Kemarin pagi datanglah pasien seorang remaja putri, Nunik ( bukan nama sebenarnya ).
Nunik, 17 tahun seorang karyawati sebuah pabrik kacang. Ia mendapat tugas mengelola sebuah mesin pemotong plastik.
Entah kenapa ( mungkin pikiran Nunik tidak konsentrasi kepekerjaannya ), ujung jari ke 3 tangan kanan terpotong mesin. Semua karyawan panik melihat darah berceceran dari tangan Nunik. Nunik segera mendapat pelayanan kesehatan di sebuah Rumah Sakit terdekat. Petugas Kesehatan di RS tersebut meminta agar Nunik datang kembali dalam waktu 10 hari untuk angkat jahitan kulit.
10 hari berlalu dan obat-obatan sudah habis dimakan, majikan Nunik menugaskan supir, Pak Agus ( bukan nama sebenarnya ), 35 tahun untuk membawa Nunik ke tempat praktek saya.
Saya melihat sosok Nunik yang imut-imut, kecil, agak kurus, wajah yang lugu duduk di bed pemeriksaan.
Saya berkata kepada Nunik “Saya akan membuka balutan luka ini. Jangan takut.”
Saya segera mengambil Pinset, Gunting dan Kain Kasa pembalut.
Ketika saya kembali menghadapai tangan Nunik, ia tiba-tiba terjatuh diatas bed, dalam posisi tidur miring ke kanan.
Saya berpikir, wah...belum apa-apa sudah kolaps, pingsan. Saya perhatikan perut Nunik yang naik-turun, ternyata masih bernafas.
Saya berkata kepada sang supir yang berdiri disamping saya untuk membantu saya memegang sebuah lampu senter agar saya dapat melihat jari tangan Nunik lebih terang “ Gus, coba perhatikan apakah Nunik masih bernafas?”
Agus menjawab “Masih, Dok. Tadi Nunik bilang katanya kalau mau cabut benang ia minta disuntik bius lokal dulu agar tidak sakit.”
Saya menjawab “Baiklah, saya suntik dulu.” Saya melakukan blok anestesi 1 cc Procain di sisi kiri dan kanan pangkal jari III tangan kanan Nunik.
Kami membangunkan Nunik. Ia segera membuka matanya.
Saya bertanya kepada Nunik “Kenapa Nik, takut ya. Jangan takut, saya sudah suntik obat anti nyeri”
Nunik menjawab dengan sebuah anggukan kepalanya. Anggukan kepala yang menggembirakan hati kami semua. Nunik segera sadar kembali.
3 jahitan jari tangan Nunik berhasil saya angkat dengan hati-hati.
Saya memberi salep antibiotika dan membalut dengan kain kasa pembalut. Nunik pulang setelah diberi resep obat yang harus diminum Nunik untuk cegah infeksi.
Setelah mereka meninggalkan tempat praktek. saya mau pingsan. Badanku lemes banget.
Saya mengucap syukur “Terima kasih Tuhan, yang telah menguatkan hatiku dan membuat tugasku selesai dengan baik.”
Pasien yang dalam keadaan risau dan takut ( takut kesakitan ) bisa mendadak kolaps, padahal saya bertindak santai, tidak menakuti Nunik.
Wah ceritanya bisa jadi panjang, kalau Nunik tidak bangun lagi, seperti artikel yang pernah saya posting di Blog ini ( “Shok anafilaktik ). Bersyukur kasus S.A. ini juga dapat tertolong.
Saya dan Agus bersyukur semuanya berjalan dengan sukses tanpa ada kejadian yang lebih heboh. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar