakai untuk membesarkan, menyekolahkan aku, dikembalikan lagi kepada beliau. Kami masih diberi rejeki oleh Tuhan dari hasil parktek swasta.

Umur Ibuku sudah mencapai 81 tahun. Ayahku sudah dipanggil Tuhan 17 tahun yang lalu setelah sakit Stroke dan mengalami koma selama 3 hari. Seperti lazimnya Manula, Ibuku sering mengeluh sakit seluruh badan yang merupakan gejala Osteoporosis ( keropos tulang ), penglihatan tidak jelas akibat penyakit Katarak. Beberapa tahun yang lalu kedua Lensa matanya sudah dioperasi dan diganti Lensa buatan. Keluhan Telinga mendesing ( Tinitus ) juga kadang kala dikeluhkan Ibuku. Dengan pengobatan yang kuberikan kepada Ibuku, keluhannya tidak banyak lagi. Aku membayangkan kalau aku diberi umur panjang oleh Tuhan, maka aku juga akan mengalami keluhan-keluhan seperti itu.

Ketika aku memberikan pelayanan kesehatan bagi warga Manula di Panti Wreda. Keluhan-keluhan yang dilontarkan mereka sudah sangat hafal aku bagiku, mirip dengan keluhan Ibuku. Rata-rata umur warga Panti Wreda diatas 60 tahun. Sudah mempunyai KTP seumur hidup. Sering kali umur panjang tidak diikuti dengan tingkat kesehatan yang memadai, bahkan menurun banyak sesuai dengan meningkatkan umur.

Sering kali aku bertanya kepada masing-masing warga Panti.
“Tadi pagi apakah sarapannya dihabiskan?”
Kalau jawabanya “ Habis, dok”. Aku senang karena orang yang masih mau makan maka ia masih punya keinginan dan harapan untuk hidup.
Harapan? Ya harapan. Kita perlu berharap agar Tuhan masih memberikan kehidupan agar hidup kita masih ada gunanya bagi orang lain. Berbahagialah mereka yang masih mau makan, karena mereka masih berharap diberi kehidupan oleh Tuhan. Bila seseorang yang sakit khronis sudah tidak mau makan selama 2-3 hari, ia mempunyai Prognosa ad malam ( harapan sembuh yang jelek ). Umurnya tidak akan lama lagi.

Sering kali aku dipanggil keluarga pasien untuk memeriksa kesehatan salah satu anggota keluarganya. Biasanya sakit Stroke yang sudah bertahun-tahun, Kanker stadium lanjut, atau penyakit khronis lainnya. Begitu melihat tubuhnya yang sudah kurus, kulit membalut tulang saja, aku trenyuh melihatnya.

Timbul pertanyaan di dalam hatiku “Mengapa Tuhan membiarkan mereka hidup menderita seperti itu selama bertahun-tahun?” Adakah rencana Tuhan yang kita tidak ketahui? Apakah tidak lebih baik bila Tuhan segera memanggil mereka segera agar penderitaanya segera berakhir dan biaya hidup kelurganya tidak dibebani biaya obat, rumah sakit dll yang sangat besar? Hanya Tuhan yang tahu.

---
Jum’at siang itu terasa hangat menjengat, maklum udara kotaku tergolong panas seperti layaknya daerah di Pantura Jawa. Entah mengapa aku ingin minum air teh hangat sambil memeriksa kesehatan warga Panti Wreda. Tak lama kemudian pesananku tiba dan terletak diatas mejaku. Segera tanganku secara refleks kutarik dari gelas teh tsb. Panas sekali. Mana bisa aku minum air sepanas itu? Harapanku meminum air teh hangat tidak terkabul. Sejak saat itu aku usahakan agar di dalam tasku, aku membawa sebotol plastik air minum. Rasanya lebih enak bila aku tidak usah merepotkan orang lain hanya untuk minum.

Pekerjaanku masih belum selesai, masih ada 3 orang yang belum kuperiksa. Udara kamar pemeriksaan yang sempit membuat aku merasa tidak nyaman. O.. rupanya pesawat AC tidak bekerja lagi. Hanya udara hangat yang berhembus karena Fan outdoor tidak berputar karena aliran strom listrik terganggu.

“Yong, Ayong…..” aku memanggil Ayong, salah satu warga Panti.

“Ada apa, Dok?”

“Tolong pinjam Kipan angin yang di ruang makan dibawa kemari. Disini udara panas sekali.”

Hembusan udara terasa sedikit menyejukkan badanku. Aku sudah melaporkan kepada Pak S. dan Ibu R. sedikitnya sudah empat kali, tetapi setelah diperbaiki AC tidak berfungsi lagi ketika akau melakukan tugas pelayanan di Panti. Aku harus puas dengan keadaan di ruang pemeriksaan kesehatan itu. Keadaan yang tidak nyaman menyebabkan aku tidak dapat berkonsentrasi memeriksa kesehatan pasien. Keadaan berubah setelah di dalam Rapat Pleno Majelis Jemaat dibahas tentang kerusakan AC ini. AC dapat menghembuskan udara yang sejuk, meskipun tidak sesejuk udara di Gunung Guci, tapi lebih baik dari pada hembusan Kipas angin. Aku berterima kasih kepada petugas yang telah menghidupkan AC ini dari keadaan koma selama beberapa minggu.

---

Oma S, 71 tahun dengan berat badan 30 Kg, mengeluh sering batuk dan sesak nafas. Dari Foto yang pernah dibuat ternyata ia menderita Bronchitis khronis ( radang paru menahun ) dan Cardiomegalia ( pembesaran jantung ). Kami memberikan pengobatan antibiotika, anti sesak nafas, tablet penguat Jantung dan macam-macam Vitamin & Mineral. Keadaan kesehatannya tidak membaik bahkan berat badan makin menurun. Dalam 3 bulan menjadi 27 Kg. Selera makan menurun banyak, makan 2 suap lalu berhenti. Sesak nafas tidak berkurang, susah tidur. Aku mempunyai firasat mungkin sebentar lagi akan dipanggil Tuhan. Semua obat tetap diberikan.

Siang itu aku didaulat oleh Ibu P. untuk mewakili Pengurus Panti Wreda dalam acara perpisahan kerja praktek para mahasiswa STIKES dari Kabupaten Cirebon. Semula aku menolak sebab kapasitasku bukan sebagai Pengurus Panti tetapi hanya sekedar pelayan kesehatan. Aku melihat roman muka Ibu P. yang sudah putus asa sebab panggilan melalui telepon kepada semua para Pengurus, tidak satupun yang dapat hadir ketika mereka dibutuhkan. Sedikitnya ada 5 orang yang termasuk Pengurus tetapi tidak ada satupun yang dapat hadir ketika diperlukan.

Akhirnya aku berprinsip “Tiada rotan, akarpun jadi.”
Aku menyatakan kepada Ibu P. “ Kalau tidak ada Pengurus Panti, biarlah aku yang mewakili dalam acara penting ini.”
Acara perpisahan berjalan mulus, bahkan kami dapat mengambil foto bersama. Para mahasiswa memberikan 2 bungkusan besar sebagai kenang-kenangan untuk Panti Wreda. Salah satu bungkusan itu konon sebuah Rice cooker, untuk memasak Nasi.

“Dok, Oma S. saat ini makin parah dan tidak mau bangun” begitu laporan salah satu Staf Panti. Aku sempatkan masuk ke kamar Oma S. Keadaannya makin parah, pernafasan sudah makin lambat dan denyut Jantung melemah. Rupanya waktu jemputan makin mendekat. Tak banyak yang dapat kami lakukan selain meminta datang keluarganya yang berdomisili di Jatiwangi dan berdoa.

Keesokan harinya ada telepon yang mengatakan bahwa Oma S. sudah dipanggil Tuhan. Dengan mobil Gereja aku, Bapak & Ibu Pdt T. dan Ibu K. pergi ke Panti Wreda. Setelah meyakinkan ketiadaan Oma S. , aku membuat Surat Keterangan Kematian yang dibutuhkan untuk proses pemakamannya. Selamat jalan Oma S….

Berkali-kali aku melihat seseorang rekan atau pasien masih sehat dan berkali-kali pula aku melihat mereka sudah meninggalkanku dengan cepat. Tadi pagi aku masih bersalaman degan Pak R. tetapi selang 8 jam kemudian aku mendengar ia telah tiada karena mobilnya ditabrak kereta api. Yang lain menderita bertahun-tahun, tetapi ada juga hanya dalam bilangan menit sudah dipanggil Tuhan. Siapapun, apapun pangkatnya, dan berapapun banyak hartanya, tetapi kalau sudah saatnya tiba, tidak akan ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalangiNya.

Sebelum ajal tiba, aku ingin berbuat baik dan menolong orang lain, seperti kalimat bijak dibawah ini:


Bila ingin bahagia satu hari, pergilah memancing.
Bila ingin bahagia sebulan, menikahlah.
Bila ingin bahagia setahun, warisilah harta.
Bila ingin bahagia selamanya, tolonglah orang lain.




Bosan hidup


Saya mempunyai seorang kenalan, namanya Pak Alimin, yang akhirnya menjadi pasienku. Saya mengenal seluruh anggota keluarganya. Umurnya 3 tahun diatas saya. Ia penderita Hipertensi, Darah Tinggi.

Pak Alimin dan isteri memunyai 6 orang anak. Dua laki-laki dan empat perempuan. Yang bungsu masih sekolah di SD. Anak yang sulung, Yono, 27 tahun sudah menikah dan tinggal rumah Mertuanya. Kerjanya serabutan dan tidak betah kerja lama di suatu tempat atau toko. Akhir-akhir ini Yono sering datang kerumah Pak Alimin untuk minta uang. Pak Alimin tidak memberi uang karena ia sudah berumah tangga dan sudah dapat mencari nafkah sendiri.



Seharusnya Yono sebagai anak yang sudah bekerja, yang memberi uang kepada orang tuanya. Ibunya secara diam-diam memberi Yono uang ala kadarnya. Yono tidak puas diberi sedikit uang oleh Ibunya. Yono marah-marah dan teriakannya terdengar oleh Pak Alimin. Terjadilah perang mulut di dalam keluarga pasienku itu. Seringnya perang mulut ini mengakibatkan penyakit Darah Tinggi Pak Alimin sulit disembuhkan. Stres masalah keluarga yang menjadi faktor pencetus kumatnya penyakit Darah Tinggi.

Suatu saat pukul 20.00 saya mendapat panggilan per telepon dari Ibu Alimin. Katanya suaminya tidak bangun-bangun dari tidurnya sejak 2 jam yang lalu. Saya datang dan memeriksa Tekanan Darah Pak Alimin, 180/100 mmHg. Tinggi. Tidak biasanya. Biasanya sekitar 160/90 mm Hg. Reflex Pupil, anak mata negatif, anak mata Mydriasis, melebar. Tak ada reaksi apapun ketika kulit kakinya dicubit. Pak Alimin mengalami Koma.


Saya memberi advis untuk segera membawa Pak Alimin ke Rumah sakit terdekat. Isterinya menolak dengan alasan tidak punya uang. Seluruh anggota keluarganya, memanjatkan doa-doa agar Pak Alimin ini segera sadar dari Komanya. Saya bingung juga. Saya berdiskusi dengan isteri Pak Alimin di ruang tengah. Kemudian terdengar suara anak perempuannya berteriak memanggil Ibunya.
“Bu, ibu…. bapak sudah bangun!”


Saya dan Ibu Alimin segera masuk kamar tidur Pak Alimin.
Saya menyalami Pak Alimin dan ia bertanya “Kok ada Pak Dokter disini. Ada apa Dok?” tampaknya Pak Alimin bingung melihat kehadiranku di kamar tidurnya.
“Saya kebetulan lewat rumah Bapak, lalu saya mampir.” Saya menjawab sekenanya.

Saya bertanya “Pak Alimin, tadi Bapak pergi dari mana? Kok lama perginya.”
Setelah melihat langit-langit kamar tidurnya Pak Alimin menjawab “Saya sudah pergi jauh, masuk suatu terowongan yang berputar-putar, badan saya seperti ada yang menyedot ke depan. Saya melihat di ujung terowongan itu suatu sinar putih yang menyilaukan mata. Entah mengapa badanku tersedot lagi ke belakang dan akhirnya ke luar dari terowongan itu.”

“O… begitu, baiklah Pak Alimin, silahkan minum air teh hangat ini “ katsaya yang sebelumnya saya minta disediakan air teh hangat manis kepada salah satu putrinya.
Pak Alimin segera minum air itu dengan lahapnya seperti orang yang sedang kehausan.


Kejadiaan itu terulang 1 kali lagi selang beberapa bulan kemudian. Ia koma 1 jam dan sadar dengan sendirinya. Sepertinya ia mempunyai nyawa cadangan.

Suatu saat Pak Alimin ketika bertemu denganku berkata demikian “Dokter, nanti kalau menjumpai saya dalam keadaan tidak sadar lagi, saya minta agar disuntik mati saja” Pak Alimin memohon kepada saya.
“Tak mau saya menyuntik mati pasienku.” Saya segera mejawab permohonannya yang konyol itu.
“Wah kalau begitu, Dokter bukan sahabatku lagi” kata Pak Alimin yang seperti sudah kehilangan akal.

“Pak Alimin, mengapa mengajukan keinginan seperti itu”
“Dok, saya mempunyai Darah Tinggi, kalau nanti saya sadar dari pingsan suatu saat, saya mungkin akan mejadi lumpuh. Saya akan mati sebelah badan dan saya tidak bisa bekerja lagi. Untuk makan kami harus menjual rumah karena kami sudah tidak punya apa-apa lagi selain rumah yang kami tinggali. Nanti keluarga saya akan tinggal di kolong jembatan. Saya tidak mau itu terjadi” kata Pak Alimin dengan sedihnya.

Ya Tuhan, kok pikiran Pak Alimin seperti itu jauhnya. Saya sukar memahami jalan pikirannya.
Saya menjawab ”Saya tak mau menyuntik mati pasienku sendiri. Itu melanggar hukum. Saya sekolah dokter untuk menyembuhkan orang, bukan untuk membunuh orang.”

