Kemarin Ibu Sumirah ( bukan nama sebenarnya ) datang membawa hasil pemeriksaan Foto Rontgen dan Hasil Pemeriksaan darah dari sebuah Lab. Klinik. Sehari sebelumnya Ibu S datang berobat dengan keluhan sejak 1 minggu ada batuk, tanpa dahak. Sudah berobat tetapi belum sembuh. Ia merasa terganggu dengan batuknya itu.
Setelah melalukan Anamnesa ( tanya jawab tentang penyakitnya ), saya pada pemeriksaan fisik menemukan adanya Ronchi kering ( bunyi pernafasaan tidak seperti biasanya ) pada paru kiri. Saya membuat Diagnosa kerja Bronchitis.
Untuk memastikan penyakit, saya meminta Ibu S untuk membuat pemeriksaan Foto Thorax ( Jantung dan Paru ) dan pemeriksaan ( LED ) Laju Endap Darah.
Ibu S datang membawa 2 amplop: yang besar berisi hasil Foto Rontgen dan yang lainnya sebuah amplop kecil berisi hasil pemeriksaan LED. Ke 2 amplop iti sudah terbuka. Kawat klip penjepitnya sudah hilang dan amplop hasil LED terobek karena dibuka paksa dengan kasar sehingga kertas terbuang sebagian. Surat untuk saya sudah dibaca orang lain! Sama seperti memberi makan sepiring Nasi dengan Lauk pauk, tetapi hidangan itu sudah diacak-acak orang. Selera makan saya hilang seketika. Makanan bekas!
Saat itu mood saya sedang tidak baik. Sudah sering saya menghadapi kasus yang sama. Biasanya menghadapi kejadian seperti itu saya cuek saja. Masa bodolah.
Saya bertanya secara baik-baik kepada Ibu S “Ibu, siapa yang membuka amplop-amplop ini? Ini surat yang berisi hasil pemeriksaan Ibu ditujukan untuk Dokter, tetapi tampaknya sudah ada yang membacanya terlebih dulu.”
Ibu S menjawab “Suami saya, Dok. Saya sudah bilang jangan dibuka dulu, biar Dokter yang membacanya. Suami saya tidak mendengar perkataan saya”
Saya menjawab “Baik. Sebenarnya kita tidak boleh membuka dan membaca surat untuk orang lain. Suami anda dapat membaca apa yang tersurat, tetapi saya yakin suami Ibu tidak dapat membaca apa yang tersirat dalam hasil pemeriksaan itu, bukan?”
Ibu S menjawab “Betul, Dok. Setelah melihat dan membaca hasil pemeriksaan saya ini, suami saya juga tidak mengerti.”
Sambil memandang wajah Ibu S saya berkata lagi “Ibu, kalau anda menerima surat dari seseorang ketika anda sedang berada diluar rumah, surat itu diterima oleh suami anda dan suami anda membaca isi surat itu. Apakah anda setuju dan diam saja karena isi surat pribadi anda telah dibaca oleh orang lain meskipun itu adalah suami anda sendiri?”
Ibu S diam sejenak lalu menjawab “Maaf Dok kalau amplop itu telah dibuka dan dibaca oleh suami saya.”
Saya menjawab “Baiklah. Saya mengerti, mungkin semuanya ini dibiayai oleh suami anda, tetapi biarkanlah isi amplop-amplop ini dibaca dahulu oleh Dokter dan Dokter akan memberikan semuanya untuk Ibu dan silahkan dibaca oleh suami Ibu dan orang-orang lain kalau anda mengijinkannya.”
Saya membuatkan resep tambahan untuk penyakit Ibu S ini.
Ah…kalau tidak ditegur kebiasaan membaca surat orang lain akan terulang lagi. Kalau didiamkan saya, hati nurani terkoyak-koyak. Tidak ada privacy lagi.
Tiap bulan saya menerima Surat berisi Rekening Koran Bank isteri saya, tetapi saya tidak mau membuka amplop itu. Itu bukan untuk saya, itu milik orang lain, meskipun isteri saya sendiri. Saya tidak mau membaca rahasia orang lain. Demikian juga isteri saya tidak mau membuka surat yang ditujukan untuk saya. Ada keseimbangan saling menghormati.
Pesan moral:
Saya berusaha agar saya selalu menghormati orang lain atau pasien-pasien saya.
Sering kali orang tidak menghormati saya, padahal orang itu mengharapkan bantuan saya.
Bagaimana saya mau membantu orang lain kalau ia telah merobek nurani saya?
Setelah melalukan Anamnesa ( tanya jawab tentang penyakitnya ), saya pada pemeriksaan fisik menemukan adanya Ronchi kering ( bunyi pernafasaan tidak seperti biasanya ) pada paru kiri. Saya membuat Diagnosa kerja Bronchitis.