Pak Alimin termenung, kecewa dengan penolakanku tadi.
Bagaimana ya, saya dapat menyadarkan pikirannya yang sedang kacau itu. Akhirnya saya mempunyai ide jawaban yang mungkin sekali dapat menyadarkan Pak Alimin yang sedang putus asa ini.

“Pak Alimin, seandainya saya telah membuat Bapak meninggal dunia. Kemana perginya roh Bapak?” saya bertanya kepadanya.
“Roh saya akan berada di ahirat.”
“Iya benar, lalu Malaikat Penjaga akan bertanya kepada Bapak “Siapa namamu?”
Bapak akan menjawab “Nama saya Alimin.”
“Alimin bin siapa?”
“Alimin Bin Samsudin.”

Malaikat akan membuka Buku Kehidupan dan mencari nama itu pada tanggal itu.
Lalu Malaikat berkata “Alimin Bin Samsudin belum waktunya menghadap kesini. Pulanglah kembali.”
Saya melanjutkan “Roh Pak Alimin akan turun kembali ke dunia. Di dunia Bapak akan mencari rumah ( badan ) sendiri, tetapi rumahnya sudah tidak ada lagi karena jenasahnya sudah dikuburkan. Lalu Roh Bapak akan mencari-cari rumah dan jadilah Roh gentayangan. Apa Pak Alimin mau seperti itu?”

Pak Alimin diam seribu bahasa mendengar ucapanku. Rupanya argumentasiku untuk menolak mengakhiri hidupnya itu masuk di akal Pak Alimin.”

Pak Alimin sekarang sudah meninggal akibat Koma yang ketiga kalinya. Meskipun dibawa ke Rumah Sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Sekarang Pak Alimin sudah terbebas dari segala penderitaannya di dunia yang fana ini. Stres yang berkepanjangan, menyebabkan Pak Alimin ingin mati saya.

Demikianlah kisah Pak Alimin.

Sabtu, Februari 21, 2009

Endorphin



Pernahkah anda dahulu atau sekarang ketika fall in love, mengalami hal-hal yang menggelikan?

Pernahkah anda mengalami:
1. Perasaan tidak nyaman kalau sehari saja tidak bertemu dengan dia,
2. Debar jantung bertambah cepat bila berdekatan dengan dia,
3. Keluar keringat dingin,
4. Salah ucap, salah tingkah,
5. Ketawa-ketiwi ?

Bila pernah, maka para peneliti mengatakan bahwa itu merupakan efek dari Endorphin yang ada dalam tubuh anda (
http://encyclopediathefreedictionary.com/p/opioid ). Beta Endorphin mempunyai banyak efek termasuk terhadap Sexsual behaviour dan selera makan.

** Apakah Endorphin itu?

Endorphin merupakan kepanjangan dari Endogenous Morphine atau Morphin yang dihasilkan oleh tubuh kita.
Beta–endorphine dihasilan oleh Kelenjar Hypophyse ( Pitutary gland ) suatu kelenjar yang berlokasi di dasar Otak Besar dan oleh Hypothalamus, suatu bagian dari Otak Besar.

Aktivitas fisik seperti: berlari, berenang, lintas alam, mendayung, bersepeda, angkat berat, bola basket, sepak bola akan merangsang produksi Endorphin dalam tubuh.

Capsaicin, suatu zat aktip yang ada dalam cabe ( chili peppers ) juga dapat merangsang pelepasan Endorphin. Penggunaan Capsaicin secara topikal ( olesan obat gosok pada kulit ) sampai sekarang dipakai dalam pengobatan nyeri yang menahun ( chronic pain ).

Berbicara tentang Endorphin, tidak terlepas dari topik Opioid.

** Apakah Opioid itu?

Opioid merupakan suatu zat yang mirip Opium / candu. Yang mempunyai sifat Morphine like action dalam tubuh.
Opioid mempunyai khasiat utama untuk menghilangkan rasa nyeri ( pain relief ). Morphin bekerja pada Opioid receptor yang terdapat dalam Susunan Syaraf Pusat ( Otak ) dan Saluran Pencernaan.

Ada 4 macam Opioid, yaitu:
1. Opioid Alami: misalnya Morphin dan Codein ( methyl morphine ) yang dipakai sebagai anti tusif ( anti batuk ).
2. Opioid Semi Sintetis, misalnya Heroin
3. Opioid Sintetis, misalnya Pethidin dan Methadone
4. Opioid Endogen ( yang dihasilkan oleh tubuh sendiri ), misalnya Endorphin.

Pengunaan Opioid:

Opioid dipakai sebagai:
1. Penghilang rasa nyeri ( suntikan Morphin atau Pethidin pada Kanker satdium lanjut, Patah tulang dll )
2. Obat Batuk ( Codein / methyl morphine )
3. Obat Anti Diare ( Tinctura Opii )
4. Anti cemas ( Oxymorphane )
5. Anti Racun / detoksifikasi ( Methadone )

Bahaya obat-obat ini adalah menekan fungsi pernafasan. Dosis terapi tidak boleh dilanggar, karena akan menyebabkan kematian akibat over dosis ( lethal dose ) yang sangat sulit diatasi.

Dari pada bermain-main dengan Opioid, lebih baik meningkatkan Endorphin dengan melakukan aktivitas seperti diatas.

Door price lagi




Kemarin siang saya dan isteri menghadiri undangan RTD, Round Table Discussion dari salah satu perusahaan obat. Ada 9 teman sejawat yang hadir. Acara dilakukan di sebuah Resto, favorit kami. Acara ditutup dengan Lunch bersama.

Acara ini membicarakan beberapa macam obat produk dari pabrik obat ini. Seperti biasa, selesai presentasi produk dilanjutkan dengan acara tanya jawab atau diskusi. Acara yang dilakukan dengan santai, dilanjutkan dengan acara Door price.

Ada 3 hadiah akan akan diperebutkan oleh para dokter.
2 hadiah pertama diperebutkan dengan mengundi sepotong kertas yang diambil dari daftar hadir. Kami tidak mendapatkan undian ini.

Ketika hadiah yang ketiga diundi, caranya berbeda. Siapa yang membawa kunci paling banyak itulah pemenangnya.

Teman sejawat kami yang dyduk disebelah saya dengan PD memperlihatkan segepok kunci yang dibawanya. Panitia segera menghitungnya, ada 15 kunci. Cukup banyak.

Jantung saya berdebar lebih cepat. Kunci-kunci yang ada dalam kantong celana saya, pasti lebih banyak dari jumlah itu. Ada kunci rumah, kunci ruang praktek, kunci mobil, ditambah kunci-kunci isteri saya. Total sekitar 40 buah kunci. Tidak ada yang membawa kunci lebih banyak lagi.

Banyak memberi komentar “ Kunci apa aja tuh, Bas?”

Saya jawab “ Semua kunci yang saya miliki. He..he..” sambil menerima sebuah hadiah yang dibungkus dengan kertas Kado.

Setelah saya menerima Door price itu dengan senyum simpul, terdengar suara “ Bukalah, Bas. Kami ingin tahu apa sih isinya?”

Rupanya Door price yang di dapat dengan cara yang unik dan penuh gelak tertawa teman sejawat ini mengundang rasa ingin tahu. Segera isteri saya merobek kertas pembungkusnya dan tampaklah sebuah bantal warna kuning yang terbuat dari kain yang halus. Bantal untuk ganjel Bokong ketika duduk. He….he…..Semua tertawa. Dikira dapat hadiah apa gitu. Ternyata ganjel Bokong.

Ya lumayanlah, agar Bokong saya tidak cape ketika ngeBlog. He…he..lagi dah.

O…. alangkah senangnya saya saat itu. Dibandingkan dengan harga Door price yang tidak mahal, saya lebih senang melihat “kecemburuan” teman-teman sejawat lain. Kok Basuki dan isteri sering dapat Door price. Apa kiatnya sih?

Sebenarnya tidak ada kita khusus. Semua teman sejawat mempunyai kesempatan yang sama. Bagi kami kesempatan itu 2 kali lebih banyak oleh karena, kami suami-isteri. Kalau bukan saya, tentu isteri saya yang dapat, bukan? Makanya harus sayang isteri dan sayang suami, bukan?

Kalau dihitung-hitung, emang sudah banyak Door price di rumah kami yang di dapat dengan cara yang unik. Kadang kala kami tidak menduga mendapat Door price yang lumayan bagusnya dilihat dari harganya yang besar juga. Sebuah handphone merk Nokia seri 6 pernah di raih oleh isteri saya yang memang sejak lama ingin ganti Handphone dalam sebuah acara Simposium Kedokteran di salah satu Hotel di kota kami. Pucuk dicinta, ulam tiba.

Kalau bukan suaminya, tentu isterinya yang dapat. Begitu komentar para teman sejawat kami berolok-olok. “Why you. Why you. Why you, Bas “
Saking jengkelnya saya jawab “Why not?” Namanya juga undian-lah. Kadang dapat, kadang tidak dapat. Mungkin kami sedang hoki ( beruntung ) hari ini. He..he….