Untuk memastikan penyakit, saya meminta Ibu S untuk membuat pemeriksaan Foto Thorax ( Jantung dan Paru ) dan pemeriksaan ( LED ) Laju Endap Darah.
Ibu S datang membawa 2 amplop: yang besar berisi hasil Foto Rontgen dan yang lainnya sebuah amplop kecil berisi hasil pemeriksaan LED. Ke 2 amplop iti sudah terbuka. Kawat klip penjepitnya sudah hilang dan amplop hasil LED terobek karena dibuka paksa dengan kasar sehingga kertas terbuang sebagian. Surat untuk saya sudah dibaca orang lain! Sama seperti memberi makan sepiring Nasi dengan Lauk pauk, tetapi hidangan itu sudah diacak-acak orang. Selera makan saya hilang seketika. Makanan bekas!
Saat itu mood saya sedang tidak baik. Sudah sering saya menghadapi kasus yang sama. Biasanya menghadapi kejadian seperti itu saya cuek saja. Masa bodolah.
Saya bertanya secara baik-baik kepada Ibu S “Ibu, siapa yang membuka amplop-amplop ini? Ini surat yang berisi hasil pemeriksaan Ibu ditujukan untuk Dokter, tetapi tampaknya sudah ada yang membacanya terlebih dulu.”
Ibu S menjawab “Suami saya, Dok. Saya sudah bilang jangan dibuka dulu, biar Dokter yang membacanya. Suami saya tidak mendengar perkataan saya”
Saya menjawab “Baik. Sebenarnya kita tidak boleh membuka dan membaca surat untuk orang lain. Suami anda dapat membaca apa yang tersurat, tetapi saya yakin suami Ibu tidak dapat membaca apa yang tersirat dalam hasil pemeriksaan itu, bukan?”
Ibu S menjawab “Betul, Dok. Setelah melihat dan membaca hasil pemeriksaan saya ini, suami saya juga tidak mengerti.”
Sambil memandang wajah Ibu S saya berkata lagi “Ibu, kalau anda menerima surat dari seseorang ketika anda sedang berada diluar rumah, surat itu diterima oleh suami anda dan suami anda membaca isi surat itu. Apakah anda setuju dan diam saja karena isi surat pribadi anda telah dibaca oleh orang lain meskipun itu adalah suami anda sendiri?”
Ibu S diam sejenak lalu menjawab “Maaf Dok kalau amplop itu telah dibuka dan dibaca oleh suami saya.”
Saya menjawab “Baiklah. Saya mengerti, mungkin semuanya ini dibiayai oleh suami anda, tetapi biarkanlah isi amplop-amplop ini dibaca dahulu oleh Dokter dan Dokter akan memberikan semuanya untuk Ibu dan silahkan dibaca oleh suami Ibu dan orang-orang lain kalau anda mengijinkannya.”
Saya membuatkan resep tambahan untuk penyakit Ibu S ini.
Ah…kalau tidak ditegur kebiasaan membaca surat orang lain akan terulang lagi. Kalau didiamkan saya, hati nurani terkoyak-koyak. Tidak ada privacy lagi.
Tiap bulan saya menerima Surat berisi Rekening Koran Bank isteri saya, tetapi saya tidak mau membuka amplop itu. Itu bukan untuk saya, itu milik orang lain, meskipun isteri saya sendiri. Saya tidak mau membaca rahasia orang lain. Demikian juga isteri saya tidak mau membuka surat yang ditujukan untuk saya. Ada keseimbangan saling menghormati.
Pesan moral:
Saya berusaha agar saya selalu menghormati orang lain atau pasien-pasien saya.
Sering kali orang tidak menghormati saya, padahal orang itu mengharapkan bantuan saya.
Bagaimana saya mau membantu orang lain kalau ia telah merobek nurani saya?
-menerima amplop yang ditujukan kepada kita, tapi malahan dibuka lebih dulu oleh orang lain, cukup membuat miris hati-
BalasHapusBegitu pula saya Dok. apalagi kalo "AMPLOP" yang Dokter maksudkan itu isinya lembaran merah Soekarno Hatta yang ternyata jumlahnya ganjil. Hehehe...
To Pande Baik: Betul. Ketika menikahkan putra kami menerima banyak amplop. Salah satu angpaw ( amplop merah yg berlogo double happyness ), amplopnya bagus, tanpa nama dan isinya kosong. Kami mengerti kalau ia ingin menikmati makanan enak tapi tongpes. Kok tega ya beri amplop yang kosong. Siapa takut? he..he...
BalasHapus