Ada teman sejawat yang belum penah mendapat door price sekalipun, meski sudah mengikuti acara Simposium selama bertahun-tahun. Kasihan deh. Habis kalau acara undian dimulai, ia meninggalkan ruangan, karena sudah mensugesti “…ah saya tidak dapat, pecuma menunggu.” Kalau namanya dipanggil, dapat Door price, ia sudah tidak di tempat meskipun sudah dihitung sampai bilangan 3. Door price pindah ke tangan sejawat yang lain. Makanya kalau sedang diundi, wajib duduk manis mendengar nomer yang dipanggil. Siapa tahu nyangkut dan dapat sebuah Handphone. he…he…Itulah kiatnya. Gampang bukan? Duduk yang manis dan berdoa!

Met mengikuti Simposisum berikutnya. Ciao…..

Jumat, Februari 20, 2009

Takut disuntik




Tadi pagi saya melihat-lihat album foto saya di layar LCD saya.

Ada 2 Foto yang menarik perhatian saya. Kedua foto itu merupakan dokumentasi pribadi ketika saya pada tahun 2008 saya memberikan Imunisasi Hepatitis B bagi murid salah satu Taman Kanak- kanak dan bagi mahasiswi salah satu STIKES.

Yang satu berumur sekitar 4 tahun dan yang lain berumur sekitar 20 tahun atau 5 kali lebih tua umurnya ).

Yang satu ( TK ) dengan PD ia tampak tidak takut diberi suntikan Imunisasi dan yang lain ( mahasiswi ) nampak ngeri atau ketakutan ketika disuntik dan bahkan keluar keringat dingin.

Saya memberi sugesti kepada mahasiswi ini: ”Jangan takut. Tidak apa-apa. Masak kalah sama murid TK?” Akhirnya ia bersedia lengannya disuntik vaksin Hepatitis B. Ketika jarum suntik masuk ke bawah kulitnya ( subcutan ), pada foto yang diambil asisten saya tampak ekpresi wajahnya yang menimbulkan rasa geli dan kasihan.

Wah...kok mahasiswi kalah dengan murid TK dalam soal keberanian disuntik.

Emang tidak semua orang berani disuntik. Ada yang ngeri, tidak berani disuntik dan ada yang minta disuntik 2 kali kalau datang berobat. Nah lho….

Kamis, Februari 19, 2009

Sayang Anak


Kemarin sore, teman saya Robert yang datang berobat.
Ia menderita Flu sejak 4 hari. Saya memberinya resep obat klasik untuk Flu.

Selesai semuanya, Robert bertanya kepada saya “ Bas, saya dengar anda sekarang sudah pensiun dari PNS.”

Saya menjawab “Betul, saya pensiun atas permintaan sendiri per 1 April 2000.”

Robert bertanya lagi “Dulu mengapa anda tidak study S2? Penghasilannya kan lebih besar dari pada hanya S1.”

Lama saya tidak menjawab pertanyaannya itu. Ceritanya panjang.
Akhirnya saya menjawab “Benar saya tidak ambil S2 karena saya sayang putra dan putri kami.”

“Maksud anda?” Robert ingin tahu lebih lanjut.

Saya menjelaskan “Sebenarnya pada tahun 1990 ketika putra dan putri kami duduk di TK dan SD kelas 1, isteri saya menyarankan agar saya mengambil study S2. Saya berat hati menerimanya. Setiap pagi dan siang saya harus mengantar dan menjemput putra dan putri kami pergi ke Sekolah masing-masing. Sore hari, isteri saya berangkat untuk praktek dokter umum. Saya praktek dokter umum di rumah. Seorang pembantu membantu mengerjakan keperluan rumah tangga. Putra dan putri kami sering kali bertanya soal PR, pekerjaan rumah. Tidak mungkin pembantu kami dapat menjawab soal-soal itu. Menjelang ulangan umum atau ujian makin banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya sehingga saya menjadi Guru Les bagi mereka. Kalau saya selokah S2 lagi di luar kota, lalu siapa lagi yang harus menggantikan tugas tsb? Isteri saya tidak mungkin, karena ia pagi saampai siang bekerja di Puskesmas dan sore hari juga tidak ada di rumah. Pulang praktek sore sekitar 21.00. Keberadaan saya di rumah pada siang daan sore hari membuat putra dan putri kami tenang dalam hal belajar. Kalau saya study S2 ujung-ujungnya juga mencari nafkah. Sekarang meskipun hanya S1, masih dapat mencari nafkah di rumah dan juga menjadi pendamping dan pembimbing bagi putra/i kami. Saya lebih senang memilih pilihan yang kedua yaitu mendampingi mereka belajar agar kelak mereka dapat study sampai S1 dan S2 kalau memungkinkan. Biarlah saya S1 saja dan berdoa semoga anak-anak kami ada yang menjadi Dokter dan mempunyai kesempatan meraih S1 atau S2. Saya dan isteri dapat meraih S1 Kedokteran saja, kami sudah sangat bersyukur.”

Saya melanjutkan “Puji Tuhan, akhirnya pada Desember 2005 putra kami dapat meraih S1 Kedokteran dan April 2007 putri kami dapat meraih S1 dan S2 dibidang Kimia Tehnik dan Biomedikal Tehnik di UNSW, Sydney. Saat ini mereka sudah bekerja di bidang masing-masing di kota tsb. Mulai Januari 2009 putra kami melanjutkan study S2 nya di salah satu Rumah Sakit. Jerih payah kami membimbing daan mengantarkan anak-anak kami sudah memberikan hasilnya. Saya tidak menyesal kalau saya hanya meraih S1 saja. Toh akhirnya anak-anak kami dapat meraih study sampai S2. Begitulah cerita sayang anak.”

Robert mengangguk–anggukkan kepalanya. Putra/i Robert tidak satupun yang berhasil meraih study S1. “Bas, anda lebih beruntung dari saya” kata Robert, temanku itu.

Saya menjawab “Amin.”

Sayang Suami



Ada Isteri, ada Suami. Ada siang dan ada malam.
Beberapa hari yang lalu saya menulis “Sayang isteri”. Agar ada keseimbangan kali ini saya menulis kisah “Sayang Suami”.

Suatu sore datang berobat Ny. Eli ( bukan nama sebenarnya ).
Keluhannya nyeri ulu hati yang sudah diderita sejak beberapa bulan lalu. Semua obat Maag, sudah dikenalnya. Ny. Eli sering berganti Dokter untuk mengobati penyakit Maagnya ( Gastritis ).

Sore ini ia meminta saya agar dibuatkan resep agar ia menjadi bodoh, agar ia cuek kepada Suaminya. Ia sudah jenuh akan kelakuannya Suaminya.

Ny Eli berkisah bahwa ia seorang Janda dengan 2 putri yang sudah besar dan bekerja di luar kota. Suami pertamanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia saat ini tinggal di kota kami. Ia tidak mempunyai sanak famili di kota ini. Suaminya meninggalkan warisan antara lain sebuah toko yang berjalan baik. Secara materi Ny. Eli sudah mandiri, tidak memerlukan bantuan orang lain. Sebenarnya ia dapat hidup tenang.

Sebagai manusia biasa Ny. Eli juga kesepian. Hidup hanya ditemani seorang pembantu di rumahnya yang besar. Entah mengapa ( mungkin ada faktor lain ) ia dapat berkenalan dengan seorang laki-laki yang sudah berkeluarga dan mempunyai usaha yang mapan di kota ini. Ia hidup bersama Tn. Hadi ( bukan nama sebenarnya ) tanpa menikah resmi.

Setiap malam Tn. Hadi datang dan makan bersama Ny. Eli. Ny. Eli selalu melayani kebutuhan biologis Tn. Hadi. Ny. Eli tidak pernah meminta sesuatu materi kepada sang suami ini dan selalu melayani apa yang diminta suaminya. Enak juga ya Tn. Hadi ini, ia disayang benar oleh wanita keduanya.

Meskipun demikian Ny. Eli merasa kebutuhan pribadinya jarang diberikan oleh Tn. Hadi ini. Pergi beribadah ke Gereja, suatu masalah yang sangat pribadi yang merupakan hak azasi manusia dilarang oleh suaminya. Alasannya nanti di Gereja kamu melihat-lihat lelaki lain. Cemburuan banget sih.

Glek.. saya termenung. Kalau begitu diantar saja isterinya dan kalau ada lelaki lain yang mengganggu isterinya, ia dapat bertindak bukan? Tn. Hadi tidak setuju isterinya beribadah.

Ny. Eli berontak ingin pergi sendiri. Oleh karena itu tangan suaminya melayang ke wajah isterinya. Ny. Eli menangis, sedih dan mangkel banget.

“Mengapa anda tidak mengadukan kelakukan kepada saudara-saudara anda di kota ini?” saya bertanya.

“Saya tidak mempunyai saudara di kota ini. Kepada siapa saya harus mengadu?”
“Ya sudah, lebih baik berpisah saja secara Hukum.” Saya melanjutkan.

“Dok, kami tidak kawin Kantor, tidak punya Surat Nikah, bagaiman kami dapat bercerai? Kawin saja tidak.” Jawabnya.

Glek…saya termenung lagi. Kasihan sekali wanita ini. Kecantikan fisiknya tidak diimbangi dengan kecantikan rumah tangganya. Bagaimana ia dapat hidup bahagia?? Bagaimana sakit Maagnya dapat sembuh kalau penyakit dasarnya tidak disembuhkan? Oleh karena itu, Ny. Eli pada sore itu minta Resep agar pikirannya dibuat bodoh dan tidak bisa berpikir lagi. Suatu permintaan yang mustahil dapat diberikan oleh karena tidak memecahkan masalah primernya. Saya memberikan obat penenang dan mental spirit.

Rasa sayang yang semula menggebu-gebu, memudar ketika kelakukan sang suami yang kelewat batas.

Berbulan-bulan sejak kedatangan Ny. Eli, saya tidak mendapat kabar dari Ny. Eli. Saat kunjungan berobat yang terakhir sekitar 4 bulan yg lalu, ia mengatakan bahwa ia sudah berpisah dengan suaminya itu. Tidak disebutkan bagaimana prosesnya dan saya enggan mengetahuinya. Saya bersyukur penderitaannya berkurang.

Rasa sayang kepada suaminya tidak diimbangi dengan rasa sayang kepada isterinya. Bagamana mendapat berkat dari Yang Maha Kuasa?

Cabut Gigi



Siapapun pernah menderita sakit gigi.
Meskipun organ tubuh ini ukurannya relatip kecil tetapi bila gigi mengalami gangguan maka sang pemilik gigi akan merasakan penderitannya. Wajarlah bila kita harus selalu menjaga kesehatan organ yang satu ini.

Dokter Gigi harus belajar selama 5 tahun untuk mempunyai wewenang memeriksa dan mengobati gigi yang sakit milik pasien.

Berbicara masalah Gigi, maka tempat praktek saya sering kali didatangi oleh pasien. Setelah ditanya apa keluhannya, mereka menjawab katanya mau cabut Gigi. Wah…salah alamat nih …………..Seharusnya datang kepada Teman Sejawat Dokter Ggi tetangga kami yang rumahnya berdekatan dengan tempat praktek saya. Pasien sering kali tidak membaca Papan nama Dokter yang akan dimintai tolong. Saya pikir kalau sudah sakit gigi biasanya sering tidak memperhatikan lokasi Dokter Giginya. Bisa salah masuk praktek Dokter.

Masalah cabut Gigi mengingatkan saya akan kejadian ketika kami mengikuti Pendidikan Klinik di Fak. Kedokteran pada tahun 1970 an. Seorang Koasisten ( Dokter Muda ) wajib mengikuti pendidikan Ilmu Kedokteran Gigi selama 2 minggu di Klinik Gigi RS Pendidikan kami. Setiap Koasisten diharuskan mencabut gigi sebanyak minimal sebanyak 20 gigi dengan tujuan setelah lulus dan ditempatkan di daerah dimana belum ada Klinik Gigi maka seorang Dokter praktek Umum dapat mencabut Gigi pasien.

Ketika tiba giliran Lisa ( bukan nama sebenarnya ) teman wanita kami akan mencabut Gigi seri bagian atas pasien, ia mulai menjuntikkan obat anestesi ( bius ) lokal kepada pasien Ibu Aminah, 50 tahun.

Setelah 5 menit kemudian Lisa bertanya kepada sang pasien “Ibu aapkah sudah baal?”

Ibu Aminah menjawab dengan mantap “ Gigi saya belum baal, tetapi Hidung saya sudah.”

Beberapa Koasisten, Dokter Gigi Pembimbing kami dan seorang Perawat Gigi mendengar jawaban pasien itu tersenyum-senyum.

Wah…salah lokasi suntik obat bius nih. Arah jarum suntik terlalu ke atas sehingga yang baal Hidungnya, demikian penjelasan Dokter Gigi pembimbing kami. Akhirnya beliau menyuntikkan sekali lagi obat anestesi lokal ke arah yang tepat.

Setelah baal ( parestesi ) yang menandakan obat bius lokal itu bekerja, maka Lisa mulai mencabut Gigi pasien yang sudah keropos berat. Ia berhasil mencabutnya dnegan mudah. Luka yang ditinggalkan akibat Gigi dicabut memberikan peradarahan seperti biasa. Setelah memberikan sebuah kain kasa khusus di lokasi pencabutan Gigi tadi, tiba-tiba Lisa terjatuh.

Heboh kedua terjadilah. Melihat darah. Lisa tidak tahan dan syncope alias pingsan. Baru satu gigi tercabut sudah pingsan, lalu bagaimana kalau harus mencabut 20 gigi? Apakah harus 20 kali pingsan? Ternyata tidak! Besok dan besoknya lagi, Lisa dengan mantap mencabut 19 gigi pasiennya. Tidak pingsan lagi. Berkat melihat darah setiap kali Gigi pasien dicabut oleh Koasisten lain, Lisa menjadi terbiasa melihat warna merah darah segar dari mulut pasien.

Saat ini kami sudah pensiun. Akibat jarang dipakai maka ilmu kami sudah terlupakan. Bagaiamana cara memberikan Block anesthesi untuk Gigi Geraham ( molar ) ke 3? Pasti sudah lupa. Kalau anstesi gagal, maka Gigi tidak dapat dicabut karena pasein akan merasa kesakitan sekali. Gigi…oh Gigi...mengapa engkau membuat orang menderita?